Cerita Silat: Pantang Berdendam 21 - Seri Tujuh Insan Harimau
Kamis, 13 November 2014
Sebelumnya...
Gumara terpaksa jadi marah. Kemarahan inilah yang diperlukan Lading Ganda. Berdiri merentak, Gumara berkata merentak pula “Jangan lamar aku. Sebab saya ingin hidup membujang!”. Ki Lading Ganda bagai mencegatnya. Lalu orangtua itu berkata, “Penolakan berarti penghinaan. Kalau anda jantan, jangan dulu pergi. Layani dulu permintaanku. Aku ingin mencoba ilmumu.”
Gumara tenang. Teramat tenang. Matahari sore agak menyilaukan Gumara yang sedang berdiri berhadapan dengan Ki Lading Ganda. Ki Lading Ganda menggertaknya “Jika kamu tak menyerah, kamu akan kuhabisi sekarang!”
Langsung saja lelaki renta itu dengan dua tangannya mencabut dua buah golok dari pinggangnya. Dalam sekelebatan golok itu diadunya dan membuat kilatan api dan suara nyaring, Golok itu seketika bermetamorfosis satu golok yang bergagang kembar dan bermata dua.
Gumara berdiam diri, namun tak mengucapkan kata-kata menyerah. Tetapi hatinya menganggap ilmu si renta ini amat rendah. Sekelebatan tampak olehnya sinar yang melayang mau menebasnya, membuat Gumara merunduk menjatuhkan diri alasannya yaitu sinar itulah sinar mata golok yang mau menebas lehernya. Begitu ia menjatuhkan diri, Ki Lading Ganda menyerang dari belakang, tetapi kaki kanan Gumara menuat menangkis dengan putaran. Tepat mengenai Ki Lading Ganda hingga ia terjengkang.
Gumara tidak mengambil perilaku menyerang, melainkan bertahan. Terutama menyalurkan ketenangan nafas. Waktu ia hendak berdiri, satu kilatan menghantam bahunya. Golok itu tepat mengenai pundak kanan, tetapi golok itu membal, terpelanting lepas dari tangan Ki Lading Ganda.
Ki Lading Ganda sudah menduga bahwa itu akan membuat ajun Gumara copot. Kini ia terpelongo, terheran-heran. Dia tidak memungut goloknya. Tapi cepat menghatur sembah sungkem layaknya, berlutut dihadapan dengkul Gumara. Katanya, “Anda rupanya rahasia punya ilmu kebal.”
Gumara berpekak-telinga seolah tak mendengar. Dia melangkah, dengan maksud meninggalkan Ki Lading Ganda. Tetapi Ki Lading Ganda menungkai dengan kakinya sehingga Gumara jatuh tersungkur. Dia bangkit lagi. Tapi kemudian pergi sehabis membersihkan tanah yang diciumnya oleh mukanya sewaktu tersungkur tadi.
Ki Lading Ganda masih duduk di puncak Bukit Kumayan itu bagai terpesona. Setelah diambil goloknya yang tadi terpelanting itu, kemudian golok itu ditetakannya ke keningnya. Sebuah dari kembarannya meloncat ke udara, dan disanggep oleh tangan kiri Ki Lading Ganda. Dengan serempak kedua golok itu masuk ke sarung-sarungnya kiri kanan di pinggang lelaki renta itu.
Ketika Gumara tiba di rumahnya, ia kaget melihat sudah tersedia hidangan di meja selain rantang kiriman Pak Yunus. Lalu muncul Harwati dari dapur„ Rupanya dia!ah yang telah memasak makanan siang ini.
“Jika ayahmu tahu, kurasa ia akan murka kamu ada di rumahku”, kata Gumara. Dan memang benarlah apa yang dikatakan Gumara senja itu. Setiba di rumah Harwati dipanggil oleh ayahnya.
Sebelum ayahnya bicara, Harwati berkata “Sudah banyak orang yang mau berobat pada ayah.”
“Katakan pada mereka, hari ini saya tidak melayani tamu, kecuali orang yang sakit parah.”
“Tapi ada satu tamu, pejabat penting darikota , ingin minta perkukuh jabatan pada bapak, katanya. Malah ia ingin didahulukan”, ujar Harwati.
Dengan langkah geram Ki Lebai Karat keluar dari ruangannya menemui tamu itu.
Dan tamu itu memperkenalkan diri sebagai tamu darikota . Drs. Jamal Wangsadan menyatakan hasratnya untuk diangkat sebagai walikota.
“Oh, itu gampang saja. Tuan tak usah mendatangi Ki Karat. Berbakti pada kepentingan rakyat dengan baik, hingga Pak Gubernur tahu bahwa anda paling tepat untuk menjadi walikota. Itu saja. Saya kira tuan sakit atau berkelahi dengan isteri.”
Ucapannya yang kedengaran besar kepala itu membuat Drs. Jamal Wangsa pun mengimbanginya dengan keangkuhan.
Katanya “Saya kira, begitu saya dengar bapak yaitu dukun sakti, bapak sanggup berbuat segala-galanya.”
“Oh, yang sanggup berbuat Segala-Galanya itu, cuma Tuhan Maha Pencipta Semesta Alam. Bukan saya. Saya rasa tuan salah alamat”, kata Ki Karat.
Lalu Ki Karat menyuruh masuk seorang ibu renta yang lumpuh, Setelah Ibu renta lumpuh itu ke luar lagi sehabis diobati, ia tak lagi dibimbing. Ia malahan menolak untuk dipegangi. Ia melangkah dengan sempurna. Sehabis seluruh pasien di obati oleh Ki Lebai Karat, kini Harwati mendengar namanya diteriaki oleh ayahnya. Dia merasa nada itu tinggi, terlalu tinggi, dan benarlah ramalan Pak Guru bahwa ia akan di marahi. Wajah ayahnya sehabis berhadapan sepertinya begitu geram.
“Aku tidak oke kamu terlalu rapat dengan Peto Alam.
Gumara Peto Alam itu hanya tepat sebagai guru sekolahmu, saudaramu dan bukan calon suamimu. Orang memberikan kamu sibuk memasaki di rumahnya, padahal rumahnya tak pernah ada asap dapur alasannya yaitu ia mendapatkan kiriman rantangan dari guru Tarikh,”
Mendengar kata-kata ayahnya itu, Harwati berlinang airmata. Dan ia sepertinya melawan dengan tudingan tuduhan “Pantas ayah begitu bahagia mendengar Pita Loka pergi mencar ilmu ke Bukit Tunggal. Makara ayah lebih rela apabila kelak Pita Loka menjadi isteri Gumara Peto Alam ketimbang aku, ya?”
Ayah yang berbudi itu kemudian membelai kepala Harwati sehabis tak kuasa mendengar isak tangis anaknya, Katanya; “Gumara itu bukan dampinganmu, nak!”
Dibelai dengan ucapan yang begitu, bukannya membuat Harwati lega, malahan tambah terisak-isak. Semalannan ia tak sanggup tidur. Menjelang subuh tiba, Harwati menemukan keputusan sendiri. Dia secara rahasia memasuki kamar-pertapaan ayahnya. Dibongkamya semua buku yang berisi mantera-mantera yang bertulisan arab-gundul. Tanpa tanda baca. Tapi Harwati sanggup membacanya lantaran goresan pena arab-gundul itu bukan berbahasa Arab melainkan mantera-mantera berbahasa wilayahnya sendiri. Karena kamar ini jarang dimasuki ayahnya, Harwati bertambah tekun mencari satu kitab yang berisi rumusan-rumusan pikat. Kitab Pikat yang dicarinya itu agaknya disembunyikan ayah, fikirnya. Lalu ia melihat ada sebuah gembok pada lantai papan.
Rupanya ayah membuat lantai itu berpintu, Gembok itu membuat ia penasaran.
Karena ia harus mencari kunci. Dia cari tempat kunci itu. Dan ia temui. Semua kunci dicobakannya pada gembok itu. Seluruhnya tujuhpuluh buah kunci. Dan pada kunci bernomor arabgundul 49, Harwati lega lantaran kunci itu cocok.
Pintu rahasia itu kini ia buka. Jika saja ia tidak diwarisi keberanian, tentu ia menjerit melihat seekor kelabang hitam berkaki 33 yang muncul dari lemari bawah tanah itu. Kelabang hitam itu menatapnya lama, tapi lama-kelamaan mengerikan sekali.
Tiba-tiba Harwati menjerit sewaktu kelabang hitam itu melompat ke arah kepalanya.
Ki Karat yang sedang makan siang segera bertindak cekatan menuju kamar pertapaan.
Dia dapati puterinya pingsan, Dia pribadi menoleh ke lemari bawah tanah yang pintunya terbuka. Dia membaca-baca mantera. Lalu merangkaklah kelabang-hitam berkaki 33 itu. Begitu patuh. Begitu ketakutan gayanya merangkak. Dia kemudian merangkak ke kening Harwati. Tambah ada beberapa tetes menyerupai minyak yang dipoleskannya dengan sungutnya ke kening yang membundar biru itu. Makin usang kening itu berkurang birunya, tapi Harwati belum sadarkan diri. Tampaknya kelabang hitam itu sudah menuntaskan tugasnya, kemudian kembali menuju sarangnya, yakni lemari rahasia tadi. Ketika kelabang hitam itu hampir pada tepi pintu, Ki Karat membentak ke arahnya; “Mampus kau!”
Bersambung...
Gumara terpaksa jadi marah. Kemarahan inilah yang diperlukan Lading Ganda. Berdiri merentak, Gumara berkata merentak pula “Jangan lamar aku. Sebab saya ingin hidup membujang!”. Ki Lading Ganda bagai mencegatnya. Lalu orangtua itu berkata, “Penolakan berarti penghinaan. Kalau anda jantan, jangan dulu pergi. Layani dulu permintaanku. Aku ingin mencoba ilmumu.”
Gumara tenang. Teramat tenang. Matahari sore agak menyilaukan Gumara yang sedang berdiri berhadapan dengan Ki Lading Ganda. Ki Lading Ganda menggertaknya “Jika kamu tak menyerah, kamu akan kuhabisi sekarang!”
Langsung saja lelaki renta itu dengan dua tangannya mencabut dua buah golok dari pinggangnya. Dalam sekelebatan golok itu diadunya dan membuat kilatan api dan suara nyaring, Golok itu seketika bermetamorfosis satu golok yang bergagang kembar dan bermata dua.
Gumara berdiam diri, namun tak mengucapkan kata-kata menyerah. Tetapi hatinya menganggap ilmu si renta ini amat rendah. Sekelebatan tampak olehnya sinar yang melayang mau menebasnya, membuat Gumara merunduk menjatuhkan diri alasannya yaitu sinar itulah sinar mata golok yang mau menebas lehernya. Begitu ia menjatuhkan diri, Ki Lading Ganda menyerang dari belakang, tetapi kaki kanan Gumara menuat menangkis dengan putaran. Tepat mengenai Ki Lading Ganda hingga ia terjengkang.
Gumara tidak mengambil perilaku menyerang, melainkan bertahan. Terutama menyalurkan ketenangan nafas. Waktu ia hendak berdiri, satu kilatan menghantam bahunya. Golok itu tepat mengenai pundak kanan, tetapi golok itu membal, terpelanting lepas dari tangan Ki Lading Ganda.
Ki Lading Ganda sudah menduga bahwa itu akan membuat ajun Gumara copot. Kini ia terpelongo, terheran-heran. Dia tidak memungut goloknya. Tapi cepat menghatur sembah sungkem layaknya, berlutut dihadapan dengkul Gumara. Katanya, “Anda rupanya rahasia punya ilmu kebal.”
Gumara berpekak-telinga seolah tak mendengar. Dia melangkah, dengan maksud meninggalkan Ki Lading Ganda. Tetapi Ki Lading Ganda menungkai dengan kakinya sehingga Gumara jatuh tersungkur. Dia bangkit lagi. Tapi kemudian pergi sehabis membersihkan tanah yang diciumnya oleh mukanya sewaktu tersungkur tadi.
Ki Lading Ganda masih duduk di puncak Bukit Kumayan itu bagai terpesona. Setelah diambil goloknya yang tadi terpelanting itu, kemudian golok itu ditetakannya ke keningnya. Sebuah dari kembarannya meloncat ke udara, dan disanggep oleh tangan kiri Ki Lading Ganda. Dengan serempak kedua golok itu masuk ke sarung-sarungnya kiri kanan di pinggang lelaki renta itu.
Ketika Gumara tiba di rumahnya, ia kaget melihat sudah tersedia hidangan di meja selain rantang kiriman Pak Yunus. Lalu muncul Harwati dari dapur„ Rupanya dia!ah yang telah memasak makanan siang ini.
“Jika ayahmu tahu, kurasa ia akan murka kamu ada di rumahku”, kata Gumara. Dan memang benarlah apa yang dikatakan Gumara senja itu. Setiba di rumah Harwati dipanggil oleh ayahnya.
Sebelum ayahnya bicara, Harwati berkata “Sudah banyak orang yang mau berobat pada ayah.”
“Katakan pada mereka, hari ini saya tidak melayani tamu, kecuali orang yang sakit parah.”
“Tapi ada satu tamu, pejabat penting darikota , ingin minta perkukuh jabatan pada bapak, katanya. Malah ia ingin didahulukan”, ujar Harwati.
Dengan langkah geram Ki Lebai Karat keluar dari ruangannya menemui tamu itu.
Dan tamu itu memperkenalkan diri sebagai tamu darikota . Drs. Jamal Wangsadan menyatakan hasratnya untuk diangkat sebagai walikota.
“Oh, itu gampang saja. Tuan tak usah mendatangi Ki Karat. Berbakti pada kepentingan rakyat dengan baik, hingga Pak Gubernur tahu bahwa anda paling tepat untuk menjadi walikota. Itu saja. Saya kira tuan sakit atau berkelahi dengan isteri.”
Ucapannya yang kedengaran besar kepala itu membuat Drs. Jamal Wangsa pun mengimbanginya dengan keangkuhan.
Katanya “Saya kira, begitu saya dengar bapak yaitu dukun sakti, bapak sanggup berbuat segala-galanya.”
“Oh, yang sanggup berbuat Segala-Galanya itu, cuma Tuhan Maha Pencipta Semesta Alam. Bukan saya. Saya rasa tuan salah alamat”, kata Ki Karat.
Lalu Ki Karat menyuruh masuk seorang ibu renta yang lumpuh, Setelah Ibu renta lumpuh itu ke luar lagi sehabis diobati, ia tak lagi dibimbing. Ia malahan menolak untuk dipegangi. Ia melangkah dengan sempurna. Sehabis seluruh pasien di obati oleh Ki Lebai Karat, kini Harwati mendengar namanya diteriaki oleh ayahnya. Dia merasa nada itu tinggi, terlalu tinggi, dan benarlah ramalan Pak Guru bahwa ia akan di marahi. Wajah ayahnya sehabis berhadapan sepertinya begitu geram.
“Aku tidak oke kamu terlalu rapat dengan Peto Alam.
Gumara Peto Alam itu hanya tepat sebagai guru sekolahmu, saudaramu dan bukan calon suamimu. Orang memberikan kamu sibuk memasaki di rumahnya, padahal rumahnya tak pernah ada asap dapur alasannya yaitu ia mendapatkan kiriman rantangan dari guru Tarikh,”
Mendengar kata-kata ayahnya itu, Harwati berlinang airmata. Dan ia sepertinya melawan dengan tudingan tuduhan “Pantas ayah begitu bahagia mendengar Pita Loka pergi mencar ilmu ke Bukit Tunggal. Makara ayah lebih rela apabila kelak Pita Loka menjadi isteri Gumara Peto Alam ketimbang aku, ya?”
Ayah yang berbudi itu kemudian membelai kepala Harwati sehabis tak kuasa mendengar isak tangis anaknya, Katanya; “Gumara itu bukan dampinganmu, nak!”
Dibelai dengan ucapan yang begitu, bukannya membuat Harwati lega, malahan tambah terisak-isak. Semalannan ia tak sanggup tidur. Menjelang subuh tiba, Harwati menemukan keputusan sendiri. Dia secara rahasia memasuki kamar-pertapaan ayahnya. Dibongkamya semua buku yang berisi mantera-mantera yang bertulisan arab-gundul. Tanpa tanda baca. Tapi Harwati sanggup membacanya lantaran goresan pena arab-gundul itu bukan berbahasa Arab melainkan mantera-mantera berbahasa wilayahnya sendiri. Karena kamar ini jarang dimasuki ayahnya, Harwati bertambah tekun mencari satu kitab yang berisi rumusan-rumusan pikat. Kitab Pikat yang dicarinya itu agaknya disembunyikan ayah, fikirnya. Lalu ia melihat ada sebuah gembok pada lantai papan.
Rupanya ayah membuat lantai itu berpintu, Gembok itu membuat ia penasaran.
Karena ia harus mencari kunci. Dia cari tempat kunci itu. Dan ia temui. Semua kunci dicobakannya pada gembok itu. Seluruhnya tujuhpuluh buah kunci. Dan pada kunci bernomor arabgundul 49, Harwati lega lantaran kunci itu cocok.
Pintu rahasia itu kini ia buka. Jika saja ia tidak diwarisi keberanian, tentu ia menjerit melihat seekor kelabang hitam berkaki 33 yang muncul dari lemari bawah tanah itu. Kelabang hitam itu menatapnya lama, tapi lama-kelamaan mengerikan sekali.
Tiba-tiba Harwati menjerit sewaktu kelabang hitam itu melompat ke arah kepalanya.
Ki Karat yang sedang makan siang segera bertindak cekatan menuju kamar pertapaan.
Dia dapati puterinya pingsan, Dia pribadi menoleh ke lemari bawah tanah yang pintunya terbuka. Dia membaca-baca mantera. Lalu merangkaklah kelabang-hitam berkaki 33 itu. Begitu patuh. Begitu ketakutan gayanya merangkak. Dia kemudian merangkak ke kening Harwati. Tambah ada beberapa tetes menyerupai minyak yang dipoleskannya dengan sungutnya ke kening yang membundar biru itu. Makin usang kening itu berkurang birunya, tapi Harwati belum sadarkan diri. Tampaknya kelabang hitam itu sudah menuntaskan tugasnya, kemudian kembali menuju sarangnya, yakni lemari rahasia tadi. Ketika kelabang hitam itu hampir pada tepi pintu, Ki Karat membentak ke arahnya; “Mampus kau!”
Bersambung...