Cerita Silat: Pantang Berdendam 20 - Seri Tujuh Insan Harimau
Kamis, 13 November 2014
Sebelumnya...
Pita Loka tidak sedikitpun mengurangi remasan dan tekukannya, membiarkan simpanse besar itu menjerit-jerit. Pada dikala yang sudah dianggapnya tepat, Pita Loka membungkuk sedikit untuk mengambil tenaga mengentakan badan untuk membanting simpanse besar itu. Bantingan itu sangat sempurna!
Kera besar itu menggelepar begitu terjengkang di tanah. Dan pita Loka cepat melarikan diri ketika beliau melihat adanya kerikil bersusun kayak tangga. Dia tidak terjebak o!eh jalan lurus di depan, lantaran beliau menduga dalam sedetik bahwa itu cuma jalan “ke luar” jebakan lagi. Betullah. Setelah sekuat tenaga beliau naik tangga itu tampaklah rumpunan pohon-pohon kelapa dan beliau lintasi pohon-pohon kelapa itu mengarah ke Bukit nun jauh disana , yang tak lain tentulah Bukit Cangang. Dia tidak tercengang menatapi Bukit Cangang itu, tetapi dengan meluncur beliau terus turun ke lembah di bawah, berbelok-belok di sela-sela pohon petai cina.
Dan pada tengah hari, Pita Loka sudah hingga pada lembah yang terbawah. Nafasnya sesak, dan sungai yang mengalir itu membuat dirinya tambah sesak nafas. Lalu rasa haus mulai menggodanya. Tapi beliau ingin mempertahankan tekad bulat untuk tetap berpuasa 40 hari siang malam dalam perjalanan ke Bukit Tunggal. Tiba-tiba beliau memutuskan untuk menyeberangi sungai itu. Ketika beliau mencelupkan kaki, dirasanya betapa nikmatnya air pada telapak kakinya. Menyegarkan badan secara menyeluruh! Namun Pita Loka tak terpengaruhi berlama-lama mencelupkan kaki.
Dia melangkah di air, dan terdengar suara kecipak air. Dia meloncat ke sebuah batu, Tapi ketika beliau sudah meloncat pula ke kerikil yang kedua, mendadak muncul ibarat bagian kayu. Ternyata itu punggung seekor huaya. Adanya sungai yang berbuaya itu pun tidak pernah dituturkan oleh ayahnya. Tapi satu hal yang membuat beliau selalu berani, lantaran ayah berpesan pada suatu malam dulu “Jika kamu menemui halangan menjelang datang di Bukit Tunggal, kamu mantapkan hati bahwa rintangan itu sanggup kamu kalahkan.”
Kini Pita Loka bersikuat batin. Dia kumpulkan tenaga untuk meloncat ke kerikil besar yang dirintangi oleh punggung buaya itu. Punggung buaya itu hanya jebakan saja. Lalu . .. .. sesudah tenaga terkumpul dan batin membaja, Pita Loka meloncat ke kerikil besar itu melangkahi dahan kayu jebakan punggung buaya itu. Satu pukulan keras menampar tubuhnya sehingga Pita Loka jatuh terjerembab ke permukaan batu.
Dianggapnya saja punggungnya tak sakit.
Lalu beliau berdiri tetapi di hadapannya beliau melihat ada benda kayak gergaii yang mau menampar mulanya. Pita Loka tidak mengelak. Dia nanti beberapa detik menjelang benda itu tepat untuk dipegang sebelum menampar. Seketika beliau pegang saja ekor buaya itu, yang licin, namun jadinya terpegang erat, yang kemudian ternyata sebuah kaki manusia.
Manusianya menggelepar dalam sungai, berkecipak-kecipak.
Pita Loka berusaha semoga tidak kecebur. Dia terus bertahan dengan dua telapak kaki bagai dipakukan pada permukaan kerikil besar itu. Dia biarkan insan yang menggelepar itu mereguk air hingga pengap dalam perjuangan membebaskan diri dari cengkeraman cekatan tangan Pita Loka. Setelah beliau sesak nafas, Pita Loka menghela ujud insan itu. Yang ternyata lelaki bau tanah berkaki satu. Pita Loka bersikuat hati untuk tidak terbujuk oleh rasa kasihan padanya, lantaran kuatir rengek si bau tanah hanya jebakan.
Malahan beliau segera melompat ke sebuah kerikil dan kemudian ke batu-batu yang menyembul di permukaan sungai, hingga beliau mencapai tepi sungai di seberang itu.
Dia tidak tunggu waktu terpengaruhi haus oleh wanginya anyir sungai. Dia terus memanjati tebing dengan berpegang pada akar-akar besar. Lalu memanjati Bukit Cangang.
Dikumayan, malam itu Gumara berteriak nyaring lantaran sebuah mimpi. Teriakan ini membuat Talang Padu, jirannya di sebelah rumah yang dibatasi kebun sirih, terbangun dan segera menuju rumah Gumara. Diketuknya pintu rumah guru yang dikenalnya amat berbudi itu,
“Siapa?” tanya Gumara menghapus keringat.
“Saya, Pak Talang”, sahut Talang Padu.
Talang Padu dikenal baik oleh Gumara sesudah menerima keterangan dan Harwati. Dia berjulukan Sariman, tapi sesudah pintar beliau digelari Ta!ang Padu. Dia terima gelar itu sesudah bertaubat dari ilmu hitam dan cuma bertani dan bersembahyang saja sesudah bertobat itu. Begitu Gumara membuka pintu, Talang Padu masuk.
“Sepertinya nak Gumara cuma bermimpi”, kata Talang Padu.
“Ya. Saya mimpi melihat seorang yang saya kenal sedang disihir oleh jago telepati di satu bukit”, kata Gumara.
“Oh, saya tahu bukit itu, Bukit Cangang. Di situ berkumpul jago sihir, dan bahkan saya pun sebelum bertobat menuntut ilmu sihir disana . Yah, tak mungkin nak Gumara tak diceritakan orang mengenai masa silam saya. Saya punya masa silam yang buruk, yaitu gemar mengganggu rumah tangga orang yang sedang damai.
Caranya menaruhkan sebuah kerikil di talang air rumah orang yang tenang suami isteri itu. Setelah itu, kerikil yang sudah saya isi dengan sihir itu akan membuat pertengkaran rumah tangga. Akhirnya Ki Putih Kelabu yang menaklukkan saya hingga saya digelari si Talang Padu.”
Setelah bicara ihwal dirinya, sekarang beliau bertanya “Boleh saya tahu siapa orang yang anda kenal dalam mimpi itu?” Gumara menggelengkan kepala. Dia memejamkan mata sambil mengingat mimpi yang barusan berlalu. Mimpi itu masih segar. Tampak olehnya Pita Loka dihadapkan pada duabelas orang tua. Karena tidak sudi menjadi murid, satu dari 12-tua itu mencekik leher Pita Loka. Ketika itulah lantaran kasihan menyaksikan, Gumara menjerit dengan teriakan ketakutan ........ kemudian beliau terbangun dalam keadaan mandi peluh.
Talang Padu kemudian pamitan pulang. Dan Gumara tak sanggup tidur hingga pagi. Paginya sesudah beliau berkemas untuk menomon pertandingan olahraga volley, muncullah Harwati dalam pakaian celana panjang olahraga berwarna merah berstrip dua putih.
Dalam pakaian “training” itu, Harwati tampak lebih jelita dan gagah. Dia akan memperkuat regu Sekolah Menengah Pertama melawan regu Muspida.
Lalu Harwati berjalan seiring dengan Guru Gumara.
“Saya tadi pagi sanggup gosip dari ayah”, ujar Harwati.
“Informasi? Mengenai apa?”
“Adainfo mengenai Pita Loka. Dia rupanya bukan minggat. Tentu saja ayahnya merahasiakan kepergiannya.
Ayah barusan kembali dari daerah pertapaan, dan mendapatkan pandangan gres bahwa Pita Loka sedang menuju Bukit Tunggal untuk menuntut ilmu ghaib pada Ki Harimau Tunggal.
Anehnya, ayah gembira!” Harwati menunggu reaksi Gumara. Tapi Gumara merahasiakan mimpinya semalam. Dia berdiam diri.
Juga sehabis pertandingan volley, Gumara berdiam diri. Dia menolak Harwati untuk pulang bersama. Dan ingin jalan sendirian ke suatu tempat. Dia ingin duduk di puncak Bukit Kumayan, bukit satu-satunya di sebelah kidul yang tidak ditumbuhi pohonan.
Anehnya, bukit itu bundar. Dan mungkin di situ ada kadar menyan yang banyak, atau sanggup juga seluruh bukit bulat itu ialah bukit menyan. Menikmati anyir menyan di Bukit Kumayan itu, bukan membuat ketenangan. Malah beliau gelisah. Lebih heran lagi muncul Lading Ganda. Lalu Ki Lading Ganda berkata “Hati-hati duduk di bukit yang seluruhnya berisi menyan raksasa ini. Kalau di sini terjadi perkelahian, maka yang mati akan masuk ke tanah tak ke luar lagi jadi tumbal dan jadi kerikil menyan.”
Gumara hanya melirik. Ki Lading Ganda kemudian bersimpuh menghadap pada Gumara yang bersimpuh pula. Ki Lading Ganda berkata “Percuma tuan guru mengingat Pita Loka di sini. Karena saya mendapatkan ilmu peramal dari guruku, saya ingin menyatakan ramalanku!”
“Tak usahlah, Ki. Saya tak percaya ramalan”, ujar Gumara.
“Namun ingin saya nyatakan. Saya ramalkan Pita Loka bukan minggat lantaran malu dipecat, tapi melarikan diri ke satu daerah menuntut ilmu. Harimau yang enam termasuk Ki Putih Kelabu niscaya sudah tahu ke mana perginya. Dia akan kembali ke Kumayan untuk jadi musuh tuan guru. Dan Harwati? Saya ramalkan takkan jadi isteri anda. Memang beliau mengasihi tuan dan tuanpun mencintainya. Tapi lebih tepat jikalau tuan mengawini Keni, puteriku, adik si Pina.”
Keni memang cantik, Tapi Gumara diam. Dan Ki Lading Ganda menjebaknya dengan berkata “Kalau anda diam, berarti setuju.”
Bersambung...
Pita Loka tidak sedikitpun mengurangi remasan dan tekukannya, membiarkan simpanse besar itu menjerit-jerit. Pada dikala yang sudah dianggapnya tepat, Pita Loka membungkuk sedikit untuk mengambil tenaga mengentakan badan untuk membanting simpanse besar itu. Bantingan itu sangat sempurna!
Kera besar itu menggelepar begitu terjengkang di tanah. Dan pita Loka cepat melarikan diri ketika beliau melihat adanya kerikil bersusun kayak tangga. Dia tidak terjebak o!eh jalan lurus di depan, lantaran beliau menduga dalam sedetik bahwa itu cuma jalan “ke luar” jebakan lagi. Betullah. Setelah sekuat tenaga beliau naik tangga itu tampaklah rumpunan pohon-pohon kelapa dan beliau lintasi pohon-pohon kelapa itu mengarah ke Bukit nun jauh disana , yang tak lain tentulah Bukit Cangang. Dia tidak tercengang menatapi Bukit Cangang itu, tetapi dengan meluncur beliau terus turun ke lembah di bawah, berbelok-belok di sela-sela pohon petai cina.
Dan pada tengah hari, Pita Loka sudah hingga pada lembah yang terbawah. Nafasnya sesak, dan sungai yang mengalir itu membuat dirinya tambah sesak nafas. Lalu rasa haus mulai menggodanya. Tapi beliau ingin mempertahankan tekad bulat untuk tetap berpuasa 40 hari siang malam dalam perjalanan ke Bukit Tunggal. Tiba-tiba beliau memutuskan untuk menyeberangi sungai itu. Ketika beliau mencelupkan kaki, dirasanya betapa nikmatnya air pada telapak kakinya. Menyegarkan badan secara menyeluruh! Namun Pita Loka tak terpengaruhi berlama-lama mencelupkan kaki.
Dia melangkah di air, dan terdengar suara kecipak air. Dia meloncat ke sebuah batu, Tapi ketika beliau sudah meloncat pula ke kerikil yang kedua, mendadak muncul ibarat bagian kayu. Ternyata itu punggung seekor huaya. Adanya sungai yang berbuaya itu pun tidak pernah dituturkan oleh ayahnya. Tapi satu hal yang membuat beliau selalu berani, lantaran ayah berpesan pada suatu malam dulu “Jika kamu menemui halangan menjelang datang di Bukit Tunggal, kamu mantapkan hati bahwa rintangan itu sanggup kamu kalahkan.”
Kini Pita Loka bersikuat batin. Dia kumpulkan tenaga untuk meloncat ke kerikil besar yang dirintangi oleh punggung buaya itu. Punggung buaya itu hanya jebakan saja. Lalu . .. .. sesudah tenaga terkumpul dan batin membaja, Pita Loka meloncat ke kerikil besar itu melangkahi dahan kayu jebakan punggung buaya itu. Satu pukulan keras menampar tubuhnya sehingga Pita Loka jatuh terjerembab ke permukaan batu.
Dianggapnya saja punggungnya tak sakit.
Lalu beliau berdiri tetapi di hadapannya beliau melihat ada benda kayak gergaii yang mau menampar mulanya. Pita Loka tidak mengelak. Dia nanti beberapa detik menjelang benda itu tepat untuk dipegang sebelum menampar. Seketika beliau pegang saja ekor buaya itu, yang licin, namun jadinya terpegang erat, yang kemudian ternyata sebuah kaki manusia.
Manusianya menggelepar dalam sungai, berkecipak-kecipak.
Pita Loka berusaha semoga tidak kecebur. Dia terus bertahan dengan dua telapak kaki bagai dipakukan pada permukaan kerikil besar itu. Dia biarkan insan yang menggelepar itu mereguk air hingga pengap dalam perjuangan membebaskan diri dari cengkeraman cekatan tangan Pita Loka. Setelah beliau sesak nafas, Pita Loka menghela ujud insan itu. Yang ternyata lelaki bau tanah berkaki satu. Pita Loka bersikuat hati untuk tidak terbujuk oleh rasa kasihan padanya, lantaran kuatir rengek si bau tanah hanya jebakan.
Malahan beliau segera melompat ke sebuah kerikil dan kemudian ke batu-batu yang menyembul di permukaan sungai, hingga beliau mencapai tepi sungai di seberang itu.
Dia tidak tunggu waktu terpengaruhi haus oleh wanginya anyir sungai. Dia terus memanjati tebing dengan berpegang pada akar-akar besar. Lalu memanjati Bukit Cangang.
Dikumayan, malam itu Gumara berteriak nyaring lantaran sebuah mimpi. Teriakan ini membuat Talang Padu, jirannya di sebelah rumah yang dibatasi kebun sirih, terbangun dan segera menuju rumah Gumara. Diketuknya pintu rumah guru yang dikenalnya amat berbudi itu,
“Siapa?” tanya Gumara menghapus keringat.
“Saya, Pak Talang”, sahut Talang Padu.
Talang Padu dikenal baik oleh Gumara sesudah menerima keterangan dan Harwati. Dia berjulukan Sariman, tapi sesudah pintar beliau digelari Ta!ang Padu. Dia terima gelar itu sesudah bertaubat dari ilmu hitam dan cuma bertani dan bersembahyang saja sesudah bertobat itu. Begitu Gumara membuka pintu, Talang Padu masuk.
“Sepertinya nak Gumara cuma bermimpi”, kata Talang Padu.
“Ya. Saya mimpi melihat seorang yang saya kenal sedang disihir oleh jago telepati di satu bukit”, kata Gumara.
“Oh, saya tahu bukit itu, Bukit Cangang. Di situ berkumpul jago sihir, dan bahkan saya pun sebelum bertobat menuntut ilmu sihir disana . Yah, tak mungkin nak Gumara tak diceritakan orang mengenai masa silam saya. Saya punya masa silam yang buruk, yaitu gemar mengganggu rumah tangga orang yang sedang damai.
Caranya menaruhkan sebuah kerikil di talang air rumah orang yang tenang suami isteri itu. Setelah itu, kerikil yang sudah saya isi dengan sihir itu akan membuat pertengkaran rumah tangga. Akhirnya Ki Putih Kelabu yang menaklukkan saya hingga saya digelari si Talang Padu.”
Setelah bicara ihwal dirinya, sekarang beliau bertanya “Boleh saya tahu siapa orang yang anda kenal dalam mimpi itu?” Gumara menggelengkan kepala. Dia memejamkan mata sambil mengingat mimpi yang barusan berlalu. Mimpi itu masih segar. Tampak olehnya Pita Loka dihadapkan pada duabelas orang tua. Karena tidak sudi menjadi murid, satu dari 12-tua itu mencekik leher Pita Loka. Ketika itulah lantaran kasihan menyaksikan, Gumara menjerit dengan teriakan ketakutan ........ kemudian beliau terbangun dalam keadaan mandi peluh.
Talang Padu kemudian pamitan pulang. Dan Gumara tak sanggup tidur hingga pagi. Paginya sesudah beliau berkemas untuk menomon pertandingan olahraga volley, muncullah Harwati dalam pakaian celana panjang olahraga berwarna merah berstrip dua putih.
Dalam pakaian “training” itu, Harwati tampak lebih jelita dan gagah. Dia akan memperkuat regu Sekolah Menengah Pertama melawan regu Muspida.
Lalu Harwati berjalan seiring dengan Guru Gumara.
“Saya tadi pagi sanggup gosip dari ayah”, ujar Harwati.
“Informasi? Mengenai apa?”
“Adainfo mengenai Pita Loka. Dia rupanya bukan minggat. Tentu saja ayahnya merahasiakan kepergiannya.
Ayah barusan kembali dari daerah pertapaan, dan mendapatkan pandangan gres bahwa Pita Loka sedang menuju Bukit Tunggal untuk menuntut ilmu ghaib pada Ki Harimau Tunggal.
Anehnya, ayah gembira!” Harwati menunggu reaksi Gumara. Tapi Gumara merahasiakan mimpinya semalam. Dia berdiam diri.
Juga sehabis pertandingan volley, Gumara berdiam diri. Dia menolak Harwati untuk pulang bersama. Dan ingin jalan sendirian ke suatu tempat. Dia ingin duduk di puncak Bukit Kumayan, bukit satu-satunya di sebelah kidul yang tidak ditumbuhi pohonan.
Anehnya, bukit itu bundar. Dan mungkin di situ ada kadar menyan yang banyak, atau sanggup juga seluruh bukit bulat itu ialah bukit menyan. Menikmati anyir menyan di Bukit Kumayan itu, bukan membuat ketenangan. Malah beliau gelisah. Lebih heran lagi muncul Lading Ganda. Lalu Ki Lading Ganda berkata “Hati-hati duduk di bukit yang seluruhnya berisi menyan raksasa ini. Kalau di sini terjadi perkelahian, maka yang mati akan masuk ke tanah tak ke luar lagi jadi tumbal dan jadi kerikil menyan.”
Gumara hanya melirik. Ki Lading Ganda kemudian bersimpuh menghadap pada Gumara yang bersimpuh pula. Ki Lading Ganda berkata “Percuma tuan guru mengingat Pita Loka di sini. Karena saya mendapatkan ilmu peramal dari guruku, saya ingin menyatakan ramalanku!”
“Tak usahlah, Ki. Saya tak percaya ramalan”, ujar Gumara.
“Namun ingin saya nyatakan. Saya ramalkan Pita Loka bukan minggat lantaran malu dipecat, tapi melarikan diri ke satu daerah menuntut ilmu. Harimau yang enam termasuk Ki Putih Kelabu niscaya sudah tahu ke mana perginya. Dia akan kembali ke Kumayan untuk jadi musuh tuan guru. Dan Harwati? Saya ramalkan takkan jadi isteri anda. Memang beliau mengasihi tuan dan tuanpun mencintainya. Tapi lebih tepat jikalau tuan mengawini Keni, puteriku, adik si Pina.”
Keni memang cantik, Tapi Gumara diam. Dan Ki Lading Ganda menjebaknya dengan berkata “Kalau anda diam, berarti setuju.”
Bersambung...