Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 6 - Seri Tujuh Insan Harimau
Minggu, 30 November 2014
Sebelumnya...
Airmata Harwati bercucuran lantaran keharuan. Dia hingga terlupa menikmati daging kelapa puan, ketika mendadak beliau mencicipi dirinya disusupi kekuatan andal yang menciptakan beliau menatap Ki Pita Loka bukan lagi guru, melainkan orang pandai sakti yang sejajar dan setaraf.
“Kulihat kau ada maksud jahat padaku”. ujar Ki Pita Loka mendadak. Hal inilah yang menciptakan Ki Harwati tidak menunggu waktu. Padahal beliau sedang duduk bersila berhadapan dengan Sang Guru, kontan mendadak beliau buka lipatan kakinya yang seketika menampar muka Ki Pita Loka. Pita Loka masih berseru, “Hai, jangan kau serang Gurumu! Aku Gurumu!”
Seketika lebah-lebah menyengatmya. Ki Harwati cepat memasukkan jempol jarinya ke dalam langit-langit mulutnya.
Dengan lendir rongga lisan itu yang beliau oleskan ke dahi, sengatan lebah tadi lenyap dari nyerinya semula dan beliau kembali kalap melompat menerjang sang Guru.
“Aku bukan sekelingkingmu? Aku lebih kuat! Akulah perempuan yang tak terperinci dalam mimpi kau itu, Pita Loka!” hardik Ki Harwati. Ki Pita Loka undur ke belakang, dan ia tetap melaksanakan gerak mundur seraya menangkis tendangan sang murid hingga keluar dari pintu Guha Lebah itu.
Ki Harwati menyerang dengan semua jenis ilmu silat yang diajarkan Ki Pita Loka padanya. Karena itu, setiap jurusan serangan bisa dielakkan oleh bekas Guru itu.
Ketika Pita Loka mendadak kalap, siap untuk menghabisi nyawa muridnya jawaban dongkol, Ki Harwati mengingatkan: “Jangan coba bunuh aku, lantaran pantangan ini ada pada Guru. Dan tidak pada murid!”
Tekad Harwati sudah penuh untuk menghabisi nyawa Guru Pita Loka. Tapi tiap jurus kilat yang dilakukan, pukulan sisi telapak tangan ke leher sang Guru, selalu saja menciptakan beliau memukul angin. Sebab Ki Pita Loka lantas menunduk. Mendadak, dalam keadaan merasa kondusif lantaran murid khianat ini cuma memainkan ilmu yang diajarinnya, terdengar seketika Harwati mengeluarkan bunyi auman harimau.
Gerak-gerik langkahnya berubah dan itu tidak pernah diajarkan. Ki Pita Loka sadar, tiap murid niscaya ada keistimewaan yang khusus yang tak dihadiahkan guru. Dalam menentukan kemungkinan selalu mengelak, sekarang Ki Pita Loka bertindak aktif, menyerang.
Tapi serangannya ini berhasil ditangkis oleh Ki Harwati bahkan lengan Ki Pita Loka robek oleh guratan cakaran Harwati.
Kini keduanya laga dari dahan ke dahan. Dan pada dua dahan yang berhadapan dua-duanya saling mengeluarkan pukulangaya golok biar mengenai kepala masing-masing. Tanpa diduga, Ki Harwati merubah pukulan tangan dengan tebasan kaki, hingga Ki Pita Loka jatuh ke bawah, namun selamat oleh dahan-dahan yang diraihnya silih berganti. Dia kejar Harwati yang lari dari dahan ke dahan, kemudian melayang ke tebing seberang.
Dengan ilmu menuruni lembah terjal serta cara melompat dari dahan ke dahan yang ia dapatkan dari Ki Pita Loka, Harwati berhasil kabur menuju arah utara yaitu Bukit Tunggal.
Ki Pita Loka berkacak pinggang di atas dahan pohon seraya tersenyum. Dan beliau berkata dengan dirinya sendiri: “Lari atau tidak larinya kamu, bagiku sama saja.
Dalam sejarah, seorang guru alhasil ditinggalkan oleh muridnya. Sebagai gurumu, saya tidak akan mengutukmu. Hanya guru yang terbelakang yang mau mengutuk muridnya, lantaran dengan mengutuk muridnya itu berarti beliau mengutuk dirinya sendiri!”
Dalam sekelebatan beliau sudah menyerupai burung lincah yang amat indah berlompatan dari dahan ke dahan pohon-pohon raksasa sekitar Guha Lebah itu.
Tapi Pita Loka tidak menyadari bahwa beliau sedang diteropong dalam jarak satu kilometer, nun dari puncak Bukit Sejoli yang berada di selatansana ! Yang sedang meneropong Pita Loka itu yakni seorang pemburu. Dia tidak sengaja melalui teropongnya menyaksikan seorang yang jelas-jelas manusia, lagi pula wanita, yang berlompatan bagai burung cicakrowo. Padahal sebelumnya beliau barusan kecewa, lantaran burung cicakrowo yang ia bidik dan siap tembak itu, terbang sudah.
Lompatan-lompatan lincah itu terperinci bukan burung yang terbang hinggap dan terbang lagi, dari dahan ke dahan pohonan raksasa. Ia tidak ragu lagi bahwa itu manusia. Dan insan istimewa. Juga jelas, pada alhasil insan perempuan yang dianggapnya andal itu memasuki sebuah lisan guha.
Lalu laki-laki pemburu itu menaruh teropongnya ke dalam tas. Dia berbenah dan kemudian menyandang senapan pemburunya. Lalu digelarkannya sebuah peta dan diperkirakannya bukit mana yang akan ditujunya itu. Terbaca olehnya tempat guha perempuan dahsyat tadi masuk. Terbaca keterangan : Bukit Lebah. Lalu dilingkarinya dengan spidol merah. Dan kemudian dibuatnya ancang-ancang perjalanannya menuju kesana .
Tetapi, sesudah beliau turuni Bukit Sejoli menuju kendaraan beroda empat Landrovernya, beliau kembangkan lagi peta. Dia kecewa sekali. Sebab Bukit Lebah itu ternyata dilingkari sungai. Tak mungkin tertembus dengan kendaraan. Tapi beliau coba juga untuk menstarter. Dan kendaraan beroda empat itu pun mulai mencari celah-celah padang-padang rumput yang masih perawan.
Sekeliling itu, tak ada desa. Jadi, pikirnya kini, tentulah perempuan tadi hidup secara primitip, sendiri atau bersama, di Bukit Lebah itu.
Menjelang senja, laki-laki itu sudah melingkari setengah Bukit Lebah itu, lewat tepi-tepi sungai yang terjal. Dia malah hampir tertimpa petaka kecebur sungai di bawahsana itu apabila kendaraan beroda empat Landrovernya tidak kejeblos kecelah batu-batuan di tepi tebing sungai yang tingginya sekitar 15 meter itu. Tapi beliau puas. Biarpun hari telah menjelang senja, ternyata beliau sekarang pada posisi berhadapan pribadi dengan lisan goa tempat perempuan burung tadi tampak masuk.
Dia sekarang turun dari mobil. Teropong beliau ambil lagi dari dalam tas. Dan matahari yang setengah jam lagi akan terbenam itu masih sempat menyorotkan sinarnya tepat-tepat ke arah Goa itu.
Dia meneropong dan berharap sanggup menyaksikan lagi aktivitas yang terjadi di sekitar guha itu. Nah, sekarang beliau gembira! Gembira sangat. Dia melihat perempuan tadi keluar dari guha itu! Jelas kini, tentulah beliau bukan perempuan yang sudah bersuami. Dia cantik, namun ketika sempat beliau bangun begitu keliatan sekali wajahnya keras berwibawa.
Jelas sekali lewat teropongnya, bahwa perempuan tadi itu berpakaian kain yang tidak dijahit. Bahkan tampaknya bekas kain seprei dengan motif burung merak menyerupai seprei-seprei woolPersia yang indah. Malah tampaknya menyerupai kimono, yang satu-satunya ikatannya tampaknya hanyalah seutas tali plastik saja.
Hari sudah mulai agak gelap, sesaat lagi matahari tenggelam, laki-laki pemburu itu sedang memikirkan bagaimana caranya berkomunikasi dengan perempuan itu, atau, gadis itu!
Gadis itu tampaknya sedang berdiam diri, tegak menghadap ke arah matahari karam dengan tangan terlipat menyerupai orang Islam sedang tegak sembahyang. Ketika matahari terbenam, perempuan tadi masuk ke guha. Ketika itulah laki-laki itu punya akal.
Yaitu akan menyenter perempuan itu dari arah barat sini. Bukankah hari akan gelap sejenak lagi? Maka beliau pun buru-buru membuka tas dan mengambil senter.
Rencananya, bila gadis tadi keluar lagi, maka akan dihidup-matikannya senter itu.
Tapi agak usang juga. Oh, betapa bahagia hatinya ketika satu sosok muncul. Tapi sekarang bukan berpakaian sepreiPersia lagi. Jelas ia mengenakan mukena, yaitu pakaian selubung perempuan Islam apabila melaksanakan sembahyang. Dan memang betul. Tepat di hadapan lisan guha itu si gadis bermukena itu menggelarkan tikar sajadah. Arahnya agak dimencengkan sedikit dari ketepatan matahari terbenam. Lalu tampak gadis bermukena itu bangun berkonsentrasi, dan mengangkat kedua tangannya.
Ya, ia rupanya sedang melaksanakan sembahyang maghrib. Akibatnya, biar tidak mengganggu orang melaksanakan ibadah, si laki-laki mengurungkan memainkan senter.
Lalu, ketika perempuan itu agaknya selesai melaksanakan sembahyangnya, laki-laki pemburu ini sudah siap untuk memainkan senternya. Pemandangan depan pintu guha itu sudah agak gelap. Tapi petunjuk satu-satunya yakni warna putih itu. Pertanda perempuan itu masih ada di situ.
Memang, Pita Loka sudah selesai sholat menghrib. Namun beliau masih bersila itu lantaran membacakan beberapa do”a yang amat panjang. Tapi menjelang beliau habis berdoa panjang itu, beliau melihat cahaya kelap-kelip di bukit sebelah barat seberang sungaisana .
Apa itu?
Musuhkah?
Namun otak IPA yang beliau miliki segera meyaksikan dirinya bahwa itu lampu senter sebagai kode komunikasi. Ah, tentu di situ ada manusia. Pasti bukan musuh. Dan niscaya bukan orang dari padepokan atau perguruan tinggi ilmu tradisional!
Setelah terperinci baginya hal itu, Ki Pita Loka cepat menggulung tikar sembahyang dan berlari masuk guha lagi, laki-laki yang mempermainkan lampu senter itu pun kecewa.
Tapi Pita Loka masuk ke dalam guha untuk bersalin pakaian. Ya. beliau masih mmiliki celana blue jean maupun jacket sewaktu beliau minggat dari desa Kumayan.
Dengan ketangkasan luar biasa, Pita Loka keluar dari guha Lebah itu dan hal ini tiada diketahui oleh laki-laki pemburu yang sudah kalut kecewa itu. Sebelum beliau meloncat ke sebuah dahan Ki Pita Loka membetulkan sepatu karet bergelantungan dan terbang sudah tak terperinci lagi. Yang kedengaran yakni bunyi bias angin sewaktu beliau mengayun badan untuk terbang ke dahan lain. Atau bunyi dahan patah kemudian badan Pita Loka menabrak dahan lain tetapi dengan cekaten beliau sudah memegang dahan lainnya.
Selama seperempat jam beliau sudah menempuh sekitar satu jarak yang agak jauh lantaran lompatannya yakni zig-zag. Kini beliau sudah bergelantungan di sebuah pohon yang tegak kokoh sempurna di tepi tebing sungai. Dari atas pohon ini kedengaran deru sungai yang mengalir sekitar 20 meter di bawah tempat Ki Pita gelantungan. Jarak antara tebing tempat Bukit Lebah dengan tebing di Bukit Baturiuhsana itu yakni sekitar 17 meter.
Satu-satunya pohon yang sempurna untuk diloncati di seberangsana itu yakni pohon yang agak tinggian. Jarak antara pohon itu dengan kendaraan beroda empat Landrover itu hanyalah sekitar 10 meter. Makara tak boleh terdengar bunyi sedikitpun apabila Pita Loka terbang dan menangkap dahan pohon tinggi itu.
Bersambung...
Airmata Harwati bercucuran lantaran keharuan. Dia hingga terlupa menikmati daging kelapa puan, ketika mendadak beliau mencicipi dirinya disusupi kekuatan andal yang menciptakan beliau menatap Ki Pita Loka bukan lagi guru, melainkan orang pandai sakti yang sejajar dan setaraf.
“Kulihat kau ada maksud jahat padaku”. ujar Ki Pita Loka mendadak. Hal inilah yang menciptakan Ki Harwati tidak menunggu waktu. Padahal beliau sedang duduk bersila berhadapan dengan Sang Guru, kontan mendadak beliau buka lipatan kakinya yang seketika menampar muka Ki Pita Loka. Pita Loka masih berseru, “Hai, jangan kau serang Gurumu! Aku Gurumu!”
Seketika lebah-lebah menyengatmya. Ki Harwati cepat memasukkan jempol jarinya ke dalam langit-langit mulutnya.
Dengan lendir rongga lisan itu yang beliau oleskan ke dahi, sengatan lebah tadi lenyap dari nyerinya semula dan beliau kembali kalap melompat menerjang sang Guru.
“Aku bukan sekelingkingmu? Aku lebih kuat! Akulah perempuan yang tak terperinci dalam mimpi kau itu, Pita Loka!” hardik Ki Harwati. Ki Pita Loka undur ke belakang, dan ia tetap melaksanakan gerak mundur seraya menangkis tendangan sang murid hingga keluar dari pintu Guha Lebah itu.
Ki Harwati menyerang dengan semua jenis ilmu silat yang diajarkan Ki Pita Loka padanya. Karena itu, setiap jurusan serangan bisa dielakkan oleh bekas Guru itu.
Ketika Pita Loka mendadak kalap, siap untuk menghabisi nyawa muridnya jawaban dongkol, Ki Harwati mengingatkan: “Jangan coba bunuh aku, lantaran pantangan ini ada pada Guru. Dan tidak pada murid!”
Tekad Harwati sudah penuh untuk menghabisi nyawa Guru Pita Loka. Tapi tiap jurus kilat yang dilakukan, pukulan sisi telapak tangan ke leher sang Guru, selalu saja menciptakan beliau memukul angin. Sebab Ki Pita Loka lantas menunduk. Mendadak, dalam keadaan merasa kondusif lantaran murid khianat ini cuma memainkan ilmu yang diajarinnya, terdengar seketika Harwati mengeluarkan bunyi auman harimau.
Gerak-gerik langkahnya berubah dan itu tidak pernah diajarkan. Ki Pita Loka sadar, tiap murid niscaya ada keistimewaan yang khusus yang tak dihadiahkan guru. Dalam menentukan kemungkinan selalu mengelak, sekarang Ki Pita Loka bertindak aktif, menyerang.
Tapi serangannya ini berhasil ditangkis oleh Ki Harwati bahkan lengan Ki Pita Loka robek oleh guratan cakaran Harwati.
Kini keduanya laga dari dahan ke dahan. Dan pada dua dahan yang berhadapan dua-duanya saling mengeluarkan pukulangaya golok biar mengenai kepala masing-masing. Tanpa diduga, Ki Harwati merubah pukulan tangan dengan tebasan kaki, hingga Ki Pita Loka jatuh ke bawah, namun selamat oleh dahan-dahan yang diraihnya silih berganti. Dia kejar Harwati yang lari dari dahan ke dahan, kemudian melayang ke tebing seberang.
Dengan ilmu menuruni lembah terjal serta cara melompat dari dahan ke dahan yang ia dapatkan dari Ki Pita Loka, Harwati berhasil kabur menuju arah utara yaitu Bukit Tunggal.
Ki Pita Loka berkacak pinggang di atas dahan pohon seraya tersenyum. Dan beliau berkata dengan dirinya sendiri: “Lari atau tidak larinya kamu, bagiku sama saja.
Dalam sejarah, seorang guru alhasil ditinggalkan oleh muridnya. Sebagai gurumu, saya tidak akan mengutukmu. Hanya guru yang terbelakang yang mau mengutuk muridnya, lantaran dengan mengutuk muridnya itu berarti beliau mengutuk dirinya sendiri!”
Dalam sekelebatan beliau sudah menyerupai burung lincah yang amat indah berlompatan dari dahan ke dahan pohon-pohon raksasa sekitar Guha Lebah itu.
Tapi Pita Loka tidak menyadari bahwa beliau sedang diteropong dalam jarak satu kilometer, nun dari puncak Bukit Sejoli yang berada di selatansana ! Yang sedang meneropong Pita Loka itu yakni seorang pemburu. Dia tidak sengaja melalui teropongnya menyaksikan seorang yang jelas-jelas manusia, lagi pula wanita, yang berlompatan bagai burung cicakrowo. Padahal sebelumnya beliau barusan kecewa, lantaran burung cicakrowo yang ia bidik dan siap tembak itu, terbang sudah.
Lompatan-lompatan lincah itu terperinci bukan burung yang terbang hinggap dan terbang lagi, dari dahan ke dahan pohonan raksasa. Ia tidak ragu lagi bahwa itu manusia. Dan insan istimewa. Juga jelas, pada alhasil insan perempuan yang dianggapnya andal itu memasuki sebuah lisan guha.
Lalu laki-laki pemburu itu menaruh teropongnya ke dalam tas. Dia berbenah dan kemudian menyandang senapan pemburunya. Lalu digelarkannya sebuah peta dan diperkirakannya bukit mana yang akan ditujunya itu. Terbaca olehnya tempat guha perempuan dahsyat tadi masuk. Terbaca keterangan : Bukit Lebah. Lalu dilingkarinya dengan spidol merah. Dan kemudian dibuatnya ancang-ancang perjalanannya menuju kesana .
Tetapi, sesudah beliau turuni Bukit Sejoli menuju kendaraan beroda empat Landrovernya, beliau kembangkan lagi peta. Dia kecewa sekali. Sebab Bukit Lebah itu ternyata dilingkari sungai. Tak mungkin tertembus dengan kendaraan. Tapi beliau coba juga untuk menstarter. Dan kendaraan beroda empat itu pun mulai mencari celah-celah padang-padang rumput yang masih perawan.
Sekeliling itu, tak ada desa. Jadi, pikirnya kini, tentulah perempuan tadi hidup secara primitip, sendiri atau bersama, di Bukit Lebah itu.
Menjelang senja, laki-laki itu sudah melingkari setengah Bukit Lebah itu, lewat tepi-tepi sungai yang terjal. Dia malah hampir tertimpa petaka kecebur sungai di bawahsana itu apabila kendaraan beroda empat Landrovernya tidak kejeblos kecelah batu-batuan di tepi tebing sungai yang tingginya sekitar 15 meter itu. Tapi beliau puas. Biarpun hari telah menjelang senja, ternyata beliau sekarang pada posisi berhadapan pribadi dengan lisan goa tempat perempuan burung tadi tampak masuk.
Dia sekarang turun dari mobil. Teropong beliau ambil lagi dari dalam tas. Dan matahari yang setengah jam lagi akan terbenam itu masih sempat menyorotkan sinarnya tepat-tepat ke arah Goa itu.
Dia meneropong dan berharap sanggup menyaksikan lagi aktivitas yang terjadi di sekitar guha itu. Nah, sekarang beliau gembira! Gembira sangat. Dia melihat perempuan tadi keluar dari guha itu! Jelas kini, tentulah beliau bukan perempuan yang sudah bersuami. Dia cantik, namun ketika sempat beliau bangun begitu keliatan sekali wajahnya keras berwibawa.
Jelas sekali lewat teropongnya, bahwa perempuan tadi itu berpakaian kain yang tidak dijahit. Bahkan tampaknya bekas kain seprei dengan motif burung merak menyerupai seprei-seprei woolPersia yang indah. Malah tampaknya menyerupai kimono, yang satu-satunya ikatannya tampaknya hanyalah seutas tali plastik saja.
Hari sudah mulai agak gelap, sesaat lagi matahari tenggelam, laki-laki pemburu itu sedang memikirkan bagaimana caranya berkomunikasi dengan perempuan itu, atau, gadis itu!
Gadis itu tampaknya sedang berdiam diri, tegak menghadap ke arah matahari karam dengan tangan terlipat menyerupai orang Islam sedang tegak sembahyang. Ketika matahari terbenam, perempuan tadi masuk ke guha. Ketika itulah laki-laki itu punya akal.
Yaitu akan menyenter perempuan itu dari arah barat sini. Bukankah hari akan gelap sejenak lagi? Maka beliau pun buru-buru membuka tas dan mengambil senter.
Rencananya, bila gadis tadi keluar lagi, maka akan dihidup-matikannya senter itu.
Tapi agak usang juga. Oh, betapa bahagia hatinya ketika satu sosok muncul. Tapi sekarang bukan berpakaian sepreiPersia lagi. Jelas ia mengenakan mukena, yaitu pakaian selubung perempuan Islam apabila melaksanakan sembahyang. Dan memang betul. Tepat di hadapan lisan guha itu si gadis bermukena itu menggelarkan tikar sajadah. Arahnya agak dimencengkan sedikit dari ketepatan matahari terbenam. Lalu tampak gadis bermukena itu bangun berkonsentrasi, dan mengangkat kedua tangannya.
Ya, ia rupanya sedang melaksanakan sembahyang maghrib. Akibatnya, biar tidak mengganggu orang melaksanakan ibadah, si laki-laki mengurungkan memainkan senter.
Lalu, ketika perempuan itu agaknya selesai melaksanakan sembahyangnya, laki-laki pemburu ini sudah siap untuk memainkan senternya. Pemandangan depan pintu guha itu sudah agak gelap. Tapi petunjuk satu-satunya yakni warna putih itu. Pertanda perempuan itu masih ada di situ.
Memang, Pita Loka sudah selesai sholat menghrib. Namun beliau masih bersila itu lantaran membacakan beberapa do”a yang amat panjang. Tapi menjelang beliau habis berdoa panjang itu, beliau melihat cahaya kelap-kelip di bukit sebelah barat seberang sungaisana .
Apa itu?
Musuhkah?
Namun otak IPA yang beliau miliki segera meyaksikan dirinya bahwa itu lampu senter sebagai kode komunikasi. Ah, tentu di situ ada manusia. Pasti bukan musuh. Dan niscaya bukan orang dari padepokan atau perguruan tinggi ilmu tradisional!
Setelah terperinci baginya hal itu, Ki Pita Loka cepat menggulung tikar sembahyang dan berlari masuk guha lagi, laki-laki yang mempermainkan lampu senter itu pun kecewa.
Tapi Pita Loka masuk ke dalam guha untuk bersalin pakaian. Ya. beliau masih mmiliki celana blue jean maupun jacket sewaktu beliau minggat dari desa Kumayan.
Dengan ketangkasan luar biasa, Pita Loka keluar dari guha Lebah itu dan hal ini tiada diketahui oleh laki-laki pemburu yang sudah kalut kecewa itu. Sebelum beliau meloncat ke sebuah dahan Ki Pita Loka membetulkan sepatu karet bergelantungan dan terbang sudah tak terperinci lagi. Yang kedengaran yakni bunyi bias angin sewaktu beliau mengayun badan untuk terbang ke dahan lain. Atau bunyi dahan patah kemudian badan Pita Loka menabrak dahan lain tetapi dengan cekaten beliau sudah memegang dahan lainnya.
Selama seperempat jam beliau sudah menempuh sekitar satu jarak yang agak jauh lantaran lompatannya yakni zig-zag. Kini beliau sudah bergelantungan di sebuah pohon yang tegak kokoh sempurna di tepi tebing sungai. Dari atas pohon ini kedengaran deru sungai yang mengalir sekitar 20 meter di bawah tempat Ki Pita gelantungan. Jarak antara tebing tempat Bukit Lebah dengan tebing di Bukit Baturiuhsana itu yakni sekitar 17 meter.
Satu-satunya pohon yang sempurna untuk diloncati di seberangsana itu yakni pohon yang agak tinggian. Jarak antara pohon itu dengan kendaraan beroda empat Landrover itu hanyalah sekitar 10 meter. Makara tak boleh terdengar bunyi sedikitpun apabila Pita Loka terbang dan menangkap dahan pohon tinggi itu.
Bersambung...