Wiro Sableng: Episode Jagoan Terkutuk Pemetik Bunga 4

 Episode Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga  Wiro Sableng: Episode Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga 4
Sebelumnya...
Munculnya Pendekar Pemetik Bunga menyebar maut, darah dan noda benar-benar menggemparkan dunia persilatan. Kekejaman dan kebejatan terkutuk yang dilakukannya selama malang melintang beberapa bulan belakangan ini benar-benar merupakan satu tantangan bagi dunia persilatan, terutama mereka dari golongan putih. Hal ini tak sanggup dibiarkan lama, dan berlarut-larut. Beberapa tokoh silat utama dari golongan putih kabarnya telah turun tangan menciptakan perhitungan dengan Pendekar Pemetik Bunga. Tapi apa yang terjadi kemudian benar- benar menciptakan dunia persilatan tambah geger!
Bagaimanakah tidak! Semua tokoh-tokoh silat yang berani bikin perhitungan itu disikat mentah-mentah oleh Pendekar Pemetik Bunga. “Ilmu Jari Penghancur Sukma” yang dimiliki cowok terkutuk itu menjadi biang momok mengerikan bagi dunia persilatan, apalagi bagi orang-orang yang tidak mengerti silat sama sekali! Tiap kota dan desa, tiap kampung dan pelosok diselimuti rasa ketakutan dan cemas. Takut dan cemas jika Pendekar Pemetik Bunga akan muncul mendadak di kawasan mereka, menyebar janjkematian dan menebar noda di kalangan penduduk yang tak berdosa!
Kejahatan, kebejatan dan seribu satu macam perbuatan terkutuk yang dilakukan oleh Pendekar Pemetik Bunga itu telah hingga pula ke puncak gunung Merbabu.
Saat itu tengah hari tepat. Matahari berada dititik tertingginya. Keterikan sinar matahari tiada terasa di atas puncak gunung yang ditutupi halimun sejuk itu. Asap sulfur dari kawah gunung bergulung-gulung ke atas, bercampur jadi satu dengan halimun dan menutupi pemandangan. Di satu penggalan dari puncak gunung Merbabu, di dalam sebuah ruangan batu, diterangi oleh sebuah pelita kecil kelihatan duduk seorang pria tubuhnya kurus sekali, hampir tinggal kulit pembalut tulang.
Tubuh yang kurus ini ditutupi dengan sehelai selempang kain putih. Melihat kepada air mukanya yang penuh dengan keriputan itu nyatalah bahwa insan ini umurnya sudah lanjut sekali. Tapi anehnya, rambut dan janggutnya yang panjang hingga ke pinggang itu masih berwarna hitam legam dan berkilat-kilat ditimpa sinar pelita.
Orang bau tanah ini ialah Begawan Citrakarsa. Saat itu beliau tengah bersemedi mengheningkan cipta rasa dan menutup semua inderanya. Ketika matahari menggelincir ke titik tenggelamnya, ketika sinar kuning emas berpalun dengan sinar kemerahan menyaputi langit di ufuk barat barulah Begawan itu menuntaskan semedinya. Dibukanya kedua matanya, dibukanya segenap inderanya. Kemudian perlahan-lahan Begawan ini bangun dari duduknya dan melangkah ke pintu.
Dari pintu kerikil tempat beliau bangun itu sanggup dilihatnya keseluruhan puncak Gunung Merbabu. Sebagian dari puncak Gunung Merbabu itu telah diselimuti lagi oleh kabut sulfur dan halimun. Di kaki gunung menghampar sawah ladang. Jauh di sebelah selatan mengalir sebatang anak sungai. Begawan Citrakarsa menghela nafas dalam. Betapa indahnya bumi buatan Tuhan. Tapi betapa sayangnya, bumi yang indah dan suci itu telah dikotori oleh segala macam kemaksiatan, segala macam kemesuman, kejahatan, kebejatan!
Begawan Citrakarsa masuk kembali ke dalam ruangan batu. Dari dinding ruangan kerikil diambilnya sebilah keris kemudian disisipkannya ke balik selempangan kain putih di pinggangnya. Dengan sedikit lambaian tangan Begawan Citrakarsa memadamkan pelita dalam ruangan kerikil itu. Dia melangkah ke pintu kembali. Di luar puntu terdapat sebuah kerikil besar. Dengan mempergunakan tangan kirinya Begawan ini menggeser kerikil itu hingga menutupi pintu ruangan batu. Batu besar itu beratnya ratusan kati, tapi sang Begawan hanya menggesernya dengan mempergunakan tangan kiri! Sampai dimana kehebatan tenaga dalam Begawan bertubuh kurus yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu sungguh tak sanggup dijajaki!
Bila angin dari timur bertiup sejuk. Bila bola penerang jagat hanya seperenam bagiannya saja lagi yang kelihatan di ufuk barat sana dan bila puncak gunung Merbabu hampir keseluruhannya terselimut halimun maka Begawan itupun menggerakkan kakinya. Sepasang kaki yang kurus kering itu dengan lincah dan dengan kecepatan yang luar biasa berlari di tepi kawah dengan seenaknya. Sekali-sekali melompati jurang kerikil yang lebarnya hingga tiga – empat tombak. Bersamaan dengan lenyapnya sang surya ke tempat peraduannya maka bayangan Begawan Citrakarsa pun tak kelihatan lagi di puncak gunung Merbabu itu.
* * *
Tikungan jalan itu terletak di tempat yang ketinggian. Sinar matahari panasnya menyerupai mau memanggang kulit. Burung-burung kecil yang berlindung di balik daun-daun pepohonan berkicau tiada hentinya seolah-olah turut gelisah oleh panasnya hari sehari itu.
Pemuda berambut gondrong di atas cabang pohon duduk dengan sepasang mata yang terus menatap ke liku-liku jalan di kaki bukit. Sudah satu jam hampir beliau berada di cabang pohon itu dan apa yang ditunggunya masih juga belum muncul. Kekesalan hatinya dicobanya melenyapkan dengan bersiul-siul. Ada satu keluarbiasaan, cabang pohon yang diduduki cowok itu kecil sekali. Jangankan manusia, seekor kucingpun bila duduk di situ pastilah cabang itu akan menjulai ke bawah. Tapi anehnya, diberati oleh badan cowok berambut gondrong itu, jangankan menjulai, bergerak sedikitpun cabang pohon itu tidak! Kalau si cowok bukannya seorang sakti mandraguna yang mempunyai ilmu meringankan badan yang hebat, pastilah hal itu tak bisa kejadian.
Sepeminuman tah berlalu. Si cowok memandang lagi ke kaki bukit, ke arah liku-liku jalan.
“Sialan, apa kunyuk-kunyuk itu tidak jadi melewati jalan ini?! Sialan be…”
Tiba-tiba cowok itu hentikan makiannya. Bola matanya membesar dan dibibirnya menggurat seringai tajam. Jauh di bawah bukit, diantara pohon-pohon di liku-liku jalan dilihatnya sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda putih, dikawal oleh selusin penunggang kuda. Debu menggebu ke udara. Pemuda itu sekarang tertawa-tawa sendirian. Hatinya gembira. Yang ditunggunya telah kelihatan di bawah sana, dan niscaya akan melewati tikungan jalan dimana beliau menunggu dikala itu.
Kira-kira dua kali peminuman teh maka terdengarlah derap kaki- kaki kuda dan gemerataknya bunyi roda kereta mendekati tikungan jalan. Karena tikungan itu mendaki, maka pengemudi kereta dan penunggang- penunggang kuda agak memperlambat lari kuda masing-masing.
Pada dikala itulah cowok rambut gondrong yang duduk di cabang pohon mengeluarkan bunyi memerintah yang menggeledek!
“Berhenti!”
Beberapa ekor kuda yang di muka sekali meringkik terkejut. Pengemudi dan pengawal kereta kagetnya bukan main. Semua anggota rombongan menghentikan kuda masing-masing. Dan melihat gelagat yang tidak baik, setiap anggota rombongan bersikap waspada.
“Semua pria yang ada di sini, termasuk pengemudi kereta kuharap segera angkat kaki tinggalkan tempat ini. Berlalu dengan cepat!” Begitu si cowok memerintah. Dan beliau masih juga duduk di cabang pohon seenaknya.
Penunggangn kuda yang paling muka yang bertindak sebagai pimpinan rombongan mendongak ke atas dan bertanya dengan membentak.
“Orang asing! Kau siapa?!”
“Buset! Kau punya nyali membentak saya hah? Apa kamu punya jiwa rangkap!”
Si penunggang kuda mendengus. “Caramu memerintah nyatalah bahwa kamu mempunyai niat jahat!”
“Betul sekali sobat! Karenanya lekaslah tinggalkan tempat ini jika kalian semua tidak mau cilaka!”
Penunggang kuda yang bertindak sebagai pemimpin rombongan melihat perilaku dan tempat di mana cowok rambut gondrong itu duduk bergotong-royong sudah semenjak tadi mengetahui bahwa insan asing itu seorang yang bakir sangat tinggi. Namun dengan mengandalkan jumlah yang banyak, mengandalkan kawan-kawannya yang rata-rata mempunyai ilmu silat, nyalinya tidaklah menjadi kendor merghadapi si cowok rambut gondrong!
“Kalau kamu seorang perampok, cari saja orang lain untuk dirampok! Salah-salah riwayatmu bisa simpulan hingga di sini, sobat”
Pemuda di atas cabang pohon tertawa gelak-gelak. Suara tertawaaya menggetarkan tikungan jalan itu, juga menggetarkan hati dua belas penunggang kuda! Bahkan bunyi tertawa itu telah menciptakan satu tangan halus menyibakkan tirai kereta den memunculkan sebuah kepala wanita muda belia berwajah manis berkulit halus mulus.
“Manusia-manusia tolol! Orang sudah kasih ampun den kasih selamat kalian punya jiwa tapi malah berlagak jago!” hardik orang di atas cabang pohon! “Silahkan cabut senjata kalian semoga kalian semua tidak mampus percuma!”
Habis berkata begitu si cowok laksana seekor alap-alap melompat turun. Tubuhnya berkelebat cepat dan terdengadah jeritan yang menggidikkan! Tiga penunggang kuda terpelanting dari punggung kuda masing-masing. Kepala ketiganya hancur remuk dimakan tendangan kaki kanan cowok tadi!
Yang sembilan orang lainnya, tambah satu dengan pengemudi kereta dengan serentak segera mencabut golok masing-masing. Tanpa menunggu lebih usang yang sembilan orang segera menyerbu sedang pengemudi kereta dengan golok melintang di muka dada tetap berada di atas kereta.
Sebentar saja hujan golok menyelubungi si pemuda. Pemuda itu bangun di tengah-tengah siuran golok dengari bertolak pinggang dan sambil tertawa-tawa. Sekali-sekali beliau menciptakan sedikit gerakan. Meskipun sedikit gerakan itu sekaligus berhasil mengelakkan sembilan serangan golok yang menderu-deru.
Tiba-tiba cowok itu membentak nyaring. Tubuhnya merunduk di antara tusukan dan tebasan golok. Pekik lolong terdengar susul menyusul. Empat pengeroyoknya berpelantingan dan bergeletakan tanpa nyawa di tengah jalan. Yang lima orang lainnya kejut serta kaget mereka bukan olah- olah.
'Tegal Ireng!” teriak pemimpin rombongan. “Larikan kereta dari sini cepat! Aku dan yang lain-lainnya menahan bedebah ini!”
Kusir kereta tak ayal lagi segera sentakkan tali kekang. Dua ekor kuda melonjak dan melompat ke muka. Sementara itu lima golok menyerbu cowok rambut gondrong dengan ganasnya. Tapi yang diserbu ganda tertawa. Dia menciptakan lompatan setinggi tiga tombak. Dua orang pengeroyoknya jungkir balik di makan tendangan. Bersamaan dengan Itu tangan kanannya dihantamksn ke arah dua ekor kuda penarik kereta yang segera hendak lari meninggalkan tempat itu. Gelombang angin yang sangat dahsyat Menghantam hancur delapan kaki hewan itu sehingga kuda dan kereta angsrok kejalanan. Ringkik kuda terdengar tiada hentinya sedang dari dalam kereta melengking jeritan perempuan!
Pemimpin rombongan, dengan sangat ingin tau cabut lagi sebatang golok dari pinggangnya. Dengan sepassng golok, bersama dua orang kawannya beliau menyerbu kembali!
“Kunyuk-kunyuk tolol! Nyali kalian memang patut kupuji! Tapi kalian ialah manusia-manusia tidak berguna! Karenanya pergilah ke neraka!”
Pemuda rambut gondrong kebutkan tepi jubah hitamnya. Serangkum angin pengap menyerang ke arah tenggorokan ketiga lawannya. Manusia- insan itu mengelusrkan bunyi menyerupai tercekik sewaktu badan mereka mental dilanda angin dahsyat. Dari verbal masing-masing menyembur darah segar. Nyawa ketiganya lepas bersamaan dengan rubuhnya badan mereka ke tanah!
Pemuda berambut gondrong yang mengenakan jubah hitam berbunga-bunga kuning tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dirasakannya sambaran angin di belakangnya. Dibalikkannya tubuhnya dengan cepat. Sebatang golok laksana anak panah melesat ke arah batok kepalanya!
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel