Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 10 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Rupanya persilatan inilah yang dikenal hingga jadi semacam dongeng di Kumayan Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 10 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Rupanya persilatan inilah yang dikenal hingga jadi semacam dongeng di Kumayan. Mengagumkan. Makin terang sinar matahari tampil, semakin terang pula Pita Loka dalam intipannya di balik dedaunan. Kerinduannya pada muridnya kini bergumul dengan kecemburuan.
Kecemburuan inilah yang menciptakan dadanya sesak…Dia cepat merayapi dinding tebing tanpa menyentuh lagi permukaan sungai. Demikian cepatnya gerak merayap itu mirip seekor cicak layaknya! Dan seketika ia muncul di tebing Bukit Lebah, menyaksikan Pita Loka seketika itu bersama pria, ia berteriak tanpa sadar, sekeras gemuruh dari daerah langit: “Pita Loka! Aku Gumara!”
Ki Pita Loka bangun berdiri tegap. Matanya menatap tajam pada Gumara. Tangannya dilipat ke dada menambah wibawa.
“Untuk apa Bapak ke sini?” tanya Pita Loka.
Gumara terdiam. Matanya melirik pada laki-laki yang tak dikenalnya itu. Pria itu berpakaian safari pemburu, begitu modern, begitu gagah. Dan tanpa diduga Pita Loka tersenyum melihat dua lelaki yang kelihatan berkobar cemburu. Kedua-duanya tak dapat merahasiakan.
“Kesempatan bagimu, Dasa, berguru pada seorang Guru yang mahir Gumara seorang Guru, Dasa!”
Dasa Laksana tanpa ragu lagi berkata bagai kilat: “Mari saya coba Guru!” dan satu tendangan melingkar menciptakan Gumara terpelanting ke dahan pohon. Ikat pinggangnya menyangkut. Dan sepertinya lucu sekali ia tergantung di dahan pohon itu. Dasa Laksana ketawa lebar mencemoohnya.
Kejengkelan membuahkan rasa marah. Kemarahan menciptakan Gumara jadi kalap. Dia cuma berkelit sedikit sehingga dalam sekelebatan tubuhnya jatuh ke tanah yang seketika itu juga ia menguakkan lompatan tujuh kali untuk kemudian melaksanakan satu tendangan buas. Tendangan itu sempurna menciptakan telapak kakinya menggedor dada Dasa Laksana.
Melihat darah mancur dari mulutnya, Dasa Laksana bukannya takut tapi ia pun kalap. Ki Pita Loka cuma menonton mirip wasit. Dia hanya bergerak sedikit untuk memungut segumpal darah Dasa kemudian melemparkan darah itu ke udara. Dasa bertambah besar lengan berkuasa kembali, sehingga ketika satu tendangan lingkar Gumara mau menyabet tubuhnya, ia sergap perut Gumara dengan kedua tanganya dan ia sendiri ikut dalam bulat badan Gumara yang berputar bagai gasing alasannya yaitu tendangannya kosong. Keduanya jatuh bergulingan. Dan ketika Gumara sudah berada di tepi tebing, melihat hal itu menciptakan Pita Loka berteriak:“Gumara... !”
Dasa Laksana yang menoleh pada bunyi yang ia dengar. Kesempatan itu menciptakan Gumara memanfaatkan tendangan tumit kakinya yang menggedor leher Dasa Laksana yang berteriak nyeri. Namun, bila ia tak berteriak ... ia niscaya sudah mati. Teriaknya mengendorkan urat pernafasan lehernya, sahingga dalam keadaan wajahnya berlumuran darah ia eksklusif melaksanakan lompatan dari dahan ke dahan sembari kakinya silih berganti menghajar dada maupun punggung Gumara. Gumara tersungkur. Dasa Laksana melompat dari dahan dan dua kakinya sengaja diinjakkannya ke pinggang Gumara supaya tulangnya remuk.
Gumara tiba-tiba ingin mengeluarkan ilmu harimaunya. Namun keraguan untuk menyembunyikan ilmunya dari kesaksian Pita Loka itulah yang menciptakan ia ditampar oleh telapak kaki kiri kanan Dasa Laksana yang bergelayutan lincah di dahan pohon.
Tampaknya Gumara tak berdaya hanya lantaran ia ragu untuk mengeluarkan ilmunya. Kesabarannya untuk tidak mengeluarkan ilmunya yang aseli memang luar biasa! Ki Pita Loka tahu akan hal ini. Dia menaruh hormat pada Gumara yang sedang kenyang disiksa Dasa Laksana. Karena perilaku sabar begini hanya dimiliki Guru-Guru Besar.
Melihat Dasa Laksana keliwat berangasan menghajar Gumara itu. Ki Pita Loka memperingatkan: “Berhentilah berkelahi!
Percuma saja! Kalian berdua toh tidak akan mendapat apa yang kalian rebutkan!” Serentak Dasa Laksana menghentikan siksaannya menyepak kepala Gumara dan Gumara membenamkan nafas tunggal ke jantung, kemudian mengisi tenaga dalamnya sebelum ia berdiri tegak.
Siksaan sudah berhamburan ia terima. Namun melihat sosoknya yang berdiri dengan nafas teratur, mengakibatkan semangat liar di hati Dasa. Dia terjang badan yang tegak berdiri itu dengan satu tendangan mencuat yang menciptakan Gumara terlempar jauh.
Dua pohon langsat roboh jawaban tendangan Dasa yang menciptakan badan Gumara membentur pohon-pohon itu.
Ki Pita Loka menjadi jengkel.... Dia melaksanakan tiga lompatan lewat dahan dan pada lompatan keempat sekaligus dua kakinya mengepit lengan Dasa, nadinya terhenti sesaat yang menciptakan lelaki gagah itu pun pingsan,,,
Kepingsanan ini memang dikehendaki Pita Loka.
“Bukan perkelahian kalian berdua yang berjam-jam itu yang saya kagumi, Pak Guru”. ujar Pita Loka. Lalu ia teruskan ucapannya: “Pak Guru mungkin berkelahi dengan penuh kesadaran. Tapi si Dasa tidak. Saya sudah sembahyang subuh, sembahyang lohor dan asyar. Kalian tetap saja berkelahi tenaga. Tapi saya rasa Pak Guru cuma memainkan jurus-Jurus bunga saja. Tujuan anda ke sini mungkin ingin mengetahui diam-diam ilmu stanggi saya”.
“Tidak”, ujar Gumara.
“Ah, saudara tirimu ke sini, berguru dari saya, dan saya memberikannya dengan tulus.
Tapi bila ilmuku sepuluh jari. Dia gres mendapat satu kelingkingku!” Pita Loka dengan sadar memancing kemarahan Gumara.
“Saya ke sini…”, kalimatnya terhenti, lantaran Dasa Laksana yang mendadak siuman itu sudah bangun dan seketika itu juga melompat bagai kesetanan dengan dua kaki menyergap tengkuk Gumara. Gumara membiarkan kaki itu mengepit. Tapi gumpalan tinjunya seketika menghajar tulang tumit Dasa Laksana, sehingga Dasa Laksana menjerit. Dia melangkah terpincang-pincang. Ki Pita Loka kali ini geram dan malu.
Dengan prihatin ia hampiri sang murid yang pincang itu. Jempol jarinya ia usap pada langit-langit mulutnya, kemudian jempol itu membarut tumit Dasa Laksana.
Tumit yang hancur itu mendadak utuh kembali, dan Dasa Laksana mendengar bunyi Sang Guru: “Usir ia dari daerah ini!”
Maghrib terlewatkan sehingga Ki Pita Loka tak sempat melaksanakan ibadat sembahyangnya. Ini lantaran ia berkonsentrasi melaksanakan dukungan atas muridnya. Dia berdiri tegak meniupkan gelombang pernafasannya ke arah badan muridnya semoga kekuatannya masuk ke badan Dasa Laksana.
Gumara mengetahui bahwa Ki Pila Loka telah “mengisi” muridnya dengan gelombang tingkat tinggi. Ketika ia terlempar dalam jarak sepuluh meter menggelinding ke potongan bukit yang rendah, ia tetap pada keputusan tidak mengeluarkan ilmu intinya. Namun otak matematika dan fisika bekerja seketika. Satu kekuatan bergelombang tinggi. Bisa memisakahkannya. Hal itu harus dilawan dengan kekuatan gelombang terendah. Ia segera mengosongkan tubuhnya, mirip seorang yang keluar darigaya berat bumi. Ia melayani pukulan-pukulan Dasa Laksana yang dahsyat bukan dengan gerak maju, tapi seluruhnya menyediakan diri dengan gerak-balik. Satu tinju menghantam perutnya. Gumara menekuk perutnya ke belakang sehingga tinju itu hanya mengenai permukaan kulit perut. Gumara sempat melirik beberapa detik ketika ia mundur dihantam. Melirik pada Ki Pita Loka yang begitu bersemangat “mengisi” muridnya dengan tiupan-tiupan gelombang. Daun-daun dari ranting pohon mengikuti arah angin gelombang ketika Ki Pita Loka meniupkan isiannya ke setiap langkah Dasa Laksana.
Dalam kelebatan perkelahian yang menuju waktu fajar menyingsing ini, Gumara sempat terjebak oleh emosi. Dia berniat untuk sekali waktu nanti, kembali ke Guha Lebah. Untuk mengambil ilmu inti yang penuh misteri ini. Ilmu inti tirai stanggi.
Sebab sekeliling daerah perkelahian ia rasakan sudah diliputi bau stanggi, bahkan bau belerang.
Ia yakin, ilmu yang dimiliki Ki Pita Loka berasal dari inti lahar, magma dalam bumi,yang mungkin ada salurannya ke Guha Lebah. Waktu itu kesempatan berfikir ada padanya, lantaran tendangan Dasa Laksana yang menjurus ke kepalanya ia elakkan.
Sehingga kaki Dasa Laksana kejeblos masuk ke dinding satu bukit kecil curam, hingga ke dengkul. Ki Pita Loka berlompatan dari dahan ke dahan menuju Dasa Laksana. Lalu mengeluarkan kaki muridnya yang kejeblos itu. Segera sang Guru mengobati muridnya dengan lendir langit-langit mulutnya. Gumara bahwasanya ada kesempatan untuk menghantam urat maut pada leher belakang Ki Pita Loka ketika itu. Tapi tidak! Dia tak mau main silat secara sekelit. Dia ingin tahu, dengan keasyikan yang belum pernah ada padanya mirip kini Ini: mencoba gelombang terendah, menyerupai satu roket kecil, yang terbang amat rendah hingga berada di bawah radius radar, Dasa Laksana dengan teriakan nyaring melompat ke udara, terjun ke bumi dan membal beberapa kali untuk kemudian melaksanakan sapuan tendangan yang menabrak Gumara secara spiral. Gumara menekuk diri sehingga semua gelombang rendah terkumpul dalam dadanya. Hal ini menciptakan hantaman kaki kanan Dasa Laksana menyerupai menghantam ban mobil. Dia membal terjungkir ke belakang. Dengan gerak spiral terbalik.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel