Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 20 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Latu Ki Wati yang semestinya tak punya rasa takut itu Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 20 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Latu Ki Wati yang semestinya tak punya rasa takut itu, mendadak takut lantaran melihat kurang jelas satu sosok berjubah makin erat dan makin dekat. Lidah Ki Wati akan berteriak, namun kelu. Suara pun tersekat di kerongkongan.
Orang berjubah itu tinggi besar. Makin erat makin tinggi.
Dan ... wajahnya tampak rata.
Bulu roma Ki Wati makin merinding, lantaran tiba-tiba orang itu berkata: “Pinjam cangkulmu. Orang sakti menyerupai beliau, kuburannya harus dalam. Ada nanti yang jahat menggali kuburan ini, mengambil satu dua helai rambut dia “.
“Siapa anda?” tanya Ki Wati mulai berani.
“Aku bekas muridnya. Karena durhaka pada Guru, pada beliau, saya bertanding.
Senjatanya yang ampuh, ialah Pedang Raja Turki, telah membabat wajahku hingga rata. Aku bukan insan lagi, bukan setan ataupun jin!”
Orang misterius itu mencangkul. Begitu cekatan, bertambah lagi dalam lubang itu tujuh hasta. Ketika cangkul diserahkannya kembali, Ki Wati terjengkang ke belakang lantaran melihat wajah itu menyerupai harimau luka yang mengaum dahsyat. Entah bagaimana sosok harimau itu berlalu dari situ.
Ki Wati teringat Pedang Raja Turki itu. Namun dia harus menguburkan Sang Guru terlebih dahulu. Ringkas sekali waktu penguburan oleh sang murid.
Baru sesudah itu, Ki Harwati menggeledah rumah. Dia menemukan pedang yang istimewa, adanya dalam salah satu tiang bambu. Dengan pedang itu, dia merasa tongkatnya tak ada arti lagi. Pedang itulah yang disandangnya pergi.
Dan, di Guha Lebah memanglah sedang terjadi satu malapetaka dahsyat. Ki Pita Loka dengan wajah duka menyaksikan lebah-lebah piaraannya yang setia selama ini begitu panik. Mereka tak sanggup keluar lantaran sebuah watu raksasa jatuh sempurna di depan pintu guha. Lebah-lebah itu mencari jalan keluar dengan kalap. Mereka menerjang atap guha, tapi lantas jatuh berguguran. Dalam sinar satu obor kayu karet itu, tampaklah lebah-lebah itu jatuh seratus demi seratus ekor. Mereka berguguran.
Gumara sendiri duduk terpaku pada bangku watu menyerupai orang tolol. Apa yang dicarinya, sesuai dengan peutunjuk Ki Ibrahim Arkam menurut takwil mimpi, tampaknya cuma informasi bohong. Kitab Makom Mahmuda justru tidak ada. Bahkan Pita Loka sudah bersumpah, bahwa dia tidak mempunyai Kitab sakti itu. Yang terjadi justru sebaliknya!
Tirai stanggi yang konon merupakan dinding bulat asap yang selama ini jadi kisah kesaktian Pita Loka dari ekspresi para guru-guru besar, malahan tidak mengeluarkan busuk stanggi lagi. Memang asap itu ada. Dan Gumara menyaksikannya.
Asap itu mengepul dari dasar lantai guha. Namun tidak mengeluarkan busuk stanggi.
Asap itu malahan menyesakkan nafas. Sebab busuk yang dipancarkannya berupa busuk belerang.
“Bagaimana jalan keluar kita?” tanya Gumara.
“Kita sedang terkurung. Sejak meteor jatuh dari angkasa luar menutupi pintu guha, kita seolah-olah siap untuk mati terkurung”, kata Ki Pita Loka. Gumara yang dirinya kelihatan menjelma tolol, kemudian bertanya; “Bagaimana nasib Dasa Laksana?”
“Persetan dengan dia”, kata Pita Loka.
“Persetan? Kalau begitu kau membenci dia!”
“Ya!”
“Kukira kalian berdua sudah melangsungkan ikatan”.
“Dia biang keladi tragedi ini. Seorang insan kota yang moderen, telah mencemarkan kebersihan ilmu kebatinan”.
“Lalu, yang kau maksud kamarnya?” tanya Gumara.
“Lihat sendiri saja”, kata Pita Loka.
“Boleh saya bertatap muka dengan dia?”
“Silahkan”, kata Pita Loka.
Gumara bertanya lagi: “Tunjuki padaku daerah di mana dia berada. Tampaknya kau sangat merahasiakan”.
“Itu. Di Sana. Sekarang tak ada kamus diam-diam lagi”, kata Ki Pita Loka. Gumara menuju ke daerah telunjuk Ki Pita Loka tertuju. Ada satu lorong sempit Makin Gumara masuk, makin terasa busuk amis. Seperti busuk bangkai ular! Tak ada penerangan ke sana. Kaprikornus Gumara mesti meraba-raba dinding lorong itu.
Lalu Gumera mencicipi jalan ke sana licin. Berkali-kali hampir tergelincir dia, Sementara itu busuk busuk semakin mendahsyat. Gumara ingin tahu sumber busuk itu. Dia tergelincir lagi alasannya sepatu karetnya harus menginjak benda licin. Gumara lantas berhenti melangkah. Dia berjongkok. Dan dirabanya penyebab ia terpeleset alasannya licinnya.
Begitu dirabanya lantai guha yang licin itu, dia mencicipi semacam sisik ular.
Untunglah dia tak menjerit. Cuma bulu romanya meremang. dia melanjutkan perjalanan. Tampak ada sedikit cahaya obor. Ini menciptakan Gumara ingin tahu.
Semakin terang cahaya itu, semakin besar rasa ingin tahu Gumara, mengapa ada semacam ular di lantai guha yang bikin dia terpeleset lagi!
Ular!
Benar-benar bangkai ribuan ular di lantai itu! Ular-ular yang jumlahnya begitu banyak, rupanya gres saja mati. Ular itu mati keracunan asap sulfur yang memang memenuhi lorong yang sedang dilewati Gumara.
Terdengar suara: “Siapa itu”
Suara itu dari lorong yang ke kiri. Gumara menoleh ke bunyi itu. Barulah tampak olehnya, Dasa Laksana, dalam keadaan dirantai. Tubuhnya tinggal tulang di balut kulit. Bibirnya kering. Matanya menonjol keluar. Dan rupanya dia barusan saja makan bangkai ular.
“Aku Gumara yang pernah anda kalahkan”, kata Gumara.” Mengapa anda dirantai begini?”
“Aku dalam berguru dengan Ki Pita Loka. Lalu mendadak nafsu birahiku timbul dalam suatu upacara kenaikan tingkat ilmu yang kupelajari darinya. Aku mencoba memperkosanya. Tapi gagal. Lalu saya dibantingnya hingga pingsan. Dan kudapati diriku di sini, diawasi oleh ratusan dan ribuan ular berbisa, dalam keadaan dirantai”
“Tahukah anda apa yang sedang terjadi?” tanya Gumara.
“Aku tahu” ujar Dasa Laksana, “Aku kehilangan daya. Bencana ini datang jawaban kutukan. Kutukan dari langit. Ketika meteor itu dua kali membentur Bukit Lebah ini, kukira saya akan mati. Tapi tolonglah saya kini!”
Gumara kehilangan akal. Lalu dia dengar ucapan Dasa Laksana: “Tahukah anda, saya mencoba memperkosa Ki Pita Loka menurut mimpi?”
“Kau juga termasuk percaya takwil mimpi?” tanya Gumara.
““Yah, sudah terlanjur terlibat dalam dunia absurd ini ...begitulah! Aku bermimpi ketemu orangtua yang berjulukan Ki Rotan. Mimpi itu selanjutnya menyatakan. semoga saya menyetubuhi Ki Pita Loka semoga mendapat tuah. Ilmu Ki Pita Loka akan sendirinya kupunyai bila berhasil menyetubuhinya. Nyatanya ... itu semua godaan”.
Lalu mendadak, amat mengejutkan, terdengar bunyi gemuruh! Gumara maupun Dasa Laksana sama menjerit. Satu kesan bahwa ada cahaya di lorong kanan itu sudah jelas.
Ya, cahaya dari arah selatan. Dari lorong mati. Lalu muncul bayang-bayang sesudah setengah jam Gumara dan Dasa Laksana terpana bisu. Kebisuan itu terpecahkan oleh bunyi langkah orang mendekat Dari bayangan yang timbul bergerak di dinding lorong
kanan itu, tampak bahwa insan yang bergerak masuk itu memegang tongkat.
“Itu orang yang kulihat dalam mimpi!” seru Dasa Laksana tak tahan, meronta.
“Ki Rotan”, bisik Gumara.
Gumara segera berkonsantrasi lantaran merasa dalam bahaya.
Aneh? Biasanya jikalau dia berdzikir,,,, dia merasa ada getaran gelombang masuk ke dalam dirinya! Kali ini tidak ada getaran.
Ia menyerupai bocah yang ketakutan sewaktu Ki Rotan mendekat wajah Ki Rotan jadi buas. Gumara dan Dasa Laksana sama mengkeret takut. Ki Rotan mengayunkan tongkat. Lalu disabetnya badan Gumara.
Gumara menjerit lantang.
Lalu Ki Rotan berkata. “Kini giliran akulah yang akan mempunyai Kitab Sakti itu! Mana Ki Pita Loka!”
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel