Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 5 - Seri Tujuh Insan Harimau
Sabtu, 29 November 2014
Sebelumnya...
Tapi gadis itu menangis tersedu-sedu, bersimpuh di ujung kaki sang Guru Besar, dan hal ini merusakkan perasaan murni Guru Besar itu. Ia kuatir, peristiwa ini menjadi ujud mimpi. Dan ia kuatir, peristiwa ini bila dituruti akan berekor dengan munculnya satu perempuan lagi yang meminta warisan Pedang Raja Turki, mirip dalam mimpi. Dan peristiwa yang sedang berlaku di Bukit Tunggal ini justru sedang dituturkan oleh Ki Pita Loka kepada muridnya. Harwati.
Sebenarnya Ki Pita Loka barusan saja menceritakan mimpinya semalam kepada Harwati. Dengan sarapan sari buah-buahan hutan dan umbi pohon kuwat, dari lisan Ki Pita Loka meluncur perkataan: “Wanita yang mendapatikan warisan Pedang Turki itu tak terang parasnya olehku. Tapi mungkin akulah perempuan itu”.
“Kenapa kita berdua tak pergi ke saja, Ki Guru?”usul Harwati.
“Pencaharian barang sakti hanya boleh akhir dari gerak ghaib yang tidak kita ketahui, saat saya melarikan diri dari desa Kumayan, orang pertama yang memberitahukan padaku perihal benda kembar sakti itu, ialah Ki Ibrahim Arkam.
Dia selalu sembunyi dalam sebuah guha yang pintunya amat tinggi. Ketika itu saya tak bisa memanjat kawasan persembunyiannya kendati ia mempersilahkan masuk.
Hanya Guru Gumara yang mungkin sanggup merayap mirip cicak untuk masuk ke pintu guha Ki Ibrahim Arkam. Beliau menyatakan, dua benda yang merupakan kembaran itu dicobanya mencari, tapi toh di tak mendapatkannya.”
Harwati mendengarkannya dengan tekun. Lalu dia merasa, dialah yang disebut Ki Pita Loka sebagai gadis yang akan mewarisi pedang sakti itu. Perasaan Harwati itu seketika itu juga terbaca oleh Ki Pita Loka, yang mendadak bertanya : “Kau berkhayal bahwa kamulah yang nanti mempunyai Pedang Guru Turki itu? “
“Oh. mana mungkin”, kata Harwati berdusta. Tapi godaan kisah mimpi sang Guru itu menjadi pikiran Harawati sehingga dia tidur mengigau, kemudian berjalan sempoyongan dan berteriak histeris keluar dari Guha Lebah di tengah malam. Ki Pita Loka mengikuti langkah muridnya, alasannya ialah ingin mengetahui apa penyebab Harwati mengigau ini. Dan saat Harwati terpeleset hampir masuk jurang, dengan cekatan Ki Pita Loka melompat menyambar tangan Harwati, menyentaknya, dan menyadarkan sang murid : “Apa yang sedang kau jalani, Wati?”
Harwati lupa pada semua yang sudah terjadi tadi. Sektika itu juga. Mendadak dia mengaum bagai harimau, tapi dia tidak berubah menjadi jadi harimau. Biarpun begitu, bagi Ki Pita Loka, hal ini dianggapnya satu pertanda. Karena itu, pada siangnya sewaktu dia mengajarkan ilmu meniti air kepada Harwati, Pita Loka tak sengaja melontarkan ucapan : “Ketika saya mendengar kau mengaum sebagai auman macan, saya kuatir saya kini ini sedang memelihara seekor harimau kecil. Celaka bagi pemelihara harimau, adalah, bila harimau itu sudah besar, dia akan mencakar gurunya, pemeliharanya”
Harwati tersinggung sekali dan berkata : “Kenapa Ki Guru yang mempunyai sepuluh kesaktian kuatir pada saya? Kenapa Ki Guru selalu menganggap saya akan berkhianat?”
“Karena saya selalu menandai dalam hatimu ada satu hal yang selalu kau rahasiakan” kata Ki Pita Loka.
“Ajaib sekali! Saya sudah bersumpah menjadi pengawal setia, murid setia, kenapa muncul keraguan mendadak?” tanya Harwati.
“Itu bukan keraguan, muridku tercinta! Itu firasat. Firasat tidak sanggup ditelusuri akal.
Sebab dia mengandung keghaiban! Dan tiap orang yang ilmunya tajam. Harus percaya kepada yang Ghaib!” kata Ki Pita Loka.
“Sekarang mari lanjutkan pelajaran”, ujar Ki Pita Loka.
Harwati dengan tekun mengatur pernafasan, Ki Pita Loka memberi petunjuk cara meniti air.
“Air selalu pergi ke hilir. Maka bila kau meniti diatas air, ikuti arah arus air,bukan sebaliknya, dan kau harus merasa dirimu ringan. Dan dalam dirimu sepuluh rongga harus kau tutup secara imajiner. Maka gelembung yang tinggal di tubuhmu, yakni udara menyerupai udara dalam bola. Kenapa bola tidak bisa tenggelam? Karena gelembung udara yang ada di dalamnya tak keluar, dan diri bola itu jadi ringan. Ayolah kau coba dan jangan lupa berdzikir!”
Harwati mempraktekkan pedoman gurunya. Mulanya dia sempat melewati setengah sungai, kemudian tenggelam. Tapi sesudah empat puluh satu hari melatih diri, terutama menciptakan kedap gelembung udara di tubuhnya dengan menutup seluruh rongga dalam diri, ia berhasil. Ia coba lagi meniti air sungai itu. Dan berhasil lagi. Dan berhasil lagi dan berhasil lagi.
Dia kemudian memeluk gurunya. Dan bertekad tidak akan mengkhianati. Itu perasaan amat suci yang pernah singgah dihatinya. Kesetiaan sempurna. Tapi kadang dia ingat lagi mimpi Ki Guru Pita Loka yang sudah di dengarnya Pewaris Pedang Turki itu ialah perempuan yang tak jelas. Makara ini berarti, bukan Ki Pita Loka mungkin saja aku, fikirnya.
Fikiran ini yang selalu bertarung dalam dirinya bagai warna putih dan hitam. Ia berupaya agar hatinya jernih dalam asuhan Sang Guru, tapi godaan suka mengotori batinnya, dan cita-cita untuk lari, atau berkhianat suka muncul hilang dan muncul dan hilang lagi.
Setelah mandi air kelapa muda sebagai program ritual selesainya satu tahap itu, Harwati disodorkan sebuah kelapa hijau oleh Ki Guru Pita Loka.
“Kini saya izinkan kau memasuki bulat asap stanggi itu”, ujar Ki Pita Loka. “Lalu peganglah kelapa hijau itu, sekuat pegangan, dan tiupkan secara abnormal pada permukaan kulitnya pernafasanmu. Bila warnanya berubah kuning, kau memang calon pemilik kesaktian, kemudian makan daging kelapa hijau yang sudah berubah jadi kelapa puan.
Jika tidak, terpaksa saya yang akan melakukanya, namun kau wajib meminum air kelapa puan itu, sekaligus menikmati dagingnya!”
Harwati bersemangat Air kelapa mandian masih berbintik pada rambutnya. Dia memasuki bulat asap stanggi yang muncul dari permukaan lantai guha itu dengan rasa gembira. Lalu dia duduk bersila. Dia pegang akrab kelapa hijau itu.
Dia rasakan satu kekuatan ghaib bergetar dalam urat tubuhnya, menciptakan dia makin akrab memegang kelapa hijau itu. Dilihatnya kelapa hijau itu berubah kulitnya menguning.
Dan dia menoleh pada Sang Guru. Ki Pita Loka mengangguk tanda dia berhasil. Lalu Ki Pita Loka berkata: “Kupaslah…buat lobang dengan kekuatan gigi tupai yang suka membolongi kelapa”.
“Dengan kekuatan kuku?” tanya Harwati.
“Kau memang insan berakal, murid yang tolol kurang memahami maksud sang Guru”.
“Lihat, Ki Guru, kukuku mirip gigi bajing!”, ujar Harwati yang dengan cekatan mencakar permukaan kelapa puan itu. Dan saat mencapai batok kelapa, dicoblosnya batok itu dengan telunjuknya. Air yang mengental bagai susu muncrat. Lalu dia minum.
“Ilmumu telah mencapai derajat hebat, muridku...Tapi itu gres salah satu dari jari kelingking gurumu yang berjari sepuluh ini. Kau kini berhak mendapatkan gelar Ki Harwati. Tapi jangan berkhianat, bila kau mengkhianati Guru, dua-dua kita akan mengalami tragedi besar di kemudian hari!”
Bersambung...
Tapi gadis itu menangis tersedu-sedu, bersimpuh di ujung kaki sang Guru Besar, dan hal ini merusakkan perasaan murni Guru Besar itu. Ia kuatir, peristiwa ini menjadi ujud mimpi. Dan ia kuatir, peristiwa ini bila dituruti akan berekor dengan munculnya satu perempuan lagi yang meminta warisan Pedang Raja Turki, mirip dalam mimpi. Dan peristiwa yang sedang berlaku di Bukit Tunggal ini justru sedang dituturkan oleh Ki Pita Loka kepada muridnya. Harwati.
Sebenarnya Ki Pita Loka barusan saja menceritakan mimpinya semalam kepada Harwati. Dengan sarapan sari buah-buahan hutan dan umbi pohon kuwat, dari lisan Ki Pita Loka meluncur perkataan: “Wanita yang mendapatikan warisan Pedang Turki itu tak terang parasnya olehku. Tapi mungkin akulah perempuan itu”.
“Kenapa kita berdua tak pergi ke saja, Ki Guru?”usul Harwati.
“Pencaharian barang sakti hanya boleh akhir dari gerak ghaib yang tidak kita ketahui, saat saya melarikan diri dari desa Kumayan, orang pertama yang memberitahukan padaku perihal benda kembar sakti itu, ialah Ki Ibrahim Arkam.
Dia selalu sembunyi dalam sebuah guha yang pintunya amat tinggi. Ketika itu saya tak bisa memanjat kawasan persembunyiannya kendati ia mempersilahkan masuk.
Hanya Guru Gumara yang mungkin sanggup merayap mirip cicak untuk masuk ke pintu guha Ki Ibrahim Arkam. Beliau menyatakan, dua benda yang merupakan kembaran itu dicobanya mencari, tapi toh di tak mendapatkannya.”
Harwati mendengarkannya dengan tekun. Lalu dia merasa, dialah yang disebut Ki Pita Loka sebagai gadis yang akan mewarisi pedang sakti itu. Perasaan Harwati itu seketika itu juga terbaca oleh Ki Pita Loka, yang mendadak bertanya : “Kau berkhayal bahwa kamulah yang nanti mempunyai Pedang Guru Turki itu? “
“Oh. mana mungkin”, kata Harwati berdusta. Tapi godaan kisah mimpi sang Guru itu menjadi pikiran Harawati sehingga dia tidur mengigau, kemudian berjalan sempoyongan dan berteriak histeris keluar dari Guha Lebah di tengah malam. Ki Pita Loka mengikuti langkah muridnya, alasannya ialah ingin mengetahui apa penyebab Harwati mengigau ini. Dan saat Harwati terpeleset hampir masuk jurang, dengan cekatan Ki Pita Loka melompat menyambar tangan Harwati, menyentaknya, dan menyadarkan sang murid : “Apa yang sedang kau jalani, Wati?”
Harwati lupa pada semua yang sudah terjadi tadi. Sektika itu juga. Mendadak dia mengaum bagai harimau, tapi dia tidak berubah menjadi jadi harimau. Biarpun begitu, bagi Ki Pita Loka, hal ini dianggapnya satu pertanda. Karena itu, pada siangnya sewaktu dia mengajarkan ilmu meniti air kepada Harwati, Pita Loka tak sengaja melontarkan ucapan : “Ketika saya mendengar kau mengaum sebagai auman macan, saya kuatir saya kini ini sedang memelihara seekor harimau kecil. Celaka bagi pemelihara harimau, adalah, bila harimau itu sudah besar, dia akan mencakar gurunya, pemeliharanya”
Harwati tersinggung sekali dan berkata : “Kenapa Ki Guru yang mempunyai sepuluh kesaktian kuatir pada saya? Kenapa Ki Guru selalu menganggap saya akan berkhianat?”
“Karena saya selalu menandai dalam hatimu ada satu hal yang selalu kau rahasiakan” kata Ki Pita Loka.
“Ajaib sekali! Saya sudah bersumpah menjadi pengawal setia, murid setia, kenapa muncul keraguan mendadak?” tanya Harwati.
“Itu bukan keraguan, muridku tercinta! Itu firasat. Firasat tidak sanggup ditelusuri akal.
Sebab dia mengandung keghaiban! Dan tiap orang yang ilmunya tajam. Harus percaya kepada yang Ghaib!” kata Ki Pita Loka.
“Sekarang mari lanjutkan pelajaran”, ujar Ki Pita Loka.
Harwati dengan tekun mengatur pernafasan, Ki Pita Loka memberi petunjuk cara meniti air.
“Air selalu pergi ke hilir. Maka bila kau meniti diatas air, ikuti arah arus air,bukan sebaliknya, dan kau harus merasa dirimu ringan. Dan dalam dirimu sepuluh rongga harus kau tutup secara imajiner. Maka gelembung yang tinggal di tubuhmu, yakni udara menyerupai udara dalam bola. Kenapa bola tidak bisa tenggelam? Karena gelembung udara yang ada di dalamnya tak keluar, dan diri bola itu jadi ringan. Ayolah kau coba dan jangan lupa berdzikir!”
Harwati mempraktekkan pedoman gurunya. Mulanya dia sempat melewati setengah sungai, kemudian tenggelam. Tapi sesudah empat puluh satu hari melatih diri, terutama menciptakan kedap gelembung udara di tubuhnya dengan menutup seluruh rongga dalam diri, ia berhasil. Ia coba lagi meniti air sungai itu. Dan berhasil lagi. Dan berhasil lagi dan berhasil lagi.
Dia kemudian memeluk gurunya. Dan bertekad tidak akan mengkhianati. Itu perasaan amat suci yang pernah singgah dihatinya. Kesetiaan sempurna. Tapi kadang dia ingat lagi mimpi Ki Guru Pita Loka yang sudah di dengarnya Pewaris Pedang Turki itu ialah perempuan yang tak jelas. Makara ini berarti, bukan Ki Pita Loka mungkin saja aku, fikirnya.
Fikiran ini yang selalu bertarung dalam dirinya bagai warna putih dan hitam. Ia berupaya agar hatinya jernih dalam asuhan Sang Guru, tapi godaan suka mengotori batinnya, dan cita-cita untuk lari, atau berkhianat suka muncul hilang dan muncul dan hilang lagi.
Setelah mandi air kelapa muda sebagai program ritual selesainya satu tahap itu, Harwati disodorkan sebuah kelapa hijau oleh Ki Guru Pita Loka.
“Kini saya izinkan kau memasuki bulat asap stanggi itu”, ujar Ki Pita Loka. “Lalu peganglah kelapa hijau itu, sekuat pegangan, dan tiupkan secara abnormal pada permukaan kulitnya pernafasanmu. Bila warnanya berubah kuning, kau memang calon pemilik kesaktian, kemudian makan daging kelapa hijau yang sudah berubah jadi kelapa puan.
Jika tidak, terpaksa saya yang akan melakukanya, namun kau wajib meminum air kelapa puan itu, sekaligus menikmati dagingnya!”
Harwati bersemangat Air kelapa mandian masih berbintik pada rambutnya. Dia memasuki bulat asap stanggi yang muncul dari permukaan lantai guha itu dengan rasa gembira. Lalu dia duduk bersila. Dia pegang akrab kelapa hijau itu.
Dia rasakan satu kekuatan ghaib bergetar dalam urat tubuhnya, menciptakan dia makin akrab memegang kelapa hijau itu. Dilihatnya kelapa hijau itu berubah kulitnya menguning.
Dan dia menoleh pada Sang Guru. Ki Pita Loka mengangguk tanda dia berhasil. Lalu Ki Pita Loka berkata: “Kupaslah…buat lobang dengan kekuatan gigi tupai yang suka membolongi kelapa”.
“Dengan kekuatan kuku?” tanya Harwati.
“Kau memang insan berakal, murid yang tolol kurang memahami maksud sang Guru”.
“Lihat, Ki Guru, kukuku mirip gigi bajing!”, ujar Harwati yang dengan cekatan mencakar permukaan kelapa puan itu. Dan saat mencapai batok kelapa, dicoblosnya batok itu dengan telunjuknya. Air yang mengental bagai susu muncrat. Lalu dia minum.
“Ilmumu telah mencapai derajat hebat, muridku...Tapi itu gres salah satu dari jari kelingking gurumu yang berjari sepuluh ini. Kau kini berhak mendapatkan gelar Ki Harwati. Tapi jangan berkhianat, bila kau mengkhianati Guru, dua-dua kita akan mengalami tragedi besar di kemudian hari!”
Bersambung...