Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 18 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Dan menyerupai bocah yang menginginkan sesuatu Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 18 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Mendengar itu Gumara jadi ngeri. Di sini saja beliau bangun sudah ngeri. Dan menyerupai bocah yang menginginkan sesuatu, tapi kecut, maka beliau melangkah selangkah saja, kemudian berhenti.
“Bulu romaku tegaaaak!” teriaknya.
Gemetar dia, namun sempat mendengar perempuan itu mentertawakannya. Dia mendengar bunyi lagi: “Maju lagi selangkah”.
“Aku takut”, ujar Gumara.
Namun dicobanya maju lagi. Pemandangan semakin gelap. Keringat dinginnya mulai dirasakannya. Bau stanggi itu semakin memadatkan indera hidungnya. Dan beliau seolah-olah menyerah; “Aku takuttt”.
“Jangan takut. Aku gurumu! Bukankah kamu ingin mendapat ilmu melalui Kitab yang kamu baca lewat mimpi, bahwa kamu harus menyingkap misteri tirai stanggj?
Semua orang ingin mempertinggi ilmunya. Tapi ilmu yang akan saya beri padamu ialah satu kedudukan ilmu yang Tertinggi, mengerti?!!!, perempuan itu membentak. Dan alasannya ialah gema suaranya bergemuruh, bentakan itu semakin menakutkan. Dan Gumara gemetar menjawab ketakutan: “Saya mengerti Ibu Betara Guru”.
“Jangan takutttt!” teriak perempuan itu juga membentak dan bergema menakutkan.
“Saya mencoba berani”.
Dan perempuan itu membentak lagi: “Ayoh melangkah lagi, tolol!”
Dan Gumara melangkah lagi dengan sangat rendah hati, bagai budak pada majikannya. Karena tiba-tiba mencicipi busuk bangkai, beliau berhenti.
“Kenapa berhenti?!!!” hardik perempuan itu.
Namun, hanya bunyi saja yang kedengaran. Sosok wajah apalagi tubuhnya tak tampak. Gumara tambah takut. Dia mencicipi busuk bangkai.
“Selangkah lagi. ayoh maju!!!” terdengar bentakan perempuan itu lagi.
Suasana semakin gelap. Gelap sekali. Bau sekali. Dan angker sekali! Dan dengan terpaksa dan terseot.Gumara melangkah selangkah lagi.
“Bagus”, kedengaran kebanggaan Ratu Stanggi.
“Aku memohon, pelajaran yang tuan Ibu Betara Guru akan berikan dipersingkat. Saya takut, takut sekali”.
“Hah, mana ada ilmu yang praktis diperdapat! Semua ilmu ada jenjangnya. ngerti????” bentakan iagi.
Dengan nada hampir menangis Gumara berkata: “Saya mengerti, Guru”. Lalu beliau merasa dirinya semakin lemah dan berkata: “Saya lapar, Betara Guru!”
“Kelaparan ialah bab dari ilmu yang akan kuberikan”.
“Tapi saya kini ini ... lapar sekali!”
“Diam, bangsat!” hardik bunyi perempuan itu.
Gumara merasa dirinya tak kuasa apa-apa lagi. Bau bangkai itu semakin menusuk hidung. Rasa lemah dan takut semakin membuatnya tak bisa berfikir. Dan dengan merengek beliau bersuara melolong: “Tolong katakan padaku kelak saya akan menjadi apa. Betara Guru yang mulia!”
“Kau akan manjadi sembahan seluruh jawara, dari Bukit Kumayan sampai ke Bukit Lebah. Bahkan Pita Loka akan menghatur sembah padamu!”
Airmata Gumara meleleh. Dalam gelap airmata itu bagaikan mutiara yang antara tampak dan tiada berada di kerang terkelupas dalam lautan biru. Dan menjelmalah sosok badan yang luar biasa cantiknya. Dipergelangan tangannya teruntai gelang bertatah ratna mutu manikam.
Tubuhnya seakan dilapisi sutra tipis sehingga membuat bentuk perempuan yang menerbitkan birahi namun begitu kaya.
Dan sungguh membuat Gumara tolol ternganga melihat perempuan itu duduk di tahta emas, dingklik yang takkan pernah dilihatnya, hanya kecuali dalam cerita-cerita lukisan.
“Tuan memang pantas jadi ratu!” kata Gumara terpesona.
“Dan engkau akan menjadi Rajaku!”
“Aduh, saya orang lemah dan tolol. Saya muridmu! Mana mungkin?”
“Ratu Stanggi sudah harus menjadi jodoh Raja Gumara. Kini ikuti perintahku! Pejamkan matamu!”
“Baik Ratuku tercinta”.
“Jongkoklah. Meraba di permukaan guha ini. Bila kamu rasakan ada benda lingkaran menyerupai kelapa yang sudah dikupas sedikit, peganglah itu!”
Gumara bagai orang dongok, berjongkok. Tangannya meraba. Hidungnya merasa busuk amis. Tapi rasa ingin cepatnya mendapat ilmu tertinggi dengan kedudukan Sembahan Semua Juara, beliau alhasil berteriak sesudah meraba kelapa dimaksud Guru itu.
“Ini kelapa sudah kupegang!”
“Batu stanggi di tangan kiri, kelapa di tangan kanan! Ayoh cepat keluar dan ikuti arus sungai dengan menghanyutkan dirimu!”
Gembira Gumara menuruti perintah. Dia memegang kelapa dan kerikil stanggi tadi, meninggalkan Guha tadi, melewati teladas dan berhanyut-hanyut ke arah Barat Timbul karam beliau dalam gelombang sungai, terhanyut mengikuti arus sungai menyerupai orang gila tak sadarkan diri.
Kadang dibiarkan kepalanya terbentur pada kerikil sungai yang menghadang arus.
Biarpun terasa sedikit, beliau tak menjerit. Yang penting kelapa di tangan kanan, kerikil stanggi di tangan kiri ... tak lepas dari pegangan!
Tak terfikir lagi lapar dan haus. Juga beliau tak menyadari hari telah malam. Dan di langit ada bulan. Bulan yang sedang purnama. Waktu itulah Gumara mendengar permintaan dari atas kerikil tebing; “Pak Gumara ...!”
Dia mendahulukan kakinya. Sepatu Phuma yang menempel di kakinya beliau sodok ke kerikil bawah air. Tubuhnya tertahan dan beliau menyandarkan punggung bertahan ke kerikil curam.
“Pak Gumara!” terdengar lagi bunyi dari atas tebing. Gumara mencoba melihat ke atas, tapi terhalang oleh rumpun bambu. Lalu beliau mencicipi busuk amat busuk.
Dicarinya sumbernya. Ternyata di tangan kirinya itu. Dia buka tangan kirinya…ternyata itu bukan batu. Tapi gigi insan yang menggigit batu. Gigi bangkai manusia!
Gumara membanting sehingga muncrat air sungai membuat waiahnya bersimbah air.
Ini membantu penglihatannya. Dia kemudian mencicipi busuk lagi! Ternyata busuk di tangan kanan. Ternyata itu bukan kelapa tetapi kepala manusia, yang sepertinya gres mati.
Begitu Gumara mau membantingnya, beliau mendengar bunyi dari balik batu. Suara itu bunyi wanita. Yang berseru: “Jangan buang dia! Berikan beliau padaku dan lemparkanlah!”
Gumara melemparkan kepala insan yang mengerikan itu. Tampak ada tangan menyambut kepala itu. Dan sekonyong tegaklah di atas kerikil itu satu sosok tanpa kepala. Kepala yang dilempar Gumara tadi beliau jinjing. Dan sosok itu, yang menjinjing kepala itu, ialah perempuan dalam pakaian compang camping. Melihat perempuan tanpa kepala yang menjinjing kepala mengerikan itu. Gumara kontan berteriak bagai bocah ketakutan: “Tolong akuuu!!!”
Dia berteriak lagi: “Tolong akuuuu!”
Seorang perempuan masih dalam pakaian mukena putih menuruni tebing dengan amat mudah. Lalu beliau mengulurkan tangan untuk menolong Gumara.
“Siapa kau?” tanya Gumara ragu.
“Murid tuan Guru. Saya Pita Loka” ujar perempuan berpakaian mukena itu.
“Bukan sebuah godaan?”
“Bukan godaan. Bukan setan. Bukan jin atau pun peri! Aku Pita Loka, puteri Ki Putih Kelabu” ujar Pita Loka pasti, “Mungkin anda ragu melihat diriku masih berpakaian mukena ini. Aku sedang menuntaskan do”a sehabis shalat Iesya. Kulihat anda di bawah itu, diantara sinar bulan purnama, bagai hanyut! Ayoh, pegang tangan saya, Pak Guru, saya tolong angkat ke atas!”
Begitu Gumara memegang telapak tangannya, Pita Loka merenggut badan itu dan melemparkannya. Tubuh Gumara terangkat setinggi tujuh meter di atassana tetapi kemudian disambut oleh Pita Loka dengangaya yang menyerupai orang menyambut barang yang ringan.
Kemudian sesudah disambut beliau lepaskan Gumara dalam posisi berdiri. Dan Gumara bangun dengan tercengang. Lalu Pita Loka melangkah duluan menuju satu tumpukan kerikil yang rata. Dipermukaan susunan kerikil yang rata itu ada tikar sejadah. Tikar itu diambil Pita Loka semudah pula menyambar satu kayu karet yang ujungnya menyala api.
“Apa yang tadi anda lakukan maka hanyut, Pak Guru?”tanya Pita Loka.
“Saya hanyut dalam godaan setan”.
“Setan? Aneh sekali” ujar Pita Loka.
Dengan memegang obor Pita Loka menggiring Gumara ke ekspresi Guha Lebah itu.
Gumara berhenti melangkah. Pita Loka bangun di hadapan pintu itu. Tampak lebah-lebah yang ribuan jumlahnya itu berdengung ramai. Lalu semuanya minggir ke tepi seakan memberi jalan penuh penghormatan. Gumara mengikuti langkah Pita Loka memasuki gerbang guha itu. Dalam Guha tampak cahaya terang, Ternyata dua obor menyala, yaitu api yang bergoyang di ujung kayu karet.
Dengan menunjuk ke sebuah kerikil berbentuk kursi. Pita Loka berkata: “Silakan duduk”.
“Menakjubkan!“ ujar Gumara,
“Dulu Bapak belum sempat masuk. Keburu bertempur dengan Dasa Laksana. Ah, kalau saya ingat itu, saya kasihan pada Bapak”, ujar Pita Loka.
Sejak mendengar nama Dasa Laksana kembali, perasaan cemburunya menjalari urat darahnya. Namun beliau diam. Dan rasanya ingin bertanya.
“Mana Dasa Laksana?” tanya Gumara.
“Ada di dalam”, sahut Pita Loka.
“Ada di dalam? Apa di guha ini pun ada kamar?”
Pita Loka tarsenyum. Dia menyadari nada tanya Gumara cemburu. Tapi beliau tetap menjawab: “Di guha ini ada kamar”.
“Oh”, nada singkat Gumara itu mengambarkan putus asanya.
“Ini saya hadiahkan sebuah hidangan makan malam yang niscaya belum anda coba,. ujar Pita Loka seraya menyerahkan satu buah-buahan yang gres dikupas.
“Buah apa ini?” tanya Gumara heran.
“Nikmati dulu”. kata Pita Loka.
Tapi sebelum beliau makan buah yang agak asing itu, Gumara bertanya: “Boleh saya bertatap muka dengan Dasa Laksana?”
“Boleh saja. Tapi makan buah hadiahku dulu”, kata Pita Loka.
“Tidak. Saya ingin berjumpa dia”, kata Gumara.
“Kenapa Pak Guru mendesak begitu?”
Gumara menahan rasa malu, kemudian berkata geram: “Mungkin saya sudah tertipu oleh si bau tanah Ibrahim Arkam”
“O, Ibrahim Arkam? Dia bukan penipu!” kata Pita Loka.
“Jika demikian kamu mengenal dia?”
“Tentu”.
Lalu Pita Loka berkata lagi: “Ayoh makan buah hadiah terhormat dariku!"
“Jangan-jangan buah ini ada racunnya! “, ujar Gumara.
Pita Loka. yang juga memegang satu buah yang sama, ingin tau tertuduh begitu. dan beliau berkata: “Ini buah yang sama. Jika buah ini mengandung racun, saya akan mati duluan dari anda!”
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel