Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 4 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Begitu Ki Tunggal muncul dari bilik pertapaannya Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 4 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Begitu Ki Tunggal muncul dari bilik pertapaannya, maka Ki Rotan pun berhenti menggelepar. Tubuh yang lemah itu kemudian merangkak, dan ia ciumi kaki Guru Besar itu seraya berkata: “Ampuni aku, Raja dari semua Guru! Aku kesini tersesat!”
“Aku tahu. Aku juga tahu, kamu gres keluar dari tawanan Ki Pita Loka. Harap kamu tidak menghampiri ia lagi, kecuali jikalau saya sudah mati. Masa istirahatku sudah dekat. Kaprikornus saya akan lebih terbuka kepada siapa pun yang datang. Dan saya tahu. kamu tiba tanpa kamu sengaja!”
“Betul, Guru Besar”, Ki Rotan bersemangat, mencium kaki sang Guru lagi.
“Sekarang, berhentilah menciumi kakiku. Kakiku hanya suci selama 100 tahun saja. Jika kaki ini melanggar debu. Itu berarti masa tugasku berakhir. Bukit Tunggal ini akan menjadi berjulukan Bukit Tinggal, sebab ia kutinggalkan. Lalu, kamu ke sini sebab menginginkan sesuatu?”
“Ya, Ki Guru mulia!”
“Sebutkan apa yang kamu inginkan?”
“Sebuah Kitab”.
“Oh, anda akan gila menyerupai muridku Ibrahim Arkam menginginkannya. Kitab itu sudah ditemukan oleh seseorang, untuk seseorang. Dia tidak akan jatuh kepada siapa pun kecuali pada seseorang!”
“Jadi bukan tuan pemiliknya!” ujar Ki Rotan memberanikan diri.
“Bukan aku. Aku hanya mempunyai pasangannya!”, kata Ki Tunggal.
“Berikan pasangan Kitab itu padaku, Ki Guru! Aku akan memeliharanya!”
“Pedang Raja Turki yang kamu maksud?”, Ki Tunggal tersenyum dan tersenyum itu sudah semacam tertawa lebar bagi Guru seagung dia. Dan sembari tersenyum pula Ki Tunggal berkata: “Kau terlalu kotor untuk memegang gagangnya, apalagi memilikinya. Kini sebaiknya kamu pulang, sebelum tragedi menimpamu!”
“Aku kehilangan jalan pulang maka saya tersesat ke sini”, kata Ki Rotan. “Aku menyerupai kehilangan kesadaran sebab terusir dari Gua Lebah”.
“Bau stanggi itu yang membuatmu mabuk. Selagi asap stanggi di gua itu masih berada dalam paru-parumu, kamu masih dalam keadaan setengah sadar. Tapi apa boleh buat, kamu harus cepat enyah dan sini!”, mendadak bunyi Ki Tunggal menggelegar bagai petir, sehingga Ki Rotan keluar ketakutan, lari terbirit tanpa pamit.
Ia kembali menyerupai orang gila, berteriak di hutan belantara maupun di lembah yang menimbulkan bunyi gema yang menakutkannya sendiri. Tapi Ki Rotan yang sempoyongan itu menghentikan langkahnya dikala ia merasa terkepung oleh sembilan orang memegang tongkat.
“Siapa kalian?” tanyanya ketakutan.
“Kami pengawal Tuan Guru!”
Baru ia sadari, bahwa ia telah tiba di Bukit Rotan di tempat padepokannya sendiri.
Ketawanya menggelegar terbahak-bahak, dan semua muridnya heran. Seluruh pengalamannya di Bukit Tunggal malah ia lupa, tapi pengalamannya di Gua Lebah ia masih ingat.
Jarang-jarang sekali Ki Tunggal kelihatan gelisah menyerupai kini ini. Seperginya Ki Rotan ia menganggap kedatangannya itu mengandung sial atau suatu menunjukan buruk. Padepokannya hanya didatangi orang-orang yang benar-benar suci. Ini berarti, kekuatannya sebagai Harimau Tunggal sudah benar-benar diujung kiprah kehidupannya.
Dan malam ini ia bermimpi asing seorang perempuan muncul dan menyatakan dirinya sebagai isterinya! Ah, ini niscaya menunjukan buruk. Dia selama ini menepati kesepakatan tidak akan beristeri dan tidak menciptakan keturunan. Ia terjaga, dan ia penuh ketakutan sebab ia melihat air maninya sudah tertumpah.
Lalu, malam itu Ki Tunggal sengaja tirakatan. Dia semenjak siang tak makan, juga ia berniat tak tidur. Tapi ia toh ketiduran juga pada dinihari. Dia bermimpi lagi.
Seorang perempuan muda lagi muncul, tapi bukannya perempuan yang pertama tadi.
“Tuan serahkan Pedang Turki kepadaku. Mengingat masa jabatan tuan sudah menjelang akhir”, kata perempuan muda yang tak dikenalnya itu.
“Siapa kau? Aku tak mengundangmu ke sini”
“Aku anak orang sakti, dan murid orang sakti. Bila pedang itu tidak tuan serahkan padaku tuan akan mati dalam keadaan mengerikan, tidak diterima oleh bumi, tidak diterima oleh air, tidak diterima oleh udara!” Dalam inimpi yang amat mengerikan itu, Ki Tunggal menyerahkan Pedang Turki itu, satu benda yang merupakan kembaran Kitab Makom Mahmuda yang berisi petunjuk kehidupan.
Pagi hari Ki Tunggal bangkit dengan bermuram durja. Aku ialah harimau pertama dari dunia persilatan yang tujuh. Lalu ia menuju bak ikan, sebelah sungai yang sudah 100 tahun ia aliri airnya menjadi empang ikan. Dia bukan saja terkejut melihat ikan-ikan itu menjauh. Tapi sesudah permukaan empang itu tidak beriak lagi, Ki Tunggal melihat wajahnya bagai behadapan dengan beling di permukaan bak itu!
Aduh, apa gerangan Yang menciptakan wajahku berubah jadi muda? Diperhatikannya lagi wajahnya di permukaan bak itu. Dia melihat dirinya begitu muda perkasa.
Namun dikala dirabanya raut mukanya, ia rasakan lipatan keriput ketuaan.
“Tuan, tolong aku”“ terdengar bunyi berteriak.
Ternyata ada gadis hanyut. Ki Tunggal biasanya mempertanyakan diri lebih dahulu apakah itu insan atau jin. Apakah itu undangan baik atau buruk. Tapi kali ini Guru Besar itu begitu lincah meninggalkan empang ikannya berlari melompati batu-batu sungai itu, dan memungut gadis yang hanyut itu.
Gadis itu bagus dan menerbitkan birahi. Buah dadanya yang tertutup kain berair itu memperlihatkan putiknya yang menggiurkan. Ki Tunggal heran, dikala gadis ttu memuji: “Tuan muda dan ganteng tetapi lebih dari segalanya, Tuan baik hati. Di mana rumah tuan?”
“Di atas bukit itu”.
“Siapa nama Tuan?”
“Dadu Tunggal”.... Ujar Guru Besar itu, yang untuk pertamakali menyebut nama dikala mudanya.
“Siapa kau?” tanya Dadu Tunggal.
“Namaku Senik. Tadi malam saya bermimpi hanyut, dipungut oleh seorang Guru Perkasa, yang ternyata anda! Tapi tuan jangan terkejut, saya dihanyutkan air, sebenarnya dihanyutkan oleh Nasib!”
“Nasib?”
“Ya. Sayalah ladang tempat tuan mengembangkan benih keturunan!”
Mendadak Ki Tunggal sadar pada kesepakatan semula, pada gurunya, Ki Turki yang memantangkan ia memberi keturunan kepada wanita. Maka ia membentak Senik dengan bunyi menggelegar: “Penggoda kau! Laknat kau! Aku tidak diperkenankan memberi turunan!”
“Tuan boleh memakiku! Aku bukan perempuan penggoda! Aku dibawa nasib. Dan tuan
jangan coba-coba melawan aturan alam, sedangkan binatang dan flora pun mengalami perkawinan!”
Ki Tunggal terperangah. Dia duduk di batu. Senik tergiur melihat kegantengan laki-laki yang duduk di watu itu. Ganteng dan perkasa, dengan otot-otot yang kenyal bagai gulungan akar pohon.
“Jangan kamu hampiri padepokanku. Hanya orang suci yang berhak menghampirinya.
Kau sudah kutolong, jangan kamu celakakan saya lagi!” ujar Ki Tunggal.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel