Cerita Silat: Diam-Diam Kitab Tujuh 14 - Seri Tujuh Insan Harimau

 BELUM habislima pendekar menyaksikan pelajaran itu Cerita Silat: Rahasia Kitab Tujuh 14 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
BELUM habislima pendekar menyaksikan pelajaran itu, mereka semua menoleh ke arah bunyi seorang perempuan minta tolong.
Perempuan itu dengan histeris memegang badan Ki Lading Ganda yang ia kenal jagoan; “Tuan guru! Kumayan mandi darah ! banyak orang dibunuh oleh pendekar sinting!”
Ki Putih Kelabu kalap, dan menoleh ke pancuran di bawah situ.
Ki Lading Ganda malah memanggil ke bawah: “Gumara, bantulah kami!” Tapi guru yang tiga lagi justru melihat Gumara sudah tak berada di Pancuran Sunbulat sembari tercengang heran.
Ya, ia sudah melaksanakan sebelas lompatan ke atas tanpa diketahui oleh lima pendekar itu, dan kini berhadepan dengan seorang pendekar yang mempermainkan goloknya, seorang perempuan berambut sarang laba-laba yang tak lain Harwati yang ketawa cekikikan melulu, dan ... Ki Rotan Sebenarnya gres tiga orang menggelimpang membasahi tanah Kumayan. Mereka terkena golok liar Ki Dasa laksana yang masih menari dengan goloknya.
Gumara dalam sekelebatan seakan bagai seekor bangau yang mengibaskan telapak-tangannya saat golok itu akan menyabet lehernya. Golok itu membal, kemudian mata golok itu menghantam tangan Dasa Laksana. Darah manyembur dari pergelangan tangan pendekar sinting itu, dan ia berteriak Mendengar teriak itulah Ki Rotan bangun dengan kemarahan hebat, menghambur dengan kedua kaki menjepit leher Gumara.
Gumara cuma mengangguk sedikit, tapi badan Ki Rotan dan jepitan kakinya berbalik lepas, terlempar sekitar sepertiga lapangan bola.
Detik itulah Gumara mencengkeram badan Ki Harwati yang menjerit histeris, dan berkata: “Ingat siapa dirimu!”
Ki Harwati menguakkan dua tangannya, kemudian mundur membuka kuda-kuda. Dengan ayunan kaki ke kiri sekali, kemudian kaki kanannya menguak lebar dari tubuhnya menerobos bagaikan seekor buaya menyarang dari bawah. Gumara terkena sabetan kaki adik tirinya itu bagaikan insan terkena sabetan ekor buaya.
Gumara melompat dangan dua tangan mengincar serpihan ekspresi Harwati, ibaratnya pawang buaya menaklukkan buaya. Kendati kaki Harwti berkelabat bagai ekor buaya menyabet, namun mulutnya sudah dikuak seolah-olah merusak pernafasan. Waktu itulah Ki Rotan menyabet tangan tongkatnya, tapi Gumara sudah menangkis sabetan itu dengan memiringkan badan dan tongkat itu terlempar kena telapak kaki Gumara.
Ki Harwati pingsan.
Ki Dasa Laksana yang masih melintir bergulingan di tanah menahankan nyeri tangan kirinya yang hampir buntung itu, begitu melihat Ki Harwati pingsan, kemudian melarikan diri.
Tapi di ekspresi jalan sudah muncullima pendekar utama Kumayan, yang ingin menangkap musuhnya itu hidup-hidup. Melihat keadaannya terkepung, Ki Dasa Laksana menjatuhkan diri dengan kata-kata sembahan: “Aku menyerah. Aku akan segera menyingkir!”
Ki Lading Ganda tidak sabaran lagi, kemudian ia berkelebat maju satu langkah, mencabut goloknya yang ampuh, dan golok itu menjadi kembar. Dia tancapkan golok kanannya sempurna di tangan kiri Dasa Laksana yang gres akan berdiri sembari acukan tangan.
Lunaslah tangan kirinya dalam keadaan buntung total. Tetapi ia sempat menyerempet lepas dari kepungan sehabis terkena satu tendangan menyamping yang dihantamkan Ki Putih Kelabu, sehingga ia terlempar sejauh 44 depa dan menabrak satu pohon pinang yang roboh seketika.
Buah pinang yang lepas dari jurai mengenai kepala Ki Dasa Laksana, yang justru mengisi kekuatan gres bagi pendekar sinting ini.
Dengan tangan buntung satu, ia menjelma menggila. Dia membabi buta menyerang siapa saja yang berdiri. Seorang anak kecil terpekik kemudian tubuhnya menabrak dinding rumah. Dinding itu hancur dan anak itu mati, ibunya menjerit. Ya ... Dasa Laksana mengamuk bagai seekor babi yang buta. Dia membabi buta menggasak badan Gumara tetapi cuma kena srempetannya saja lantaran Gumara mengelak sembari mengelak pula menangkis pukulan gandengan tinju sekeras kerikil yang dilampiaskan Harwati. Tinju Harwati mengenai kerikil kilo meter, dan kerikil itu hancur bagai es kena palu pembelah.
Harwati bertambah semangat saat dilihatnya Data Laksana dengan tangan buntung menyerang membabi buta, saking butanya serangannya mendongkak badan Ki Rotan yang mental ke udara. Tapi ia sempat sadar, lantaran menjelang kakinya jatuh ke tanah, sempat menyabet leher Gumara, yang tunduk hingga Ki Rotan jumpalitan. Ki Lading Ganda kini masuk dengan penasaran.
Hanya kilatan goloknya saja yang tampak lantaran cepatnya permainan silatnya. Tapi belum satupun pukulan goloknya yang tepat. Dua kepal daging paha Ki Rotan tercubit oleh golok, kemudian Ki Rotan lari. Serasa hanya beberapa menit saja perkelahian itu seluruhnya, kemudian ... sepi sekitar.
SUNGGUH dahsyat. Sungguh, jikalau dilihat begitu banyaknya debu sekeliling lapangan perkelahian yang barusan berlalu .... dan bagaimana begitu usang debu itu turun, itulah bukti nyata. Betapa usang dahsyatnya pertempuran yang barusan berlalu.
Kependekaran kadang - kadang disertai kelicikan juga.
Tapi Gumara tidaklah kaget mirip kagetnya Ki Lading Ganda sewaktu usai perkelahian tidak menyaksikan bagaimana caranya Ki Harwati, Ki Rotan dan Dasa Laksana melarikan diri.
Limapendekar itu semuanya cemas.
Tapi Gumara tidak. Dia seolah-olah sudah mengetahui kemana mereka itu melarikan diri.
“Kita akan tenteram selama 100 hari”, ujarnya. Ki Putih Kelabu yang paling yakin pada ucapan Gumara.
Dia mendekati pendekar yang teramat hening itu, dan bertanya “Apakah ramalan anda ini didapat dari mimpi?”
“Ya” sahut Gumara.
“Kalau begitu saya tambah yakin, Ki Guru berkata benar, bahwa dalam kurun waktu 100 hari desa Kumayan akan tenteram. Sebetulnya saya ingin bicara empat mata saja dengan Ki Gumara”, ujar Ki Putih Kelabu.
Ki Lading Ganda cepat memotong: “Jika demikian saya akan mengundurkan diri bersama teman-teman. Oh ya, saya minta maaf atas kelancangan saya pada Tuan Guru Muda Gumara”.
Mereka berpelukan. Setelah Ki Lading Ganda pergi, Ki Putih Kelabu berkata pada Gumara: “Tuan Guru. Saya ingin mengundang anda makan malam di rumah saya. Itulah yang akan saya sampaikan empat mata”.
“Baik. Pak. Saya akan tiba sehabis mahgrib”, ujar Gumara.
Gumara kemudian pamitan, dan ia melangkah menuju sekolah SMP, bekas kawasan ia mengajar. Di sekolah itu, tiada lagi bekas muridnya. Gumara mengetuk pintu ruang Dewan Guru, dan beberapa orang guru usang yang ia kenal menyambutnya. Tapi tidak ada seorang pun yang menanyakan soal kepergiannya yang misterius. Dan tidak pula ada yang berbasa bau kepadanya untuk kembali mengajar di Sekolah Menengah Pertama itu.
Karena itu Gumara pula yang memulai: “Saya rindu berdiri di depan kelas kembali.
Permohonan saya untuk mengajar, belum saya ajukan. Tapi apakah Kanwil disini kira-kira bersedia mendapatkan saya kembali?”
Menyela Direktur Sekolah Menengah Pertama Kumayan: “Sebaiknya melamar mengajar matematika di Sekolah Menengan Atas saja, yang gres akan diresmikan tak usang lagi”.
“Sepertinya akan sulit. Kepergian saya tanpa izin. Tapi harapan saya yang bergotong-royong justru mengajar di Sekolah Menengah Pertama ini. Apa Pak Direktur punya salinan berkas saya diberhentikan?”
“Sabaiknya ditanyakan pada Pak Kakanwil. Beliau lebih tahu”, kata Pak Direktur.
Lalu Gumara pamit dengan sopan. Diluar dugaan, di kantor Kanwil ia disambut hangat. Namun bukan sebagai guru SMP. Dia disambut lantaran sudah tersiar gosip dari ekspresi ke mulut, bahwa erat lapangan Bukit Kumayan barusan saja Guru Gumara menumpas pengacau.
“Itu soal kebetulan, Pak Kakanwil”, ujar Gumara, “Setiap munculnya kekacauan, niscaya akan muncul pula orang yang menertibkannya. Yang saya urus kini ini ke sini, soal status saya sebagai guru Sekolah Menengah Pertama Kumayan. Apakah saya sudah dipecat?”
“Saya sulit melindungi anda, Pak Gumara. Soalnya pemberhentian anda itu lantaran kurangnya anda menegakkan displin guru. Tiga Tahun lebih tanpa memberitahu anda ke mana, cukup merepotkan kami membela anda saat Inspektur Sekolah Menengah Pertama tiba ke Kumayan ini melaksanakan inspeksi, jadi posisi saya pun sulit”.
Mendadak muncul seorang anak muda buntung, tangan menyerobot masuk: “Guru Gumara ada di sini, Pak?”
“Saya Guru Gumara. Adik perlu apa?”
“Orang bilang, keadaan desa Kumayan akan tenteram 100 hari Apa betul itu, Pak?” tanya anak buntung itu. Gumara lebih tertarik melihat tangan buntung itu. Diraihnya pundak anak itu, dielusnya tangan butung itu. Dan bertanya: “Musibah apa yang menyebabkan tanganmu begini?”
“Kami semuanya 17 orang mengalami petaka “, kata anak itu.
“Siapa namamu?”
“Makara, Pak”.
“Mana temanmu yang 16 orang lagi?” tanya Gumara.
“Kami yang kembali ke Kumayan cuma 11 orang”, kata Makara.
“Lalu yang enam lagi kemana ? “ tanya Gumara.
“Mereka diajak oleh puteri Ki Putih Kelabu entah ke mana, Pak!”
GUMARA kemudian menepuk pundak Makara dan berkata; “Kamu beruntung pulang ke Kumayan.
Kaprikornus sanggup melanjutkan sekolah. Masih sekolahkan ?”
“Masih, Pak Tapi kini menulis dangan tangan kiri lantaran buntung. Tapi kami 11 orang dianggap pahlawan di Kumayan ini, Pak”
“Ingatlah, pahlawan hari ini belum tentu pahlawan esok hari. Karena mungkin besok akan ada pahlawan yang lebih jago. Tapi sejago-jago ayam jago, masih kalah dengan ayam betina. Ayam jago hanya menyumbangkan dagingnya, tapi ayam betina menyumbangkan dagingnya dan telur-telurnya bagi manusia. Nah, jangan kau pikirkan lagi soal desa Kumayan. Dan jangan sekali-kali menganggap saya ini jagoan”
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel