Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 12 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Senik Makuto yang polos itu segera memeluk suaminya Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 12 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Senik Makuto yang polos itu segera memeluk suaminya:”Kak, jangan berkata begitu! Senik sudah dikutuk dan diusir orang renta dan orang sedesaku! Kakak jangan mati!” Ki Tunggal senang dan menoleh pada isterinya yang beda usianya 86 tahun dengan dia. Dia tersenyum dan berkata:“Kalau begitu, Ki Gumara yang wajib saya matikan! Jika saya yang mati. Ilmu tunggalku akan berpindah secara alami kepadanya. Tapi jikalau dia yang mati dan saya yang hidup, maka ilmunya memperganda ilmu yang saya punya. Tapi kenapa dia datang? Untuk apa dia datang?
Pintu daun nipah itu berkibas-kibas, mulanya lambat. Lalu lebih cepat. Kepala Ki Tunggal terdongak. Senik Makuto yang melihat perubahan wajah suaminya juga menoleh ke pintu dengan rasa kecut.
“Aku tahu kau yang tiba Ki Gumara!” teriak Ki Tunggal.
“Betul Tuan Guru yang mulia. Bolehkan saya masuk?”
“Boleh, hanya apabila daun Pintu itu berhenti berkipas!”
Pintu daun nipah yang semula bergoyang kipas itu mendadak berhenti berkibas. Satu sosok berdiri dengan sepenuh keagungan membuat Senik Makuto harus melepaskan nafas; “hahhhh”, yang didengar oleh Ki Tunggal, suaminya Ki Tunggal menoleh dan menyindir: “Kau terpesona dengan lelaki muda itu?”
Senik Makuto termalu-malu sipu.
“Inilah justru yang saya kuatirkan, Gumara. Kau tiba begitu cepat. sedangkan bulan maduku bersama isteriku tercinta ini barusan berlangsung 37 hari. Kenapa kau tidak tiba di hari ke-41?”
Gumara menghentikan langkahnya, kemudian berkata:“Setahu saya, Tuan Guru lebih faham kenapa saya melangkah ke sini. Bukankah ilmu tuan yang agung itu pernah menyebar ke seluruh penjuru, hingga ayahku mendengar info itu!”
Berita apa itu?”
“Ayahku berkata, bagi tuan ada empat patokan: Langkah. rejeki. jodoh dan maut, hanya Allah yang menentukan”, ujar Gumara hormat.
“Hmmm. Apa belul si Ki Karat itu ayahmu?” tanya Ki Tunggal.
“Saya ke sini atas nama kedamaian, bukan atas nama prahara. Kenapa tuan tuduh saya insan tak punya Ayah. Hanya ada dua insan setahu saya yang tak punya ayah, yaitu Adam dan Nabi Isa, bukan begitu?”
“Yang kumaksud kau anak haram jadah”, kata Ki Tunggal seraya menoleh pada isterinya yang bagus dan bertanya: “Kau dengar ucapanku, Nik?”
“Apa betul orang segagah ini anak jadah?” tanya Senik Makuto.
“Betapapun tinggi ilmunya, dia insan yang hina”, kata Ki Tunggal yang membuat Gumara yang semula sopan lantas merentakkan kakinya hingga mengagetkan Senik yang lantas menjerit.
“Jangan menjerit”, kata Ki Tunggal memperingatkan isterinya, “Aku memang memancing kemarahannya, biar dia cepat mati alasannya melawan Guru Besar!” Ki Tunggal seketika itu juga merasa yakin usianya sama persis dengan lawannya, Gumara. Begitu cekatan dia dikala menerkam Gumara dengan auman mirip bunyi harimau.
Tetapi Gumara menangkisnya lawannya dengan auman pula. Ini membuat Ki Tunggal kaget. Dalam hatinya dia berkata: wah, anak ini sudah seilmu denganku”.
Ki Tunggal menghambur dengan auman lagi, tapi Gumara tegak kokoh dan mencakar mukanya dengan gerak membisu tegak lurus. Setelah dia cakar dia pegang sebelah kaki lawannya dan dia banting. Tubuh Ki Tunggal melintir bagai gasing lepas tali! Gumara menggeram. Ki Tunggal menyeringai dan berdiri lagi yang kali ini cepat menyergap lengan Gumara dan dibantingnya dalam sedetik itu juga.
Debu lantai menguap ke udara. Tapi seketika itu pula dikala satu sodokan mencakar mau mengenai muka Gumara, Gumara pun menyergap pergelangan tangan Guru Besar itu dan membantingnya sedetik itu pula. Debu menguap lagi. Tapi Senik terpaku penuh pesona. Dia mengagumi suaminya maupun Gumara.“
Gumara kemudian meringankan tubuhnya biar apabila dia kena serangan apapun, resiko remuk tidak dialami. Ketika dia melihat Ki Tunggal menjungkir dengan satu telapak tangan ke lantai, ia sudah terka bahwa satu kaki Guru itu akan menerjang dadanya.
Jika ini dibiarkan tendangan itu akan merupakan hantaman telapak kaki yang sanggup muntah darah. Untuk itulah analisa sedetik Gumara membuat dia mengosongkan udara di perutnya seraya mengangkat badan satu hasta. Tendangan telapak kaki yang miring itu sempurna mengenai perut Gumara. Yah, dengan ringan perut Gumara menahannya, sementara saking kencangnya tendangan Guru Tunggal itu ... badan Gumara terlempar, menghantam dinding nipah yang tebalnya sejengkal Dinding itu jebol, dan Gumara terlempar keluar.
Dia melaksanakan salto, berjumpalitan di atas rumputan di depan padepokan Ki Tunggal.
Tapi seketika salto itu berekhir dengan kedua kakinya berdiri tegap menghadap, muncullah Ki Tunggal keluar dari pintu. Dengan telapak tangan keduanya ia hadapkan kedepan serta tenaga dalam yang diolah dari pusar lewat puncak kepala kemudian terhembus lewat mulutnya, terhembuslah gelombang udara panas dan verbal itu dengan kecepatan bintang pindah.
Ki Tunggal menahan panasnya wajahnya terkena radiasi yang ia tahu tiba dari verbal Gumara.
Tokoh tertua yang pernah dikagumi oleh enam insan harimau dari Kumayan ini terus bertahan menahan panas. Begitu panasnya radiasi gelombang yang dihembuskan verbal Gumara, hingga tampaklah asap pada kumis dan Janggut Ki Tunggal. Kumis dan janggutnya hangus sekarang ...
Tapi ia tetap tegak dengan pertahanan tenaga dalam. Juga tenaga ini bersumber pada sari nafas yang diolah dari puser-puser. Begitu padatnya perang terhalus ini,sampai ubun-ubun Gumara membuat ucapan asap, dan ubun-ubun Ki Tunggal pun mengepulkan asap.
Ketika pertempuran dalam membisu beginilah Senik Makuto mulai ngeri Kalau tadi dia terkagum-kagum oleh pertempurangaya persilatan yang berupa gerak anggauta tubuh, sekarang perempuan muda usia itu bukan lagi terkagum.
Senik ngeri!
Senik ingin berteriak tapi lidahnya kelu saking tegang. Pada puncak ketegangan tempurgaya hening begini, maka hujan gerimis pun turun. Baik Ki Tunggal, maupun Gumara sama menahan nyeri. Kepala mereka menyerupai kekenceng besi dijerangan yang tiba-tiba diguyur air. Ssssssssssss….. Suara itu sama muncul dari kepala Gumara dan Ki Tunggal, desis kehangusan mengerikan...
Kekerasan hati ialah modal bagi seorang juara, itulah yang diperlihatkan oleh gerak membisu Gumara maupun Ki Tunggal! Hujan gerimis bermetamorfosis hujan deras, diselang seling oleh petir menyambar.
Satu petir yang amat dahsyat yang membuat garis lurus kilatan listrik bergemuruh.
Garis listrik itu memanjang terang dari utara ke selatan, membuat bekas yang jelas.
Garis petir itu seolah-olah dibagi dua yaitu jarak tiga meter ke Gumara dan tiga meter ke Ki Tunggal. Garis petir itu telah membedah hutan belantara melampaui dua bukit ke selatan. Pada bukit yang ketiga, Bukit Rotan. ujung garis petir itu menghantam satu-satunya pohon kelapa. Di sini menggelegarlah puncak bunyi dahsyat!
Harwati melompat dan sekelebatan sudah berdiri depan rumah jeraminya. Matanya melotot melihat pucuk pohon nyiur yang terbakar, begitupun batang pohon nyiur itu kelihatan mirip gagang obor.
Biar hujan lebat, api yang memperabukan pohon kelapa itu tidak padam. Api itu bagaikan api yang bertenaga nuklir dengan sulutan minyak bensol gas berdaya bakar tinggi.
“Adaperistiwa besar, Guru!” teriaknya pada Ki Rotan yang juga muncul dari rumah jeraminya.
“Apa pendapatmu!” teriak Ki Rotan.
Harwati berlari di tengah hujan dan petir itu menuju pondok jerami gurunya. Dalam berair kuyup itu dia berkata;“Aku mengikuti insiden ini semenjak awal. Sekarang ini malam Selasa, Hujan akan tak berhenti selama tiga bulan mendatang. Kulihat bola api bagai bergulingan dari langit,jatuhnya sempurna kira-kira di Bukit Tunggal di utara. Lalu bola api itu membentur daerah Ki Guru Tunggal, membuat garis lurus ke wilayah kita ini sehabis memperabukan dua bukit perantara; “Ah, saya yakin sedang terjadi pertempuran silat besar antara dua raksasa disana !”
“Siapa kira-kira yang melakoni perang dahsyat ini?” tanya Ki Rotan.
“Ayahku pernah menceritakan bahwa suatu kali bola api akan turun dari langit, jatuh di ubun-ubun Bukit Tunggal. itu lambang perebutan ilmu dan yang akan bertanding disana ialah turunan Ki Karat. Ya, turunan ayahku! Kurasa Ki Gumara sekembali dari sini lewat ke Bukit Tunggal itu, padahal itu pantangan. Disana dia akan dicegat Ki Tunggal yang iri hati, kemudian bertempurlah abang tiriku dengan beliau. Tapi... bukankah ayahku berkata bahwa turunannya yang akan menang? Aku inikan turunan Ki Karat?”
Mendengar kisah Harwati itu, Ki Rotan berkata bersemangat pada muridnya: “Ayoh, Ki Wati, segera langkahi dua bukit itu supaya kau hingga ke Bukit Tunggal. Kau ganggu pertempuran dua orang itu! Kau jadi orang yang ketiga! Tipu keduanya, dan habisi keduanya Bukankah kau yang akan jadi pemenang? Bukankah kau yang dimaksud ayahmu sebagai pewaris ilmu tertinggi itu?”.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel