Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 3 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Tapi waktu setengah jam itu masih cukup usang Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 3 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Tapi waktu setengah jam itu masih cukup lama, pikirnya. Dia meresapi tatapannya ke bintang Kejora yang sinarnya gemerlap itu. Mendadak dia mendengar bunyi gemersik di sekitar sebelah kanan pintu gua. Pita Loka melirik kesana . Memang ada sosok yang sedang menyusup di sela empat batang pohon langsat.
Pita Loka membalikkan tubuhnya membelakangi sosok yang mendekati itu. Sosok itu semakin merasa aman. Makin terang kalau dilihat seksama, dia mengenakan destar merah darah. Ya. Pita Loka pun sudah tahu bahwa insan yang mau menggempurnya yaitu Ki Rotan.
Dia tenang-tenang saja menghadapi kemungkinan itu. Tetapi,lima abjad yang terjalin dalam satu perkataan itu sudah mulai mengisi seluruh urat darahnya. Lidahnya bergerak, dan gerak pengecap yang mengucapkan satu perkataan awet itu semakin bergetar cepat, dan seluruh urat darah Pita Loka seakan sudah terisi dengan sekian juta kata-kata yang digerakkan lidahnya.
Ki Rotan sudah berdiri tegap dari gerak semula yang merunduk. Tongkat di tangannya sudah siap untuk dihantamkannya ke kepala Pita Loka. Kalau diteliti, jarak tegaknya Ki Rotan dengan Pita Loka yaitu syarat yang cukup untuk menghantam kepala Pita Loka hingga hancur.
Yang gelisah justru lebah-lebah itu. Lebah-lebah itu tampaknya tak sabar untuk keluar dari pintu gua. Tapi melihat ketenangan majikan yang memeliharanya, lebah-lebah yang gelisah itu hasilnya mirip berbisik-bisik saja. Mendengar bunyi lebah itu berbisik. Ki Rotan jadi ragu.
Bahkan dia makin tegang. Keringat hambar mulai mengalir sementara peganganya pada gagang tongkat semakin kuat.
Mendadak Ki Rotan bagai mengamuk berteriak nyaring sembari menghantamkan tongkatnya sempurna di tengah batok kepala Pita Loka. Dari permukaan kepala itu tampak bagai kilat disertai bunyi penggalan kaca. Tongkat itu sendiri sehabis menghantam sasaran sebab dipegang amat besar lengan berkuasa gagangnya oleh Ki Rotan menciptakan Ki Rotan membal ke udara.
Namun ia jatuh kembali ke bumi dengan pegangan tongkat yang kukuh dan telapak kaki tegak perkasa. Ki Pita Loka, yang masih berdiri tenang, dengan kedua tangan berlipat di dada, kemudian membalik 90 derajat, ketika mana satu hantaman tongkat menghantam leher kirinya. Tapi kembali tongkat itu membal bersama Ki Rotan yang juga terlempar ke kiri.
Pita Loka maju selangkah. Ketika Ki Rotan mengayunkan tangkatnya lagi mau menghantam leher kanan Pita Loka, ketika inilah Ki Pita Loka menyambut hantaman itu dengan tangan kirinya, kemudian tongkat yang sudah terpegang itu dia pusingkan melingkar di atas kepalanya. Ki Rotan mirip dipermainkan mirip sirkus dengan keraguan tak berani melepaskan pegangan tongkatnya. Setelah sekian putaran mempermainkan Ki Rotan begitu sempurna pada waktu pegangan Ki Pita Loka dia lepas hingga Ki Rotan dan tongkatnya menyerbu masuk pintu gua yang terdiri dari rubungan lebah-lebah. Lebah-lebah yang terkena goresan itu seketika itu juga jadi murka dan begitu Ki Rotan ambruk di sekitar pendapa gua, pribadi saja dia dikerubuti lebah-lebah yang ribuan jumlahnya.
Aneh sekali. Keadaan yang menghebohkan itu tidak menciptakan Harwati terbangun.
Ketika Ki Rotan sudah diantup habis-habisan oleh pasukan lebah itu, tanpa sanggup bergerak lagi, waktu itulah Ki Pita Loka memasuki pintu padepokanya itu dengan langkah tenang. Dia bangunkan Harwati.
Tapi dia tak memberitahu apa yang terjadi biar konsentrasi Harwati jangan meleset Harwati dituntunnya menuju gentong besar yang terbuat dan tanah liat selama selikur hari dulu, di kala ia menuntut ilmu pertamakali sebelum Harwati diguyurnya, Ki Pita Loka mengajarkan satu perkataan yang terdiri dari lima hurup. Dan perkataan itu diulang-ulangi dengan pengecap hingga meresap.
Dari lambat semakin cepat. Dan begitu Harwati selesai diguyur…dia kemudian pingsan.
Ketika itulah Harwati digotong oleh Pita Loka dan ditaruh di atas susunan kerikil batu, yang selama ini menjadi tempat tidurnya. Dan dalam tempo seperempat jam, Harwati kembali sadarkan diri. Begitu dia sadarkan diri dia kaget seketika sebab dia sudah dalam keadaan berpakaian.
Padahal tadi rasanya dia masih mandi diguyur. Harwati duduk. Dia tiba-tiba terdongak kaget melihat sosok yang membengkak, Ki Rotan, dalam keadaan mengerikan.
Sungguh luar biasa! Harwati tercengang sebab Ki Pita Loka, Gurunya, justru sedang melaksanakan pengobatan atas diri Ki Rotan. Pengobatan itu pun amat sederhana. Hanya ibu jari sang Guru digosokkan pada langit-langit mulutnya, kemudian jempol itu diusapi pada kening Ki Rotan, dan bisul di seluruh badan Ki Rotan jadi kempis.
Ki Rotan sadarkan diri secara amat mencengangkan. Dia melihat Harwati dan berkata;
“Kau murid yang tak pernah berhenti durhaka, Wati”
“Sebaiknya anda pergi, Ki Rotan. Semua yang anda alami, merupakan bukti, bahwa saya ini bukan lawan anda” kata Ki Pita Loka.
Harwati membisu sembari memikirkan sesuatu. Sesuatu yang tak mungkin terbaca oleh perasaan Ki Pita Loka.
Ki Rotan berdiri. Ketika ia mencari tongkatnya, Ki Pita Loka memberi tongkat itu kepadanya. Seraya berkata: “Ilmu yang anda punyai hanya sepanjang tongkat yang anda pegang”.
“Tapi ilmu Tuan Guru pun sebanyak asap stanggi yang mengepul itu. Bila asap itu habis. Habislah ilmu anda, Ki Pita Loka”, kata Ki Rotan.
“Sudah jangan banyak bicara lagi. Anda sudah saya usir secara baik-baik, Ki Rotan.
Jangan masuki wilayah ini lagi, kecuali kalau anda mau tidak selamat”, kata Ki Pita Loka.
Namun dengan getol Ki Rotan menjawab: “Tahukah anda selain saya kini ini banyak lagi orang yang ingin mendapat Pedang Raja Turki dan Kitab Makom Mahmuda yang anda sembunyikan? Untuk itulah saya ke sini!”
Ki Pita Loka terdongak kaget. Dia memang pernah menyaksikan dua benda yang disebut Ki Rotan itu. Tapi bukan dalam keadaan nyata atau konkret. Tapi hanya dalam enam kali mimpi!
“Anda kaget dengan ucapanku, bukan? Pernah kutemui seorang pengembara tua, namanya Ki Ibrahim Arkam. Dia mengira akulah yang mempunyai dua benda sakti itu.
Dari dia saya mengetahui. Dan kini anda terkejut! Hah, jangan kuatir, Guru besar . . .
saya akan kembali!”
Menjelang dia melangkah berlalu, dia menoleh pada Harwati dan berkata dengan sopan: “Belajarlah dengan baik padanya. Lalu ambil ilmunya!”
Harwati jadi gugup. Dia kuatir dianggap Ki Pita Loka pada suatu ketika akan berkhianat. Begitu pun sehabis Ki Rotan berlalu, dia tanpa diminta berkata: ““Tuan Guru, saya tidak akan mengkhianati anda!”.
“Oh, buatku sama saja. Kau berguru padaku, setia atau berkhianat itu sama saja”, kata Ki Pita Loka. Lalu Ki Pita Loka bertanya pada Harwati: “Pernahkah kamu dengar perihal Pedang Raja Turki itu?”
“Tidak, Ki Guru!”
“Pernah kamu dengar perihal Kitab Makom Mahmuda?”
“Juga tidak, Ki Guru!”
“Lalu untuk apa kamu tiba ke sini?”
“Hanya ingin belajar”.
“Setelah selesai?”
“Saya siap menjad pengawal anda”. kata Harwati.
“Sekiranya Guru Gumara mendadak tiba ke mari, apa tindakanmu?”
Harwati cepat menjawab: “Saya anjurkan pada saudara tiriku itu biar menjadi pendamping anda!”
“Dusta!” Ki Pita Loka menuding marah. “Kau kira saya tidak tahu isi hatimu? Kau menyayangi Guru Gumara, betulkan ?! “
Terkena tanya yang amat mengerikan ituu, Harwati sigap menjawab: “Tidak! Kami lahir dari satu ayah. Mana mungkin dua anak Ki Karat saling mencintai? Apalagi menuju ke jenjang suami isteri? Cuma anda, Ki Guru yang mulia, yang masuk nalar untuk menjadi pendamping Guru Gumara!”
“Ucapanmu menghibur”, kata Ki Pita Loka.
“Itu logis. itu masuk akal!” kata Harwati. “Beda denganku. Aku satu titiisan darah dengan dia”
“Oh, begitu”, mata Ki Pita Loka kemudian menjadi berbinar menahan marah, dan dia menuding lagi: “Kau mendustai saya ketika pertama kali kamu tiba mengecoh diriku, menyampaikan membawasurat Guru Gumara. Atas dasar apa kamu kecoh diriku dengan surat dustamu?”
“Supaya saya diterima Tuan Guru dengan baik”, kata Harwati.
Ki Pita Loka merasa ada bunyi berdenging dari arah tirai stanggi itu, menunjukan tak baik. Dia pribadi sadar bahwa iblis sedang menggodanya. Lalu dia berkata: “Mari kita habisi dongeng Gumara. Kau tidak akan mendapatkannya mirip alasan yang kamu katakan, dan saya pun tidak akan mendapatkannya sebab alasan pribadiku pula”
“Alasan apa. Tuan Guru, kalau boleh saya tau?” tanya Harwati.
“Syarat terberat, bahwa saya dihentikan termakan pada lelaki mana pun. Makara ini berarti: termasuk Guru Gumara. Mari kamu kutambah dengan tingkat ilmu lebih tinggi!” kata Ki Guru Pita Loka.
Ki Rotan, sementara itu melangkah sempoyongan tanpa tahu arah lagi. ia beteriak- teriak di tengah hutan belantara. dan kehilangan arah mencari Bukit Rotan, padahal ia harus kembali ke padepokan.
Sekonyong, sehabis suaranya menjadi serak sebab beteriak, dia tercengang sudah tiga ahad perjalanan ternyata tersesat ke Bukit Tunggal! Ki Rotan gugup dan ketakutan. Sebab sudah menjadi ajang dongeng selama ini, siapa pun yang masuk ke wilayah Ki Tunggal maka kalau tanpa izin, niscaya akan mengalami hukuman.
Ki Tunggal yaitu Guru dari Semua Guru, sungguh pantangan menemui dia tanpa ada petunjuk sebelumnya.
Pondok padepokan Ki Tunggal seluruhnya terbuat dari daun nipah. Itu sudah tampak dari jauh oleh Ki Rotan. Tapi beradanya Ki Rotan di daerah Bukit Tunggal sudah pula diketahui oleh Ki Tunggal. Kendati dia ketika itu berada dalam kamar petapaannya.
Dia melihat seorang lelaki sempoyongan di bawah pohonan cendana.
Menuju Pondoknya. Dia melihat bukan dengan mata! Tapi dengan hati. Dan dengan ilmu gelombang dia lingkari tamu tak diundang itu, biar masuk ke dalam orbitnya.
Dan memang, Ki Rotan berjalan sempoyongan mirip ditarik oleh magnet. Kekuatan daya tarik, yang menciptakan dia seolah-olah mengalah oleh tarikan itu.
“Hai, Ki Rotan, sibakkan daun pintu itu. Dan masuklah”, terdengar bunyi Ki Tunggal dari dalam. Hal ini menciptakan Ki Rotan ngeri, tapi dia bahagia juga sebab mendengar keramahan bunyi Guru Besar tadi. Dia sibakkan pintu daun nipah itu. Dengan amat santun dia masuk. Tapi tak ada orang. Dia kemudian ngeri dan bagai orang mabuk dia ingin muntah-muntah. Lalu dia menggelepar-gelepar di lantai tanah liat itu, namun tetap memegang tongkatnya. Satu-satunya yang masih sadar dia lakukan!
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel