Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 13 - Seri Tujuh Insan Harimau
Senin, 01 Desember 2014
Sebelumnya...
Ucapan sang Guru yang biarpun sekarang ilmunya lebih rendah daripadanya. menciptakan Ki Harwati bergelimang gelora bakaran semangat. Dia tak menuggu waktu sehabis berkata:“Ki Guru benar!”
“Kau telah membuktikan sanggup mengambil sekeping ilmu stanggi Ki Pita Loka. Kini ambillah ilmu Ki Tunggal atau Gumara atau adonan dari keduanya bila kamu sanggup membinasakan dua-duanya!”
“Baik Ki Guru!”
“Bawa tongkatmu!” kata Ki Rotan.
Ki Harwati hanya tersenyum dalam hati, lantaran senjata rotan itu sudah tak ada perlunya lagi.
Dia berkelibatan dengan lincah melompati dahan demi dahan. Sampai subuh datang beliau masih berlompatan dari dahan ke dahan dalam rimba-rimba ke arah utara.
Setelah dua setengah kali bola matahari bergelincir, pada siang bolong yang gemercik hujan gerimis, sampailah beliau di tengah Bukit Tunggal. Matanya menyelidik. Dia tak melihat, bahwa di bawah satu pohon kemumu Ki Tunggal sedang duduk bersila seraya menghembuskan radiasi bertenaga neutron ke arah Gumara yang juga duduk bersila, dengan hembusan tenaga radiasi yang berkekuatan seimbang. Tampak sinar hijau berganti merah silih berhembus dari dua verbal jawara itu ... tapi Ki Harwati tak melihatnya, sehingga dikala beliau melintasi gadis itu ... beliau merasa terbakar dan berteriak seraya melompat, melolong kesakitan bagai anjing betina kena sulut.
Waktu beliau melompat mundur dan mundur sangatlah terperinci oleh matanya dua perkelahian secara tenang sedang terjadi. Nasehat gurunya beliau laksanakan. Dia mendekati kawasan Gumara duduk bersila di bawah pohon kemuning dan berseru lantang:“Aku membantu anda, kakakku Ki Gumara!”
Teriakan ini menciptakan Ki Tunggal terkejut dan melompat menyiapkan kuda-kuda mempertahankan diri. Dengan sekelebatan bagai angin puting beliung, Ki Harwati sudah menyerbu menabrak membenturkan telapak kakinya, sempurna mengenai dada Ki Tunggal.
Seketika itu juga Ki Tunggal muntah darah ...!
Menyaksikan Ki Tunggal roboh, Ki Harwati jadi kesetanan. Dengan mata bernyala beliau menoleh pada Gumara. Gumara merasa bahagia lantaran adik tirinya, satu titisan darah, sanggup merubuhkan Ki Tunggal.
Dengan berair kuyup dan juga dikuyupi keharuan jiwa, beliau berdiri melangkah menuju Ki Harwati. Tetapi tanpa beliau duga Harwati melompat dengan terjangan yang lebih dahsyat dari terjangan pertama. Untunglah sebelum telapak kaki adik tiri yang akan menggedor dadanya itu sampai, Ki Gumara menghembuskanya dengan napas inti, sehingga Harwati berteriak melolong!
Telapak kaki sang adik tiri itu bolong seketika!
Dia terus melolong.
Rupanya sementara kejadian ini terjadi. Ki Tunggal sudah berdiri kembali sehabis beliau sadap dengan hirupan seluruh darahnya yang sudah tumpah dari mulutnya tadi.
Dengan gerak puting beliung beliau sekaligus menyabet badan Harwati hingga terlempar masuk ke rumah nipah dan menjebol dinding yang lebarnya sejengkal itu. Sekaligus pula sabetan itu menabrak badan Gumara yang eksklusif terpeleset dan meluncur bagai meluncurnya bola bowling.
Tubuh itu menabrak tiga pohon kelapa yang tumbang hingga akar-akamya mencuat, dan terakhir menabrak lagi satu pohon kecapi yang amat tinggi. Pohon ini juga tumbang.
Bunyi pohon besar itu bergemuruh ke tebing di bawah. Dan Gumara meluncur jatuh memasuki tebing yang tingginya 80 meter itu. Untunglah tubuhnya nyangsang di sebuah pohon miring yang tumbuh di tengah tebing itu. Rupanya ikat pinggang Lee yang beliau pakai itulah yang menyelamatkanya dari kehancuran.
Sungguh hebat ilmu Ki Tunggal, fikir Gumara. Pujian itu memang sungguh-sungguh. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah dikatakan oleh Ki Karat, ayahnya, maupun Ibunya. Tapi di balik kebanggaan itu, sembari terengah-engah menuruni tebing lewat batu-batuan raksasa itu. Gumarapun bergotong-royong tidak begitu silau pada kehebatan Ki Tunggal.
Ilmunya gres dirasakan istimewa justru dalam memanfaatkan perkelahian segitiga. Yaitu sehabis munculnya Ki Harwati secara mendadak. Jika Harwati tidak muncul mungkin keadaan akan sangat lain. Tetapi, gres ia ingat nasehat gurunya, bahwa perkataan “jika” bukan milik seorang ksatria.
Gumara masih terengah-engah. Tentu saja perkelahian dengan Ki Tunggal itu bukan sembarang perkelahian. Itulah perkelahian dua malam tiga hari yang mungkin belum pernah dialami oleh seorang Jawara manapun. Tetapi dirasakan hebat lantaran masing-masing tidak menghadirkan harimau lantaran kuatir saling mengetahui kelebihan dan kekuranganya.
Dalam lelah itu, Gumara duduk di batu. Rupanya trend penghujan sudah mulai. Jauh disana , tampak Bukit Kumayan menyerupai mengepulkan kabut. Jelaslah itu pembalikan sinar matahari atas hujan yang sudah menderas disana . Tapi di kawasan Gumara duduk ini, beliau tidak basah. Padahal gerimis ada di sekelilnginya!!!!! Gumara berdiri tegak dengan kaget? Dia heran! Hanya di seputarnya saja tiada gerimis?
Ini tentu ngalamat! Ini tentu suatu pertanda, pikinya.
Jarak tujuh langkah dalam radius titik sentral beliau berdiri itu, benar-benar seluruhnya kering!. Biasanya beliau mendapat suatu ngalamat lewat mimpi. Kali ini tidak menyerupai biasanya. Mengapa?
Lalu munculah seorang renta yang pakaianya lusuh. Tongkatnya yang bercabang dua menandakan bahwa orangtua tak dikenal ini yaitu orang yang bukan insan biasa.
Pasti ada isi. Kesan Gumara orangtua berjanggut putih dengan jubah lusuh itu menampilkan tabiat pribadi berwibawa. Beliau memanggil tuan guru kepada Gumara.
“Maaf Pak Tua. Saya bukan tuan guru. Saya memang guru, tapi guru Sekolah Menengah Pertama yang melihat keindahan alam di sini lantaran sekolah sedang libur kwartal”, kata Gumara dengan berendah hati.
Namun orangtua itu tersenyum bijaksana. Gumara memperkenalkan diri lebih dulu, kemudian bertanya:“Pak renta namanya siapa. Pak?”
“Nama saya Ibrahim Arkam. Saya telahlima puluh tahun ingin mempertinggi ilmuku. Tapi seluruh penjuru yang kucari, tidak bersua”.
“Apa yang Bapak cari. Pak Ibrahim?” tanya Gumara sopan.
“Kitab.”
“Kitab apa. Pak Ibrahim?”
“Sebuah kitab sakti. Kitab Makom Mahmuda”, ujar Ibrahim tua.
“Saya tak pernah mendengar nama Kitab itu!” kata Gumara.
“Tapi andalah calon yang menemukanya”. Kata Ibrahim Arkam, Gumara tercengang.
“Apa isi Kitab itu?” tanya Gumara.
“Rahasia Kehidupan. Anda akan mengetahuinya jikalau sudah membacanya. Kehidupan ini penuh banyak rahasia. Tapi jikalau kita sudah menemukan satu kuncinya. kita mendapat derajat tinggi!”
Ibrahim Arkam kemudian mengulas ucapannya lagi: “Kau lihat, bukti bahwa kamu terlahir sebagai anak sakti yaitu ini. Di sekitarmu ini. Lihat, selingkaran kawasan kamu berdiri ini tidak terkena hujan. Bajumu kering. Sedengkan bajuku berair kuyup. Ini berariti saya sudah cukup puas bertemu seseorang yang kelak akan mewarisi Kitab sakti Makom Mahmudah itu”.
“Kenapa harus saya?” tanya Gumara, “Bukankah Bapak mengembara selama ini untuk mencari Kitab itu?”
“Memang begitulah jalan Nasib. Bukankah yang itu yang saya inginkan? Tuhan sendiri pernah berujar: “Apa yang kamu sukai belum tentu engkau dapatkan. Dan apa yang engkau dapatkan belum tentu kamu sukai. Tapi apa yang engkau sukai belum tentu baik bagimu”, maka saya cukup puas mengembara hingga titik tamat ini! Bila contohnya Kitab Sakti itu, yang saya sukai itu, saya dapatkan, belum tentu itu BAIK UNTUKKU. Tapi kau?
Aku tahu kamu tidak mencari-cari dengan ngoyo untuk mendapatkannya. Namun risikonya kamu yang akan mendapatkannya”, kata si renta Ibrabim Arkam pun kelihatan matanya berkaca-kaca.
“Tapi kenapa Bapak begitu yakin bahwa sayalah orangnya yang terpilih mendapat Kitab Sakti itu?”
“Guruku banyak. Salah seorang di antaranya yaitu Ki Tunggal yang menjadi penguasa Bukit Tunggal disana . Setidaknya calon pemilik Kitab Sakti itu biarpun cuma sekali saja, akan pernah bertemu dengan dia”.
Sungguh kagum Gumara dengan ramalan yang memang ada bukti itu.
“Ki Tunggal yang telah memberi tahu kepadaku, bahwa calon pemilik Kitab Sakti itu harus mempunyai tiga unsur kekuatan: Kekuatan benda padat, kekuatan benda cair dan kekuatan gelombang, apa itu udara, cahaya ataupun gas yang bermutu tinggi. Bersyukurlah kau. Mari singgah ke pondokku”. Ujar Ki Ibrahim Arkam dengan ramah dan hormat.
Bersambung...
Ucapan sang Guru yang biarpun sekarang ilmunya lebih rendah daripadanya. menciptakan Ki Harwati bergelimang gelora bakaran semangat. Dia tak menuggu waktu sehabis berkata:“Ki Guru benar!”
“Kau telah membuktikan sanggup mengambil sekeping ilmu stanggi Ki Pita Loka. Kini ambillah ilmu Ki Tunggal atau Gumara atau adonan dari keduanya bila kamu sanggup membinasakan dua-duanya!”
“Baik Ki Guru!”
“Bawa tongkatmu!” kata Ki Rotan.
Ki Harwati hanya tersenyum dalam hati, lantaran senjata rotan itu sudah tak ada perlunya lagi.
Dia berkelibatan dengan lincah melompati dahan demi dahan. Sampai subuh datang beliau masih berlompatan dari dahan ke dahan dalam rimba-rimba ke arah utara.
Setelah dua setengah kali bola matahari bergelincir, pada siang bolong yang gemercik hujan gerimis, sampailah beliau di tengah Bukit Tunggal. Matanya menyelidik. Dia tak melihat, bahwa di bawah satu pohon kemumu Ki Tunggal sedang duduk bersila seraya menghembuskan radiasi bertenaga neutron ke arah Gumara yang juga duduk bersila, dengan hembusan tenaga radiasi yang berkekuatan seimbang. Tampak sinar hijau berganti merah silih berhembus dari dua verbal jawara itu ... tapi Ki Harwati tak melihatnya, sehingga dikala beliau melintasi gadis itu ... beliau merasa terbakar dan berteriak seraya melompat, melolong kesakitan bagai anjing betina kena sulut.
Waktu beliau melompat mundur dan mundur sangatlah terperinci oleh matanya dua perkelahian secara tenang sedang terjadi. Nasehat gurunya beliau laksanakan. Dia mendekati kawasan Gumara duduk bersila di bawah pohon kemuning dan berseru lantang:“Aku membantu anda, kakakku Ki Gumara!”
Teriakan ini menciptakan Ki Tunggal terkejut dan melompat menyiapkan kuda-kuda mempertahankan diri. Dengan sekelebatan bagai angin puting beliung, Ki Harwati sudah menyerbu menabrak membenturkan telapak kakinya, sempurna mengenai dada Ki Tunggal.
Seketika itu juga Ki Tunggal muntah darah ...!
Menyaksikan Ki Tunggal roboh, Ki Harwati jadi kesetanan. Dengan mata bernyala beliau menoleh pada Gumara. Gumara merasa bahagia lantaran adik tirinya, satu titisan darah, sanggup merubuhkan Ki Tunggal.
Dengan berair kuyup dan juga dikuyupi keharuan jiwa, beliau berdiri melangkah menuju Ki Harwati. Tetapi tanpa beliau duga Harwati melompat dengan terjangan yang lebih dahsyat dari terjangan pertama. Untunglah sebelum telapak kaki adik tiri yang akan menggedor dadanya itu sampai, Ki Gumara menghembuskanya dengan napas inti, sehingga Harwati berteriak melolong!
Telapak kaki sang adik tiri itu bolong seketika!
Dia terus melolong.
Rupanya sementara kejadian ini terjadi. Ki Tunggal sudah berdiri kembali sehabis beliau sadap dengan hirupan seluruh darahnya yang sudah tumpah dari mulutnya tadi.
Dengan gerak puting beliung beliau sekaligus menyabet badan Harwati hingga terlempar masuk ke rumah nipah dan menjebol dinding yang lebarnya sejengkal itu. Sekaligus pula sabetan itu menabrak badan Gumara yang eksklusif terpeleset dan meluncur bagai meluncurnya bola bowling.
Tubuh itu menabrak tiga pohon kelapa yang tumbang hingga akar-akamya mencuat, dan terakhir menabrak lagi satu pohon kecapi yang amat tinggi. Pohon ini juga tumbang.
Bunyi pohon besar itu bergemuruh ke tebing di bawah. Dan Gumara meluncur jatuh memasuki tebing yang tingginya 80 meter itu. Untunglah tubuhnya nyangsang di sebuah pohon miring yang tumbuh di tengah tebing itu. Rupanya ikat pinggang Lee yang beliau pakai itulah yang menyelamatkanya dari kehancuran.
Sungguh hebat ilmu Ki Tunggal, fikir Gumara. Pujian itu memang sungguh-sungguh. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah dikatakan oleh Ki Karat, ayahnya, maupun Ibunya. Tapi di balik kebanggaan itu, sembari terengah-engah menuruni tebing lewat batu-batuan raksasa itu. Gumarapun bergotong-royong tidak begitu silau pada kehebatan Ki Tunggal.
Ilmunya gres dirasakan istimewa justru dalam memanfaatkan perkelahian segitiga. Yaitu sehabis munculnya Ki Harwati secara mendadak. Jika Harwati tidak muncul mungkin keadaan akan sangat lain. Tetapi, gres ia ingat nasehat gurunya, bahwa perkataan “jika” bukan milik seorang ksatria.
Gumara masih terengah-engah. Tentu saja perkelahian dengan Ki Tunggal itu bukan sembarang perkelahian. Itulah perkelahian dua malam tiga hari yang mungkin belum pernah dialami oleh seorang Jawara manapun. Tetapi dirasakan hebat lantaran masing-masing tidak menghadirkan harimau lantaran kuatir saling mengetahui kelebihan dan kekuranganya.
Dalam lelah itu, Gumara duduk di batu. Rupanya trend penghujan sudah mulai. Jauh disana , tampak Bukit Kumayan menyerupai mengepulkan kabut. Jelaslah itu pembalikan sinar matahari atas hujan yang sudah menderas disana . Tapi di kawasan Gumara duduk ini, beliau tidak basah. Padahal gerimis ada di sekelilnginya!!!!! Gumara berdiri tegak dengan kaget? Dia heran! Hanya di seputarnya saja tiada gerimis?
Ini tentu ngalamat! Ini tentu suatu pertanda, pikinya.
Jarak tujuh langkah dalam radius titik sentral beliau berdiri itu, benar-benar seluruhnya kering!. Biasanya beliau mendapat suatu ngalamat lewat mimpi. Kali ini tidak menyerupai biasanya. Mengapa?
Lalu munculah seorang renta yang pakaianya lusuh. Tongkatnya yang bercabang dua menandakan bahwa orangtua tak dikenal ini yaitu orang yang bukan insan biasa.
Pasti ada isi. Kesan Gumara orangtua berjanggut putih dengan jubah lusuh itu menampilkan tabiat pribadi berwibawa. Beliau memanggil tuan guru kepada Gumara.
“Maaf Pak Tua. Saya bukan tuan guru. Saya memang guru, tapi guru Sekolah Menengah Pertama yang melihat keindahan alam di sini lantaran sekolah sedang libur kwartal”, kata Gumara dengan berendah hati.
Namun orangtua itu tersenyum bijaksana. Gumara memperkenalkan diri lebih dulu, kemudian bertanya:“Pak renta namanya siapa. Pak?”
“Nama saya Ibrahim Arkam. Saya telahlima puluh tahun ingin mempertinggi ilmuku. Tapi seluruh penjuru yang kucari, tidak bersua”.
“Apa yang Bapak cari. Pak Ibrahim?” tanya Gumara sopan.
“Kitab.”
“Kitab apa. Pak Ibrahim?”
“Sebuah kitab sakti. Kitab Makom Mahmuda”, ujar Ibrahim tua.
“Saya tak pernah mendengar nama Kitab itu!” kata Gumara.
“Tapi andalah calon yang menemukanya”. Kata Ibrahim Arkam, Gumara tercengang.
“Apa isi Kitab itu?” tanya Gumara.
“Rahasia Kehidupan. Anda akan mengetahuinya jikalau sudah membacanya. Kehidupan ini penuh banyak rahasia. Tapi jikalau kita sudah menemukan satu kuncinya. kita mendapat derajat tinggi!”
Ibrahim Arkam kemudian mengulas ucapannya lagi: “Kau lihat, bukti bahwa kamu terlahir sebagai anak sakti yaitu ini. Di sekitarmu ini. Lihat, selingkaran kawasan kamu berdiri ini tidak terkena hujan. Bajumu kering. Sedengkan bajuku berair kuyup. Ini berariti saya sudah cukup puas bertemu seseorang yang kelak akan mewarisi Kitab sakti Makom Mahmudah itu”.
“Kenapa harus saya?” tanya Gumara, “Bukankah Bapak mengembara selama ini untuk mencari Kitab itu?”
“Memang begitulah jalan Nasib. Bukankah yang itu yang saya inginkan? Tuhan sendiri pernah berujar: “Apa yang kamu sukai belum tentu engkau dapatkan. Dan apa yang engkau dapatkan belum tentu kamu sukai. Tapi apa yang engkau sukai belum tentu baik bagimu”, maka saya cukup puas mengembara hingga titik tamat ini! Bila contohnya Kitab Sakti itu, yang saya sukai itu, saya dapatkan, belum tentu itu BAIK UNTUKKU. Tapi kau?
Aku tahu kamu tidak mencari-cari dengan ngoyo untuk mendapatkannya. Namun risikonya kamu yang akan mendapatkannya”, kata si renta Ibrabim Arkam pun kelihatan matanya berkaca-kaca.
“Tapi kenapa Bapak begitu yakin bahwa sayalah orangnya yang terpilih mendapat Kitab Sakti itu?”
“Guruku banyak. Salah seorang di antaranya yaitu Ki Tunggal yang menjadi penguasa Bukit Tunggal disana . Setidaknya calon pemilik Kitab Sakti itu biarpun cuma sekali saja, akan pernah bertemu dengan dia”.
Sungguh kagum Gumara dengan ramalan yang memang ada bukti itu.
“Ki Tunggal yang telah memberi tahu kepadaku, bahwa calon pemilik Kitab Sakti itu harus mempunyai tiga unsur kekuatan: Kekuatan benda padat, kekuatan benda cair dan kekuatan gelombang, apa itu udara, cahaya ataupun gas yang bermutu tinggi. Bersyukurlah kau. Mari singgah ke pondokku”. Ujar Ki Ibrahim Arkam dengan ramah dan hormat.
Bersambung...