Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 11 - Seri Tujuh Insan Harimau
Senin, 01 Desember 2014
Sebelumnya...
Kepalanya menabrak pohon. Gumara tahu, murid setia Ki Pita Loka sudah pingsan seketika itu juga. Bayangkan! Benturan itu sempat mematahkan pohon! Gumara bersikap amat hening menghadapi Ki Pita Loka! Guru berhadapan dengan Guru. Matahari yang mulai bersinar, kebetulan menimpa muka Pita Loka, sehingga terang bahwa Pita Loka amat marah, dia dengar Pita Loka membentaknya: “Pergi kau dari sini! Aku tidak membutuhkan kamu!”
Itu bagi Gumara satu penghinaan. Dia bukan ingin pergi, tapi ingin melanjutkan perkelahian, jikalau perlu dengan Guru terhormat dan populer ini.
“Jika muridmu sudah pingsan, Ki Pita Loka, itu berarti dia harus diganti..... Tuan tentu maklum, Guru yang kuhormati” kata Gumara.
“Aku? Aku tak layak untuk berhadapan dengan anda”, ujar Ki Pita Loka dengan nada angkuh. “Sekalipun kau bersama saudara tirimu Ki Harwati, Ki Rotan dan lain-lain itu, semuanya masih sebesar kelingkingku!”
Dasa Laksana barusan sadar dari pingsannya. Dia berada di sebelah timur.
Dilihatnya Ki Pita Loka berdiri berhadapan dengan Gumara. Sang Guru, berada di sebelah barat Sehingga sorot matahari seperti mau memperlihatkan kecantikan sang Guru secara sempurna. Birahi sang murid bangkit, disertai cemburu besar. Gumara harus dimatikan! Dia telah didorong oleh harapan mendapat ilmu Gurunya secara tepat dengan bersatu badan sehabis perkelahian memusnahkan Gumara. Tekad itulah yang menciptakan Dasa Laksana sepenuh tenaga muncul di antara berdirinya Pita Loka dan Gumara. Ia pribadi berhadapan dengan Gumara. Dia menjadi jengkel saat Ki Pita Loka berkata: “Ayohlah! Bertempur melawan muridku! Dia muridku, bukan suamiku, bukan pula kekasihku! Ayoh lawan dia!”.
“Kau tak suci lagi”, tuduh Gumara.
“Tak suci? Jika kunodai hatiku dengan godaan iblis, maka tirai stanggi akan runtuh menjadi sumur. Itu harap anda ketahui, Guru! Dan saya tidak ingin melepaskan ilmu yang saya dapatkan secara ghaib dalam keadaan hati merasa alasannya yaitu perilaku ragu engkau, Guru”.
Jika demikian fikir Gumara seketika itu, tentulah dia menyayangi saya! Dia lari ke pengasingan ini karera harga diri! Dia musuhi saya alasannya yaitu harga diri. Lalu, Gumara tetapkan mengalah kalah.
“Gumara bukan bertekuk lutut atau kalah. Gumara juga bukan patah semangat.
Sekiranya saja dia mau menampilkan kemampuan ilmunya yang dia warisi dari ayahnya sebagai tambahan pelengkap, itu saja sudah cukup untuk melawan semua Jurus yang sudah ditampilkan Dasa Laksana tadi.
Tidak, fikir Gumara. Aku mesti bersaing secara sehat. Betapapun jengkelnya saya dengan ucapan Ki Pita Loka, setidaknya saya hormat pada pendiriannya. Dia masih suci. Lidah Pita Loka sanggup dipercaya. Sebab setahu dia tak ada di dunia ini gadis dengan pengecap yang ada bulunya. Lidah demikian mengandung membuktikan kelebihan dari semua pengecap berjuta-juta insan normal.
“Selamat atas kemenangan anda”, kata Gumara pada Dasa Laksana. Dia mengulurkan tangannya, kemudian dia mengaduh-aduh alasannya yaitu dipencet oleh Dasa. Dan sehabis mengerang kesakitan. Dasa lebih bersemangat untuk membuktikan kejantanannya di depan Pita Loka ... diangkatnya secepat kilat kemudian dibantingnya Guru Gumara.
Terbanting begitu, Gumara menjerit kesakitan.
“Sudah, tuan. Saya sudah mengaku kalah. Setidaknya dalam persaingan cinta dalam memperebutkan gadis sakti semacam Ki Pita Loka yang terhormat ini. Semoga kalian berdua sanggup menikah secara konkrit dan berbahagia”, dan ucapannya yang merendah itu membanggakan hati Dasa Laksana, sebaliknya menyakitkan hati Pita Loka.
Gumara membetulkan bekas-bekas tanah yang melekat di baju dan cuilan tubuhnya alasannya yaitu bantingan terakhir Dasa tadi. Lalu dia melangkah. Tapi Pita Loka bergegas mengejar dan berseru: “Tunggu Guru Gumara!”
Gumara, tanpa menoleh tapi menghentikan langkah, bertanya memunggung: “Apalagi yang kau akan katakan, Ki Pita?”
“Anda mau ke mana?”
“Mau ke mana tanya Ki Guru terhormat?”
“Ya”.
“Aku akan ke desaku Kumayan. Kembali ke masyarakat insan biasa. Aku toh bukan insan sakti ibarat anda yang mulia dan Ki Dasa Laksana yang terhormat”.
“Tapi betapapun, maafkan saya”, kata Ki Pita Loka.
“Kecuali andaikata jiwa saya bergetar kembali, tentu langkah sayapun akan tertuntun mengikuti getaran itu”, ujar Gumara.
“Getaran apa itu?”“ hardik Dasa Laksana.
“Anda pria. Saya pria. Kita sama-sama maklum”.
Gumara melangkah lagi. Dasa bersemangat dan berteriak mengancam: “Nanti dulu, Bung! Tunggu!”
Langkah Gumara henti seketika. Tapi sebagaimana dia bicara dengan Ki Pita Loka tadi, kali ini pun memunggungi: “Tuan sudah menang, perlu apa lagi?”
“Kurasa kau bermaksud kembali lagi untuk membalas dendam”. kata Dasa.
“Ah..” .
“Katakan kalau kau jantan, Gumara?” teriak Dasa.
“Soal menyampaikan atau tidak menyampaikan itu hak saya. Tiap pribadi punya hak mutlak untuk berkata ya atau tidak. Dan tuan tidak perlu memaksa saya !” Gumara cepat melangkah menuruni Bukit Lebah itu.
“Bangsat!” geram Dasa Laksana meninju kepal tinjunya ke telapak tangan. Akhirnya ditinjunya pohon langsat di sampingnya sehingga hancur dan roboh.
Setelah melihat Gumara jauh dan jauh terus menuruni tebing menjadi bintik noktah disana , Ki Pita Loka memejamkan mata. Satu perasaan retak di hati terasa pedih.
Ketika matanya yang terpejam tadi dia buka, kemudian dia menoleh ke samping, dia melihat Dasa Laksana duduk di kerikil besar dengan kepal tinju menupang dagu.
Kedua insan itu saling bertatapan mata.
“Kurasa sehabis Guru Gumara pergi, anda pun pergi”, kata Pita Loka. Dasa Laksana terdongak kaget. Dari duduk dia berdiri. Dan berdiri dia melangkah menghampiri Pita Loka. Dari melangkah dia berhenti. Dan dari berhenti itu dia lantas berkata: “Ki Pita, guruku. Apa maksud anda semoga saya pergi? Bukankah itu berarti saya harus meninggalkanmu?”
“Ya. Dia dan kau harus meninggalkan saya”, kata Ki Pita Loka.
“Tapi bagaimana saya harus pergi?Kota terdekat yaitu 100 KM dari sini. Sedangkan mobilku dan semua perlengkapanku sudah kau buang, Guru!”
“Sebaiknya anda pergi, Dasa!”
“Pita Loka!” Dasa berseru lantang saking kesal.
“Ikuti ucapan Guru Gumara tadi. Kembalilah kau ke masyarakat insan biasa ibarat kau sebelum kenal saya”, ujar Pita Loka berwibawa. Hal ini menciptakan Dasa Laksana menyeringai murung dan berkata ibarat menguras seluruh isi kalbunya: “Saya sudah terikat dengan masyarakat kau, sekalipun masyarakat itu terdiri dari dua orang di sini: kau dan saya”.
Sementara itu, Gumara bagai terlunta-lunta sudah melewati dua buah bukit. Dia lemaskan seluruh otot saat melangkah. Dia seperti kosong dari segala kekosongan. Dibilang dia bertenaga, tampaknya dia bukan melangkah melainkan mengapung. Dibilang tak bertenaga, dia bisa memanjati aneka macam dinding-dinding curam di antara bukit dan bukit. Juga, jikalau dibilang dia seenaknya tak ambil perduli atau jatuh atau terpeleset pun tidak. Bahkan begitu hati-hatinya Gumara saat terpeleset di jurang lain sempat menangkap satu akar dari pohon yang tumbuh di tepi jurang, lantas, begitu sadar dia menarik nafas dan berkata: “Ya Allah. syukur alhamdulillah umurku masih Kau perpanjang”.
Masih dinaikinya satu bukit lagi menjelang pulang menuju desa Kumayan, yaitu Bukit Tunggal.
Ketika pergi dari desa Kumayan hendak menjemput Harwati atau Pita Loka. dia memang sengaja menghindar dari jalur Bukit Tunggal .Tapi entah bagaimana dia menjadi tercengang saja sewaktu sadar bahwa dia sudah berada di tempat kekuasaan Ki Tunggal.
Berdasarkan mimpinya yang sama bentuk sebanyak tujuh kali mimpi pada tiap malam Jum”at berturut-turut, dia sudah dihentikan oleh Ki Tunggal untuk menjumpai beliau.
Jika berhadapan muka, akan terjadi bencana.
Maka orangtua sakti itu pun merasa perasaannya tak yummy di kala maghrib tiba sehingga dia berkata pada isterinya yang berusia 16 tahun itu: “Nik, apa kau tidak merasa malam ini kelihatannya ibarat akan terjadi sesuatu?”
Senik Makuto yang elok talu tersenyum;;; “Adabarangkali seseorang yang mau menguji Tuan?”
“Ha?, tebakanmu jitu! Itulah yang kurasakan!”
“Kalau begitu pertanyakan!” ujar sang isteri.
“Bawa ke sini dupa itu, Nik”, ujar sang Guru yang berusia 100 tahun itu. Bau asap dupa melingkupi tempat bertapa Guru Tunggal itu. Wajahnya diasapi. Asap itu seperti masuk cepat ke paru-parunya, kemudian paru-parunya seakan dipenuhi oleh asap, yang kemudian memasuki seluruh pembuluh darah. Beliau yang tadi keriput secara perlahan ibarat tampak muda selama lebih dari dua jam perkembangan pengaturan nafas yang amat cepat dan mengerikan. Tapi Senik Makuto bukan ngeri, melainkan senang. Pertamakali dia jumpa dengan Sang Guru hingga tergila-gila bukannya menemukan orang bau tanah loyo keriput. Dengan mata jelalatan penuh birahi.
Senik Makuto memperhatikan wajah suaminya yang penuh ketegangan namun makin usang semakin muda.
“Kini usiaku sudah semakin mendekati usia orang itu”, ujar Sang Guru.
“Siapa orang itu yang tuan maksud?”
“Ki Gumara. Manusia perkasa. Dia tiba terlalu cepat. Belum semestinya dia hadir di sini!”
“Apa yang tuan rasakan?” tanya Senik terheran.
“Aku sedang membencinya”, geram Ki Tunggal dan matanya mulai merah.
“Kenapa Tuan membencinya?”
“Dia akan mencar ilmu kepadaku. Dia mencoba melawan ketetapan Yang Maha Kuasa.
Dia tiba ke sini kelewat cepat, sebelum keharusannya. Apa boleh buat. Semua soal selalu dengan dua kemungkinan. Ya atau tidak. Bila ya ini berarti saya harus mati. Sedangkan saya belum waktunya mati”.
Bersambung...
Kepalanya menabrak pohon. Gumara tahu, murid setia Ki Pita Loka sudah pingsan seketika itu juga. Bayangkan! Benturan itu sempat mematahkan pohon! Gumara bersikap amat hening menghadapi Ki Pita Loka! Guru berhadapan dengan Guru. Matahari yang mulai bersinar, kebetulan menimpa muka Pita Loka, sehingga terang bahwa Pita Loka amat marah, dia dengar Pita Loka membentaknya: “Pergi kau dari sini! Aku tidak membutuhkan kamu!”
Itu bagi Gumara satu penghinaan. Dia bukan ingin pergi, tapi ingin melanjutkan perkelahian, jikalau perlu dengan Guru terhormat dan populer ini.
“Jika muridmu sudah pingsan, Ki Pita Loka, itu berarti dia harus diganti..... Tuan tentu maklum, Guru yang kuhormati” kata Gumara.
“Aku? Aku tak layak untuk berhadapan dengan anda”, ujar Ki Pita Loka dengan nada angkuh. “Sekalipun kau bersama saudara tirimu Ki Harwati, Ki Rotan dan lain-lain itu, semuanya masih sebesar kelingkingku!”
Dasa Laksana barusan sadar dari pingsannya. Dia berada di sebelah timur.
Dilihatnya Ki Pita Loka berdiri berhadapan dengan Gumara. Sang Guru, berada di sebelah barat Sehingga sorot matahari seperti mau memperlihatkan kecantikan sang Guru secara sempurna. Birahi sang murid bangkit, disertai cemburu besar. Gumara harus dimatikan! Dia telah didorong oleh harapan mendapat ilmu Gurunya secara tepat dengan bersatu badan sehabis perkelahian memusnahkan Gumara. Tekad itulah yang menciptakan Dasa Laksana sepenuh tenaga muncul di antara berdirinya Pita Loka dan Gumara. Ia pribadi berhadapan dengan Gumara. Dia menjadi jengkel saat Ki Pita Loka berkata: “Ayohlah! Bertempur melawan muridku! Dia muridku, bukan suamiku, bukan pula kekasihku! Ayoh lawan dia!”.
“Kau tak suci lagi”, tuduh Gumara.
“Tak suci? Jika kunodai hatiku dengan godaan iblis, maka tirai stanggi akan runtuh menjadi sumur. Itu harap anda ketahui, Guru! Dan saya tidak ingin melepaskan ilmu yang saya dapatkan secara ghaib dalam keadaan hati merasa alasannya yaitu perilaku ragu engkau, Guru”.
Jika demikian fikir Gumara seketika itu, tentulah dia menyayangi saya! Dia lari ke pengasingan ini karera harga diri! Dia musuhi saya alasannya yaitu harga diri. Lalu, Gumara tetapkan mengalah kalah.
“Gumara bukan bertekuk lutut atau kalah. Gumara juga bukan patah semangat.
Sekiranya saja dia mau menampilkan kemampuan ilmunya yang dia warisi dari ayahnya sebagai tambahan pelengkap, itu saja sudah cukup untuk melawan semua Jurus yang sudah ditampilkan Dasa Laksana tadi.
Tidak, fikir Gumara. Aku mesti bersaing secara sehat. Betapapun jengkelnya saya dengan ucapan Ki Pita Loka, setidaknya saya hormat pada pendiriannya. Dia masih suci. Lidah Pita Loka sanggup dipercaya. Sebab setahu dia tak ada di dunia ini gadis dengan pengecap yang ada bulunya. Lidah demikian mengandung membuktikan kelebihan dari semua pengecap berjuta-juta insan normal.
“Selamat atas kemenangan anda”, kata Gumara pada Dasa Laksana. Dia mengulurkan tangannya, kemudian dia mengaduh-aduh alasannya yaitu dipencet oleh Dasa. Dan sehabis mengerang kesakitan. Dasa lebih bersemangat untuk membuktikan kejantanannya di depan Pita Loka ... diangkatnya secepat kilat kemudian dibantingnya Guru Gumara.
Terbanting begitu, Gumara menjerit kesakitan.
“Sudah, tuan. Saya sudah mengaku kalah. Setidaknya dalam persaingan cinta dalam memperebutkan gadis sakti semacam Ki Pita Loka yang terhormat ini. Semoga kalian berdua sanggup menikah secara konkrit dan berbahagia”, dan ucapannya yang merendah itu membanggakan hati Dasa Laksana, sebaliknya menyakitkan hati Pita Loka.
Gumara membetulkan bekas-bekas tanah yang melekat di baju dan cuilan tubuhnya alasannya yaitu bantingan terakhir Dasa tadi. Lalu dia melangkah. Tapi Pita Loka bergegas mengejar dan berseru: “Tunggu Guru Gumara!”
Gumara, tanpa menoleh tapi menghentikan langkah, bertanya memunggung: “Apalagi yang kau akan katakan, Ki Pita?”
“Anda mau ke mana?”
“Mau ke mana tanya Ki Guru terhormat?”
“Ya”.
“Aku akan ke desaku Kumayan. Kembali ke masyarakat insan biasa. Aku toh bukan insan sakti ibarat anda yang mulia dan Ki Dasa Laksana yang terhormat”.
“Tapi betapapun, maafkan saya”, kata Ki Pita Loka.
“Kecuali andaikata jiwa saya bergetar kembali, tentu langkah sayapun akan tertuntun mengikuti getaran itu”, ujar Gumara.
“Getaran apa itu?”“ hardik Dasa Laksana.
“Anda pria. Saya pria. Kita sama-sama maklum”.
Gumara melangkah lagi. Dasa bersemangat dan berteriak mengancam: “Nanti dulu, Bung! Tunggu!”
Langkah Gumara henti seketika. Tapi sebagaimana dia bicara dengan Ki Pita Loka tadi, kali ini pun memunggungi: “Tuan sudah menang, perlu apa lagi?”
“Kurasa kau bermaksud kembali lagi untuk membalas dendam”. kata Dasa.
“Ah..” .
“Katakan kalau kau jantan, Gumara?” teriak Dasa.
“Soal menyampaikan atau tidak menyampaikan itu hak saya. Tiap pribadi punya hak mutlak untuk berkata ya atau tidak. Dan tuan tidak perlu memaksa saya !” Gumara cepat melangkah menuruni Bukit Lebah itu.
“Bangsat!” geram Dasa Laksana meninju kepal tinjunya ke telapak tangan. Akhirnya ditinjunya pohon langsat di sampingnya sehingga hancur dan roboh.
Setelah melihat Gumara jauh dan jauh terus menuruni tebing menjadi bintik noktah disana , Ki Pita Loka memejamkan mata. Satu perasaan retak di hati terasa pedih.
Ketika matanya yang terpejam tadi dia buka, kemudian dia menoleh ke samping, dia melihat Dasa Laksana duduk di kerikil besar dengan kepal tinju menupang dagu.
Kedua insan itu saling bertatapan mata.
“Kurasa sehabis Guru Gumara pergi, anda pun pergi”, kata Pita Loka. Dasa Laksana terdongak kaget. Dari duduk dia berdiri. Dan berdiri dia melangkah menghampiri Pita Loka. Dari melangkah dia berhenti. Dan dari berhenti itu dia lantas berkata: “Ki Pita, guruku. Apa maksud anda semoga saya pergi? Bukankah itu berarti saya harus meninggalkanmu?”
“Ya. Dia dan kau harus meninggalkan saya”, kata Ki Pita Loka.
“Tapi bagaimana saya harus pergi?Kota terdekat yaitu 100 KM dari sini. Sedangkan mobilku dan semua perlengkapanku sudah kau buang, Guru!”
“Sebaiknya anda pergi, Dasa!”
“Pita Loka!” Dasa berseru lantang saking kesal.
“Ikuti ucapan Guru Gumara tadi. Kembalilah kau ke masyarakat insan biasa ibarat kau sebelum kenal saya”, ujar Pita Loka berwibawa. Hal ini menciptakan Dasa Laksana menyeringai murung dan berkata ibarat menguras seluruh isi kalbunya: “Saya sudah terikat dengan masyarakat kau, sekalipun masyarakat itu terdiri dari dua orang di sini: kau dan saya”.
Sementara itu, Gumara bagai terlunta-lunta sudah melewati dua buah bukit. Dia lemaskan seluruh otot saat melangkah. Dia seperti kosong dari segala kekosongan. Dibilang dia bertenaga, tampaknya dia bukan melangkah melainkan mengapung. Dibilang tak bertenaga, dia bisa memanjati aneka macam dinding-dinding curam di antara bukit dan bukit. Juga, jikalau dibilang dia seenaknya tak ambil perduli atau jatuh atau terpeleset pun tidak. Bahkan begitu hati-hatinya Gumara saat terpeleset di jurang lain sempat menangkap satu akar dari pohon yang tumbuh di tepi jurang, lantas, begitu sadar dia menarik nafas dan berkata: “Ya Allah. syukur alhamdulillah umurku masih Kau perpanjang”.
Masih dinaikinya satu bukit lagi menjelang pulang menuju desa Kumayan, yaitu Bukit Tunggal.
Ketika pergi dari desa Kumayan hendak menjemput Harwati atau Pita Loka. dia memang sengaja menghindar dari jalur Bukit Tunggal .Tapi entah bagaimana dia menjadi tercengang saja sewaktu sadar bahwa dia sudah berada di tempat kekuasaan Ki Tunggal.
Berdasarkan mimpinya yang sama bentuk sebanyak tujuh kali mimpi pada tiap malam Jum”at berturut-turut, dia sudah dihentikan oleh Ki Tunggal untuk menjumpai beliau.
Jika berhadapan muka, akan terjadi bencana.
Maka orangtua sakti itu pun merasa perasaannya tak yummy di kala maghrib tiba sehingga dia berkata pada isterinya yang berusia 16 tahun itu: “Nik, apa kau tidak merasa malam ini kelihatannya ibarat akan terjadi sesuatu?”
Senik Makuto yang elok talu tersenyum;;; “Adabarangkali seseorang yang mau menguji Tuan?”
“Ha?, tebakanmu jitu! Itulah yang kurasakan!”
“Kalau begitu pertanyakan!” ujar sang isteri.
“Bawa ke sini dupa itu, Nik”, ujar sang Guru yang berusia 100 tahun itu. Bau asap dupa melingkupi tempat bertapa Guru Tunggal itu. Wajahnya diasapi. Asap itu seperti masuk cepat ke paru-parunya, kemudian paru-parunya seakan dipenuhi oleh asap, yang kemudian memasuki seluruh pembuluh darah. Beliau yang tadi keriput secara perlahan ibarat tampak muda selama lebih dari dua jam perkembangan pengaturan nafas yang amat cepat dan mengerikan. Tapi Senik Makuto bukan ngeri, melainkan senang. Pertamakali dia jumpa dengan Sang Guru hingga tergila-gila bukannya menemukan orang bau tanah loyo keriput. Dengan mata jelalatan penuh birahi.
Senik Makuto memperhatikan wajah suaminya yang penuh ketegangan namun makin usang semakin muda.
“Kini usiaku sudah semakin mendekati usia orang itu”, ujar Sang Guru.
“Siapa orang itu yang tuan maksud?”
“Ki Gumara. Manusia perkasa. Dia tiba terlalu cepat. Belum semestinya dia hadir di sini!”
“Apa yang tuan rasakan?” tanya Senik terheran.
“Aku sedang membencinya”, geram Ki Tunggal dan matanya mulai merah.
“Kenapa Tuan membencinya?”
“Dia akan mencar ilmu kepadaku. Dia mencoba melawan ketetapan Yang Maha Kuasa.
Dia tiba ke sini kelewat cepat, sebelum keharusannya. Apa boleh buat. Semua soal selalu dengan dua kemungkinan. Ya atau tidak. Bila ya ini berarti saya harus mati. Sedangkan saya belum waktunya mati”.
Bersambung...