Wiro Sableng: Episode Jagoan Terkutuk Pemetik Bunga 5

 Episode Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga  Wiro Sableng: Episode Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga 5
Sebelumnya...
"Kurang asuh betul!" teriak perjaka berjubah hitam. Dia gerakkan tangan kanannya. Lihai sekali golok maut itu berhasil ditangkapnya kemudian dilemparkannya ke arah kereta.
Laki-laki yang menjadi kusir kereta, yang tadi melemparkan golok itu kepada si perjaka dengan serta merta melompat dari kereta yang sudah angsrok itu dan bergulingan di tanah. Golok menancap di dingklik kayu
pada potongan depan kereta!
Kusir kereta yang menyadari bahwa dirinya sekarang tinggal sendirian,melihat serangannya tidak mengenai sasaran jadi lumer nyalinya. Tanpa banyak kisah kusir ini segera ambil langkah seribu seraya berteriak.
"Den Ayu Galuh Warsih lekas lari selamatkan dirimu!"

"Kunyuk tengik!" teriak perjaka berjubah hitam sambil keluarkan dengusan.
"Kalau mau lari, larilah sendiri ke neraka!"
Sekali perjaka ini lambaikan tangan kanannya, kusir kereta itu mental menghantam pohon dilanda angin dahsyat yang ke luar dari telapak tangan si pemuda!

Di ketika itu pintu kereta sebelah kanan terbuka lebar-lebar dan seorang gadis bertubuh ramping, berkulit hitam manis yang mempunyai wajah mempesona ke luar dengan paras pucat. Lututnya gemetar. Bulu kuduknya
merinding melihat sosok-sosok jenazah pengawalnya yang bertebaran di mana-mana, mati dalam keadaan mengerikan!

Gadis itu menyurut beberapa langkah sewaktu perjaka berjubah hitam melangkah mendekatinya.
"Ah, dewiku, kenapa takut padaku?" ujar si perjaka dengan mengulum senyum.
"Namamu Galuh Warsih bukan? Dan kamu anaknya Sentot Sastra dari Kaliurang, betuL?"

Galuh Warsih menyurut lagi beberapa langkah. Pada tampang yang gagah dari si pemuda, pada sunggingan senyumnya konkret kelihatan sifat kebuasan, sifat kejalangan!

Gadis ini terpekik sewaktu sekali lompat saja si perjaka sudah berada dihadapannya.
"Saudara, kamu siapa? Mengapa membunuh pengawal-pengawalku?!" Meski takutnya bukan main namun Galuh Warsih masih bernyali mengajukan pertanyaan itu.
Yang ditanya tertawa.
"Ah.., itu satu pertanyaan yang pantas dijawab" katanya.
Tangan kirinya ditopangkannya ke sanding belakang kereta. "Namaku tak seberapa perlu dewiku sayang. Aku cukup dikenal dengan gelar Pendekar Pemetik Bunga."

Paras Galuh Warsih laksana kain kafan, putih menyerupai tiada berdarah. Sebaliknya perjaka yang mengaku bergelar Pendekar Pemetik Bunga tertawa gelak-gelak.
"Dan bila dewiku bertanyakan mengapa saya membunuh pengawal-pengawalmu itu yaitu alasannya mereka sedeng semua! Disuruh angkat kaki dari sini semoga selamat malah minta mati!"
"Ayahku Bupati Kaliurang niscaya akan menyuruh pancung kepalamu atas semua kejahatan inil"

Pendekar Pemetik Bungs tertawa mengekeh. "Sudahlah," katanya,
"di kawasan bangkai-bangkai berantakan ini kita tak usah banyak bicara. Kau ikut aku, Galuh Warsih. Kita pergi ke bukit sebelah sana"
"Tidak!"
"Di bukit sana ada sebuah pondok!"
'Tidak, saya tidak mau! Aku tidak sudi ikut sama kamu insan biadab!" teriak Galuh Warsih.
"Di situ, di pondok itu nanti kamu akan mencicipi sorga dunia yang tiada taranya dewiku manis...."
Dengan tertawa gelak-gelak Pendekar Pemetik Bunga maju mendekati Galuh Warsih. Si gadis cepat menyambar kayu patahan papan kereta dan dengan kedua tangannya menghantamkan kayu itu ke kepala Pendekar Pemetik Bunga, Pemuda berhati bejat itu ganda tertawa. Dia merunduk dan begitu maju, sekaligus
beliau sudah merangkul pinggang Galuh Warsih.

Galuh Warsih menjerit melolong-lolong. Kedua tangannya tiada henti mendambuni punggung dan menjambaki rambut gondrong Pendekar Pemetik Bunga. Tapi perjaka itu tiada perduli. Malah dengan tertawa dan bersiul-siul bangga laksana angin cepatnya tubuh Galuh Warsih dilarikan ke puncak sebuah bukit di sebelah timur!

Hampir sepeminum teh kemudian maka pondok kayu itu sudah kelihatan dari jauh. Nafsu yang menghempas-hempas pembuluh darah dan menegangkan sekujur tubuh Pendekar Pemetik Bungs menciptakan
insan terkutuk itu tancap gas tambah percepat larinya semoga lekas-lekas hingga ke pondok itu dan semoga lekas pula melampiaskan nafsu bejat terkutuknya!

Tapi betapa terkejutnya Pendekar Pemetik Bunga sewaktu makin bersahabat ke pondok itu sepasang telinganya menangkap bunyi nyanyian.

Yang lebih mengejutkan ialah alasannya bunyi nyanyian itu keluarnya dari dalam pondok kayu dihadapannya itu!

Dua tahun dilepas pergi,

Dua tahun turun gunung,

Dua tahun berbuat keji,

Dua tahun tak tahu untung.

Lima tahun mencar ilmu percuma

Lima tahun dididik tiada guna

Kehancuran dimana-mana

Pembunuhan di mana-mana
Semua alasannya buta hati dan buta mata

Semua alasannya buta rasa

Percuma bagusnya gunung

Percuma tingginya gunung
Kalau meletus peristiwa di mana-mana

Anak insan lupa daratan
Anak insan menciptakan kebejatan

Apakah selusin nyawa di badan?

Apakah ilmu setinggi awan?

Pendekar Pemetik Bunga hentikan larinya. Galuh Warsih yang masih mendambun-dambun punggungnya, yang masih berteriak-teriak meskipun suaranya parau segera ditotoknya. Dipasangnya telinganya sedang kedua matanya memandang tajam-tajam ke arah pintu pondok yang terbuka. Tak satu sosok manusiapun yang sanggup dilihatnya dari kawasan beliau berdiri.

Namun bunyi nyanyian tadi kembali terdengar. Terdengar dan keluar dari pondok itu!


Dua tahun dilepas pergi,

Dua tahun turun gunung....


Ada suatu rasa asing menyelinapi hati Pendekar Pemetik Bunga. Rasa asing ini bukan saja hanya sekedar menyelinap, tapi juga menciptakan hatinya menciut-ciut dan dadanya berdebar. Dia melangkah kembali, pelahan kini.
Mata memandang tajam, ke pintu pondok yang terbuka, perilaku penuh waspada.

Lima tombak dari hadapan pondok, untuk kedua kalinya Pendekar Pemetik Bunga hentikan langkah. Bayangan seseorang sanggup dilihatnya melangkah ke pintu. Dalam kejapan mata kemudiannya maka terbenturlah pandangannya pada tubuh seorang pria renta bertubuh kurus kering berselempang kain putlh. Janggut dan rambutnya yang hitam menjelang panjang hingga ke pinggang.
"Guru!" seru Pendekar Pemetik Bunga.
Tubuh Galuh Warsih segera diturunkannya dari pundak, didudukkannya di bawah sebatang pohon kemudian beliau sendiri berlari dan berlutut dihadapan orang renta yang bangkit di ambang pintu pondok.

Si orang tua, yang bukan lain dari Begawan Citrakarsa adanya menyapu paras muridnya dengan pandangan mata sedingin salju setajam pisau!
"Betulkah kamu ini si Wirapati?"
Masih berlutut, Pendekar Pemetik Bunga angkat kepalanya.
"Betul guru. Masakan guru lupa sama murid sendiri!"
Diam-diam Pendekar Pemetik Bunga atau Wirapati merasa bergidik jugs melihat cara
memandang gurunya.
"Guru...!"
Begawan Citrakarsa tidak perdulikan usul kaget muridnya melainkan meneruskan, "Mataku masih belum kabur, telingaku masih belum tuli. Otakku masih belum tumpul! Wirapati yang pernah kegembleng lima tahun di puncak Gunung Merbabu sudah tidak ada di atas bumi ini..."
"Guru!" seru si murid sekali lagi.
Begawan Citrakarsa tetap tak ambil perduli seorang perjaka terkutuk yang didelapan penjuru angin dikenal sebagai Pendekar Pemetik Bunga!

Berubahlah paras Pendekar Pemetik Bunga alias Wirapati. Dia membathin, rupanya apa yang telah dilakukannya semenjak turun gunung dua tahun yang silam sudah diketahui oleh gurunya. Dia berpikir-pikir mencari akal, apakah yang bakal dikatakannya pada Begawan itu.
"Selama ini saya dikenal sebagai tokoh silat golongan putih yang mengutamakan ilmu untuk kebaikan, dan welas asih. Dunia persilatan menyegani dan menghormatiku! Tapi sekarang dari delapan penjuru angin umpat dan kutuk serapah dilontarkan kepadaku! Keningku dicoreng cemoreng oleh rasa aib yang tiada terkira! Semua itu yaitu akhir perbuatan bejatmu, Wirapati! Perbuatan terkutukmu!"
"Guru," kata Pendekar Pemetik Bunga dengan cepat. Akal kedaluwarsa sudah didapatnya ketika itu "Rupanya guru telah tertiup oleh segata fitnah yang dilontarkan manusia-manusia biang racun! Lima tahun murid dididik
dan digembleng oleh guru kuliner sesudahnya turun gunung murid mau menciptakan kekotoran yang mencemarkan nama guru itu?! Semua fitnah belaka, guru! Percayalah! Justru murid malang melintang di dunia
persilatan untuk membasmi kaum penjahat dan golongan hitam...!"
Begawan Citrakarsa tertawa tawar. "Kaukah yang difitnah atau engkau yang memfitnah, Wirapati? Gadis yang kamu sandarkan di pohon itu cukup menjadi bukti! Kalau kamu mau menipu aku, tunggulah hingga
mataku buta!"

Pendekar Pemetik Bunga tidak kehabisan akal. Dia segera buka lisan pula, "Guru salah duga. Gadis itu yaitu anak Bupati Sentot Sastra dari Kaliurang yang barusan murid tolong dan lepaskan dari tangan penculik-penculik dan perampok-perampok!"

Lagi-lagi Begawan Citrakarsa tertawa tawar.
"Lidah tidak bertulang memang biaa diputar balik!" katanya. "Tapi mataku tidak bisa diputar baiik, Wirapati! Aku saksikan sendiri apa yang terjadi di tikungan jalan tadi! Masihkah kamu mau berdusta di dalam kebejatanmu?!"

Kini Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga tak bisa berkata apa-apa lagi. Mulutnya terkatup rapat-rapat
"Tak perlu kamu berlutut dihadapanku Wirapati! Sejak arang cemar kamu corengkan ke mukaku, semenjak itu pula saya tak mengakuimu lagi sebagai murid!"
Rahang Pendekar Pemetik Bunga menonjol bergemeletak.
"Kejahatanmu laksana bahari tidak bertepi! Dosamu sudah tak sanggup ditakar lagi! Sekarang berdirilah! Dan katakan cepat, cara mati bagaimana yang kamu inginkan?!"
Kaget Pendekar Pemetik Bunga bukan alang kepalang!
Dipandangnya paras Begawan Citrakarsa. Mimik dan sorotan mata si orang renta terperinci menyatakan bahwa apa yang diucapkannya itu bukan main-main!
"Guru...."
"Aku bukan gurumu!" hardik Begawan Citrakarsa.

Perlahan-lahan Pendekar Pemetik Bunga berdiri.
"Guru, kamu betul-betul hendak membunuhku?" tanya perjaka itu,
"atau cuma main-main saja ... ?"
"Bicara soal maut bukan bicara main-main budak terkutuk!" hardik Begawan Citrakarsa.
"Bersiaplah untuk mampus!" Begawan itu angkat tangan kanannya. Kemudian laksana kilat dipukulkan ke muka!
"Wuss!" Asap putih mengepul dahsyat melanda ke arah Pendekar Pemetik Bunga. Melihat gurunya mengeluarkan ilmu dahsyat yang tak pemah dikenalnya atau diajarkan kepadanya sebelumnya, yakinlah Pendekar Pemetik Bunga bahwa si orang renta betul-betul bertekat hendak menghabisi nyawanya! Tak ayal, sebelum tubuhnya diserempet asap putih yang mengandung hawa sangat panas itu, si perjaka segera melompat ke samping hingga dua tombak!
"Bagus! Kau masih bisa mengelak! Tapi nyawamu tetap harus minggat ke neraka murid laknat!" gertak Begawan Cirakarsa. Tubuhnya berkelebat. Kini kedua tangannya yang kurus memukul bersama-sama. Sinar putih berbuntal-buntal menyambar Pendekar Pemetik Bunga!
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel