Wiro Sableng: Episode Satria Terkutuk Pemetik Bunga 6
Kamis, 16 Oktober 2014
Sebelumnya...
Serangan ganas ini membuat Pendekar Pemetik Bunga melompat hingga tiga tombak ke atas dan berseru nyaring, "Orang bau tanah saya masih menaruh hormat pada kau! Hentikan seranganmu!"
"Hormat nenek moyangmu!" maki Begawan Citrakarsa beringas.
Kedua tangannya kembali melesatkan buntalan sinar putih. Pendekar Pemetik Bunga cepat-cepat menukik menyelamatkan diri. Wirapati atau Pendekar Pemetik Bunga jadi beringas pula kini.
"Begawan!" serunya lantang, "jika kamu tak hentikan senuigan, terpaksa saya mengadu jiwa dengan kau! Harap jangan menyesal!"
Begawan Citrakarsa tidak perdulikan ucapan bekas muridnya. Tubuhnya berkelebat cepat. Angin bersiuran, debu beterbangan dan atap rumbia pondok di atas bukit itu terbang bertaburan akhir keras dahsyatnya angin serangan sang Begawan! Pendekar Pemetik Bunga penasarannya bukan main. Kutuk serapah tiada henti-hentinya dikeluarkan dalam hati. Kalau saja beliau tidak mempunyai tenaga datam dan ilmu mengentengi badan yang tinggi sempurna, pastilah dalam dua jurus saja dirinya sudah konyol mati kena digebuk salah satu lengan sang Begawan atau tersambar asap putih yang panas beracun itu!
Dalam tempo yang singkat, murid dan guru itu sudah bertempur delapan jurus. Keduanya kelihatan sama-sama gesit dan sama-sama lihai. Namun memasuki jurus kedua belas walau bagaimanapun Pendekar Pemetik Bunga tiada sanggup lagi bertahan. Sekali tubuhnya kena dilanda jotosan Begawan Citrakarsa, tubuhnya mencelat mental membobolkan dinding kajang dan melingkar di tantai tanah dalam pondok!
Begawan Citrakarsa tidak menunggu hingga di situ saja. Mulutnya berkomat kamit. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Tangan itu berwarna merah kini. Dan sewaktu tangan itu dipukulkan ke muka, pengecap api yang dahsyat menyambar laksana topan prahara! Dalam sekejapan mata saja pondok itu karam dalam kobaran api!
"Tamatlah riwayatmu murid terkutuk!," Begitu Begawan Citrakarsa membatin.
Tapi si orang bau tanah menjadi kaget bukan main sewaktu matanya melihat sosok badan bekas muridnya itu bangun tak jauh dari pondok yang tengah terbakar. Muka Pendekar Pemetik Bunga kelihatan agak pucat tanda jotosan Begawan Citrakarsa tadi telah mengakibatkan luka yang cukup parah dibagian dalam tubuhnya!
Begawan Citrakarsa sendiri belakang layar merasa heran melihat cowok itu masih sanggup bangun meski dengan muka pucat pasi. Jotosan yang dilancarkan tadi mempergunakan hampir setengah kepingan tenaga dalamnya, namun cowok itu tidak menemui ajalnya! Apakah selama turun gunung malang melintang berbuat kejahatan bekas muridnya itu juga telah memperdalam ilmu silat dan ilmu kesaktiannya?!
Begawan Citrakarsa tidak mau menunggu lebih lama. Tidak mau memberi kesempatan. Makin lekas beliau berhasil membunuh muridnya itu, berarti makin cepat beliau mencuci tangan dan membersihkan diri dari rasa aib yang menempel selama ini! Karenanya sang Begawan segera melompat ke muka kembali, menyerbu laksana seekor singa jalang yang kelaparan! Dari jarak beberapa meter sebelum tubuhnya hingga kehadapan si pemuda, Begawan Citrakarsa sudah lancarkan dua pukulan dan dua tendangan jarak jauh yang hebat!
Pendekar Pemetik Bunga dikala itu tengah alirkan tenaga dalam kebagian dada yang terluka dan atur jalan darah serta nafas. Melihat datangnya serangan ini beliau terpaksa menghindar cepat sambil melepaskan pukulan "Tapak Jagat". Begawan Citrakarsa tertawa mengejek. Ilmu pukulan 'Tapak Jagat' itu dialah yang membuat dan mewariskan kepada Wirapati, kuliner sekarang mempan digunakan untuk melawan penciptanya sendiri. Namun tawa mengejek si orang bau tanah berubah dengan keterkejutan!
Begawan Citrakarsa hingga mengeluarkan usul tertahan. Angin pukulan yang ditimbulkan oleh pukulan 'Tapak Jagat" itu dahsyatnya bukan main, lebih dahsyat daripada jikalau beliau sendiri yang melepaskannya!
Padahal Wirapati dikala itu diketahuinya sedang terluka akhir jotosannya tadi! Jelaslah si cowok benar-benar telah menuntut ilmu kesaktian pada se- orang tokoh utama dunia persilatan selama beliau malang melintang dua tahun belakangan ini! Si orang bau tanah sekarang tidak mau memberi ampun lagi dan tak mau memperpanjang waktu!
Lengking yang menggidikkan ke luar dari tenggorokannya. Bumi laksana dilanda lindu. Telinga Pendekar Pemetik Bunga laksana ditusuk dan kepalanya berdenyut pusing! Lengkingan yang ke luar dari ekspresi Begawan Citrakarsa tiada kunjung henti sedang badan orang bau tanah ini boleh dikatakan sama sekali tidak kelihatan lagi ujudnya, hanya bayangannya saja yang laksana angin bergulung-gulung me- nyelimuti badan Pendekar Pemetik Bunga.
Dan di antara angin serangan yang bergulung-gulung itu serangan kaki tangan tiba laksana hujan membadai! Inilah ilmu ciptaan Begawan Citrakarsa yang dinamakan "Seribu Angin Seribu Badai" Hebatnya memang bukan alang kepalang! Tapi sang Begawan jadi komat kamit beringas sewaktu dua jurus berlalu dan tak satu jotosan atau hantaman lengan ataupun tendangan kakinya yang berhasil mengenai badan lawan.
Malah tiba-tiba dirasakannya beliau laksana menyerang gunung kerikil yang menjungkir balikkan kembali setiap serangannya sedang sambaran angin asing terasa memengapkan liang hidung serta tenggorokannya!
Orang bau tanah ini terpaksa tutup jalan nafas dan melompat ke luar dari kalangan pertempuran. Dilihatnya bekas muridnya itu berlutut di tanah sedang tangannya kiri kanan tiada hentinya mengebut-ngebutkan tepi jubah hitamnya. Dari tepi jubah hitam itulah ke luar angin pengap yang ganas, membuat sang Begawan tidak berani kembali menyerang atau mendekat!
Tiba-tiba Begawan ini ingat pada ilmu "Asap Putih Pencari Raga" yang dimilikinya serta diyakininya selama tujuh tahun! Cepat-cepat beliau melentingkan kedua telapak tangan ke muka. Didahului oleh teriakan menggeledek maka dua larik asap putih yarg menyilaukan melesat ke muka. Setengah jalan dua larikan asap itu berpencar menjadi dua lusin dan kedua lusinnya menyerang ke arah dua puluh empat jalan darah kematian di badan Pendekar Pemetik Bunga! Pendekar Pemetik Bunga kebutkan tepi jubahnya sekencang- kencangnya dan cepat bergulingan di tanah.
Untung sekali beliau telah berguling menjauh begitu rupa alasannya angin pengap yang dilepaskannya tadi kali ini tiada sanggup menahan serangan "Asap Putih Pencari Raga" yang dilepaskan Begawan Citrakarsa. Dan ketika cowok itu bangun kemudian menoleh cepat ke tanah bekas daerah beliau berada waktu diserang tadi, mau tak mau keringat masbodoh memercik dikuduknya!
Betapakah tidak! Di tanah mata kepalanya sendiri menyaksikan 24 buah lobang sedalam setengah jengkal akhir serangan bekas gurunya tadi! Sang Begawan mengeluarkan tertawa mengekeh. "Kematianmu sudah hampir akrab murid terkutuk!," katanya.
"Setan neraka mungkin sudah tak sabar menunggumu. Cacing-cacing kuburan tentu ingin lekas-lekas menggerogoti dagingmu...!"
"Orang bau tanah gendeng! Jangan bermulut besar bicara ngaco! Sekali saya bilang mengadu nyawa padamu, jangan harap kamu bisa membunuhku tanpa kamu punya nyawa anjing juga turut minggat ke neraka jahanam!"
Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga cabut bunga kuning yang terbuat dari kertas dari balik ikatan rambut di kepalanya!
"Ooo... bunga kertas jelek itukah yang kamu andalkan untuk membunuhku?!" ejek Begawan Citrakarsa dengan memencongkan hidung.
"Kau boleh mengejek kunyuk keriput!" serapah Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga.
"Sebentar lagi roh busukmu akan terbang dibawa bunga maut ini!"
"Cuma bunga kertas mainan bocah-bocah siapa takutkan?!" ejek Begawan Citrakarsa dan dengan serta merta beliau kiblatkan kedua tangannya, kembali memancarkan serangan "Asap Putih Pencari Raga."
Kali ini Pendekar Pemetik Bunga tidak menghindar. Dia bangun menunggu. Pada dikala asap putih hendak memancar menyerupai tadi, dengan cepat cowok itu menekan tangkai bunga kertas yang dipegangnya. Serta merta bertaburanlah gulungan sinar kuning. Bila asap putih dan sinar kuning itu bertemu di udara maka terdengarlah bunyi berdentum yang amat dahsyat. Jagat laksana goncang. Asap putih dan sinar kuning berpalun-palun, gelung menggelung laksana beberapa ekor ular raksasa yang tengah berkelahi gigit menggigit!
Asap putih lambat laun lenyap dirambas dan ditelan sinar kuning untuk kemudian terus menyerang Begawan Citrakarsa. Kejut orang bau tanah sakti ini bukan alang kepalang. Dia melompat ke samping tapi agak terlambat alasannya sebagian lengan kirinya kena tersambar sinar kuning itu! Dengan serta merta lengan sang Begawan menjadi kuning pekat!
Pendekar Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak. "Sinar kuning itu mengandung racun dahsyat! Dalam tempo satu jam nyawamu niscaya konyol!"
Begawan Citrakarsa mengambil sebutir pil dan menelannya dengan cepat.
"Ha... ha, jangankan pil tahi kambing itu! Obat dari kayanganpun tak bakal sanggup memunah racun dilenganmu itu. Begawan goblok!"
Naik darah si orang bau tanah meluap hingga ke kepala. Mukanya kelam membesi. Racun kuning ditangan kirinya dirasakannya mulai merambas mendekati pangkal bahu. Tak ayal lagi Begawan Citrakarsa pergunakan tangan kanannya memutar dan membetot lengan kirinya itu!
"Kraak!"
Sungguh menggidikkan sewaktu persendian pundak itu lepas dan daging berserabutan, urat-urat berbusaian menyemburkan darah! Pendekar Pemetik Bunga sendiri meremang bulu kuduknya melihat perbuatan sang Begawan!
"Jangan kira meski saya cuma dengan satu tangan sekarang kamu bisa lepas dari kematian, Wirapati keparat!" kata Begawan Citrakarsa.
"Otakmu memang sudah miring, Begawan!" kata Wirapati pula.
"Tak satu kekuatanpun yang sanggup menandingi bunga kertas kuning ini!" Begawan Citrakarsa tidak menjawab apa-apa melainkan tangan kanannya menyelinap ke balik selempang kain putih di pinggangnya. Sebilah keris bereluk dua belas yang memancarkan sinar sangat merah sekarang tergenggam di tangan Begawan itu.
lnilah keris "Pancasoka" yang mempunyai keampuhan luar biasa! Jangankan daging manusia, kerikil karang pun jikalau ditusuk niscaya akan hancur lebur! Sebagai bekas murid Begawan Citrakarsa dengan sendirinya Wirapati tahu betul kehebatan senjata ini. Dia meragu apakah sekarang bunga kertas kuningnya akan sanggup menghadapi keris Pancasoka itu. Karenanya untuk menjaga segala kemungkinan Pendekar Pemetik Bunga segera membuka ikatan sabuk mutiara milik Kidal Boga yang tempo hari dibunuhnya.
"Kau lihat keris ini Wirapati?!"
"Ah" tak usah banyak omong! Majulah supaya kamu juga sanggup kehebatan sabuk mutiara ini!" tukas Wirapati!
Menggelegaklah kemarahan sang Begawan. Dia melompat ke muka. Keris Pancasoka berkiblat kian kemari. Sinar merah laksana pengecap api menyerang ganas. Setiap serangan merupakan rangkaian yang sekaligus menjurus ke arah dua belas kepingan badan lawan! Inilah kehebatan senjata itu!
Wirapati tidak pula tinggal diam. Sabuk mutiara diputar laksana kitiran. Gelombang angin menderu-deru sedang bunga kertas ditangan kanan tiada hentinya mengeluarkan sinar kuning yang mengandung racun jahat! Namun dua senjata ditangan Wirapati hampir tiada daya menghadapi keris bereluk dua belas di ajun Begawan Citrakarsa. Ditambah lagi dengan amukan si orang bau tanah yang dahsyatnya bukan olah- olah. Kalau saja satu tangannya tidak cedera buntung pastilah amukannya itu tak akan tertahan-tahan oleh Wirapati.
Dengan keris ditangan kanan orang bau tanah itu, pertempuran sudah berkecamuk selama enam puluh jurus! Daya tahan dan kegesitan Begawan Citrakarsa meski dirinya sudah terlalu parah memang patut dikagumi! Dalam pada itu beliau sudah berhasil pula mendesak dan memepet lawannya hingga kedekat reruntuhan pondok yang terbakar! Dengan kertakkan geraham kemudian membentak keras, Wirapati percepat gerakannya dan keluarkan jurus-jurus dahsyat ysng mengandung tipu-tipu ganas licik mematikan! Tapi Begawan Citrakarsa yang sudah makan asam garam pertempuran yang sudah puluhan tahun punya pengalaman dalam dunia persilatan mana bisa kena ditipu!
"Setan alas!" maki Pendekar Pemetik Bunga.
"Kunyuk bau tanah haram jadah," makinya lagi dalam hati.
Dengan mempergunakan jurus "Menyapu Awan Menerjang Mega," cowok ini alhasil melompat ke luar dari kalangan pertempuran!
"Pemuda terkutuk!" teriak Begawan Citrakarsa, "Kau mau lari ke mana?!"
"Aku tidak lari iblis tua!" hardik Pendekar Pemetik Bunga. Dia cepat-cepat tusukkan kembali bunga kertasnya ke sela rambut di kepala, sabuk mutiara tetap dipegang di tangan kiri menjaga segala kemungkinan. Saat itu jarak antara mereka terpisah sejauh lima meter.
"Begawan keparat! Mari kita buat perjanjian!" Tiba-tiba Pendekar Pemetik Bunga usikan usul.
"Heh, sudah mau hampir mampus bikin segala macam usul! Apakah itu bukan cuma ulur waktu mencari kesempatan lari...?!" ejek Citrakarsa.
"Sompret tua, saya berjanji! Jika kamu sanggup terima pukulanku, saya akan bunuh diri dihadapanmu!"
Begawan Citrakarsa tertawa mengekeh-ngekeh. "Bunuh diri terlalu yummy buatmu, Pendekar terkutuk!" Si cowok ingin tau bukan main.
Tapi beliau berkata lagi, "Kalau begitu kamu terpaksa mampus percuma orang tua! Dunia persilatan akan gempar bila mengetahui, seorang tokoh silat berjulukan Citrakarsa dibunuh oleh muridnya sendiri...!"
Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga tertawa panjang dan menggidikkan. Tangan kanannya diacungkan ke muka, ekspresi berkomat kamit sedang ibu jari dan telunjuk mendadak dengan cepat berobah menjadi hitam! Teganglah paras Begawan Citrakarsa. Selama di puncak Gunung Merbabu beliau telah mendengar bahwa bekas muridnya yang murtad itu telah mempunyai sejenis ilmu yang sangat sakti dan berbahaya!
Apakah ini agaknya ilmu kesaktian yang hendak dilancarkannya, hendak digunakan menyerang?! Jari tetunjuk dan ibu jari Pendekar Pemetik Bunga atau Wirapati semakin hitam legam dan mengeluarkan sinar mengerikan sedang paras sang Begawan semakin tegang, sebaliknya Pendekar Pemetik Bunga tertawa terus tiada hentinya!
"Ilmu Jari Penghancur Sukma ini sudah menelan puluhan tokoh- tokoh silat!" kata si cowok yang tiba-tiba hentikan tertawanya, "tokoh- tokoh silat yang tolol geblek sengaja mencari mampus!"
"Hah!" kejut Begawan Citrakarsa.
"Murid murtad, dari mana kamu sanggup ilmu bejat itu?!"
Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga tertawa lagi panjang- panjang. Jari telunjuk dan ibu jarinya mulai bergerak membentuk bundar siap untuk dijentikkan ke muka. Begawan Citrakarsa cepat- cepat alirkan seluruh tenaga dalamnya ke keris yang ditangan kanan sehingga senjata itu menyinarkan cahaya merah yang sepuluh kali menyilaukan dari semula!
Pendekar Pemetik Bunga memperlahan tertawanya. "Selusin keris Pancasoka ditanganmu, tiada nanti kamu sanggup menahan serangan jariku ini, Begawan keriput!"
"Laknat terkutuk! Jiwamu atau nyawaku!" teriak Begawan Citrakarsa.
Laksana anak panah tubuhnya melesat ke muka. Keris Pancasoka mengiblatkan sinar merah yang dahsyat! Pohon-pohon dan daun-daun di kiri kanan hangus berkepulan. Lidah api yang laksana naga raksasa menyambar dalam kecepatan luar biasa ke arah Pendekar Pemetik Bunga! Yang diserang mendengus mengejek. Tubuhnya tidak sedikitpun bergerak! Kakinya tak satupun yang bergeser membuat langkah mengelak! Sebaliknya hanya jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya saja yang tiba-tiba menjentik ke muka. Maka pada detik itu juga didahului oleh angin keras laksana topan prahara, menderulah gelombang sinar hitam, menyapu dan menerjang pengecap api keris Pancasoka!
Begawan Citrakarsa yang melihat gelombang apinya membalik menyerang dirinya sendiri berteriak kaget dan melompat ke samping sejauh dua tombak. Tapi dari samping sinar hitam melanda dengan dahsyatnya! Orang bau tanah ini terguling-guling di tanah. Tubuhnya hangus hitam dan mengepulkan bacin daging yang terpanggang! Bahkan keris Pancasoka yang dikala itu masih tergenggam ditangan kanannya juga hangus menjadi hitam! Pendekar Pemetik Bunga meringkik macam kuda menjadi jalang melihat dedemit! Kemudian beliau tertawa gelak-gelak menyaksikan mayit gurunya yang menggeletak tanpa nyawa beberapa tombak di hadapannya itu! Benar-benar si Wirapati ini murid murtad yang tiada tara kekejamannya!
Tiba-tiba beliau memutar badan dan tertawa lagi gelak-gelak sewaktu melihat badan Galuh Warsih yang masih duduk bersandar di batang pohon, tiada bergerak alasannya tadi telah ditotoknya.
Dia melangkah mendekati gadis itu. "Dewiku," katanya seraya berlutut dihadapan Galuh Warsih, "kau sudah lihat bagaimana kehebatanku bukan?"
"Pemuda keparat, pergi! Jangan dekati aku!" teriak Galuh Warsih. Meski beliau ditotok dan tubuhnya tak bisa bergerak sedikitpun namun pendengarannya tetap terbuka dan mulutnya masih bisa bicara. Pendekar Pemetik Bunga menyeringai. Hidungnya kembang kempis. Nafasnya panas memburu, diburu oleh nafsu yag menggejolak!
Diulurkannya tangannya membelai pipi gadis itu dan Galuh Warsih memaki lagi, menjerit-jerit!
"Kulitmu halus sekali, Galuh."
"Pemuda setan! Pergi, jangan sentuh tubuhku!" teriak Galuh Warsih.
"Ah... apakah tampangku betul-betul menyerupai setan?" tanya si cowok dengan cengar-cengir.
Dan dialusnya lagi pipi gadis itu. Galuh Warsih yang alasannya tidak bisa menggerakkan tangan atau kakinya, penuh kegemasan diludahinya muka cowok itu. Pendekar Pemetik Bunga malah tertawa. Diambilnya ujung angkin Galuh Warsih, dengan angkin itu disekanya ludah yang membasahi mukanya. "Ludahmu seharum bunga semanis madu, kenapa musti disembur ke mukaku? Bukankah lebih baik disemburkan ke dalam mulutku? Ha... ha... ha...!"
"Kulit pipimu demikian halusnya, Galuh," kata si cowok dan dicuilnya dagu si gadis.
"Tentu kulit tubuhmu lebih mulus lagi""
Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga segera elus pundak Galuh Warsih. Berdiri bulu kuduk si gadis sebaliknya semakin menggejolak darah muda Pendekar Pemetik Bunga. Tangan yang mengelus pundak itu sekarang turun ke dada. Air mata berlelehan di pipi Galuh Warsih. Dia tahu, tak satupun yang bisa dilakukannya menghadapi perlakuan bejat itu. Dia sadar apa yang bakal terjadi dengan dirinya.
Tak sanggup lagi beliau menjerit, tak kuasa lagi beliau berteriak alasannya suaranya sudah habis ditelah keparauan! "Gadis manis, kenapa musti menangis?" tanya Pendekar Pemetik Bunga.
"Pemuda terkutuk...," bunyi Galuh Warsih antara terdengar dan tiada, "aku rela dibunuh daripada diperlakukan begini rupa..."
"Heh...?!" Pendekar Pemetik Bunga hela nafas dan kerutkan kening tanda heran. "Kau tahu manis, perempuan-perempuan yang mati gadis kalau beliau bisa bicara di liang kubur, pastilah beliau minta dihidupkan kembali! Hidup kembali untuk mencicipi kenikmatan hidup antara laki-iaki dan perempuan! Kau yang hidup kepingin mati...? Lucu.... Mari dewiku, sekarang ke balik semak-semak sana! Di situ ada rumput, supaya kita bisa tidur bergulung lebih nikmat...!"
"Pergi! Jangan sentuh aku!" bunyi Galuh Warsih mengandung keputusasaan.
"Oh, kamu tak mau ke balik semak-semak itu, Galuh? Tak apa" tak apa... di sinipun saya tak keberatan!"
Pendekar Pemetik Bunga ulurkan tangan kanannya kembali dan "breet!" Kain epilog dada Galuh Warsih robek besar. Dadanya tersingkap lebar. Sepuluh jari tangan Pendekar Pemetik Bunga dengan terkutuknya laksana gila menggerayang menjamahi dada itu. meremas seolah-olah hendak menghancur luluhkannya!
Bersambung...
Serangan ganas ini membuat Pendekar Pemetik Bunga melompat hingga tiga tombak ke atas dan berseru nyaring, "Orang bau tanah saya masih menaruh hormat pada kau! Hentikan seranganmu!"
"Hormat nenek moyangmu!" maki Begawan Citrakarsa beringas.
Kedua tangannya kembali melesatkan buntalan sinar putih. Pendekar Pemetik Bunga cepat-cepat menukik menyelamatkan diri. Wirapati atau Pendekar Pemetik Bunga jadi beringas pula kini.
"Begawan!" serunya lantang, "jika kamu tak hentikan senuigan, terpaksa saya mengadu jiwa dengan kau! Harap jangan menyesal!"
Begawan Citrakarsa tidak perdulikan ucapan bekas muridnya. Tubuhnya berkelebat cepat. Angin bersiuran, debu beterbangan dan atap rumbia pondok di atas bukit itu terbang bertaburan akhir keras dahsyatnya angin serangan sang Begawan! Pendekar Pemetik Bunga penasarannya bukan main. Kutuk serapah tiada henti-hentinya dikeluarkan dalam hati. Kalau saja beliau tidak mempunyai tenaga datam dan ilmu mengentengi badan yang tinggi sempurna, pastilah dalam dua jurus saja dirinya sudah konyol mati kena digebuk salah satu lengan sang Begawan atau tersambar asap putih yang panas beracun itu!
Dalam tempo yang singkat, murid dan guru itu sudah bertempur delapan jurus. Keduanya kelihatan sama-sama gesit dan sama-sama lihai. Namun memasuki jurus kedua belas walau bagaimanapun Pendekar Pemetik Bunga tiada sanggup lagi bertahan. Sekali tubuhnya kena dilanda jotosan Begawan Citrakarsa, tubuhnya mencelat mental membobolkan dinding kajang dan melingkar di tantai tanah dalam pondok!
Begawan Citrakarsa tidak menunggu hingga di situ saja. Mulutnya berkomat kamit. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Tangan itu berwarna merah kini. Dan sewaktu tangan itu dipukulkan ke muka, pengecap api yang dahsyat menyambar laksana topan prahara! Dalam sekejapan mata saja pondok itu karam dalam kobaran api!
"Tamatlah riwayatmu murid terkutuk!," Begitu Begawan Citrakarsa membatin.
Tapi si orang bau tanah menjadi kaget bukan main sewaktu matanya melihat sosok badan bekas muridnya itu bangun tak jauh dari pondok yang tengah terbakar. Muka Pendekar Pemetik Bunga kelihatan agak pucat tanda jotosan Begawan Citrakarsa tadi telah mengakibatkan luka yang cukup parah dibagian dalam tubuhnya!
Begawan Citrakarsa sendiri belakang layar merasa heran melihat cowok itu masih sanggup bangun meski dengan muka pucat pasi. Jotosan yang dilancarkan tadi mempergunakan hampir setengah kepingan tenaga dalamnya, namun cowok itu tidak menemui ajalnya! Apakah selama turun gunung malang melintang berbuat kejahatan bekas muridnya itu juga telah memperdalam ilmu silat dan ilmu kesaktiannya?!
Begawan Citrakarsa tidak mau menunggu lebih lama. Tidak mau memberi kesempatan. Makin lekas beliau berhasil membunuh muridnya itu, berarti makin cepat beliau mencuci tangan dan membersihkan diri dari rasa aib yang menempel selama ini! Karenanya sang Begawan segera melompat ke muka kembali, menyerbu laksana seekor singa jalang yang kelaparan! Dari jarak beberapa meter sebelum tubuhnya hingga kehadapan si pemuda, Begawan Citrakarsa sudah lancarkan dua pukulan dan dua tendangan jarak jauh yang hebat!
Pendekar Pemetik Bunga dikala itu tengah alirkan tenaga dalam kebagian dada yang terluka dan atur jalan darah serta nafas. Melihat datangnya serangan ini beliau terpaksa menghindar cepat sambil melepaskan pukulan "Tapak Jagat". Begawan Citrakarsa tertawa mengejek. Ilmu pukulan 'Tapak Jagat' itu dialah yang membuat dan mewariskan kepada Wirapati, kuliner sekarang mempan digunakan untuk melawan penciptanya sendiri. Namun tawa mengejek si orang bau tanah berubah dengan keterkejutan!
Begawan Citrakarsa hingga mengeluarkan usul tertahan. Angin pukulan yang ditimbulkan oleh pukulan 'Tapak Jagat" itu dahsyatnya bukan main, lebih dahsyat daripada jikalau beliau sendiri yang melepaskannya!
Padahal Wirapati dikala itu diketahuinya sedang terluka akhir jotosannya tadi! Jelaslah si cowok benar-benar telah menuntut ilmu kesaktian pada se- orang tokoh utama dunia persilatan selama beliau malang melintang dua tahun belakangan ini! Si orang bau tanah sekarang tidak mau memberi ampun lagi dan tak mau memperpanjang waktu!
Lengking yang menggidikkan ke luar dari tenggorokannya. Bumi laksana dilanda lindu. Telinga Pendekar Pemetik Bunga laksana ditusuk dan kepalanya berdenyut pusing! Lengkingan yang ke luar dari ekspresi Begawan Citrakarsa tiada kunjung henti sedang badan orang bau tanah ini boleh dikatakan sama sekali tidak kelihatan lagi ujudnya, hanya bayangannya saja yang laksana angin bergulung-gulung me- nyelimuti badan Pendekar Pemetik Bunga.
Dan di antara angin serangan yang bergulung-gulung itu serangan kaki tangan tiba laksana hujan membadai! Inilah ilmu ciptaan Begawan Citrakarsa yang dinamakan "Seribu Angin Seribu Badai" Hebatnya memang bukan alang kepalang! Tapi sang Begawan jadi komat kamit beringas sewaktu dua jurus berlalu dan tak satu jotosan atau hantaman lengan ataupun tendangan kakinya yang berhasil mengenai badan lawan.
Malah tiba-tiba dirasakannya beliau laksana menyerang gunung kerikil yang menjungkir balikkan kembali setiap serangannya sedang sambaran angin asing terasa memengapkan liang hidung serta tenggorokannya!
Orang bau tanah ini terpaksa tutup jalan nafas dan melompat ke luar dari kalangan pertempuran. Dilihatnya bekas muridnya itu berlutut di tanah sedang tangannya kiri kanan tiada hentinya mengebut-ngebutkan tepi jubah hitamnya. Dari tepi jubah hitam itulah ke luar angin pengap yang ganas, membuat sang Begawan tidak berani kembali menyerang atau mendekat!
Tiba-tiba Begawan ini ingat pada ilmu "Asap Putih Pencari Raga" yang dimilikinya serta diyakininya selama tujuh tahun! Cepat-cepat beliau melentingkan kedua telapak tangan ke muka. Didahului oleh teriakan menggeledek maka dua larik asap putih yarg menyilaukan melesat ke muka. Setengah jalan dua larikan asap itu berpencar menjadi dua lusin dan kedua lusinnya menyerang ke arah dua puluh empat jalan darah kematian di badan Pendekar Pemetik Bunga! Pendekar Pemetik Bunga kebutkan tepi jubahnya sekencang- kencangnya dan cepat bergulingan di tanah.
Untung sekali beliau telah berguling menjauh begitu rupa alasannya angin pengap yang dilepaskannya tadi kali ini tiada sanggup menahan serangan "Asap Putih Pencari Raga" yang dilepaskan Begawan Citrakarsa. Dan ketika cowok itu bangun kemudian menoleh cepat ke tanah bekas daerah beliau berada waktu diserang tadi, mau tak mau keringat masbodoh memercik dikuduknya!
Betapakah tidak! Di tanah mata kepalanya sendiri menyaksikan 24 buah lobang sedalam setengah jengkal akhir serangan bekas gurunya tadi! Sang Begawan mengeluarkan tertawa mengekeh. "Kematianmu sudah hampir akrab murid terkutuk!," katanya.
"Setan neraka mungkin sudah tak sabar menunggumu. Cacing-cacing kuburan tentu ingin lekas-lekas menggerogoti dagingmu...!"
"Orang bau tanah gendeng! Jangan bermulut besar bicara ngaco! Sekali saya bilang mengadu nyawa padamu, jangan harap kamu bisa membunuhku tanpa kamu punya nyawa anjing juga turut minggat ke neraka jahanam!"
Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga cabut bunga kuning yang terbuat dari kertas dari balik ikatan rambut di kepalanya!
"Ooo... bunga kertas jelek itukah yang kamu andalkan untuk membunuhku?!" ejek Begawan Citrakarsa dengan memencongkan hidung.
"Kau boleh mengejek kunyuk keriput!" serapah Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga.
"Sebentar lagi roh busukmu akan terbang dibawa bunga maut ini!"
"Cuma bunga kertas mainan bocah-bocah siapa takutkan?!" ejek Begawan Citrakarsa dan dengan serta merta beliau kiblatkan kedua tangannya, kembali memancarkan serangan "Asap Putih Pencari Raga."
Kali ini Pendekar Pemetik Bunga tidak menghindar. Dia bangun menunggu. Pada dikala asap putih hendak memancar menyerupai tadi, dengan cepat cowok itu menekan tangkai bunga kertas yang dipegangnya. Serta merta bertaburanlah gulungan sinar kuning. Bila asap putih dan sinar kuning itu bertemu di udara maka terdengarlah bunyi berdentum yang amat dahsyat. Jagat laksana goncang. Asap putih dan sinar kuning berpalun-palun, gelung menggelung laksana beberapa ekor ular raksasa yang tengah berkelahi gigit menggigit!
Asap putih lambat laun lenyap dirambas dan ditelan sinar kuning untuk kemudian terus menyerang Begawan Citrakarsa. Kejut orang bau tanah sakti ini bukan alang kepalang. Dia melompat ke samping tapi agak terlambat alasannya sebagian lengan kirinya kena tersambar sinar kuning itu! Dengan serta merta lengan sang Begawan menjadi kuning pekat!
Pendekar Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak. "Sinar kuning itu mengandung racun dahsyat! Dalam tempo satu jam nyawamu niscaya konyol!"
Begawan Citrakarsa mengambil sebutir pil dan menelannya dengan cepat.
"Ha... ha, jangankan pil tahi kambing itu! Obat dari kayanganpun tak bakal sanggup memunah racun dilenganmu itu. Begawan goblok!"
Naik darah si orang bau tanah meluap hingga ke kepala. Mukanya kelam membesi. Racun kuning ditangan kirinya dirasakannya mulai merambas mendekati pangkal bahu. Tak ayal lagi Begawan Citrakarsa pergunakan tangan kanannya memutar dan membetot lengan kirinya itu!
"Kraak!"
Sungguh menggidikkan sewaktu persendian pundak itu lepas dan daging berserabutan, urat-urat berbusaian menyemburkan darah! Pendekar Pemetik Bunga sendiri meremang bulu kuduknya melihat perbuatan sang Begawan!
"Jangan kira meski saya cuma dengan satu tangan sekarang kamu bisa lepas dari kematian, Wirapati keparat!" kata Begawan Citrakarsa.
"Otakmu memang sudah miring, Begawan!" kata Wirapati pula.
"Tak satu kekuatanpun yang sanggup menandingi bunga kertas kuning ini!" Begawan Citrakarsa tidak menjawab apa-apa melainkan tangan kanannya menyelinap ke balik selempang kain putih di pinggangnya. Sebilah keris bereluk dua belas yang memancarkan sinar sangat merah sekarang tergenggam di tangan Begawan itu.
lnilah keris "Pancasoka" yang mempunyai keampuhan luar biasa! Jangankan daging manusia, kerikil karang pun jikalau ditusuk niscaya akan hancur lebur! Sebagai bekas murid Begawan Citrakarsa dengan sendirinya Wirapati tahu betul kehebatan senjata ini. Dia meragu apakah sekarang bunga kertas kuningnya akan sanggup menghadapi keris Pancasoka itu. Karenanya untuk menjaga segala kemungkinan Pendekar Pemetik Bunga segera membuka ikatan sabuk mutiara milik Kidal Boga yang tempo hari dibunuhnya.
"Kau lihat keris ini Wirapati?!"
"Ah" tak usah banyak omong! Majulah supaya kamu juga sanggup kehebatan sabuk mutiara ini!" tukas Wirapati!
Menggelegaklah kemarahan sang Begawan. Dia melompat ke muka. Keris Pancasoka berkiblat kian kemari. Sinar merah laksana pengecap api menyerang ganas. Setiap serangan merupakan rangkaian yang sekaligus menjurus ke arah dua belas kepingan badan lawan! Inilah kehebatan senjata itu!
Wirapati tidak pula tinggal diam. Sabuk mutiara diputar laksana kitiran. Gelombang angin menderu-deru sedang bunga kertas ditangan kanan tiada hentinya mengeluarkan sinar kuning yang mengandung racun jahat! Namun dua senjata ditangan Wirapati hampir tiada daya menghadapi keris bereluk dua belas di ajun Begawan Citrakarsa. Ditambah lagi dengan amukan si orang bau tanah yang dahsyatnya bukan olah- olah. Kalau saja satu tangannya tidak cedera buntung pastilah amukannya itu tak akan tertahan-tahan oleh Wirapati.
Dengan keris ditangan kanan orang bau tanah itu, pertempuran sudah berkecamuk selama enam puluh jurus! Daya tahan dan kegesitan Begawan Citrakarsa meski dirinya sudah terlalu parah memang patut dikagumi! Dalam pada itu beliau sudah berhasil pula mendesak dan memepet lawannya hingga kedekat reruntuhan pondok yang terbakar! Dengan kertakkan geraham kemudian membentak keras, Wirapati percepat gerakannya dan keluarkan jurus-jurus dahsyat ysng mengandung tipu-tipu ganas licik mematikan! Tapi Begawan Citrakarsa yang sudah makan asam garam pertempuran yang sudah puluhan tahun punya pengalaman dalam dunia persilatan mana bisa kena ditipu!
"Setan alas!" maki Pendekar Pemetik Bunga.
"Kunyuk bau tanah haram jadah," makinya lagi dalam hati.
Dengan mempergunakan jurus "Menyapu Awan Menerjang Mega," cowok ini alhasil melompat ke luar dari kalangan pertempuran!
"Pemuda terkutuk!" teriak Begawan Citrakarsa, "Kau mau lari ke mana?!"
"Aku tidak lari iblis tua!" hardik Pendekar Pemetik Bunga. Dia cepat-cepat tusukkan kembali bunga kertasnya ke sela rambut di kepala, sabuk mutiara tetap dipegang di tangan kiri menjaga segala kemungkinan. Saat itu jarak antara mereka terpisah sejauh lima meter.
"Begawan keparat! Mari kita buat perjanjian!" Tiba-tiba Pendekar Pemetik Bunga usikan usul.
"Heh, sudah mau hampir mampus bikin segala macam usul! Apakah itu bukan cuma ulur waktu mencari kesempatan lari...?!" ejek Citrakarsa.
"Sompret tua, saya berjanji! Jika kamu sanggup terima pukulanku, saya akan bunuh diri dihadapanmu!"
Begawan Citrakarsa tertawa mengekeh-ngekeh. "Bunuh diri terlalu yummy buatmu, Pendekar terkutuk!" Si cowok ingin tau bukan main.
Tapi beliau berkata lagi, "Kalau begitu kamu terpaksa mampus percuma orang tua! Dunia persilatan akan gempar bila mengetahui, seorang tokoh silat berjulukan Citrakarsa dibunuh oleh muridnya sendiri...!"
Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga tertawa panjang dan menggidikkan. Tangan kanannya diacungkan ke muka, ekspresi berkomat kamit sedang ibu jari dan telunjuk mendadak dengan cepat berobah menjadi hitam! Teganglah paras Begawan Citrakarsa. Selama di puncak Gunung Merbabu beliau telah mendengar bahwa bekas muridnya yang murtad itu telah mempunyai sejenis ilmu yang sangat sakti dan berbahaya!
Apakah ini agaknya ilmu kesaktian yang hendak dilancarkannya, hendak digunakan menyerang?! Jari tetunjuk dan ibu jari Pendekar Pemetik Bunga atau Wirapati semakin hitam legam dan mengeluarkan sinar mengerikan sedang paras sang Begawan semakin tegang, sebaliknya Pendekar Pemetik Bunga tertawa terus tiada hentinya!
"Ilmu Jari Penghancur Sukma ini sudah menelan puluhan tokoh- tokoh silat!" kata si cowok yang tiba-tiba hentikan tertawanya, "tokoh- tokoh silat yang tolol geblek sengaja mencari mampus!"
"Hah!" kejut Begawan Citrakarsa.
"Murid murtad, dari mana kamu sanggup ilmu bejat itu?!"
Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga tertawa lagi panjang- panjang. Jari telunjuk dan ibu jarinya mulai bergerak membentuk bundar siap untuk dijentikkan ke muka. Begawan Citrakarsa cepat- cepat alirkan seluruh tenaga dalamnya ke keris yang ditangan kanan sehingga senjata itu menyinarkan cahaya merah yang sepuluh kali menyilaukan dari semula!
Pendekar Pemetik Bunga memperlahan tertawanya. "Selusin keris Pancasoka ditanganmu, tiada nanti kamu sanggup menahan serangan jariku ini, Begawan keriput!"
"Laknat terkutuk! Jiwamu atau nyawaku!" teriak Begawan Citrakarsa.
Laksana anak panah tubuhnya melesat ke muka. Keris Pancasoka mengiblatkan sinar merah yang dahsyat! Pohon-pohon dan daun-daun di kiri kanan hangus berkepulan. Lidah api yang laksana naga raksasa menyambar dalam kecepatan luar biasa ke arah Pendekar Pemetik Bunga! Yang diserang mendengus mengejek. Tubuhnya tidak sedikitpun bergerak! Kakinya tak satupun yang bergeser membuat langkah mengelak! Sebaliknya hanya jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya saja yang tiba-tiba menjentik ke muka. Maka pada detik itu juga didahului oleh angin keras laksana topan prahara, menderulah gelombang sinar hitam, menyapu dan menerjang pengecap api keris Pancasoka!
Begawan Citrakarsa yang melihat gelombang apinya membalik menyerang dirinya sendiri berteriak kaget dan melompat ke samping sejauh dua tombak. Tapi dari samping sinar hitam melanda dengan dahsyatnya! Orang bau tanah ini terguling-guling di tanah. Tubuhnya hangus hitam dan mengepulkan bacin daging yang terpanggang! Bahkan keris Pancasoka yang dikala itu masih tergenggam ditangan kanannya juga hangus menjadi hitam! Pendekar Pemetik Bunga meringkik macam kuda menjadi jalang melihat dedemit! Kemudian beliau tertawa gelak-gelak menyaksikan mayit gurunya yang menggeletak tanpa nyawa beberapa tombak di hadapannya itu! Benar-benar si Wirapati ini murid murtad yang tiada tara kekejamannya!
Tiba-tiba beliau memutar badan dan tertawa lagi gelak-gelak sewaktu melihat badan Galuh Warsih yang masih duduk bersandar di batang pohon, tiada bergerak alasannya tadi telah ditotoknya.
Dia melangkah mendekati gadis itu. "Dewiku," katanya seraya berlutut dihadapan Galuh Warsih, "kau sudah lihat bagaimana kehebatanku bukan?"
"Pemuda keparat, pergi! Jangan dekati aku!" teriak Galuh Warsih. Meski beliau ditotok dan tubuhnya tak bisa bergerak sedikitpun namun pendengarannya tetap terbuka dan mulutnya masih bisa bicara. Pendekar Pemetik Bunga menyeringai. Hidungnya kembang kempis. Nafasnya panas memburu, diburu oleh nafsu yag menggejolak!
Diulurkannya tangannya membelai pipi gadis itu dan Galuh Warsih memaki lagi, menjerit-jerit!
"Kulitmu halus sekali, Galuh."
"Pemuda setan! Pergi, jangan sentuh tubuhku!" teriak Galuh Warsih.
"Ah... apakah tampangku betul-betul menyerupai setan?" tanya si cowok dengan cengar-cengir.
Dan dialusnya lagi pipi gadis itu. Galuh Warsih yang alasannya tidak bisa menggerakkan tangan atau kakinya, penuh kegemasan diludahinya muka cowok itu. Pendekar Pemetik Bunga malah tertawa. Diambilnya ujung angkin Galuh Warsih, dengan angkin itu disekanya ludah yang membasahi mukanya. "Ludahmu seharum bunga semanis madu, kenapa musti disembur ke mukaku? Bukankah lebih baik disemburkan ke dalam mulutku? Ha... ha... ha...!"
"Kulit pipimu demikian halusnya, Galuh," kata si cowok dan dicuilnya dagu si gadis.
"Tentu kulit tubuhmu lebih mulus lagi""
Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga segera elus pundak Galuh Warsih. Berdiri bulu kuduk si gadis sebaliknya semakin menggejolak darah muda Pendekar Pemetik Bunga. Tangan yang mengelus pundak itu sekarang turun ke dada. Air mata berlelehan di pipi Galuh Warsih. Dia tahu, tak satupun yang bisa dilakukannya menghadapi perlakuan bejat itu. Dia sadar apa yang bakal terjadi dengan dirinya.
Tak sanggup lagi beliau menjerit, tak kuasa lagi beliau berteriak alasannya suaranya sudah habis ditelah keparauan! "Gadis manis, kenapa musti menangis?" tanya Pendekar Pemetik Bunga.
"Pemuda terkutuk...," bunyi Galuh Warsih antara terdengar dan tiada, "aku rela dibunuh daripada diperlakukan begini rupa..."
"Heh...?!" Pendekar Pemetik Bunga hela nafas dan kerutkan kening tanda heran. "Kau tahu manis, perempuan-perempuan yang mati gadis kalau beliau bisa bicara di liang kubur, pastilah beliau minta dihidupkan kembali! Hidup kembali untuk mencicipi kenikmatan hidup antara laki-iaki dan perempuan! Kau yang hidup kepingin mati...? Lucu.... Mari dewiku, sekarang ke balik semak-semak sana! Di situ ada rumput, supaya kita bisa tidur bergulung lebih nikmat...!"
"Pergi! Jangan sentuh aku!" bunyi Galuh Warsih mengandung keputusasaan.
"Oh, kamu tak mau ke balik semak-semak itu, Galuh? Tak apa" tak apa... di sinipun saya tak keberatan!"
Pendekar Pemetik Bunga ulurkan tangan kanannya kembali dan "breet!" Kain epilog dada Galuh Warsih robek besar. Dadanya tersingkap lebar. Sepuluh jari tangan Pendekar Pemetik Bunga dengan terkutuknya laksana gila menggerayang menjamahi dada itu. meremas seolah-olah hendak menghancur luluhkannya!
Bersambung...