Cerita Silat: Diam-Diam Kitab Tujuh 15 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Tetapi anak itu puas dikarenakan telah bertemu dengan seorang  Cerita Silat: Rahasia Kitab Tujuh 15 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Tetapi anak itu puas dikarenakan telah bertemu dengan seorang “pahlawan Kumayan” yang sudah jadi dongeng dari ekspresi ke ekspresi alasannya yaitu sudah mengusir tiga pengacau.
Tapi hari itu hingga magrib Gumara diliputi perenungan. Tentu tidak lain ia merenungi nasib Pita Loka yang niscaya sebentar lagi akan ditanya oleh Ki Putih Kelabu.
Ketika ia memasuki rumah Ki Putih Kelabu, ia mencicipi ada satu tenaga, yang menyerupai kekuatan magnit. Di cobanya melayani tenaga itu dengan perlawanan nafas, tapi rasanya kekuatannya jauh besar. Langkah Gumara dirasanya berat sewaktu masuk ke ruang tamu.
Ki Putih Kelabu belum nampak. Tapi ia sudah yakin, bahwa kekuatan magnit tadi bukannya dikirimkan oleh Ki Putih Kelabu. Orangtua itu bukan guru yang jahat yang punya kesukaan mencoba–cobakan.
Begitu Ki Putih Kelabu muncul, Gumara sudah duduk bersila di lantai yang dilapisi tikar rotan Bugis.
“Apa yang tuan rasakan dikala ini?” tanya Ki Putih Kelabu. Gumara hanya membisu saja, alasannya yaitu ia sedang melayani semacam serangan mistik entah dari mana.
“Apa tuan merasa ada kelainan?” tanya Ki Putih Kelabu. Gumara cuma mengangguk. Dia tidak akan bicara. Sebelum terang siapa ssbenarnya di balik serangan berkekuatan magnit ini.
“Kalau begitu, apa yang anda rasakan tentu aku rasakan juga. Rasanya tengkuk aku ini berat sekarang”. Ujar Ki Putih Kelabu dan kemudian bertanya pada Gumara: “Anda juga mencicipi tengkuk berat?”
Gumara mengangguk. Lalu Ki Putih Kelabu bertanya lagi: “Adasemacam anyir wangi?” Juga Gumara mengangguk.
“Apa guru mau pindah daerah duduk?” tanya Ki Putih Kelabu seraya menunjuk ke daerah dimaksud. Yaitu daerah yang menghadap ke pintu. Gumara menggelengkan kepala, menolak.
“Tadi langkah kaki aku berat sekali, menyerupai digantung besi”, ujar Ki Putih Kelabu, kemudian bertanya: “Anda juga merasa begitu waktu masuk ke sini?” Gumara mengangguk.
“Wah. ini harus kita lawan”, kata Ki Putih Kelabu.
Gumara tidak memberi reaksi. Dia tiba-tiba merasa ada benda yang berat menghimpit kepalanya, tampaknya piring raksasa. Gumara mengatur pernafasan! Gumara mencoba memenuhi isi lambung dengan tarikan kepusar, dan kemudian manyalurkan gelombang udara itu merambat urat - urat darah ka atas, menuju ubun kepala. Ketika tiba di ubun kepala, Gumara menyerupai memompa ke luar udara gelombang tadi. Wajah Gumara bercucuran keringat.
Keringat itu semakin menderas. Ubun kepala Gumara menyerupai mendidih, Ki Putih Kelabu melihat asap atau uap yang mengepul di ubun kepala Gumara. Tiba-tiba tampak ada semacam kilat yang melesat dari kepala Gumara. Lalu loteng yang terbuat dari papan kepayau itupun berlobang.
Gumara waspada tidak menghentikan pangaturan nafasnya, ada gelombang di lambung dapat terus dihalau ke ubun kepala. Kelihatan lagi oleh Ki Putih Kelabu satu bundaran bagai kilat melesat. Bila benda itu membentur loteng kayu kepayau, tampak loteng itu berlubang.
Kini Gumara benar - benar bermandi keringat. Benda yang bertengger di ubun kepalanya itu terasa jauh lebih berat dari sebelumnya, sehingga tanpa disadari Gumara terpaksa minta pinjaman ke dua belah lengannya. Tinju ia genggam. Tinju itu semenjak ditaruh di dua dengkulnya sudah dicobanya berisi kekuatan pembantu. Kini, sembari bersila itu, Gumara mengumpulkan kekuatan pada dua ujung tinju itu. Tinju itu didorongnya ke depan, ke samping, ke bawah, dan kemudian dua tinju itu menghantam ke atas, sempurna di depan batang hidungnya sendiri.
Tinju itu mengenai satu benda yang membuat suara logam, tapi logamnya tak tampak. Namun kilatan cahaya yang melesat ke loteng cukup tegas. Loteng itu hancur. Dan dalam keadaan bersila, mengepal tinju. Gumara menganggap serangan musuh tak dikenal itu sudah berakhir.
KI PUTIH KELABU yang selama terjadinya serangan tanpa raga itu begitu tegang, kini tampak tenang.
“Maaf, aku akan pamitan dulu”, ujar Gumara.
“Jangan, nak”.
“Sekali lagi, maaf”, ujar Gumara, dari bersila eksklusif berdiri.
“Saya ingin tahu siapa penyerang tadi?”
“Murid iblis”, kata Gumara.
Lalu ia memberi salam pada Ki Putih Kelabu, dengan cara penghormatan yang luar biasa hebatnya. Telapak tangannya ia tempel ke kening, kemudian merendahkan kepala, kemudian berlalu.
Dan telapak tangan yang melekat di kening itu gres ia lepas dari keningnya sesudah ia tiba di pekarangan.
Jalan kecil menuju rumahnya lengang, Gumara melangkah dengan perlahan dan semakin perlahan. Sebab kakinya menyerupai diberati lagi. Gumara mencoba melangkah, semakin tebal rasanya tapak kakinya. Dan Gumara kini memutuskan untuk meladeni gangguan lawan, sekali lagi!
Dalam bangun itu Gumara menggenggam dua tinjunya.
Lalu tinju itu dibuang kesamping kiri dan ke kanan. Dan bergantian, tinju kanan dan kiri menebah dada. Delapan kali debahan dada kiri dan kanan, Gumara tiba-tiba melihat satu lesatan sinar menuju ke arah mukanya, tapi cepat Gumara menangkisnya dengan dua tinjunya terhantamkan ke depan. Bunyi logam berdenting disertai kilatan sinar yang melesat berjumpalitan di udara. Di udara ia menjadi semacam kepulan asap ledakan.
Dan ketika mata kanan Gumara melihat ada sinar menyerang dari kanan, Gumara menangkisnya dengan tinju dan kedengaran suara logam disertai kilat melesat ke udara.
Lalu di udara tampak asap bagai kembang api pecah.
Lalu tiba lagi serangan dari kiri. Bunyi logam membentur kedengaran sempurna ketika tinju tangan kiri Gumara ia buang ke kiri.
Tanpa perduli ia kemudian meneruskan langkah yang ringan.
Sampailah ia di pekarangan rumah yang ditempati Alif. Begitu akan masuk pekarangan. belum lagi hingga di tangga, Gumara melihat sosok bangun di hadapannya, dalam jarak tiga meter, menyerupai mencegat.
Sosok itu membisu berdiri. Gumara pun mengambil posisi membisu berdiri. Gumara mengepal tinju. Lawannya pun mengepal tinju. Gumara mengangkat dua tinjunya, kemudian menebah tinju itu ke dada. Lawannya itu pun berbuat sama.
Gumara memekarkan tinjunya, lawannya pun demikian.
Jari-Jari mekar itu kemudian merambat dari paha, naik ke dada kemudian ia buang ke depan.
Di sini lawannya pun melaksanakan hal sama. Bahkan ketika sama - sama membuang telapak tangan ke depan, dua telapak tangan itu seakan – akan hampir saling menempel.
Jarak dua telapak tangan yang hampir melekat itu hanya berjarak tiga centimeter saja.
Tapi apakah yang sedang terjadi?
Telapak tangan Gumara, maupun telapak tangan lawannya, sama-sama mengeluarkan keringat. Sama-sama keringat menetes. Bahkan kadang diseling oleh pijaran api.
Gumara masih barada dalam hembusan satu helai nafas yang secara berangsur dikeluarkannya sedikit - sedikit Dia hematkan energi untuk mengangsur satu nafas itu semoga tidak terlanjur terhambur. Wajah Gumara mulai mandi sinar kehijauan lantaran percikan keringat.
Begitupun lawannya. Sehingga makin usang semakin terang siapakah lawannya itu.
Lama kelamaan wajah itu berupa wajah Ki Karat, ayah kandungnya sendiri. Tapi Gumara tidak terpengaruhi untuk berseru sesudah mengenal wajah itu, alasannya yaitu ia kuatir itu cumalah godaan belaka.
Dia terus mengontrol nafasnya, yang tiap per 1000 detik yaitu pancaran kekuatan cahaya. Gumara tahu,dirinya dipenuhi mega elektronika magnetik, yang demikian dahsyatnya, yang jikalau ditempelkan neon sekian ribu watt maka cahayanya akan menerangi seluruh desa Kumayan.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel