Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 17 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Gumara begitu ngeri tanpa berkutik sedikitpun dikala bendo tajam itu diayunkan padanya s Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 17 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Gumara begitu ngeri tanpa berkutik sedikitpun dikala bendo tajam itu diayunkan padanya seraya si kakek berteriak;“Mati kamu!” Parang itu menancap ke pundak Gumara.
Tapi kakek itu bengong. Mulutnya menganga. Dia heran tak ada darah menetes di pundak itu, padahal bendo tajamnya sudah masuk sedalam tiga jari. Gumara kemudian menghatur sembah: “Maaf kakek. Terutama Nenek, saya minta maaf”.
Ia berlalu dengan tersipu malu, ia tidak lagi lincah. Ia mulai menyadari tujuannya semula. Bukan ke ladang ini lantas akan memperkosa seorang perempuan yang ternyata lanjut usia, bukan! Ia harus menuju Bukit Lebah itu! Ke selatan itu! Bukan ke Barat itu!
Kini langkahnya tidak cepat tidak pula lambat. Ketika menuju ke arah selatan itulah ia ibarat menerima pengetahuan baru. Bahwa setiap ilmu apapun godaan utama yaitu soal sexual. Gumara kemudian memukul sumber yang menciptakan ia tergoda, dan beliau menjerit sendiri kesakitan. Kemudian beliau melanjutkan langkah lagi.
Dan langkahnya lebih pasti. Di sela-sela watu raksasa itu sudah didengarnya bunyi air terjun. Ini berarti hanya beberapa mil lagi akan mencapai sungai lingkaran yang dikenal melingkari Bukit Lebah itu. Dengan santai beliau turuni tebing terjal itu. Tapi... bah!
Tenyata ada perempuan mandi telanjang bulat pada penderasan itu. Mulanya beliau agresif untuk cepat mendekati dan melampiaskan nafsunya yang kini berkobar di dada. Tapi bukankah perempuan mandi itu yaitu Pita Loka?
Gumara aib pada diri sendiri. Tapi yang lebih membuatnya aib yaitu perasaan berdosanya. Bahwa libido sexual memang selalu menarik hati ilmu yang akan diperolehnya itu.
Gumara kembali bersembunyi hingga perempuan telanjang itu berpakaian. Setelah diperkirakannya selesai, ia melanjutkan menuju tebing itu. Ternyata perempuan itupun sedang menapaki jenjang-jenjang watu setapak, naik ke tebing. Bukan rambut keriting itulah yang pertama menarik hati Gumara. Juga bukan buah dadanya yang sejenak tampak, sebelum perempuan itu menutupinya dengan kedua telapak tangan dan membetulkan kain yang menyelimuti dirinya. Tapi kalung itu, yang bertatahkan permata. Andaikata kalung itu saya rampok, kini ini, tentu benda itu akan menggiurkan Pita Loka. Sehingga beliau bersedia menceritakan misteri tirai stanggi.
“Maaf, nona. Saya orang utas yang tersesat jalan. Isteriku sedang berdiam alasannya yaitu sedang mengidam. Yang beliau idamkan yaitu sebuah kalung penuh permata. Bolehkah saya pinjam kalung nona?”.
Wanita itu menjadi tidak ramah dan menjerit minta tolong.
“Rampoooook”, teriaknya keras.
Bintik keringat cuek ketakutan bukan menciptakan Gumara lari ke bawah, tapi lari ke atas mengikuti perempuan itu. Wanita itu tambah takut dan berteriak lantang lagi: “Toloooong, ada rampok!”
Seorang petani yang menyandang pacul, kontan menghantamkan mata paculnya ke kepala Gumara.
Gumara terdongak kaget sesudah melihat gagang pacul di depan hidungnya. Tapi lebih tercengang lagi sang petani, yang melihat mata paculnya masuk ke tengah kepala “sang perampok” tapi tak tampak luka. Juga dikala pacul itu ditarik dengan cabutan yang menguras tenaga. Bekas luka pun tak ada, apalagi darah.
Petani itu berkata pada perempuan tadi; “Dia perampok berakal kebal. Mari kita pulang saja. Ilmu digunakan untuk merampok yaitu ilmu sial!”
Gumara tercengang. Dia meraba kepalanya. Memang tak ada bekas apapun, juga tak terasa rasa nyeri. Dia sadar, bahwa beliau harus menemui Pita Loka. Bukan membujuknya dengan kalung permata yang akan dirampoknya dengan cara tipuan tadi. Dia menuruni tebing itu untuk menyeberangi sungai. Tapi mendengar derasnya bunyi penderasan itu. Gumara berhenti sejenak.
Seperti ada yang mendorongnya untuk melihat bukit kenapa perasaan ini ingin menyaksikan air terjun. Padahal di tempat ini sudah sering beliau melihat air terjun.
Tentu penderasan ini menyimpan sesuatu rahasia.
Tapi ah ... masa bodo.
Ia sudah termakan dua kali, Pertama kali termakan akidah alasannya yaitu sex, dan yang kedua termakan akidah alasannya yaitu harta. Namun alasannya yaitu ia berusaha untuk mencari Kebenaran Mutlak, konsentrasinya melangkah di watu sungai kurang awas.
Dia terpeleset. Dan jatuh!
Lalu kedengaran bunyi orang mentertawakannya.
Cekikikan lagi! Dan itu niscaya bunyi wanita. Gumara yakin, mungkin saja yang tertawa itu Pita Loka. Gumara menoleh kearah bunyi orang yang mentertawakannya.
Ternyata ia menoleh ke air terjun. Hal ini menciptakan beliau penasaran. Dia melangkahi batu-batuan sungai menuju ke penderasan tadi. Diperhatikan, apa benar di balik penderasan jtu ada wanita. Setelah beliau perhatikan, beliau coba lagi berseru;”Hoi! Siapa anda!”
Terdengar perempuan tertawa, tapi terdengar pula beliau berlari sesudah melemparkan sebuah batu. Batu itu mengenai kepala Gumara, tapi beliau segera menangkap watu itu sebelum watu itu kecemplung masuk sungai. Aneh sekali. Batu itu ternyata watu yang menebarkan busuk stanggi. Hal ini menciptakan Gumara berfikir dua kali Dan dikala fikirannya yang ketiga muncul, ia tetapkan harus ke balik penderasan itu.
Pakaian putihnya yang sudah koyak-koyak itu, sudah lembap kuyup dikala dilintasinya penderasan itu. Ternyata di balik penderasan itu, sesudah melangkah sekitar 21 langkah, ada semacam pintu guha. Gumara ibarat bocah yang ingin tahu. Dan sebagaimana layaknya bocah, beliau merasa ngeri tiba-tiba. Heran sekali, alasannya yaitu bulu kuduknya dan seluruh bulu romanya merinding? Dia seolah-olah melihat dalam kegelapan tanah menjorok ke dalam tebing penderasan ini sesuatu yang mengerikan.Ada dua mata yang tampak begitu besar disana itu. Lalu ada yang bergoyang-goyang. Hihh, ngeri sekali!
Itu pengecap yang menjulur! Untuk surut, kakinya gemetar. Lalu beliau rasakan pula busuk stanggi sekitar tempat yang berbentuk guha itu. Batu yang sekepal di tangannya ia baui lagi. Ternyata watu ini lebih keras lagi aroma stangginya!
“Jangan lepaskan!” terdengar suara.
“Apa yang jangan dilepaskan?”
“Batu itu!” terdengar lagi suara.
Suara itu menggema. Dan terperinci bunyi wanita.
“Siapa yang bersuara itu?” tanya Gumara tambah gemetaran.
Aku, Ratu Guha Stanggi” terdengar sahutan yang juga menggema. Jelas sekali bunyi itu bunyi wanita. Dan bukannya perempuan tua!
“Kenapa anda melemparku dengan watu stanggi ini, ha?” bunyi Gumara menggema.
“Karena saya tahu, anda mencari saya”, kata Ratu Stanggi itu.
“Mencari kau?”
“Yah, alasannya yaitu anda ingin mengetahui misteri tirai stanggi! Misteri itu kini telah anda dapatkan! Dalam guha inilah letak misteri itu! Dan tirai yang ingin anda singkapkan itu, sudah anda lewati!”
“Tirai apa itu?” tanya Gumara.
“Tirai perlambang! Air terjun itu lambang dari maksud tirai. Bukannya ke Guha lebah itu anda harus pergi. Karena menemui Pita Loka, dan mencari misteri stanggi kesana, hanya membuang waktu. Misteri itu ada di sini! Dan kini anda sudah memasuki misteri itu!”
Dalam sekelebatan Gumara menyaksikan sosok yang tak terperinci sedang melaksanakan bentuk persilatan yang luar biasa. Hanya kecepetan garis petir yang bisa menandingi bentuk gerak dan jurus persilatan itu. Bila sosok tak terperinci itu menubruk dinding guha, terdengar benturan ibarat petir yang menimbulkan percikan api!
Gumara kagum sebagai penonton.
“Yang anda ingin cari dibalik misteri itu yaitu ilmu yang Tinggi. Tapi bukankah anda lihat ilmuku ini yaitu ilmu yang tertinggi?”
“Ya”, ujar Gumara, “Rupanya kepada andalah, Ratu Stanggi, saya harus belajar, Rupanya kepada anda saya musti berguru”.
Gumara mendengar lagi bunyi perempuan itu: “Anda harus maju lagi sekitar tujuh langkah”.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel