Cerita Silat: Pantang Berdendam 23 - Seri Tujuh Insan Harimau
Sabtu, 15 November 2014
Sebelumnya...
Dia tiba di rumah Gumara bagaikan harimau yang sedang cemas. Begitu dia masuk, didapatinya Gumara menjulurkan lidah, Bengong. Macam hewan berkaki empat. Melihat tragedi itu, teteslah airmata Ketua Harimau Yang Enam di Kumayan itu, dan menyergap Gumara dengan pelukan erat “O, Peto Alam . . . Kenapa kau jadi menderita begini, nak?”
“He-he-he . . . . “
“Peto Alam!” hardik Ki Lebai Karat sembari terpaksa menampar Gumara biar segera sadar. Tapi Gumara tersenyum lebar, menyerupai orang teler yang kesenangan disakiti; “He-he-he . . . tuan Ki Karat ya?”
“O, Peto, berdiri dan berdirilah! Lawan musuhmu dengan kepala tegak!”, dan didekapnya kepala Gumara. Diangkatnya untuk berdiri, tapi Gumara menjatuhkan dirinya lagi ke lantai bagai hewan berkaki empat; “He, he . . . . “
Tampaklah kecemasan luarbiasa di wajah Ki Lebai Karat. Dibiarkannya Gumara begitu saja. Orangtua itu kemudian duduk di kursi, terperangah. Dia sedang menentukan cara terbaik Menghancur-luluhkan Ki Putih Kelabu . . . atau . . . mengobati Gumara lebih dulu. Untuk keduanya diharapkan tindakan sportip. Lalu dilihatnya lagi Gumara. Hati Ki Karat hancur luluh tak tahan melihat Peto Alam lebih gila dari orang gila, lebih pikun dari orang pikun, lebih teler dari orang mabuk.
“Gumara, sadarlah nak”” hardik Ki Lebai Karat. Bentakan dahsyat ini menciptakan Harwati tak jadi masuk pintu. Dia, hanya mengintip lewat celah, memperhatikan apa yang diperbuat ayahnya. Harwati melihat satu tragedi yang aneh. Dilihatnya ayahnya memeluk kepala Gumara, membelainya dengan cucuran airmata, dan berkata “O, Peto Alam . , , sekiranya saya boleh kembali pada ilmu kasar, saya bisa mengembalikan pikun kau ini pada pembuatnya.
Ah, kasihan saya melihat kau!”
Harwati bercucuran airmata babagia mendengarnya. Dia masuk tetapi kaget dikala ayahnya mendadak berubah perilaku menghapus airmata dengan cepat dan segera menjadi gugup namun gagah.
Mendadak saja ayah itu meninggalkan Harwati dan Gumara. Dia kemudian menuju rumah Ki Putih Kelabu, hal yang tak pernah diperbuatnya sebelumnya!
Kesombongannya Karena dialah ketua Harimau Kumayan ditanggalkannya. Dia sangat hormat dikala bertanya pada Ki Putih Kelabu “Bolehkah hamba masuk?”
“O, tuan Ketua . . . kenapa tidak?”
Hati-hati ia duduk. Hati-hati ia berkata “Aku mohon pertolonganmu. Dengan segala kerendahan hati, dengan sepuluh jari tanganku disertai satu kepalaku, kumohon kau obati si Peto Alam”.
Ki Putih Kelabu jadi terheran-heran melihat Sang Ketua begitu merendah. Dia jadi kebingungan. Dan dengan nafas tersengal-sengal dia berkata mengalah “Mungkin tuan Ketua tidak percaya, bahwa bukan saya membuatnya”.
“Kalau begitu saya mohon petunjuk”, ujar Ki Karat. Ki Putih Kelabu berada di persimpangan pikiran. Jika diberinya petunjuk, Pita Loka puterinya tercinta akan menanggung akibatnya. Jika ditolak, penolakan ini tidak sesuai dengan sifatnya yang dia punyai. Kalau berdalih, niscaya Ki Karat akan tahu alasannya dibuat-buat. Lalu dia Cuma bertanya “Kenapa tuan Ketua begitu bersemangat membela nasib seorang yang tak ada kaitan darahnya dengan tuan?”
Di luar dugaan, itu menciptakan Ki Karat bukannya bersemangat, tapi mundur dan berkata “Kalau begitu, sepakat saya akan atasi sendiri. Jika atap gagal diraih, terpaksalah anak tangga terbawah yang kuperbuat. Kumaklumkan dari sekarang, kucopot kedudukanku sebagai Ketua. Aku terpaksa menempuh anak tangga yang terendah”.
Dengan cekatan dia pulang. Mandi kembang dan berkata “Harimau Tunggal saya terpaksa melepaskan ilmu yang kau berikan, demi nyawa Peto Alam!”
Pada detik itu juga, di sebuah guha di Bukit Tunggal di daerah pertapaan nya, lelaki bau tanah keriput berambut putih tersentak dari duduk rapinya bersila.
Sebuah keris jatuh di hadapannya. Dibacanya aksara arab gundul pada gagang keris itu, tertera nama Ki Putih Kelabu. Dan dia cuma membisu memegang keris itu.
Gagangnya terbuat dari kayu cendana mengering bagai areng pikulan. Dan batangan logam keris berukir itu meleleh hancur berjatuhan di permukaan tanah.
Pada detik itu juga. Ki Lebai Karat dalam keadaan telanjang menebah dadanya sendiri, “Aku kini Ki Gumilang yang dulu!”
Tindak-tanduknya jadi kasar. Dan dikala dia masuk ke rumah, dia dapati Harwati tersenyum-senyum dan berkata “Dia sudah sembuh!”
“Apa kau bilang?”
“Peto Alam yang ayah sayangi sudah sembuh. Saya kira dia sendiri yang menyembuhkan dirinya, bukan saya dan bukan ayah”, ujar Harwati. Dan pada waktu makan malam, Harwati berkata pada ayahnya, “Tahu ayah informasi bangga yang perlu saya sampaikan?”
“Katakan, anak tolol” hardik lelaki bau tanah yang kini merasa Ki Gumilang.
“Hal pertama Hati saya luluh senang sewaktu ayah memeluk Gumara Dan hal kedua yang membahagiakan hatiku Cinta saya berbalas!”
“Apa katamu, goblok!”
“Dia membalas ucapan cinta saya. Dia juga berkata, bahwa dia bersedia melamar saya. Dan saya akan dengan segera menjadi garwa atau isterinya. Oh, ayah, betapa bersyukurnya diriku sehabis petaka ini!”
Ki Gumilang Jalang tersenyum menyeringai. Dia geleng-geleng kepala, kemudian tertawa terkekeh-kekeh.
“Kalau kau senang dua kali, malam ini kumaklumkan padamu, bahwa saya benci dua kali. Pertama benci pada diriku sendiri, kedua saya benci pada Gumara. Malu saya bila dia melamar kamu, Harwati!”
“Ayah, betapa takaburnya ayah!” seru Harwati. Dan tiba-tiba lelaki bau tanah yang amat dihormati itu menciptakan Harwati jadi ngeri. Sorot matanya jalang. Biarpun dalam jarak jauh, seperti mata ayahnya berkobar nafsu hingga Harwati berteriak, “Ayah! Ayah akan jadi gila! Itu bukan sorot mata Ki Lebai Karat yang mulia! Sorot mata ayah ialah sorot mata lelaki pejantan yang suka melacur!”
Ki Gumilang bukannya jadi aib alasannya ucapan puterinya. Dia malah mendekat ingin meraih rambut Harwati, tapi gadis itu segera melaksanakan tindakan cepat memutar tubuh dan menyepak ke belakang hingga Ki Gumilang terjungkal sehabis telapak Harwati mengenai dadanya.
“Baik, saya kalah”, kata lelaki bau tanah itu.
“Nikahkan saya segera dengan Gumara!”
“Oh, itu boleh saja”, ujar Ki Gumilang.
Dan dengan nada terharu, Harwati berkata, “Terimakasih untuk ayah. Terimakasih untuk Ketua Harimau Yang Enam atas dikabulkannya permohonan ini. Tapi kapan ayah mendapatkan Guru Gumara Peto Alam untuk melamar saya?”
“Pertama akan kujawab dulu soal yang sulit untuk dirahasiakan lagi. Kau tentu sudah melihat bahwa ayahmu sudah berubah”, kata lelaki bau tanah itu.
“Memang hari ini saya lihat ayah halus, tapi kepadaku berubah kasar, Toh ayah sayang pada Gumara, dan sayang pada saya. Buat apa lama-lama ditunda perkawinan kami?” tanya Harwati.
“Perlu kau ketahui mengapa saya berubah watak?”
“Tidak perlu, yang perlu kawini kami segera”, ujar Harwati.
“Itu soal ringan. Tapi soal pelik yang menggoncang jiwaku kini ini mesti kau ketahui. Dulu, ataupun malam ini, pada hakikatnya saya tak sudi kau mengasihi Gumara, begitu pun saya tak sudi Gumara mengasihi kau, Apalagi Gumara kawin dengan kau!”
Harwati terdongak mendengarnya. Dia cepat membalik dan menuding.
”Kenapa ayah tidak semulia dulu?”
“Karena saya tak patut dimuliakan lagi. Tanyalah pada Ki Putih Kelabu, bahwa saya telah mencopot gelar Ketuaku di Kumayan ini. Hanya alasannya Gumara. Lalu, apa masuk nalar bila lamarannya kuterima?”
“Lidah ayah kini bercabang! Harimau yang saya segani, ayah yang saya hormati, kini lidahnya tak sanggup mengemban amanah lagi. Sebentar setuju, sebentar menolak. Di mana pendirian ayah yang sebenarnya?”
Lelaki bau tanah itu hanya diam. Hatinya sedang membeku, Lalu secara mendadak dia tarik kaki bangku kecil dan dia lempar bangku itu pada Harwati. Harwati kaget dikala ayahnya meloncat mau menerkam dia. Dia terpaksa mengeluarkan tangkisan dengan tendangan melurus ke leher ayahnya hingga ayahnya tersungkur. Tapi, kali ini sang anak terheran-heran. Pencak silat itu, yang diajarkan ayah, tampaknya tak bisa ditangkis ayah, Kenapa? Jiwanya berubah, raganya pun tidak memperlihatkan kemampuan bersilat seorang Ketua. Apalagi Ketua Macan. Dan Harwati tambah kaget alasannya dilihatnya ayahnya pingsan! Jagoan pingsan?
Dan ternyata kemudian, sebelah tubuh ayahnya lumpuh. Harwati kuatir ilmu ayahnya yang dulu itu sudah pudar. Mungkin sebagaimana ilmu itu rumah yang dikontrak penghuninya, penghuninya pergi alasannya kontraknya habis.
Pagi buta, Harwati mendatangi Gumara. Gumara senang dan mengulangi ucapannya kemarin “Terimakasih alasannya kau yang pertama dikala saya sadar dari kemabukan asing itu. Tapi tentu terimakasih pada ayahmu yang baik hati. Dan barusan saja pergi Ki Putih Kelabu dari sini sehabis menjenguk saya”.
“Apa perlunya Putih Kelabu ke sini?” tanya Harwati.
“Mulanya kedatangannya ingin mengobati saya. Namun sehabis dilihatnya saya segar bugar, dia malahan heran. Setelah mengucapkan selamat sembuh, dia pergi. Barusan saja dia pergi”, ujar Gumara.
“Hampir saya curiga atas kedatangannya”, kata Harwati.
“Apa lagi yang perlu kau curigai. Toh sebentar lagi saya menjadi suamimu dan kau jadi isteriku”.
Harwati tersenyum senang, kemudian bertanya “Apakah tidak sebaiknya segera melamar?”
“Tak usah terburu-buru”, kata Gumara.
“Tapi ada kabar sedih. Ayahku lumpuh. Badannya mati sebelah. Aku kuatir ayah berlarut dan mati, kita kehilangan waktu perkawinan yang tepat”, kata Harwati. Gumara tercengang mendengar ayah Harwati bisa menderita sakit tubuh mati sebelah.
Bersambung...
Dia tiba di rumah Gumara bagaikan harimau yang sedang cemas. Begitu dia masuk, didapatinya Gumara menjulurkan lidah, Bengong. Macam hewan berkaki empat. Melihat tragedi itu, teteslah airmata Ketua Harimau Yang Enam di Kumayan itu, dan menyergap Gumara dengan pelukan erat “O, Peto Alam . . . Kenapa kau jadi menderita begini, nak?”
“He-he-he . . . . “
“Peto Alam!” hardik Ki Lebai Karat sembari terpaksa menampar Gumara biar segera sadar. Tapi Gumara tersenyum lebar, menyerupai orang teler yang kesenangan disakiti; “He-he-he . . . tuan Ki Karat ya?”
“O, Peto, berdiri dan berdirilah! Lawan musuhmu dengan kepala tegak!”, dan didekapnya kepala Gumara. Diangkatnya untuk berdiri, tapi Gumara menjatuhkan dirinya lagi ke lantai bagai hewan berkaki empat; “He, he . . . . “
Tampaklah kecemasan luarbiasa di wajah Ki Lebai Karat. Dibiarkannya Gumara begitu saja. Orangtua itu kemudian duduk di kursi, terperangah. Dia sedang menentukan cara terbaik Menghancur-luluhkan Ki Putih Kelabu . . . atau . . . mengobati Gumara lebih dulu. Untuk keduanya diharapkan tindakan sportip. Lalu dilihatnya lagi Gumara. Hati Ki Karat hancur luluh tak tahan melihat Peto Alam lebih gila dari orang gila, lebih pikun dari orang pikun, lebih teler dari orang mabuk.
“Gumara, sadarlah nak”” hardik Ki Lebai Karat. Bentakan dahsyat ini menciptakan Harwati tak jadi masuk pintu. Dia, hanya mengintip lewat celah, memperhatikan apa yang diperbuat ayahnya. Harwati melihat satu tragedi yang aneh. Dilihatnya ayahnya memeluk kepala Gumara, membelainya dengan cucuran airmata, dan berkata “O, Peto Alam . , , sekiranya saya boleh kembali pada ilmu kasar, saya bisa mengembalikan pikun kau ini pada pembuatnya.
Ah, kasihan saya melihat kau!”
Harwati bercucuran airmata babagia mendengarnya. Dia masuk tetapi kaget dikala ayahnya mendadak berubah perilaku menghapus airmata dengan cepat dan segera menjadi gugup namun gagah.
Mendadak saja ayah itu meninggalkan Harwati dan Gumara. Dia kemudian menuju rumah Ki Putih Kelabu, hal yang tak pernah diperbuatnya sebelumnya!
Kesombongannya Karena dialah ketua Harimau Kumayan ditanggalkannya. Dia sangat hormat dikala bertanya pada Ki Putih Kelabu “Bolehkah hamba masuk?”
“O, tuan Ketua . . . kenapa tidak?”
Hati-hati ia duduk. Hati-hati ia berkata “Aku mohon pertolonganmu. Dengan segala kerendahan hati, dengan sepuluh jari tanganku disertai satu kepalaku, kumohon kau obati si Peto Alam”.
Ki Putih Kelabu jadi terheran-heran melihat Sang Ketua begitu merendah. Dia jadi kebingungan. Dan dengan nafas tersengal-sengal dia berkata mengalah “Mungkin tuan Ketua tidak percaya, bahwa bukan saya membuatnya”.
“Kalau begitu saya mohon petunjuk”, ujar Ki Karat. Ki Putih Kelabu berada di persimpangan pikiran. Jika diberinya petunjuk, Pita Loka puterinya tercinta akan menanggung akibatnya. Jika ditolak, penolakan ini tidak sesuai dengan sifatnya yang dia punyai. Kalau berdalih, niscaya Ki Karat akan tahu alasannya dibuat-buat. Lalu dia Cuma bertanya “Kenapa tuan Ketua begitu bersemangat membela nasib seorang yang tak ada kaitan darahnya dengan tuan?”
Di luar dugaan, itu menciptakan Ki Karat bukannya bersemangat, tapi mundur dan berkata “Kalau begitu, sepakat saya akan atasi sendiri. Jika atap gagal diraih, terpaksalah anak tangga terbawah yang kuperbuat. Kumaklumkan dari sekarang, kucopot kedudukanku sebagai Ketua. Aku terpaksa menempuh anak tangga yang terendah”.
Dengan cekatan dia pulang. Mandi kembang dan berkata “Harimau Tunggal saya terpaksa melepaskan ilmu yang kau berikan, demi nyawa Peto Alam!”
Pada detik itu juga, di sebuah guha di Bukit Tunggal di daerah pertapaan nya, lelaki bau tanah keriput berambut putih tersentak dari duduk rapinya bersila.
Sebuah keris jatuh di hadapannya. Dibacanya aksara arab gundul pada gagang keris itu, tertera nama Ki Putih Kelabu. Dan dia cuma membisu memegang keris itu.
Gagangnya terbuat dari kayu cendana mengering bagai areng pikulan. Dan batangan logam keris berukir itu meleleh hancur berjatuhan di permukaan tanah.
Pada detik itu juga. Ki Lebai Karat dalam keadaan telanjang menebah dadanya sendiri, “Aku kini Ki Gumilang yang dulu!”
Tindak-tanduknya jadi kasar. Dan dikala dia masuk ke rumah, dia dapati Harwati tersenyum-senyum dan berkata “Dia sudah sembuh!”
“Apa kau bilang?”
“Peto Alam yang ayah sayangi sudah sembuh. Saya kira dia sendiri yang menyembuhkan dirinya, bukan saya dan bukan ayah”, ujar Harwati. Dan pada waktu makan malam, Harwati berkata pada ayahnya, “Tahu ayah informasi bangga yang perlu saya sampaikan?”
“Katakan, anak tolol” hardik lelaki bau tanah yang kini merasa Ki Gumilang.
“Hal pertama Hati saya luluh senang sewaktu ayah memeluk Gumara Dan hal kedua yang membahagiakan hatiku Cinta saya berbalas!”
“Apa katamu, goblok!”
“Dia membalas ucapan cinta saya. Dia juga berkata, bahwa dia bersedia melamar saya. Dan saya akan dengan segera menjadi garwa atau isterinya. Oh, ayah, betapa bersyukurnya diriku sehabis petaka ini!”
Ki Gumilang Jalang tersenyum menyeringai. Dia geleng-geleng kepala, kemudian tertawa terkekeh-kekeh.
“Kalau kau senang dua kali, malam ini kumaklumkan padamu, bahwa saya benci dua kali. Pertama benci pada diriku sendiri, kedua saya benci pada Gumara. Malu saya bila dia melamar kamu, Harwati!”
“Ayah, betapa takaburnya ayah!” seru Harwati. Dan tiba-tiba lelaki bau tanah yang amat dihormati itu menciptakan Harwati jadi ngeri. Sorot matanya jalang. Biarpun dalam jarak jauh, seperti mata ayahnya berkobar nafsu hingga Harwati berteriak, “Ayah! Ayah akan jadi gila! Itu bukan sorot mata Ki Lebai Karat yang mulia! Sorot mata ayah ialah sorot mata lelaki pejantan yang suka melacur!”
Ki Gumilang bukannya jadi aib alasannya ucapan puterinya. Dia malah mendekat ingin meraih rambut Harwati, tapi gadis itu segera melaksanakan tindakan cepat memutar tubuh dan menyepak ke belakang hingga Ki Gumilang terjungkal sehabis telapak Harwati mengenai dadanya.
“Baik, saya kalah”, kata lelaki bau tanah itu.
“Nikahkan saya segera dengan Gumara!”
“Oh, itu boleh saja”, ujar Ki Gumilang.
Dan dengan nada terharu, Harwati berkata, “Terimakasih untuk ayah. Terimakasih untuk Ketua Harimau Yang Enam atas dikabulkannya permohonan ini. Tapi kapan ayah mendapatkan Guru Gumara Peto Alam untuk melamar saya?”
“Pertama akan kujawab dulu soal yang sulit untuk dirahasiakan lagi. Kau tentu sudah melihat bahwa ayahmu sudah berubah”, kata lelaki bau tanah itu.
“Memang hari ini saya lihat ayah halus, tapi kepadaku berubah kasar, Toh ayah sayang pada Gumara, dan sayang pada saya. Buat apa lama-lama ditunda perkawinan kami?” tanya Harwati.
“Perlu kau ketahui mengapa saya berubah watak?”
“Tidak perlu, yang perlu kawini kami segera”, ujar Harwati.
“Itu soal ringan. Tapi soal pelik yang menggoncang jiwaku kini ini mesti kau ketahui. Dulu, ataupun malam ini, pada hakikatnya saya tak sudi kau mengasihi Gumara, begitu pun saya tak sudi Gumara mengasihi kau, Apalagi Gumara kawin dengan kau!”
Harwati terdongak mendengarnya. Dia cepat membalik dan menuding.
”Kenapa ayah tidak semulia dulu?”
“Karena saya tak patut dimuliakan lagi. Tanyalah pada Ki Putih Kelabu, bahwa saya telah mencopot gelar Ketuaku di Kumayan ini. Hanya alasannya Gumara. Lalu, apa masuk nalar bila lamarannya kuterima?”
“Lidah ayah kini bercabang! Harimau yang saya segani, ayah yang saya hormati, kini lidahnya tak sanggup mengemban amanah lagi. Sebentar setuju, sebentar menolak. Di mana pendirian ayah yang sebenarnya?”
Lelaki bau tanah itu hanya diam. Hatinya sedang membeku, Lalu secara mendadak dia tarik kaki bangku kecil dan dia lempar bangku itu pada Harwati. Harwati kaget dikala ayahnya meloncat mau menerkam dia. Dia terpaksa mengeluarkan tangkisan dengan tendangan melurus ke leher ayahnya hingga ayahnya tersungkur. Tapi, kali ini sang anak terheran-heran. Pencak silat itu, yang diajarkan ayah, tampaknya tak bisa ditangkis ayah, Kenapa? Jiwanya berubah, raganya pun tidak memperlihatkan kemampuan bersilat seorang Ketua. Apalagi Ketua Macan. Dan Harwati tambah kaget alasannya dilihatnya ayahnya pingsan! Jagoan pingsan?
Dan ternyata kemudian, sebelah tubuh ayahnya lumpuh. Harwati kuatir ilmu ayahnya yang dulu itu sudah pudar. Mungkin sebagaimana ilmu itu rumah yang dikontrak penghuninya, penghuninya pergi alasannya kontraknya habis.
Pagi buta, Harwati mendatangi Gumara. Gumara senang dan mengulangi ucapannya kemarin “Terimakasih alasannya kau yang pertama dikala saya sadar dari kemabukan asing itu. Tapi tentu terimakasih pada ayahmu yang baik hati. Dan barusan saja pergi Ki Putih Kelabu dari sini sehabis menjenguk saya”.
“Apa perlunya Putih Kelabu ke sini?” tanya Harwati.
“Mulanya kedatangannya ingin mengobati saya. Namun sehabis dilihatnya saya segar bugar, dia malahan heran. Setelah mengucapkan selamat sembuh, dia pergi. Barusan saja dia pergi”, ujar Gumara.
“Hampir saya curiga atas kedatangannya”, kata Harwati.
“Apa lagi yang perlu kau curigai. Toh sebentar lagi saya menjadi suamimu dan kau jadi isteriku”.
Harwati tersenyum senang, kemudian bertanya “Apakah tidak sebaiknya segera melamar?”
“Tak usah terburu-buru”, kata Gumara.
“Tapi ada kabar sedih. Ayahku lumpuh. Badannya mati sebelah. Aku kuatir ayah berlarut dan mati, kita kehilangan waktu perkawinan yang tepat”, kata Harwati. Gumara tercengang mendengar ayah Harwati bisa menderita sakit tubuh mati sebelah.
Bersambung...