Cerita Silat: Belakang Layar Kitab Tujuh 13 - Seri Tujuh Insan Harimau
Kamis, 25 Desember 2014
Sebelumnya...
Gumara sendiri membinasakan tigabelas pohonan pisang berumpun, dan ia seolah-olah harus menggeletak di atas alas pohon pisang yang hasilnya berjajar itu. Ki Lading Ganda tiba-tiba yakin bahwa Gumara hancur alasannya buktinya dua batang pohon Damara patah terpotong mirip digergaji.
“Mampus kau, insan angkuh!”ujar Ki Lading Ganda mengutuk.
Eh datang - datang pula muncul dengan sempoyongan Gumara dari balik rumpunan pohon sawo di arah timur. Dia seakan - akan mau menyerahkan diri kepada Ki Lading Ganda.
Langkahnya tidak menawarkan kesiapan sedikitpun untuk bertarung. Hal ini membuat Ki Lading Ganda menantinya, membuat teladan untuk melaksanakan lompatan sembari akan menebas perut Gumara. Itu dilakukannya dalam jarak duabelas meter. Dia membuat jungkir balik dua kali sebagai tipuan salto, dan saat menjungkir yang ketiga kali ia ayunkan dua golok kembarnya itu yang berkilat membabat badan Gumara. Tampaknya badan itu sudah terbabat, tapi Ki Lading Ganda terheran-heran mencarinya entah kemana namun tak kelihatan. Meloncat tinggikah ia tadi?
Lalu tampak ada orang turun dari pohon aru - aru yang tinggi. Turun begitu saja menyerupai turunnya simpanse pemanjat kelapa yang terlatih. Sebelum orang itu, yang tak lain Gumara, hingga turun benar, maka Ki Lading Ganda ingin mempergunakan kesempatan terbaiknya: Dia nanti dan dua golok kembarnya membabat. Saking kuatnya, golok itu menancap di pohon aru-aru itu, begitu dalamnya. Yang dirasa Ki Lading Ganda saat di babatkan goloknya itu yakni desingan angin di alas kepalanya.
Memang betul. Ki Gumara sudah duduk bersila di tengah “paku” Bukit Kumayan itu.
Ki Lading Ganda masih berusaha mencabut goloknya yang menancap. Saking kerasnya tebasan golok dan tancapannya itu, hingga dua mata golok itu sudah hampir beradu, dalam jarak satu penggalan lidi saja lagi!
“Maafkan, saya menyusahkan tuan saja”, ujar Gumara, kemudian meninggalkan Ki Lading Ganda.
Barulah saat fajar menyingsing Ki Lading Ganda berhasil melepaskan tancapan goloknya, sementara Gumara sudah ngorok di rumah saat itu ...
DAN saat Gumara tidur nyenyak itulah, ia dibangunkan oleh Guru Alif yang akan pergi mengajar.Adalima orang tamu penting yang minta bertemu dengan Gumara.
“Siapa mereka?” tanya Gumara.
“Selain Ki Lading Ganda dan Ki Putih Kelabu, yang tiga lagi saya tak mengenalinya”, kata Guru Alif.
“Di mana mereka sekarang?” tanya Gumara.
“Semuanya tak bersedia naik. Semuanya di pekarangan”, ujar Guru Alif. Gumara bersitenang sejenak. Lalu ia ke kamar mandi. Dia mencuci muka sejenak. Lalu bersisir merapikan rambut. Kemudian ia membuka pintu depan. Dalam sekelebatan ia tidak heran, di balik tiap rumpunan pohon telah terdengar deru auman harimau.Lima satria secara eksklusif sudah menjelmakan diri mereka menjadilima ekor harimau!
Gumara sadar, bahwa ia sedang dalam ujian.
Dan taruhan!
Dia bebaskan dirinya dari perilaku jengkel atau bangga. Dia tarik nafasnya dalam-dalam, seolah-olah seluruh nyawanya sudah kosong. Dan saat ia merasa seluruh dirinya menjadi ringan, ia menuruni tangga rumah hingga ke pelataran tanah, pelataran pekarangan.
Setiba disana , ia sudah merasa seringan awan bergantung. Dia telah melepaskan dirinya dari seluruh pengertian hayati dan ragani. Ujud raga kasarnya yang terlihat yakni wujud Guru Gumara yang tak meyakinkan sama sekali. Dia melangkah ringan menerobos semak-semak, diiring dari belakang oleh wujud raganilima ekor harimau.
Daun-daun seakan merunduk memberi salam takzim kepada Gumara yang melangkah santai. Kadang memang ia harus menyerempet daun-daun itu, namun “hanya sedikit yang terkibas. Bahkan daun singkong kuning yang sudah siap untuk rontok oleh hembusan angin, saat tergeser oleh badan Gumara yang menyerempetnya, tak jadi gugur ke tanah.
Gumara terus melangkah menginjak rumputan yang masih berembun. Tapi rumputan itu seolah-olah tidak meninggalkan bekas telapak kaki Gumara yang gres menginjaknya.
Setiba di tepi Bukit Kumayan, Gumara berhenti sejenak.Lima harimau yang menggiringnya dari belakang pun hati-hati berhenti.
Ada yang mengibaskan ekornya.Ada yang mulai mengaum. Tanda tak sabar. Gumara melirik, ia mengetahui itulah penjelmaan Ki Lading Ganda.
Di bawahsana itu, di sudut tiga Bukit Kumayan, kedengaran bunyi gemericik Pancuran Mayang. Air terjun itu dikenal tabu oleh penduduk. Tapi Gumara harus kesana . Ketika langkahnya gres empat puluh kali pijakan menuju bawah itu, harimau yang paling geram aumannya mendadak meloncat ke depan, mencegat, mencekerkan cakarnya pada tanah mirip kucing menggali. Ketegangan amat terasa. Seekor harimau yang lebih lembut gerakannya, dengan tanda khusus putih - putih bergaris di sela abu-abu mencegat pula.
Ia tahu, ia ini tak lain satria paling disegani: Ki Putih Kelabu. Tiga lainnya pun sudah maju ke depan. Menghadang semuanya Ketika itu Gumara semestinya menampilkan kesejatiannya, menjelmakan dirinya pula pada kependekaran, melengkapkan yanglima jadi enam. Tapi Gumara cuma menghentakkan nafas dari ubun kepala ke pusar-pusarnya dangan satu hentakan nafas yang padat. Dirinya melayang melompatilima satria yang siap mencegatnya.
Dia melayang bagai kapas diterbangkan angin. Satu lompatan layang itu bisa melampaui jarak 12 meter, kemudian turun bagaikan seekor bangau. Dan kakinya membuat bunyi gemericik cipratan air sewaktu hingga di depan Pancuran Mayang.
Ketika ia menoleh ke atas bukitsana , yang disaksikannya adalahlima orang satria manusia: Ki Lading Ganda. Ki Putih Kelabu, Ki Rangga dan Ki Zarah dan Ki Lafaz.
“Hai tuan-tuan, mari mandi di Pancuran Mayang”, ujar Gumara. Gumara mendengar bunyi Ki Putih Kelabu yang menyahuti di atas itu: “Tuan muda, ajari kami”.
“Aku hanya mengajak kalian mandi”, sambut Gumara.
“Ajari kami mandi”, kata Ki Putih Kelabu.
Gumara hanya menyahuti: “Lihatlah apa yang saya perbuat, dari jauh”.
Gumara menhenyakkan nafasnya dari ubun ke puser, sembari satu tangannya menebas riam itu.Lima satria menyaksikan riam itu terpotong dua. Yang di atas tak lagi mau turun ke bawah, tapi kemudian turun lagi sewaktu Gumara menghela nafasnya dari puser ke ubun kepala. Dia sabet lagi riam itu dengan tangan kiri.
Kejadiannya sama mirip yang pertama. Seluruh amalan itu ia perlihatkan sebanyak 41 kali.Lima nafas besar di atas melepaskan ketegangan dan kekaguman.
Bersambung...
Gumara sendiri membinasakan tigabelas pohonan pisang berumpun, dan ia seolah-olah harus menggeletak di atas alas pohon pisang yang hasilnya berjajar itu. Ki Lading Ganda tiba-tiba yakin bahwa Gumara hancur alasannya buktinya dua batang pohon Damara patah terpotong mirip digergaji.
“Mampus kau, insan angkuh!”ujar Ki Lading Ganda mengutuk.
Eh datang - datang pula muncul dengan sempoyongan Gumara dari balik rumpunan pohon sawo di arah timur. Dia seakan - akan mau menyerahkan diri kepada Ki Lading Ganda.
Langkahnya tidak menawarkan kesiapan sedikitpun untuk bertarung. Hal ini membuat Ki Lading Ganda menantinya, membuat teladan untuk melaksanakan lompatan sembari akan menebas perut Gumara. Itu dilakukannya dalam jarak duabelas meter. Dia membuat jungkir balik dua kali sebagai tipuan salto, dan saat menjungkir yang ketiga kali ia ayunkan dua golok kembarnya itu yang berkilat membabat badan Gumara. Tampaknya badan itu sudah terbabat, tapi Ki Lading Ganda terheran-heran mencarinya entah kemana namun tak kelihatan. Meloncat tinggikah ia tadi?
Lalu tampak ada orang turun dari pohon aru - aru yang tinggi. Turun begitu saja menyerupai turunnya simpanse pemanjat kelapa yang terlatih. Sebelum orang itu, yang tak lain Gumara, hingga turun benar, maka Ki Lading Ganda ingin mempergunakan kesempatan terbaiknya: Dia nanti dan dua golok kembarnya membabat. Saking kuatnya, golok itu menancap di pohon aru-aru itu, begitu dalamnya. Yang dirasa Ki Lading Ganda saat di babatkan goloknya itu yakni desingan angin di alas kepalanya.
Memang betul. Ki Gumara sudah duduk bersila di tengah “paku” Bukit Kumayan itu.
Ki Lading Ganda masih berusaha mencabut goloknya yang menancap. Saking kerasnya tebasan golok dan tancapannya itu, hingga dua mata golok itu sudah hampir beradu, dalam jarak satu penggalan lidi saja lagi!
“Maafkan, saya menyusahkan tuan saja”, ujar Gumara, kemudian meninggalkan Ki Lading Ganda.
Barulah saat fajar menyingsing Ki Lading Ganda berhasil melepaskan tancapan goloknya, sementara Gumara sudah ngorok di rumah saat itu ...
DAN saat Gumara tidur nyenyak itulah, ia dibangunkan oleh Guru Alif yang akan pergi mengajar.Adalima orang tamu penting yang minta bertemu dengan Gumara.
“Siapa mereka?” tanya Gumara.
“Selain Ki Lading Ganda dan Ki Putih Kelabu, yang tiga lagi saya tak mengenalinya”, kata Guru Alif.
“Di mana mereka sekarang?” tanya Gumara.
“Semuanya tak bersedia naik. Semuanya di pekarangan”, ujar Guru Alif. Gumara bersitenang sejenak. Lalu ia ke kamar mandi. Dia mencuci muka sejenak. Lalu bersisir merapikan rambut. Kemudian ia membuka pintu depan. Dalam sekelebatan ia tidak heran, di balik tiap rumpunan pohon telah terdengar deru auman harimau.Lima satria secara eksklusif sudah menjelmakan diri mereka menjadilima ekor harimau!
Gumara sadar, bahwa ia sedang dalam ujian.
Dan taruhan!
Dia bebaskan dirinya dari perilaku jengkel atau bangga. Dia tarik nafasnya dalam-dalam, seolah-olah seluruh nyawanya sudah kosong. Dan saat ia merasa seluruh dirinya menjadi ringan, ia menuruni tangga rumah hingga ke pelataran tanah, pelataran pekarangan.
Setiba disana , ia sudah merasa seringan awan bergantung. Dia telah melepaskan dirinya dari seluruh pengertian hayati dan ragani. Ujud raga kasarnya yang terlihat yakni wujud Guru Gumara yang tak meyakinkan sama sekali. Dia melangkah ringan menerobos semak-semak, diiring dari belakang oleh wujud raganilima ekor harimau.
Daun-daun seakan merunduk memberi salam takzim kepada Gumara yang melangkah santai. Kadang memang ia harus menyerempet daun-daun itu, namun “hanya sedikit yang terkibas. Bahkan daun singkong kuning yang sudah siap untuk rontok oleh hembusan angin, saat tergeser oleh badan Gumara yang menyerempetnya, tak jadi gugur ke tanah.
Gumara terus melangkah menginjak rumputan yang masih berembun. Tapi rumputan itu seolah-olah tidak meninggalkan bekas telapak kaki Gumara yang gres menginjaknya.
Setiba di tepi Bukit Kumayan, Gumara berhenti sejenak.Lima harimau yang menggiringnya dari belakang pun hati-hati berhenti.
Ada yang mengibaskan ekornya.Ada yang mulai mengaum. Tanda tak sabar. Gumara melirik, ia mengetahui itulah penjelmaan Ki Lading Ganda.
Di bawahsana itu, di sudut tiga Bukit Kumayan, kedengaran bunyi gemericik Pancuran Mayang. Air terjun itu dikenal tabu oleh penduduk. Tapi Gumara harus kesana . Ketika langkahnya gres empat puluh kali pijakan menuju bawah itu, harimau yang paling geram aumannya mendadak meloncat ke depan, mencegat, mencekerkan cakarnya pada tanah mirip kucing menggali. Ketegangan amat terasa. Seekor harimau yang lebih lembut gerakannya, dengan tanda khusus putih - putih bergaris di sela abu-abu mencegat pula.
Ia tahu, ia ini tak lain satria paling disegani: Ki Putih Kelabu. Tiga lainnya pun sudah maju ke depan. Menghadang semuanya Ketika itu Gumara semestinya menampilkan kesejatiannya, menjelmakan dirinya pula pada kependekaran, melengkapkan yanglima jadi enam. Tapi Gumara cuma menghentakkan nafas dari ubun kepala ke pusar-pusarnya dangan satu hentakan nafas yang padat. Dirinya melayang melompatilima satria yang siap mencegatnya.
Dia melayang bagai kapas diterbangkan angin. Satu lompatan layang itu bisa melampaui jarak 12 meter, kemudian turun bagaikan seekor bangau. Dan kakinya membuat bunyi gemericik cipratan air sewaktu hingga di depan Pancuran Mayang.
Ketika ia menoleh ke atas bukitsana , yang disaksikannya adalahlima orang satria manusia: Ki Lading Ganda. Ki Putih Kelabu, Ki Rangga dan Ki Zarah dan Ki Lafaz.
“Hai tuan-tuan, mari mandi di Pancuran Mayang”, ujar Gumara. Gumara mendengar bunyi Ki Putih Kelabu yang menyahuti di atas itu: “Tuan muda, ajari kami”.
“Aku hanya mengajak kalian mandi”, sambut Gumara.
“Ajari kami mandi”, kata Ki Putih Kelabu.
Gumara hanya menyahuti: “Lihatlah apa yang saya perbuat, dari jauh”.
Gumara menhenyakkan nafasnya dari ubun ke puser, sembari satu tangannya menebas riam itu.Lima satria menyaksikan riam itu terpotong dua. Yang di atas tak lagi mau turun ke bawah, tapi kemudian turun lagi sewaktu Gumara menghela nafasnya dari puser ke ubun kepala. Dia sabet lagi riam itu dengan tangan kiri.
Kejadiannya sama mirip yang pertama. Seluruh amalan itu ia perlihatkan sebanyak 41 kali.Lima nafas besar di atas melepaskan ketegangan dan kekaguman.
Bersambung...