Wiro Sableng: Episode Jagoan Terkutuk Pemetik Bunga 2

 Episode Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga  Wiro Sableng: Episode Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga 2
Sebelumnya...
Di ketika ajal sudah di depan mata, disaat maut hendak merenggut maka tiada terduga, disaat itu pula dari bawah panggung sebelah barat melesat sebuah benda yang mengeluarkan cahaya berkilau. Benda ini melesat ke arah kaki kanan Pendekar Pemetik Bunga yang mencari maut di perut Rana Wulung!
Tentu saja Pendekar Pemetik Bunga menjadi terkejut dan terpaksa menarik pulang serangannya. Benda yang berkilau itu lewat dan menghantam taron sehingga alat bunyi-bunyian ini terbalik dan hancur berantakan! Benda apakah yang sehebat itu dan siapa gerangan yang melemparkannya? Siapa yang telah menolong Rana Wulung dari kematian?!
“Pembokong licik! Cepat unjukkan diri,” teriak Pendekar Pemetik Bunga murka sekali. Sepasang matanya yang buas menyapu ke arah barang panggung.
Di cuilan barat panggung bangkit beberapa orang. Mata Pendekar Pemetik Bunga yang tajam tidak berhasil kali ini menerka siapa gerangan manuasia yang telah melemparkan senjata rahasia tadi.
Dengan murka Pendekar Pemetik Bunga mengangkat tangan kanannya ke udara dan berteriak, “Kalau tidak ada yang mengunjuk diri, semua yang ada di panggung barat niscaya kubikin mampus!”
Seorang pria bau tanah yang bangkit di belakang sebuah dingklik di cuilan barat panggung berbatuk-batuk beberapa kali. Laki-laki ini berpakaian manis dan bertopi tinggi yang dihiasi manik-manik. Jelas ini mengatakan bahwa beliau ialah seorang aristokrat atau hartawan. Dia mengangkat dingklik yang di depannya ke samping dan melangkah ke muka panggung, berhenti sejarak dua tombak dari panggung.
“Cepat beri tahu siapa kau!” hardik Pendekar Pemetik Bunga. Tangan kanannya masih belum diturunkan dan sekarang telapaknya yang terbuka diarahkan pada orang bau tanah berpakaian bogus.
“Aku hanya seorang tamu yang mengunjungi pesta perkawinan ini, orang muda....”
“Hem... cuma seorang tamu saja berani campur tangan! ilmu melemparkan senjata rahasia pengecut tadikah yang kamu andalkan?!” Orang bau tanah itu berbatuk-batuk lagi.
“Meski cuma tamu jelek begini,” katanya, “Aku juga ialah sobat baik dari tuan rumah dan besannya. Sungguh tidak yummy sekali melihat nasib sahabat-sahabat yang nahas tanpa bersedia turun tangan!”
“Oo begitu? Bagus!” ujar Pendekar Pemetik Bunga pula.
“Sanggupkah kamu mendapatkan pukulan tangan kananku?!” Orang bau tanah berpakaian manis itu tertawa dingin.
“Orang muda, nyalimu memang besar sekali. Sayang kejahatanmu dan kebuasanmu jauh lebih besar lagi sehingga saya yang bau tanah ini terpaksa tak bisa berpangku tangan...”
“Orang gendeng yang tak tahu gunung Semeru di depan hidung! Terima pukulan Tapak Jagat ini!”
Si orang bau tanah cepat menyingkir ke samping waktu Pendekar Pemetik Bunga menghantamkan telapak tangan kanannya kedepan. Semua orang terkejutnya bukan olah-olah sewaktu melihat bagaimana tanah bekas daerah si orang bau tanah berpakaian bogus tadi menjadi berlubang besar di landa ilmu pukulan 'Tapak Jagat’ si perjaka jubah hitam. Pasir berterbangan, kursi-kursi jungkir balik berpatahan sedang bumi bergetar! Kalau saja si orang bau tanah tidak cepat menyingkir tak sanggup dibayangkan apa yang bakal terjadi dengan dirinya! Namun disaat itu semua orang dan Pendekar Pemetik Bunga sendiri sama memaklumi bahwa si orang bau tanah bukanlah orang bau tanah sembarangan!
Tidak sembarang orang yang sanggup mengelak dari pukulan 'Tapak Jagat” itu!
“Orang tua, apakah kamu masih tetap berlaku pengecut tak mau kasih tahu nama?!”
“Ah, namaku atau siapa saya kamu tak perlu tahu. Aku tanya, apakah kamu sudi angkat kaki dari sini atau tidak?!”
“Sombong betul” tukas Pendekar Pemetik Bunga. “Jangan kira saya jerih terhariapmu. Silahkan naik ke atas panggung!”
Si orang bau tanah menghela nafas panjang dan menggosok-gosok kedua tangannya. “Rupanya memang saya harus turun tangan tidak tanggung-tanggung,” katanya pelahan tapi cukup terdengar oleh semua orang.
“Betul! Memang dalam dunia persilatan tidak boleh tanggung- tanggung!” menimpali Pendekar Pemetik Bunga. “Kalau kamu berani cari perkara, kamu tak boleh tanggung-tanggung untuk pasrahkan jiwa!”
Dan sekejap kemudian kedua orang itupun sudah berhariap- hariapan di atas panggung, disaksikan puluhan pasang mata, disaksikan oleh Rana Wulung yang ketika itu menyingkir ke sudut panggung. Rana tiada kenal siapa si orang tua. Namun beliau maklum kalau orang bau tanah ini bakir tinggi dan Rana Wulung berharap moga- moga si orang bau tanah benar-benar bisa meniadi tuan penolongnya.
“Apakah kamu masih punya simpanan senjata rahasia tadi, orang tua?” tanya Pendekar Pemetik Bunga.
Si orang bau tanah tertawa dan balas mengejek. “Kalau kamu punya senjata keluarkalah, agar kuhariapi dengan tangan kosong!”
“Sombong betul!” hardik Pendekar Pemetik Bunga. Tanpa beranjak dari tempatnya beliau lepaskan dua pukulan tangan kosong yang dahsyat. Panggung itu tergetar keras. Si orang bau tanah bersuit nyaring dan melompat tiga tombak. Dari atas cepat berkelebat mencari posisi gres dan balas mengirimkan dua jotosan yang tak kalah hebatnya. Dalam sekejapan saja kedua orang itu sudah terlibat dalam pertempuran seru. Lima jurus berlalu cepat!
Pendekar Pemetik Bunga ingin tau sekali melihat ketangguhan lawan. Diriahului dengan bentakan nyaring beliau mempercepat permainan silatnya. Tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang sekarang dan dua jurus di muka beliau sudah berhasil mendesak lawannya.
“Terima jurus kematianmu, orang tua!” seru Pendekar Pemetik Bunga. Dan kejapan itu pula pukulannya yang menyilang asing membabat ke pinggang si orang tua. Yang diserang cepat menyingkir sewaktu melihat serangan ganas itu dan menusukkan dua jarinya ke muka, ke arah mata Pendekar Pemetik Bunga! Inilah jurus “Mencungkil Mata” yang ganas.
Pendekar Pemetik Bunga tentu saja tak mau kedua biji matanya dimakan dua jari lawan. Di lain pihak beliau juga tak mau tarik pulang pukulannya yang ganas. Karenanya dengan cepat perjaka itu miringkan tubuh ke kiri. Sekaligus gerakannya Itu mempercepat perbawa serangan tengannya ke arah pinggang lawan.
Si orang bau tanah sadar kalau bacokan jari tangannya tak bakal mancelakai lawan sebaliknya dirinya terancam ancaman besar besar, lekas- lekas menjejak panggung dan melompat ke atas. Begitu lolos dari gebukan lengan maut, si orang bau tanah laksana alap-alap menukik ke bawah dan lepaskan satu tendangan dua pukulan.
Jurus “Menembus Kabut Mengintip Rembulan” yang dilancarkan si orang bau tanah dikenal baik oleh Pendekar Pemetik Bunga. Sambil tertawa mengejek dan menyebut jurus itu, si perjaka berkelit lincah lantas kirimkan pukulan tangan kiri kanan yang mengarah empat jalan darah berbahaya dari si orang tua!
Meski masih dalam terkejut alasannya ialah lawan mengetahui jurus yang dimainkannya namun si orang bau tanah tiada ayal untuk lekas-lekas menghindar dari serangan lawan!
“Orang tua, melihat jurus Menembus Kabut Mengintip Rembulanmu tadi, ada hubungan apakah kamu dengna Rah Kuntarbelong? Lekas jawab! Apa kamu muridnya, hah?!”
Si orang bau tanah menindih rasa terkejutnya. Tak sangka kalau lawan bisa menerka nama gurunya!
Dan Pendekar Pemetik Bunga sesaat kemudian tertawa bergelak.
“Tidak menyahut berarti betul!” katanya. “Bagus sekali kalau begitu. Aku memang punya urusan yang belum diselesaikan dengan Rah Kuntarbelong!
Sebagai permulaan kurasa ada gunanya lebih dahulu bikin penyelesaian dengan muridnya!”
“Jangan banyak verbal Pendekar terkutuk!” hardik si orang tua.
''Tahu pukulan apa yang bakal kulepaskan ini?!” Pendekar Pemetik Bunga kerenyitkan kening dan memandang tajam ke muka. Si orang bau tanah dilihatnya bangkit dengan kaki merenggang. Lengan kiri lurus ke bawah, tinju mengepal sedang tangan kanan diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Lengan kanan itu kelihatan berwarna biru.
“Ah cuma pukulan Kelabang Biru…” ejek Pendekar Pemetik Bunga tapi belakang layar beliau kerahkan tiga perempat cuilan tenaga dalamnya ke ajun alasannya ialah beliau sudah pernah tahu kehebatan pukulan Kelabang Biru yang mengandung racun jahat itu yakni sewaktu berhariapan di selatan tempo hari melawan Rah Kuntarbelong. “Lekaslah keluarkan supaya kamu sendiri melihat bahwa ilmu pukulanmu itu tak lebih dari kentut belaka!”
Geraham si orang bau tanah bergemeletakan diejek demikian rupa. Seluruh tenaga dalamnya sudah terpusat di lengan dan lengan hingga ke ujung- ujung jari sudah berwarna sangat biru.
Tiba-tiba terdengarlah teriakan yang menyerupai mau merobek gendang- gendang telinga. Si orang bau tanah kelihatan menghantamkan lengan kanannya ke depan. Selarik sinar biru dengan ganas menggebu ke arah Pendekar Pentetik Bunga. Di ketika itu puia Pendekar Pemetik Bunga sudah menggerakkan tangan kanan melepaskan pukulan “Tapak Jagat” yang diandalkan dengan tiga perempat tenaga dalamnya!
Begitu dua angin pukulan bertemu terdengarlah bunyi berdentum laksana gunung meletus! Tiang-tiang panggung patah, lantai dan keseluruhan panggung ambruk! Alat bunyi-bunyian yarig ada di atas panggung berhamburan, Rana Wulung mental ke luar panggung dan roboh tak sadarkan diri sewaktu panggungnya menghantam batang sebuah pohon!
Kedua orang yang bertempur, sewaktu panggung roboh cepat mencelat meninggalkan panggung. Dan ketika mereka bangkit kembali berhariap-hariapan kelihatanlah bagaimana pucatnya paras si orang tua. Satu membuktikan bahwa ketika itu beliau menderita luka di dalam yang parah sekali. Sebaliknya Pendekar Pemetik Bunga bangkit sambil melontarkan senyum mengejek pada lawannya.
“Jika kamu masih gila untuk menempuh jalan kekerasan, jangan harap nyawamu akan tertolong!”
Si orang bau tanah tahu, bila beliau mengerahkan tenaga dalamnya untuk meneruskan pertempuran, pastilah akan mencelakai dirinya sendiri yang ketika itu sudah terluka parah dibagian dalam. Tapi untuk mengalah atau meninggalkan daerah itu ialah bertentangan sekali dengan hati dan jiwa satrianya! Dicobanya mempertenang diri dan mengatur jalan nafas serta fatwa darah. Tapi beliau tak berhasil. Nafas dan fatwa darahnya sudah tak karuan lagi!
“Budak, keluarkan kamu punya senjata!” hardik si orang tua.
“Ah, kalau kamu mau keluarkan senjata silahkan, tak usah memancing segala!” sahut si perjaka dengan tertawa bergelak. Mendengar ini si orang bau tanah tak sungkan-sungkan lagi untuk menanggalkan sabuk hitam yang ditaburi mutiara dari Pinggangnya.
“Lusinan tokoh-tokoh jahat sudah mampus dimakan sabuk mutiana ini, budak terkutuk! Kini kamu ialah korban selanjutnya!”
''Tak usah bicara panjang lebar! Lekas majuiah!” hardik si perjaka dan dalam hati beliau berpikir-pikir hingga di mana, kehebatan sabuk mutiara itu.
Si orang bau tanah menggeru. Dia maju dua langkah. Sabuk itu dipegangnya di tangan kiri. Nyatalah beliau seorang kidal. Dia menggeru lagi untuk kedua kalinya. Dan pada kali yang ketiga sambil melompat ke muka si orang iua sapukan sabuk mutiaranya.
Kedahsyatan sabuk mutiara itu sangat mengejutkan Pendekar Pemetik Bunga! Tubuhnya laksana dilanda bertubi-tubi oleh ombak sebesar gunung. Dengan kerahkan tenaga dalam dan andalkan ilmu mengentengi tubuhnya yang tinggi beliau berhasil mengelak sebat.
Namun tak urung akhimya beliau kena di desak.
“Setan alas!” maki perjaka itu. Untung saja lawannya sudah terluka di dakam yang teramat parah sehingga gerakan-gerakannya agak lamban.
Melihat bahwa lawannya agak jerih dan terdesak, si orang bau tanah mempercepat gerakannya. Tiba-tiba Pendekar Pemetik Bunga membungkuk dan kemudian bangkit lagi dengan memegang tepi jubah hitamnya. Sekali beliau mengebutkan tepi jubah hitam itu, hawa yang sangat pengap menyambar dahsyat memapaki angin pukulan yang keluar dari sabuk mutiara si orang tua! Si orang bau tanah merasa kepengapan menyambar hidungnya. Nafasnya yang memang sudah tidak normal sekarang menjadi tambah tak teratur. Ternyata sabuk mutiara yang sangat diandalkannya tiada sanggup menghariapi kehebatan jubah hitam lawan! Semakin usang tubuhnya semakin lemah, dadanya sesak dan pemandangannya mengabur!
“Pemuda keparat, lihat ini!” seru si orang tua. Tangan kananya lenyap ke dalam saku baju dan ketika ke luar lagi maka selusin senjata rahasia yang menyilaukan menyambar ke arah si pemuda.
Pendekar Pemetik Bunga tarik jubahnya ke atas tinggi-tinggi kemudian mengebutkannya ke bawah dengan cepat. Angin pengap yang dahsyat menyambar. Lima senjata rahasia lawan berpelantingan. Tujuh lainnya di sapu dan membalik menyerang pemiliknya sendiri! Malangnya si orang bau tanah tak menyangka dan tak sempat mengelak, Tubuhnya tak ampun lagi ditembusi ke tujuh senjata rahasia miliknya sendiri! Orang bau tanah itu mengeluarkan pekikan yang menyayat hati! Tubuhnya ter- gelimpang di tanah. Dia mati dengan mata membeliak! Mati dengan sabuk mutiara masih di tangannya.
Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh. Betapa menjijikkan dan mengerikan. Dia melangkah ke hariapan mayit si orang bau tanah dan membungkuk, Sabuk mutiara direnggutkannya dari tangan kiri mayit kemudian dipakainya di pinggang.
Dibalikkannya badannya. Matanya memandang sekilas pada Ning Leswani yang bangkit dengan tubuh gemeter dan muka pucat pasi. Kemudian beliau memandang berkeliling. Dan serunya . “Siapa lagi yang inginkan mampus silahkan maju dengan cepat.”
Tak satu orangpun yang bergerak dari tempatnya. Sambil tertawa panjang Pendekar Pemetik Bunga melangkah mendekat Ning Leswani. Si gadis cepat menyurut mundur. “Gadis manis, kamu tak perlu takut padaku! Kau harus tahu, kunyuk yang berjulukan Rana Wulung itu tidak pantas jadi suamimu. Lebih pantas bila kamu ikut aku...”
“Manusia biadab! Pergi...!” teriak Ning Leswani. Pendekar Pemetik Bunga menyeringai. Dia maju melangkah. Ibu Ning Leswani yang coba menghalanginya sambil berteriak-teriak dengan sekali tepis saja tersungkur ke tanah.
“Pergi!” teriak Ning Leswani lagi.
“Ya, kita pergi sama-sama manisku!” sahut Pendekar Pemetik Bunga dengan mata yang memancarkan nafsu menggelora. Diulurkannya tangannya untuk meraih pinggang gadis itu. Justru pada ketika itulah terdengar bentakan yang sangat nyaring.
“Pendekar terkutuk! Tarik tanganmu...!”
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel