Cerita Silat: Pantang Berdendam 22 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Kelabang itu terjengkang menelentang seketika Cerita Silat: Pantang Berdendam 22 - Seri Tujuh Manusia Harimau

Sebelumnya...
Kelabang itu terjengkang menelentang seketika.Malahan dia diinjak-injak oleh Ki Lebai Karat. Dan rupanya Harwati tersadar dari pingaannya lantaran bentakan ayahnya pada kelabang hitam tadi. Dia kemudian duduk. Dia belum tahu ada ayahnya di kamar pertapaan itu. Dia mencari-cari kelabang hitam yang menyengat keningnya tadi. Ketika dilihatnya kelabang itu sudah remuk, barulah Harwati sadar tentu ada seseorang yang menginjaknya.
Barulah dia menoleh sekeliling. Tolehannya terhenti pada wujud ayahnya yang duduk damai di korsi goyang. Dan Ki Karat pun berkata “Terpaksa kubunuh si penjaga itu hanya lantaran kelakuan kau. Memang kitab itu, Kitab Pikat itu, saya sengaja sembunyikan. Sudah kuterka sekali waktu kau akan mencarinya. Tapi dengan menggembognya, itu berarti termasuk kau tidak boleh membacanya.”
“Kenapa ayah?”
“Kitab Pikat itu penemuanku sendiri sesudah selesai belajar pada Ki Macan Tunggal.
Sesungguhnya dia sebuah kitab yang jelek dan merusak. Makara kuharap, jangan sekali-kali kau baca kitab itu, sekalipun si kelabang penjaga sudah mampus. Aku tahu, kau amat cinta pada Peto Alam. Tapi masih banyak laki-laki yang mungkin lebih baik sebagai dampinganmu. Cinta itu berbuah perkawinan. Kau bukan sakedar dampingan suami, tetapi isteri itu harus menjadi garwa suaminya . Tahukah kau arti garwa ?”
“Tahu, ayah, dikala Wati berusia 12 dan mulai menstruasi, ayah menunjukan arti garwa itu. Saya mohon maaf dan ampunan ayah atas kelancangan saya”, kemudian dia meraung dengan bunyi ratapan yang menghibakan hati.
Hati Ki Lebai Karat memang hiba. Tetapi dia tidak ingin mewarisi pada Harwati ilmu memikat yang dangkal. Dan batinnya tetap tidak rela apabila Harwati justru akan menjadi garwa bagi Gumara Peto Alam.
Kemurungan Ki Lebai Karat itu menciptakan kawanan empat sekawan Harimau Kumayan yang dipimpin Ki Lading Ganda, yakni termasuk yang ditolak oleh ayah Harwati. Empat lelaki renta itu pulang dengan kecewa, juga orang-orang yang akan berdukun kecuali yang sakit keras.
Dan semenjak larangan ayahnya itu dimaklumkan, Harwati tetap saja mengukuhkan perasaan cintanya pada Gumara. Tapi memasuki pekarangan Gumara, dia tak berani.
Dan takkan pernah berani, alasannya yakni dia tahu kalau ayah mengutuk seseorang. Akibatnya akan selalu negatif.
Dan di sekolah, pada hari Kamis itu, seluruh murid tercengang dikala melihat Guru Gumara jatuh pingsan sewaktu mengajar, Guru itu digotong murid lelaki, namun Harwati ikut memegangi kepala Gumara sambil berdesih-desih membaca mantera bagi seseorang yang pingsan. Harwati gembira, manteranya kabul dan Guru Gumara sadarkan diri di ruang Dewan Guru.
Tak ada desas-desus, Tapi hari berikutnya, dikala Guru Gumara mengajar !agi di kelas IPA itu, ucapannya tiba-tiba gila Saya sering pusing, siapa di antara kalian yang sering bawa obat pening kepala?”. Semuanya heran membisu.
Hari demi hari, langsung Guru Gumara berubah. Anak-anak Sekolah Menengah Pertama Kumayan membicarakan hal ini. Tetapi, yang paling cemas yakni Harwati. Dan pada suatu hari Harwati berkata pada ayahnya “Ayah, kalau saya melaporkan hal ini pada ayah, jangan ayah mengira lantaran saya mencintainya, dan saya kepingin jadi garwa-nya. Ini yakni soal Prikemanusiaan”.
“Mengenai nasib Gumara?” tanya Ki Karat.
“Ya”.
“Aku sudah lebih dulu menerima berita”.
“Dari mana?”
“Dari Harimau Yang Empat, dipimpin oleh Ki Lading .Ganda. Semua laporannya masuk akal.”
“Tentang pergunjingan orang mengenai Guru Gumara?”
“Ya, perihal si Peto Alam itu. Mulanya kukira lantaran Lading Ganda merasa iri tak habis-habis kepada Ki Putih Kelabu,”
“Nah, itulah yang akan saya laporkan”, ujar Harwati gembira, “Yaitu terlibatnya Ki Putih Kelabu dalam penyakit gila Guru kami itu, Pak. Seakan dia diperbuat aib di hadapan murid-murid. Tapi kami murid-murid tidak terpengaruh oleh kegugupan, gampang lupa kadangkala ketololan Pak Guru kami itu. Saya sudah mempengaruhi teman semenjak awal, bahwa niscaya Pak Gumara dikerjain orang. Pendeknya, wibawa Pak Gumara tidak menurun.
Soalnya, Ayah . . . kasihan kita pada dia. Kita harus selidiki siapa yang bikin gara-gara . Saya cenderung untuk mengira ini semua perbuatan halus dan licik Ki Putih Kelabu. Dia membalas penghinaan terhadap Pita Loka.
Bayangkan halusnya teluh Ki Putih Kelabu. Sudah 21 hari Pita Loka melarikan diri, gres akhir-akhir inilah muncul penyakit gila Pak Gumara”.
Ki Lebai Karat terdiam. Ia bekerjsama kagum pada puterinya. Masuk logika memang, yang mengerjai Gumara yakni Ki Putih Kelabu. Memang teluh. Tapi lelaki renta ini berkata yakin “Ki Putih Kelabu mungkin saja terluka hatinya. Tapi dia tidak sejahat Lading Ganda”.
Harwati jadi tidak puas. Namun dia kembali lega dikala ayahnya berkata “Nanti akan kupilih hari memanggil dia. Kalau dia tak datang, itu suatu tanda bahwa dia perlu dicurigai”.
Keesokan harinya, dikala melalui jalan yang melewati rumah Guru Gumara, Harwati mampir. Mampirnya dia kebetulan terlihat oleh Hura Gatali. Hura Gatali memeriksa di bawah pohon randu depan rumah Gumara. Harwati mengabarkan usulnya kepada ayahnya, supaya sang guru bersimpati padanya. Gumara berkata “Sebetulnya saya tak ingin melibatkan hal ini melalui ayahmu. Tapi nyeri di kepala ini menyebalkan sekali”.
“Yang semacam mimpi aneh, pernah Pak Guru alami ndak?” tanya Harwati, Gumara hampir menceritakan mimpinya yang dua kali, yaitu dikala dia mimpi Pita Loka di Bukit Kerambil disergap simpanse dan mimpinya perihal Pita Loka yang terjebak dengan ahli-ahli sihir di Bukit Cangang.
“Yah, tak usahlah saya ceritakan”, ucap Gumara.
“Katakanlah, supaya ayahku sanggup mempermudah pemecahannya”, kata Harwati.
“Mimpi itu mengerikan, semalam . . .. Ah, tak usah saya ceritakan. Mari kita berangkat ke sekolah, sudah bersahabat setengah tujuh”, kata Gumara. Nah, dikala turun tangga rumah di pekarangan, Hura Gatali yang penuh selidik itu pun mulai nguping.
Dia mendengar percakapan Gumara dan Harwati.
“Katakanlah mimpi Pak Guru itu”, ujar Harwati.
Saat itu Gumara kebetulan kurang kontrol. Penyakitnya kambuh. Dan dia bicara tanpa tahu akibatnya, padahal dia ingin merahasiakannya supaya orang-orang Kumayan tidak bertambah jengkel pada Pita Loka atau Putih Kelabu.
Gumara bercerita, didengar baik oleh Hura Gatali “Begini, Wati. Tadi malam itu saya menjadi yakin, bahwa Pita Loka sudah belajar pada ahli-ahli sihir dan teluh di Bukit Cangang!”
“Astagfir, ya Tuhan!”
“Dia belajar di sana, mungkin ilmunya kelak akan sejalan dengan Lading Ganda” Mendengar ucapan ini, Hura Gatali yang sembunyi di balik pohon randu menjadi geram. Ditunggunya hingga Gumara lewat dua langkah, kemudian dia hantam dengan tendangan ke sudut pinggang.
“Aduh, sakitnya!” teriak Gumara. Dia menyerupai orang mabuk. Geraknya lamban . Dia hanya menangkis tidak pernah menyerang. ia menyerupai jagoan mabuk. Tiga hingga lima kali tendangan Gatali ditangkisnya jatuh bangun. Harwati menjadi marah sekali, kemudian dia lepaskan tendangan giling-tebu hingga Hura Gatali jatuh jungkir balik kayak orang bersalto . Hura Gataili jadi ragu. Gumara menyerupai mabuk mendekatinya, dan menyodokkan kepalanya ke perut Hura dengan lamban.
Kepala itu dipelintir oleh Hura.
Pelintiran itu menjadikan Harwati dengan buas melaksanakan tendangan berbalik tubuh sempurna mengenai dada Hura Gatali. Darah kental menyembur seketika dari verbal perjaka yang sempat dikenal sebagai Pahlawan Ular Sanca itu. Dia tersungkur. Lalu Harwati memakai kesempatan itu menyeret tubuh gurunya sekuat tenaga, masuk kembali ke pekarangan rumah Gumara.
Gumara tersenyum, kemudian meronta minta dilepas. Dia macam orang gila merangkak memasuki pintu rumah. Harwati kehilangan akal. Dia mau melihat dulu keadaan di luar. Di luar, di daerah Hura jatuh muntah darah, dia pun tak ada lagi di situl Harwati kalang kabut kembali dia masuk rumah, dan didapatinya Gumara bukan duduk, tapi macam hewan berkaki empat layaknya. Telapak tangan di lantai papan, dan dengkul pun menekan lantai. Raut wajahnya macam orang bodo.
Harwati segera berlari kencang menuju rumah, Dengan nafas sesak, dia masuk rumah, “Ayah! Ayah! Ayah!” Ki Lebai Karat tak di rumah. Ternyata dia dengan lewat hutan kecil menempuh jalan pintas yang begitu kencang langkahnya hingga merobohkan sekian pohon pisang, pohon petai cina ataupun pohon akasia lainnya.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel