Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 14 - Seri Tujuh Insan Harimau
Senin, 01 Desember 2014
Sebelumnya...
Dia ramah dan hormat alasannya ialah dia telah lima puluh tahun ingin mendapat Sang Kitab. Tapi tenyata dia jumpa muka dengan calon pemilik syah kitab tersebut, sesuai dengan ramalan bekas gurunya. Pondok yang dimaksud lelaki bau tanah yang berwibawa ini, tenyata satu lobang di sebuah tebing. Tak ada tangga untuk hingga ke lobang itu. Gumara keheranan alasannya ialah dengan contoh tiga langkah dan dua telapak tangan si bau tanah bertelekan pada permukaan tanah mendadak dia sudah jumpalitan bagai orang bersalto. Seketika itu juga dia sudah hingga erat pintu lubang dinding tebing itu.
Dari atassana . Ki Ibrahim Arkam berseru pada Gumara yang masih ada di bawah: “Hoi pahlawan muda, naiklah ke sini”.
“Bagaimana caranya, Pak Tua?” tanya Gumara.
“Ah, kamu jangan bercanda, anak muda”, kata Ibrahim Arkam.
Gumara kemudian merayap saja di dinding tebing itu menyerupai seekor cicak. Setiba dia di atas, Ibrahim Arkam menepuk-nepuk bahunya: “Tambah yakin saya bahwa kamu yang akan menjadi pewaris Kitab Makom Mahmuda itu, sehabis satu kurun terlepas dari tangan Syekh Turki”.
“Ah, jangan besar-besarkan hatiku. Pak”. kata Gumara.
“Aku tak berdusta anak muda. Cuma tiga orang yang berasal dari Kumayan yang mempunyai ilmu cicak. Pertama Syekh Turki. Kedua Ki Karat, ayahmu. Dan sekarang engkau yang ketiga”, ujar Ibrahim Arkam dengan sopan. Lalu dibawanya Gumara memasuki rumah “di dalam tebing” itu. Segalanya amat di luar dugaan. Rumah dalam tebing itu menyerupai guha.
Kesamaannya dengan Guha Lebah tidak ada sama sekali.
Kebersihan dalam “rumah kiayi tua” ini amat luar biasa, Beliau berkata sehabis Gumara memuji kebersihan, katanya: “Sesuai dengan hadis Nabi, kebersihan itu sebahagian dari Iman”.
Adadua obor yang terbuat dari kayu pecahan pohon karet. Begitu Gumara menoleh, dia melihat ada semacam kuburan. Dua kuburan malah. Namun sebelum Gumara bertanya. Ibrahim Arkam menjelaskan; “Itu kuburan istriku, yang wafat 50 tahun yang lalu.
Menjelang pengembaraanku mencari Kitab. Dan satunya lagi, kuburan anak lelakiku, yang terbunuh oleh ilmu setan Ki Rotan. Dua-duanya akulah yang memasukkannya ke liang kubur. Tapi kalau saya mati, kuharap seorang calon Pendekar Besar yang memasukkan diriku ke liang kubur!”
“Siapa calon Pendekar Besar itu, Pak?” tanya Gumara.
Orangtua itu melirik sempurna ke muka Gumara seraya berkata:: “Anda!”
“Siapa tahu saya yang duluan mati, Pak”, kata Gumara.
“Tidak. Ketetapan itu sudah tiba. Guruku yang terakhir. Ki Sabda, pernah menyatakan padaku begini: Mungkin kamu yang akan mendapat Kitab Makomam Mahmuda itu.
Mungkin juga tidak. Tanda-tandanya tidak adalah, kalau kamu temukan seseorang pengembara yang bahkan hujan pun takut membasahi dia, seorang yang rendah hati, sehabis bersua dengan orang itu, ikhlaslah, kemudian bersiaplah untuk mati”.
Mata Ki Ibrahim Arkam tampak berlinang. Gumara tak habis heran, dan bersama-sama sudah yakin. Tapi bagaimana mungkin seseorang meramalkan kematianya” Bukankah mati itu diam-diam Tuhan?
Tapi kesempatan ini ingin dipakai oleh Gumara. Dulu ia pernah membaca buku semasa masih Sekolah Guru Atas (SGA). Ia lupa nama pengarangnya.Tapi ia tidak lupa pesan pengarang itu yang berfatwa: “Berguru kepada orang yang hidup itu baik, tetapi belajar kepada ORANG YANG AKAN MATI itu lebih baik!” Jika benar Ibrahim Arkam akan mati, ia siap untuk belajar kepadanya.
Pertama sehabis dia dijamu minuman tebu yang sudah diperas, ia ingin bertanya, di manakah Ki Ibrahim Arkam medapatkan tebu. Lalu, kedua saat tengah hari dia disuguhkan makan siang dengan hidangan singkong rebus. Dia bertanya dalam hati, dari manakah Ki Ibrahim sanggup singkong rebus. Setelah makan siang itu, dia mengikuti bersembahyang lohor. Tapi ya Allah, betapa orangtua ini lamanya bangun membaca ayat-ayat Kitab Suci Al-Quran. Juga betapa usang dia rukuk dan sujud.
Apakah yang dibaca guru bau tanah ini saat berdiri, rukuk dan sujud?”
Ketika Gumara melihat tumpukan singkong-singkong yang sebesar paha tak tahan lagi Gumara bertanya: “Dimanakah tuan guru membeli singkong ini?”
“Di tanam sendiri”.
“Tebu-tebu itu?”.
“Juga hasil kebun tebuku”
“O, mana kebun anda?”
“Di sini. Di sini”, ujar pak bau tanah itu menunjuk daerah mereka duduk. Gumara tercengang. Tapi sebelum dia bertanya lagi, orangtua itu mengajak Gumara menuju satu lorong. Tiap tiga meter ada obor kayu karet. Lalu tampaklah sebuah kebun.
Bayangkan! Kebun di bawah tanah. Rupanya ada terowongan raksasa peninggalan Bala Tentara Jepang yang sudah diperlengkapi dengan gardu-gardu listrik. Dan kebun di bawah tanah ini benar-benar subur. Tenyata tebing itu tembus menghadap ke timur.
Setidaknya hingga jam 10 pagi kebun di bawah ini sudah menikmati cahaya matahari secara total. Tinggi terowongan ini ialah 10 meter. Makara pohonan menyerupai pohon singkong dan pohon tebu tidak akan hingga menjangkau langit-langit terowongan Jepang ini. Gumara hingga geleng-geleng kepala. Kalau sekiranya orang melihat dari arah timur, orang takkan percaya di sini ada kebun di bawah tanah.
Paling yang tampak hanya kehijauan biasa saja...
Keheranan Gumara rupanya tidak akan berhenti di situ saja. Ki Ibrahim Arkam menyeret lengan Gumara ke sudut tenggara. Ternyata di situ ada semacam pintu beroda. Ketika pintu beroda itu didorong Pak Tua itu, terbukalah satu ruangan.
Alangkah terkejutnya Gumara! Bukan main! Satu ruangan yang indah dengan dekorasi rumah-rumah aristokrat Japang. Wallpaper yang menghiasi ruangan itu merupakan dekoratif khas Jepang. Tempat tidurnya pun tingginya cuma sejengkal. Di timur, di barat ruangan yang menyerupai kamar hotel ini, ada beling setebal satu sentimeter.
Kaca ini benar-benar berfungsi sebagai jendela yang akan menyerap sinar dan ultra violet matahari. Tak sanggup dibayangkan kalau malam, kebetulan Bulan Purnama!
Adapula wastafel dan kran-kran air ledeng. Juga ada kamar mandi. Maka yakinlah Gumara mengapa Ki Ibrahim Arkam ini terawat bersih. Di kamar mandi ada persediaan biji-biji buah klereg, yang sanggup berfungsi sebegai sabun.
“Bisa mandi di kamar mandi ini, Pak?” tanya Gumara.
“Lho sanggup saja. Kalau puteran itu (maksudnya kraan) diputar, maka akan keluar air.
Setelah saya selidiki, air ini datangnya dari pipa yang menembus dua bukit. Air ini datangnya dari jeram Ratu Stanggi!”
“Ratu Stanggi!” seru Gumara tercengang, alasannya ialah gres mendengar nama itu.
“Kamu gres mengenal nama itu?” tanya Ki Ibrahim Arkam.
“Baru kali ini. Ayahku pun tidak pernah menceritakan, Pak”.
“Supaya kamu kelak menyaksikannya sendiri, kemudian merasa heran. Ratu itu bersama-sama Ratu Jin yang tampaknya bertugas sebagai saringan bagi orang-orang yang akan menjalani keutamaan hidup”, kata Ki Ibrahim Arkam. Gumara sekarang lebih tertarik untuk memutar kraan. Memang muncratlah air dari atas. Saking girangnya Gumara tak membuka baju kemeja putihnya maupun celananya, bahkan dia berbasah-basah kegirangan menikmati air bersih! Ki Ibrahim menyembunyikan perasaan gelinya.
Bersambung...
Dia ramah dan hormat alasannya ialah dia telah lima puluh tahun ingin mendapat Sang Kitab. Tapi tenyata dia jumpa muka dengan calon pemilik syah kitab tersebut, sesuai dengan ramalan bekas gurunya. Pondok yang dimaksud lelaki bau tanah yang berwibawa ini, tenyata satu lobang di sebuah tebing. Tak ada tangga untuk hingga ke lobang itu. Gumara keheranan alasannya ialah dengan contoh tiga langkah dan dua telapak tangan si bau tanah bertelekan pada permukaan tanah mendadak dia sudah jumpalitan bagai orang bersalto. Seketika itu juga dia sudah hingga erat pintu lubang dinding tebing itu.
Dari atassana . Ki Ibrahim Arkam berseru pada Gumara yang masih ada di bawah: “Hoi pahlawan muda, naiklah ke sini”.
“Bagaimana caranya, Pak Tua?” tanya Gumara.
“Ah, kamu jangan bercanda, anak muda”, kata Ibrahim Arkam.
Gumara kemudian merayap saja di dinding tebing itu menyerupai seekor cicak. Setiba dia di atas, Ibrahim Arkam menepuk-nepuk bahunya: “Tambah yakin saya bahwa kamu yang akan menjadi pewaris Kitab Makom Mahmuda itu, sehabis satu kurun terlepas dari tangan Syekh Turki”.
“Ah, jangan besar-besarkan hatiku. Pak”. kata Gumara.
“Aku tak berdusta anak muda. Cuma tiga orang yang berasal dari Kumayan yang mempunyai ilmu cicak. Pertama Syekh Turki. Kedua Ki Karat, ayahmu. Dan sekarang engkau yang ketiga”, ujar Ibrahim Arkam dengan sopan. Lalu dibawanya Gumara memasuki rumah “di dalam tebing” itu. Segalanya amat di luar dugaan. Rumah dalam tebing itu menyerupai guha.
Kesamaannya dengan Guha Lebah tidak ada sama sekali.
Kebersihan dalam “rumah kiayi tua” ini amat luar biasa, Beliau berkata sehabis Gumara memuji kebersihan, katanya: “Sesuai dengan hadis Nabi, kebersihan itu sebahagian dari Iman”.
Adadua obor yang terbuat dari kayu pecahan pohon karet. Begitu Gumara menoleh, dia melihat ada semacam kuburan. Dua kuburan malah. Namun sebelum Gumara bertanya. Ibrahim Arkam menjelaskan; “Itu kuburan istriku, yang wafat 50 tahun yang lalu.
Menjelang pengembaraanku mencari Kitab. Dan satunya lagi, kuburan anak lelakiku, yang terbunuh oleh ilmu setan Ki Rotan. Dua-duanya akulah yang memasukkannya ke liang kubur. Tapi kalau saya mati, kuharap seorang calon Pendekar Besar yang memasukkan diriku ke liang kubur!”
“Siapa calon Pendekar Besar itu, Pak?” tanya Gumara.
Orangtua itu melirik sempurna ke muka Gumara seraya berkata:: “Anda!”
“Siapa tahu saya yang duluan mati, Pak”, kata Gumara.
“Tidak. Ketetapan itu sudah tiba. Guruku yang terakhir. Ki Sabda, pernah menyatakan padaku begini: Mungkin kamu yang akan mendapat Kitab Makomam Mahmuda itu.
Mungkin juga tidak. Tanda-tandanya tidak adalah, kalau kamu temukan seseorang pengembara yang bahkan hujan pun takut membasahi dia, seorang yang rendah hati, sehabis bersua dengan orang itu, ikhlaslah, kemudian bersiaplah untuk mati”.
Mata Ki Ibrahim Arkam tampak berlinang. Gumara tak habis heran, dan bersama-sama sudah yakin. Tapi bagaimana mungkin seseorang meramalkan kematianya” Bukankah mati itu diam-diam Tuhan?
Tapi kesempatan ini ingin dipakai oleh Gumara. Dulu ia pernah membaca buku semasa masih Sekolah Guru Atas (SGA). Ia lupa nama pengarangnya.Tapi ia tidak lupa pesan pengarang itu yang berfatwa: “Berguru kepada orang yang hidup itu baik, tetapi belajar kepada ORANG YANG AKAN MATI itu lebih baik!” Jika benar Ibrahim Arkam akan mati, ia siap untuk belajar kepadanya.
Pertama sehabis dia dijamu minuman tebu yang sudah diperas, ia ingin bertanya, di manakah Ki Ibrahim Arkam medapatkan tebu. Lalu, kedua saat tengah hari dia disuguhkan makan siang dengan hidangan singkong rebus. Dia bertanya dalam hati, dari manakah Ki Ibrahim sanggup singkong rebus. Setelah makan siang itu, dia mengikuti bersembahyang lohor. Tapi ya Allah, betapa orangtua ini lamanya bangun membaca ayat-ayat Kitab Suci Al-Quran. Juga betapa usang dia rukuk dan sujud.
Apakah yang dibaca guru bau tanah ini saat berdiri, rukuk dan sujud?”
Ketika Gumara melihat tumpukan singkong-singkong yang sebesar paha tak tahan lagi Gumara bertanya: “Dimanakah tuan guru membeli singkong ini?”
“Di tanam sendiri”.
“Tebu-tebu itu?”.
“Juga hasil kebun tebuku”
“O, mana kebun anda?”
“Di sini. Di sini”, ujar pak bau tanah itu menunjuk daerah mereka duduk. Gumara tercengang. Tapi sebelum dia bertanya lagi, orangtua itu mengajak Gumara menuju satu lorong. Tiap tiga meter ada obor kayu karet. Lalu tampaklah sebuah kebun.
Bayangkan! Kebun di bawah tanah. Rupanya ada terowongan raksasa peninggalan Bala Tentara Jepang yang sudah diperlengkapi dengan gardu-gardu listrik. Dan kebun di bawah tanah ini benar-benar subur. Tenyata tebing itu tembus menghadap ke timur.
Setidaknya hingga jam 10 pagi kebun di bawah ini sudah menikmati cahaya matahari secara total. Tinggi terowongan ini ialah 10 meter. Makara pohonan menyerupai pohon singkong dan pohon tebu tidak akan hingga menjangkau langit-langit terowongan Jepang ini. Gumara hingga geleng-geleng kepala. Kalau sekiranya orang melihat dari arah timur, orang takkan percaya di sini ada kebun di bawah tanah.
Paling yang tampak hanya kehijauan biasa saja...
Keheranan Gumara rupanya tidak akan berhenti di situ saja. Ki Ibrahim Arkam menyeret lengan Gumara ke sudut tenggara. Ternyata di situ ada semacam pintu beroda. Ketika pintu beroda itu didorong Pak Tua itu, terbukalah satu ruangan.
Alangkah terkejutnya Gumara! Bukan main! Satu ruangan yang indah dengan dekorasi rumah-rumah aristokrat Japang. Wallpaper yang menghiasi ruangan itu merupakan dekoratif khas Jepang. Tempat tidurnya pun tingginya cuma sejengkal. Di timur, di barat ruangan yang menyerupai kamar hotel ini, ada beling setebal satu sentimeter.
Kaca ini benar-benar berfungsi sebagai jendela yang akan menyerap sinar dan ultra violet matahari. Tak sanggup dibayangkan kalau malam, kebetulan Bulan Purnama!
Adapula wastafel dan kran-kran air ledeng. Juga ada kamar mandi. Maka yakinlah Gumara mengapa Ki Ibrahim Arkam ini terawat bersih. Di kamar mandi ada persediaan biji-biji buah klereg, yang sanggup berfungsi sebegai sabun.
“Bisa mandi di kamar mandi ini, Pak?” tanya Gumara.
“Lho sanggup saja. Kalau puteran itu (maksudnya kraan) diputar, maka akan keluar air.
Setelah saya selidiki, air ini datangnya dari pipa yang menembus dua bukit. Air ini datangnya dari jeram Ratu Stanggi!”
“Ratu Stanggi!” seru Gumara tercengang, alasannya ialah gres mendengar nama itu.
“Kamu gres mengenal nama itu?” tanya Ki Ibrahim Arkam.
“Baru kali ini. Ayahku pun tidak pernah menceritakan, Pak”.
“Supaya kamu kelak menyaksikannya sendiri, kemudian merasa heran. Ratu itu bersama-sama Ratu Jin yang tampaknya bertugas sebagai saringan bagi orang-orang yang akan menjalani keutamaan hidup”, kata Ki Ibrahim Arkam. Gumara sekarang lebih tertarik untuk memutar kraan. Memang muncratlah air dari atas. Saking girangnya Gumara tak membuka baju kemeja putihnya maupun celananya, bahkan dia berbasah-basah kegirangan menikmati air bersih! Ki Ibrahim menyembunyikan perasaan gelinya.
Bersambung...