Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 19 - Seri Tujuh Insan Harimau

 yaitu induk susu kegemaran orangYugoslavia  Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 19 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Pita Loka memakan buah itu. Gumara jadi ngiler. Dan dia menggigitnya sedikit. Rasanya menyerupai jambu bol. Tapi terang bukan jambu bol. “Buah apa ini?” tanya Gumara. “Buah mancina. Mungkin di Cina, sekitar pegunungan, buah ini pun ada. Jika buah ini sudah tertalu matang, rasanya menyerupai yoghurt, yaitu induk susu kegemaran orangYugoslavia .”
“Pernahkah kau menghadiahkan buah mancina ini pada Dasa Laksana?” tanya Gumara memancing. Pancingan itu menciptakan bekas muridnya yang cerdas itu tersenyum.
Ujar Pita segera. “Hanya tamu terhormat. menyerupai Ibrahim Arkam yang pernah kuberi. Dasa Laksana tidak!”
“Kau tak berbohong, Pita?”
“Mana pernah saya bohong. Karena saya tak pernah bohonglah maka saya sekarang ada di sini”, ujar Pita Loka.
“Apa yang menjadikan kau hingga mengasingkan diri ke sini?” tanya Gumara bersemangat dan dia semakin bersemangat mengunyah pula alasannya ialah buah mancina ini ternyata amat lezat.
“Katakan Pita Loka, apa penyebab kau minggat hingga terdampar ke sini?”
“Karena terbawa Nasib”.
“Ah. Kau seorang yang cerdas, kaya budi dan matematis!”
“Tapi saya pun punya perasaan sebanyak pikiranku, Pak!”
“Apa perasaanmu ketika kau lari?”
“Ingin menaklukan anda”.
“Ha?”
“Ilmu anda tinggi, ilmu Harwati tinggi. Sedangkan ayahku tidak mewariskan apa-apa bagiku kecuali seluas otak di kepalaku ini, Pak. Jika anda ingin saya berterus- terang mengapa saya minggat, penyebabnya amat sederhana! “
“Katakan penyebab itu. Sebab justru itulah yang ingin saya ketahui”
“Penyebabnya alasannya ialah patah hati. Karena cinta tak terbalas”.
Mendengar itu. Gumara yang sedang asyik mengunyah buah mancina terhenti mengunyah. Dia Terpana menatap Pita Loka.
“Pada siapa kau patah hati, Pita Loka?” tanya Gumara.
“Ah, tak usah dibicarakan lagi. Semua itu sudah lewat. Kini saya berada di dunia yang lain”
“Di dunia suami isteri?”
“Tidak”
“Di dunia cinta?”
“Jauh dari itu”
“Jadi dunia macam apa yang kau maksud? Ah, saya ingin bertatap muka dengan Dasa Laksana. Boleh atau tidak?”
“Boleh saja. Tapi nanti. Kalau buah mancina Bapak sudah habis. Mau satu lagi?”
“Aku butuh makan nasi. Aku lapar sekali”, kata Gumara.
“Saya sudah usang tak mengenal nasi, Pak. Hanya makan buah rimba. Mau Bapak satu buah mancina lagi?”
“Saya hanya mau bertatap muka dengan Dasa Laksana. Hanya alasannya ialah terhalang oleh rasa respect padamulah maka seluruh perkelahian dengan dia dulu saya akhiri dengan kekalahan saya”.
“Bapak menerka saya tak mengetahuinya. Bapak tolong-menolong sanggup meremukkan dia. Saya tau itu ... “
Untuk pertama kali, kecemburuan Gumara yang berkobar berubah jadi senyuman murni.
Keduanya berpandangan. Pita Loka sesak dadanya menahankan nafsu birahi yang mengamuk-ngamuk dalam dada, tapi demikian pula Gumara. Ketika keduanya sama bangun pada puncak ketegangan oleh gairah, satu cahaya kilatan disertai geledek membahana dengan dahsyat!
Satu watu amat besar jatuh dari arah atas guha hingga satu obor yang tadi menyala padam seketika. Tinggal satu obor lagi yang menyala, menciptakan suasana semakin mencekam.
“Ampuni saya. Tuhanku!” berseru Pita Loka, menyadari lintasan dosa, yang hampir terjalin sekalipun sudah bergumul berkecamuk dalam pikirannya.
Gumara tak mengucapkan penyesalan, kecuali membisu tertunduk, menyatakan rasa bersalah hanya dalam kalbu. Rupanya. Kilatan sinar petir berbentuk pedoman listrik yang dahsyat itu muncul dari utara ke selatan. Hal ini dilihat oleh Harwati maupun Ki Rotan. Harwati yang telapak kakinya berlubang sebesar pengecap insan melangkah terseok-seok namun lincah ia menuju ke gubuk jerami Ki Rotan. Ki Rotan melihat Ki Harwati melangkah pincang menuju dirinya.
“Apa yang kira-kira sedang terjadi?” tanya Ki Rotan.
“Bagai bola api itu jatuh di Bukit Selatan itu. Cahaya terang tampak olehku, terang jatuh di Bukit Berpayung atau Bukit Lebah!”
“Kalau begitu ada petaka di sana?” kata Ki Rotan bersemangat Ki Harwati berkonsentrasi sejenak. Tongkatnya dia colok ke kaki kanannya yang berlubang itu.
Dia berkonsentrasi sejenak.
“Kukira begitu”, ungkapnya sesudah selesai berkonsentrasi.
“Apa yang kita lakukan?”
“Suatu malapetaka besar sedang terjadi di Guha Lebah”.
“Dari mana kau tahu, Ki Wati?”
“Dari ucapan Ki Pita Loka sendiri. Bukankah dia mempercayaiku, sewaktu saya mencar ilmu padanya?”
“Lantas?”
“Dia mengatakan, suatu ketika ilmuku akan berakhir apabila ada bola api membentur Bukit Lebah ini. Semua lebah akan jatuh di lantai guha bagai anai-anai yang mati bergelimpangan. Waktu itu, kata Ki Pita Loka, seluruh ilmu yang saya miliki akan habis”.
“Dia harus kita ambil sebelum jatuh ke tangan orang lain”, kata Ki Rotan.
“Tak semudah itu”, ujar Ki Harwati
“Jadi bagaimana caranya kita merebut ilmu Ki Pita Loka?”
Ki Wati menjawab: “Kecuali kalau kita pergi ke Bukit Tunggal. Kita bergabung dengan Guru Tua itu.”
“Kalau begitu mari kita ke Guru Tua”. kata Ki Rotan bersemangat.
“Tak mungkin saya membawa anda, Tuan Guru. Kedudukan anda, sekalipun bekas guru saya, anda ini ialah murid saya”. kata Ki Harwati.
Ki Rotan kecewa. Lalu dia berkata: “Jika demikian keadaannya, maka oke anda pergi sendiri. Tapi jangan lupakan saya. Saya murid anda, seluruh ilmu yang gres anda dapatkan, berikan padaku”.
“Saya tak pernah akan lupakan jasa Ki Guru” , kata Ki Harwati. Lalu dengan terlebih dulu mencolokkan ujung tongkatnya ke lubang kaki, dia Iantas berkonsentrasi. Petir menyambar lagi, Ki Harwati mendongak ke langit. Dia ikuti cahaya petir itu. Di tengah-tengah pajalanan bertempur dua buah garis petir. Lalu terciptalah bola api yang amat terang. Bola api itu bagai enggelinding menuju selatan dan tampak terang menghantam Bukit Lebah yang bentuknya menyerupai payung itu. Tak terang apa yang terjadi selanjutnya alasannya ialah angin puting beliung menghantam dan memelintir tempat Ki Rotan. Ki Harwati tak tunggu lagi. Dalam berair kuyup deras hujan dia dalam sekelebatan sudah hinggap di antara dahan pohon satu ke pohon lain.
Perjalanan dua setengah malam itu seolah-olah percuma. Guru Tua, Ki Tunggal, yang dia harapkan sanggup memperlihatkan wangsit dalam keadaan terkapar. Agaknya dia sekarat.
“Tuan akan menemui ajal?” tanya Ki Wati.
“Benar. Aku sudah mendapat menandakan ngalamat, ketika dua hari yang lalu, pada tengah malam kulihat bola api beterbangan dari Bukit Tunggal ini, di antar oleh sang petir. Ya, di BuKit Lebah akan terjadi perang kebatinan yang dahsyat untuk memperebutkan Kitab itu ... “
“Kitab? Kitab apa. Tuan Guru?”
“Itulah yang namanya Kitab Ketujuh. Kitab yang hanya ayahmu dan Ki Putih Kelabu serta turunannya yang mengetahui namanya”
“Apa nama Kitab itu, Guru?”
“Namanya Kitab Makom Mahmuda”
“Saya pernah mendengarnya! Tapi cuma dalam mimpi! Coba anda berikan sisa ilmu anda padaku, Tuan Guru. Biarpun sedikit, yaitu materi yang saya tidak punyai”.
“Semua berpangkal pada Tujuh Harimau”, kata Guru Tua sekarat itu.
Tapi sementara itu Ki Rotan menempuh jalan sendiri. Dia tak sabar menanti kembalinya gurunya, Ki Harwati. Dia justru ingin mendahului Ki Wati menuju ke Bukit Lebah alasannya ialah terlanjur mengetahui sebagian belakang layar yang telah dia dengar dua setengah malam yang lalu.
Di padepokannya, Ki Tunggal meneteskan air mata sesudah berbaring. Katanya dengan sedih: “Tahukah kau, mengapa diriku jadi sial? Itu alasannya ialah saya meremajakan diriku! Dan mengawini anak perawan. si Senik itu!”
“Di mana dia ... Ratu Senik. Ki Guru?”
“Setelah kau berangkat dengan kuisi sedikit ilmu itu, dia cemburu padamu. Maka saya tampil sebagai sosok renta keriput. Aku dimaki-makinya sebagai lelaki renta tak tahu diri. Aku tak mengutuknya! Itulah salahku! Seorang guru tak boleh menyayangi apapun
kecuali ilmu. Dia minggat. Tapi saya tahu dengan siapa Ratu Senik akan mendapat teman. Dia akan menjadi lawan seluruh tujuh insan harimau di kemudian hari. Tapi ilmu yang akan kuberikan padamu hanya satu kisah. Yaitu, sesudah kematianku, akan lahir satu insan harimau. Dialah harimau ke delapan degan kelebihan ilmu dari yang lain yang sudah mati atau yang masih hidup. Karena tujuh harimau terdahulu tidak mendapat Kitab Tujuh itu, mungkin hanya dia satu-satunya!”
“Lalu?”
“Untuk mendapat Kitab itu, akan terjadi perang hebat. Mungkin ada yang mati.
Aku kuatir, kalau kau kesana, kau terlibat dalam perang perebutan Kitab Sakti itu”.
“Akibat lain?” tanya Ki Wati.
“Ada yang gila”.
“Tapi katakan pada saya, siapa pemilik Kitab tersebut? “
Ki Tua berdiam sedih. Dia tidak diperkenankan menyatakan siapa, kendati ia tahu. sesuai dengan sumpahnya, apabila dia katakan maka dia akan mati dalam keadaan mengerikan. Bukan mati sebagai manusia. Tapi mati dalam bentuk: bangkai harimau.
“Kurasa, saya sudah dekat”, kata Ki Tunggal.
“Nanti dulu, Ki Guru!”
“Nyawa tak sanggup di tunda”. Ujar si Tua itu yang menggelepar sesaat kemudian mengaum bagai macan dan kemudian, dalam keadaan tangan terlipat, dia masih membaca-baca sesuatu, bergelepar sejenak. Dan nafasnya pun terhenti.
Karena kesal dan sedih. Ki Wati menangis menggero-gero hingga pingsan beberapa saat. Dia seolah-olah orang yang mendapat satu kesempatan anggun namun terlepas.
Dan keberangkatannya yang mestinya segera itu harus tertunda. Betapapun, gurunya yang terakhir ialah Ki Tunggal!. Seorang guru harus dihormati. Dan seorang guru yang disaksikan mati, harus dikuburkan secara layak. Dalam hujan lebat itu juga, Ki Wati mengambil cangkul.
Dia menentukan tempat yang paling gampang dikenal, yaitu di bawah satu pohon yang berbunga harum. Berdaun harum. Berbatang harum. Yakni pohon cendana.
Pacul menghantam tanah yang becek itu.
Ketinggian ilmunya menjadikan ringkasnya pekerjaan menggali lubang kubur itu.
Tetapi tiba-tiba bulu romanya merinding, entah mengapa. Hujan henti seketika, berganti gerimis kecil. Dan pemandangan di sekitarnya bukan menyerupai di tempat Bukit Tunggul lagi, melainkan di satu pertanahan kuburan yang begitu banyak disekeliling. Satu-satunya yang tak berubah ialah pohon cendana itu.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel