Cerita Silat: Pantang Berdendam 19 - Seri Tujuh Insan Harimau

 ujar Pita Loka seraya merangkul sang ayah Cerita Silat: Pantang Berdendam 19 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Padahal ada cowok tampan dan gagah, yang dulu begitu baik, yang mencintaimu, koq kau tolak cintanya? Apakah kau menyayangi Gumara?” “Tidak, saya membencinya”, sahut Pita Loka. “Kalau kau sudah membencinya, apa tindakanmu selanjutnya?” “Aku akan memohon suatu permintaan”, ujar Pita Loka seraya merangkul sang ayah.
Dan Ki Putih Kelabu merasa amat terharu lantaran belum pernah menyaksikan puterinya tersayang begini duka dan pilu.
“Katakan, akan ayah kabulkan, Pita”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Aku mohon, malam ini juga, supaya ayah mewariskan satu saja ilmu mantera untuk saya,” ujar Pita Loka.
“Baiklah. Mantera apa yang kau minta?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Mantera untuk membikin pikiran seseorang menjadi kacau” ujar Pita Loka.
“Ha? Wah, itu tak baik, saya tak mau!” Ki Putih Kelabu menolak tegas.
Pita Loka menangis sejadi-jadinya. Dia peluk ayahnya erat, kemudian berkata “Belum pernah saya meminta pada ayah. Saya telah dibuatnya malu. Kali ini saya ingin membalas aib itu.”
“Tidak bisa, Pita”, ujar sang ayah berat.
Dia tetap merasa berat, sekalipun sudah tiga jam Pita Loka menangis hingga larut malam, hingga bisul matanya. Ki Putih Kelabu, demi cintanya pada anak gadis tunggalnya, karenanya menyerah, “Kendati berat, terpaksa kuberikan. Tapi selesai membaca mantera itu, kau harus meninggalkan Kumayan, sekalipun tebusannya ialah mati bagimu.”
Airmata Ki Putih Kelabu tertahan kemudian bercucuran melihat Pita Loka begitu teguh ampuh berkonsentrasi membaca mantera itu, dengan telunjuk bergerak di atas sebuah piring sebagai syaratnya. Ketika telunjuk itu berhenti, Ki Putih Kelabu terdongak kaget, dan, berseru, “Cepatlah pergi dari sini”,
Rupanya Pita Loka sudah slap untuk pergi. Begitu cepat langkahnya ke luar masuk hutan rimba, menjelang matahari terbit beliau sudah melewati Bukit Anggun dan tanpa istirahat beliau mulai mendaki Bukit kedua, Bukit Kerambil.
Gumara bingung seharian. Biasanya, sepulang dari mengajar beliau masih sempat membaca beberapa buku-buku atau catatan. Hari ini, sehabis makan siang beliau pribadi mengantuk dan tidur. Dan sewaktu bangun dari tidur, beliau kembali bingung tanpa tahu sebab-sebab keresahan.
Keresahan itu tampak dikala beliau mengajar matematika atau fisika di depan kelas. Hal ini diketahui hanya oleh seseorang yang memperhatikannya dengan cara saksama.
Dan yang memperhatikan hal itu ialah Harwati. Maka pada jam istirahat terakhir, Harwati sengaja mendekati Guru Gumara yang tidak berada di ruang Dewan Guru melainkan di bawah pohon flamboyan di pekarangan sekolah. Pak Guru sedang memegang dahan flamboyan yang merendah.
“Wah, kali ini koq Bapak ada di sini?” tanya Harwati. Gumara membisu saja.
“Kalau pulang jalan kaki, boleh Wati menemani Bapak?” tanya Harwati. Juga Gumara membisu saja.
Dan sewaktu guru itu pulang sehabis bubaran sekolah, dengan lngkah yang dipercepat menyerupai di”kejar”nya Guru Gumara. Setelah seiring, Harwati bertanya “Sudah tahukah Bapak, sesudah dipecat si Pita Loka melarikan diri dari Kumayan?”
“Dia minggat?” tanya Gumara.
“Mungkin minggat. Hai ini diberitahukan sendiri oleh tuan guru Ki Putih Kelabu pada ayahku, Sebagai laporan bahwa puterinya pergi entah ke mana.”
Langkah Gumara dan Harwati terus menyelusuri jalan kampung yang kecil itu. Dan Gumara tak mengatakan komentar apa-apa.
“Saya duga Bapak duka atas kepergian Pita Loka”, tuding Harwati.
Karena Gumara membisu saja, Harwati mengepungnya dengan pertanyaan, “Apa Bapak jadi risau begini lantaran mencintainya ?”
“Mencintai Pita Loka? Ah. itu cuma tuduhanmu”, kata sang guru.
“Kalau begitu apa yang membuat Bapak kelihatan murung ?”
“Entah, saya tak tahu.”
Harwati lebih mengepungnya “Jadi kemurungan Bapak bukan lantaran kepergian Pita Loka dari Kumayan?”
“Sama sekali bukan,” sahut Gumara.
Alangkah senangnya hati Harwati mendengar balasan itu. Hal itulah yang beliau harapkan, Tetapi anehnya, malam itu Gumara bermimpi! Dia bermimpi melihat Pita Loka sedang dikerubungi kera-kera besar di sebuah hutan. Ia menganggap mimpi ini ada takwilnya. Begitu terbangun, Gumara memikirkan takwil mimpi itu untuk mencari tafsirannya.
Dan anehnya, apa yang ada dalam mimpi Guru Gumara itu, memang sedang dialami Pita Loka. Pita Loka berputar di sekitar lorong-lorong-sesat yang diperbuat penduduk Bukit Kerambil. Dua hari dua malam Pita Loka berjalan di sekitar daerah yang sama, digiring o!eh monyet-monyet kecil, Karena letih, Pita Loka duduk pada sebuah batu.
Seingat dia, ayahnya tidak menceritakan lebih jelas mengenai lorong sesat Bukit Kerambil ini. Namun beliau usahakan biar beliau tetap memenuhi puasa, alasannya ialah puasa 40 hari itu musti beliau lakukan hingga beliau datang di Bukit Tunggal tujuan terakhirnya. Mendadak melompat ke depannya seekor simpanse besar.
Jelas itu raja dari kera-kera yang menggiringnya. Waktu itu matahari telah terbit. Pita Loka meneliti simpanse besar itu. Agaknya beliau bukan kera, tapi insan berwujud kera.
Tampaknya simpanse itu memperlihatkan kelapa yang sudah berlubang. Kelapa muda! Ah, ajuan yang ramah, Pita Loka menggelengkan kepala. Kera besar itu mengatakan referensi bahwa kelapa hijau yang diberinya itu untuk minum. Kera itu minum dan tertawa. Pita Loka pribadi berfirasat, bahwa ini jebakan.
“Saya puasa, tuan”, sahut Pita Loka dikala simpanse besar itu tampaknya memaksanya untuk minum. Lalu simpanse itu membelah kelapa itu, dan mengambil daging kelapa.
Baunya harum seakan menguji daya tahan Pita Loka yang sudah 3 hari berpuasa siang malam. Kera itu menggodanya dengan unjuk cara, memakan daging kelapa itu. Pita Loka mengulangi penolakannya “Saya puasa, tuan.”
Untuk mengelak, Pita Loka melanjutkan langkah. Namun beliau kembali lagi ke daerah semula, dengan bukti bekas pecahan kelapa hijau tadi. Pita berkata “Aku tak sudi terjebak dalam labyrinth. Lorong sesat ini sengaja menjebakku untuk menetap di Bukit Kerambil.”
“Ya, menetaplah di sini”, kemudian dengan cepat Pita membalik tubuhnya dan mendengar seorang berkata, ternyata memang manusia, berwujud orangtua. Orangtua itu memegang rantai.
“Jika kau menolak, kau kami tawan”, ujar lelaki bau tanah itu.
Pita Loka melihat dirinya dikepung oleh kera-kera. Tetapi beliau seketika itu juga merasa yakin bahwa beliau bisa mengalahkan si tua, Dia tidak menunggu hingga kena rantai.
Dia hentakkan kedua telapak kakinya ke dada si bau tanah itu dengan sekuat tenaga dan loncatan macan. Lelaki bau tanah itu memang terjengkang jatuh, namun berdiri lagi dengan gerak gerik menyeramkan.
Pita Loka tidak menunggu waktu hingga lelaki bau tanah itu berdiri teguh. Langsung saja beliau lompati dengan sebuah tendangan sebagaimana pemain bola sayap kanan menendang bola ke gol dengan tujuan membobolkan gawang lawan. Di luar dugaan tendangan itu mengenai rusuk lelaki bau tanah itu. Lelaki bau tanah itu tersungkur. Tapi kera-kera yang mengepungnya tampak hanya menontoni saja.
Aneh! Begitu lelaki bau tanah itu tersungkur, tampak ada jalan ke luar. Tampak bukit di hadapannya. Itulah Bukit Cangang yang dikatakan ayah! Pita cepat melarikan diri melewati jalan “ke luar” di hadapannya. Tetapi jika beliau tidak cekatan, tentulah beliau sudah masuk ke jurang. Jalan “keluar” itu rupanya jebakan bagi siapa yang mencoba melarikan diri dari Bukit Kerambil ini.
Bagai rem yang pakem, Pita Loka menghentikan langkah, sementara bunyi batu-batu bergelundungan ke bawah membuat gema di lembah bawah. Pita Loka mau segera berbalik, tapi lelaki bau tanah yang tadi beliau sungkurkan sekarang telah mencegatnya.
“Pilihan hanya dua, anak perawan. Kalau terus mati masuk jurang, atau mengalah dan mencar ilmu pada kami”, kata lelaki bau tanah itu.
“Belajar apa, tuan?” tanya Pita Loka berpura-pura ramah.
“Belajar ilmu silat kera,” sahut lelaki bau tanah itu.
“Berapa usang pelajarannya?”
“Tujuh tahun”, sahut lelaki bau tanah itu, mengulurkan tangan.
Uluran tangan itulah yang membuat Pita Loka mendapat siasat. Diterimanya jabat tangan itu, tetapi kemudian beliau remas telapak tangannya dengan tekukan kuat, sehingga lelaki bau tanah itu mendadak mencakar-cakar Pita Loka. Setika beliau berteriak kesakitan, beliau bermetamorfosis seekor simpanse besar. Ya simpanse besar yang pertama memperlihatkan minum air kelapa dan memperlihatkan daging kelapa.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel