Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 2 - Seri Tujuh Insan Harimau

 bahwa perempuan si jelek muka tadi sudah memasuki gua Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 2 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Pita Loka sadar, bahwa perempuan si jelek muka tadi sudah memasuki gua. Dia melangkah cepat menuju pintu gua. Dan dikala ia menerobos memasuki tabir asap setanggi itu, Pita Loka terseyum mendapat perempuan jelek muka tadi. Ular belang piaraan Pita Loka yang menggigit perempuan jelek muka itu, sudah memulihkan keburukan lukanya itu dengan bisa penyembuhan. Tapi memang untuk sementara perempuan yang berubah jadi manis itu harus pingsan sementara putaran setengah matahari.
“Harwati . . . “. Pita Loka bergumam.”ilmu apa yang kamu sudah pelajari hingga kamu begini busuk hati?”
Namun, Harwati yang diajaknya bicara itu tiada mendengar. Antupan bisa ular masih dalam proses pengobatan hingga kelak Harwati akan mantap menjadi insan biasa, menyerupai apa adanya. Ilmu hitamnya yang jelek itu, seburuk wajahnya yarag mengerikan itu. akan musnah sesudah putaran setengah matahari nanti.
Dan saking ngebetnya untuk mendapatkansurat Gumara seluruh badan Harwati digeledahnya. Pita Loka terpaksa tutup hidung, lantaran badan yang bagus itu bau.
Memang inilah ciri ilmu hitam, yang pantangannya yaitu mandi. Pita Loka tersenyum sinis: “O, betapamalang nasibmu Wati!”
Dan enam jam sesudah lewat masa pingsannya, wajah yang semula melepuh lantaran mengidap ilmu hitam itu berangsur berkembang menjadi licin. Mata Harwarti melek. Dia menyerupai keheranan dan berseru: “Pita Loka!”
Dan Harwati tampak keheran-heranan melihat keadaan sekitar. Dia melihat obor yang menyala lestari. Dia melihat tabir asap yang muncul dan permukaan bumi dalam gua itu.
“Begitu usang kamu mengasingkan diri di sini?” tanya Harwati.
“Dan kau? Berapa usang kamu tidak mandi?” tanya Pita Loka.
Pita Loka kemudian tersenyum sejenak dan berkata: “Coba resapi amis tubuhmu itu dengan hidungmu!”
“Ah amis sekali” kata Harwati kemalu-maluan sesudah mencium amis tubuhnya.
“Dengan siapa kamu belajar, Wati?” tanya Pita Loka.
“Seorang guru tua. Ki Rotan, apakah kamu pernah mendengar namanya?”
“Aku tahu siapa dia. Ketika saya menjelang hingga ke Gua Lebah ini, saya melewati hutan rotan. Seorang kurang pandai mengajak saya berguru pada Ki Rotan dengan syarat tidak menikah seumur hidup. Tapi hasilnya saya melarikan diri hingga sampailah saya di sini. Apa kabar Gumara sekarang? Dia tidak jadi menikah dengan kau, barangkali?”
Harwarti hanya meggelengkan kepala.
“Dia saudara seayah denganku”. katanya, yang menciptakan Pita Loka terkejut yang tak sanggup disembunyikan lagi.
“Kalau begitu saya berminat untuk meninggalkan gua terasing ini”. kata Pita Loka.
“Ingin kembali ke Kumayan?” tanya Harwati.
“Ya”, sahut Pita Loka.
“Kalau begitu berikan ilmu kesaktianmu untukku!” ujar Harwati bersemangat.
Pita Loka terdiam. Lalu menggelengkan kepala dan berkata: “Tidak bisa seluruhnya.
Hanya setetes yang bisa kuberikan padamu. Dan sia-sia kalau kamu menganggap kesaktian ilmuku dari biji tasbih yang seribu biji ini. Tidak, Bukan di sini kekuatan ilmuku!”
“Ajari aku!” kata Harwati.
“Jiwamu harus higienis dari segala nafsu apa pun, gres kamu mendapatkannya. Dan itu sulit bagimu. Harwati! “ kata Pita Loka dengan ucapan mantap.
“Kenapa?”
“Karena saya melihat dalam dirimu ada perilaku tak jujur, iri hati, serakah. Tapi yang akan lebih menyulitkan kamu yaitu sifatmu yang suka berkhianat”. Itu diucapkan oleh Pita Loka dengan polos. Tanpa minta maaf lebih dulu. Ditatapnya mata Harwati. Dan Harwati yang mempunyai sifat “rai gedeg” itu tidak memperlihatkan perasaan tersinggung.
“Lalu untuk apa bekerjsama kamu tiba ke Gua Lebah ini, Wati?”
Dengan nada menduakan Harwati menjawab :”Aku berguru padamu!”
“Betul?”
“Betul”.
“Dan siapakah gerengan yang menyuruh kamu berguru padaku?”
“Tidak ada. Hanya atas kemauanku sendiri”. ujar Harwati.
Dan ia sudah berdusta. Tampaknya permainan dustanya itu begitu hebat, sehingga tak diketahui Pita Loka.
“Lalu, apabila kamu sudah mendapat ilmuku, apa yang hendak kamu lakukan?”
“Terserah pada Guru. Kau Guruku. Seorang murid harus patuh pada perintah sang Guru”, kata Harwati.
“Bagus. Kaprikornus kamu ke sini secara mutlak ingin mendapat ilmu Sakti dariku. Tanpa ada yang meyuruh”, kata Pita Loka.
“Ya, tanpa ada yang menyuruh”,
“Pada Ki Rotan ilmumu sudah tamat?”
“Aku justru melarikan diri. Aku diberi makan cacing-cacing. Aku tak diperkenankan tidur sepicing mata pun!”
“Kasihan”, kata Pita Loka.
“Dan bagaimana persyaratan mendapat ilmumu?” tanya Harwati.
“Tidak bisa tidur itu termasuk mutlak. Hal itu ada dalam tuntutan ilmuku. Tapi berapa usang kamu sudah menjadi murid Ki Rotan?” tanya Pita Loka.
“Baru pada tahap pertama. Hanya seratus hari. Hal ini kulakan sesudah saya patah hati.
Karena ternyata Gumara yaitu saudara seayah dariku, lain lbu”.
“Oh, bahagia saya kali ini mendengar kejujuranmu. Tapi tahukah kamu berapa usang kamu harus berguru hingga sanggup setetes ilmuku?”
“Setetes? “ Harwati kaget.
“Nah itu satu bukti kamu serakah. Setetes ilmuku yang kamu dapatkan itu harus kamu tempuh dalam waktu 1000 hari, lebih dari 2 tahun setengah!”
Harwati tersenyum licik dan berkata: “Kalau berguru dengan kau, buatku 1000 hari tak mengapa. Aku akan menjadi murid yang tekun, Pita Loka!”
Diantara belitan pohon-pohon rotan yang rapat, Ki Rotan pada waktu matahari terbenam mendadak sontak berkelit menyerupai menangkis serangan. Dia menyerupai merasa mendapat serangan halus dari arah kulon. Dia berkelibat lagi memasang kuda-kuda seakan musuh sudah dalam jaraklima depa saja.
Limaorang muridnya ikut berkelibat.
“Adaapa Ki Guru?” tanya Pongga.
“Adayang berkhianat!”
“Utusan tuan Guru?”
“Ya. Puteri Ki Karat bedebah itu! Dia kuutus untuk mencuri ilmu Ki Pita Loka. taunya berkhianat”.
“Ini matahari sudah terbenam dua kali. Dia belum juga kembali!” dan Ki Rotan berkembang menjadi macan tutul beringas.
“Perlu saya menyusul?”“ tanya Pongga.
“Tidak perlu! Kalau perlu saya yang menyusul. Dua kali matahari terbenam Harwati belum kembali, itu berarti ada dua kemungkinan: Pertama, ia berkhianat menuntut ilmunya Ki Pita Loka. Kedua, kemungkinan ia salah siasat kemudian mati dibunuh”
Dugaan Ki Rotan meleset. Harwati tidak berkhianat. Dan Harwati tidak dibunuh. Dia dengan tekun sehari suntuk semenjak matahari terbit hingga terbenam. mengangkat kerikil kali menuju gua, itu yaitu latihan pertama yang harus dilakukanya selama 40 hari matahari terbit dan terbenam.
Memang latihan itu amat berat. Tapi berdasarkan Pita Loka, dikala ia mendapat ide dari ilmunya yang kini ia miliki ini hal yang ia perbuat sama menyerupai Harwati.
Harwati sendiri belum melihat setinggi apa mutu ilmu Pita Loka. Tapi setiap pagi ia melihat betapa terlatihnya Pita Loka melompat dari pohon ke pohon yang jaraknya sekitar 20 hasta, tanpa berpegangan tangan. Dan bila matahari tegak lurus di langit, Pita Loka turun dan latihan lompat melompat itu dengan membawa aneka macam macam buah-buahan. Dengan masakan buah itulah makan siangnya. Di sekitar wilayah kekuasaamya ini tidak pernah mereka makan nasi.
Pengalaman Harwati di perguruan tinggi Ki Rotan masih makan buah-buahan umbi yang direbus. Kadang kalau Pongga berhasil merampok, perbekalan beras cukup untuk dua ahad di perguruan. Biar pun jatah beras atau makan nasi atau ubi rebus tidaklah banyak, tapi di daerah Pita Loka ini rasanya suasana perbekalan masakan haruslah seadanya. Dan mengangkut batu-batu kali yang besar itu menguras tenaga dan menciptakan perut simpel lapar.
“Apa kamu tak kuat?” tanya Pita Loka di hari ketiga.
“Kuat”, ujar Harwati.
“Jika kamu tak kuat, kamu boleh kembali ke padepokan Ki Rotan”.
“Tidak. Aku akan betah di sini”.
Dan tanpa diduga rupanya hanya tujuh hari Harwati yang diberi jatah makan buah- buahan di siang hari. Pada malam menuju hari kedelapan, Harwati mendengar kata-kata gurunya; “Mulai hari kedelapan hingga hari ke limabelas, kamu tidak sanggup jatah makan buah-buahan siang. Tapi bukan kamu saja. Aku ikut tak makan siang”.
Sungguh letih pada hari-hari harus berpuasa menunggu sembari mesti mengangkat kerikil kali. Tetapi sesudah dialami, memang ia bisa juga. Dan tidurnya sehabis berbuka dikala matahari terbenam, amatlah nyenyak.
Dan dikala memasuki hari selikuran, Pita Loka berkata:
“Ini hari ke-21 kamu belajar. Tugasmu kini ini, hingga hari ke-40 yaitu memulangkan kembali seluruh kerikil yang kamu angkut ke Gua.”
Harwati melotot kaget: “Memulangkannya kembali? Kaprikornus apa gunanya diangkut?”
“Semua latihan ada gunanya”, sahut Pita Loka.
“Ki Pita, apa ini bukan olok-olok?”
“Kau tak boleh membantah. Sekali lagi kamu membantah kamu akan saya usir kembali ke padepokan Ki Rotan”, kata sang Guru mengancam.
Dengan perasaan jengkel, takut dan kuatir, Harwati mengikuti mata pelajaran yang baginya belum terperinci itu.
Dua hari menjelang hari ke-40, Harwati tergelincir dikala membawa kerikil kali ke kali lembah di bawahsana itu. Pita Loka bagai terbang dari pohon ke pohon dengan lompatan-lompatan yang agak menyerupai lompatan orang hutan. Dan ia mendapati Harwati di bawah dalam keadaan tidak pingsan. Pita Loka tersenyum dan menepik pundak Harwati: “Berdirilah dengan tegap. Kau gres mengalami jatuh satu kali. Ketika saya berguru lewat ilham, saya mengalami 7 kali jatuh. Kau bakal menjadi murid istimewa, Wati”.
Pujian itulah yang mendorong semangat Harwati mengangkut kerikil dari gua ke lantai lembah. Dan hingga hari ke-40 itu selama dua hari ia mengalami jatuh tergelincir sebanyak 6 kali.
“Baru saya tahu”, ujar sang Guru, “Tiap mata pelajaran akan mengalami 7 kecelakaan”......
Tengah malam dikala Harwati tidur pulas, Pita Loka masih memandangi bintang gemintang di langit yang biru kelembayungan. Sekitar setengah jam lagi, Pita Loka mesti melaksanakan upacara penting kenaikan tingkat ilmu. Yaitu awal dari pengisian ilmu pada muridnya. Kembang tujuh rupa sudah disiapkan dalam segentong air. Nanti sempurna dikala bulan itu menyudut 45 derajat berarti tengah malam tepat, Harwati akan dimandikan dengan guyuran air kembang itu.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel