Wiro Sableng: Episode Jagoan Terkutuk Pemetik Bunga 1

 Episode Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga  Wiro Sableng: Episode Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga 1
Sampai menjelang tengah malam pesta perkawinan puteri Ki Lurah Rantas Madan dengan putera Ki Lurah Jambar Wulung masih kelihatan meriah. Tamu-tamu duduk di dingklik masing-masing sambil menikmati hidangan dan minuman yang diantar para pelayan serta sambil menikmati permainan gamelan dan bunyi pesinden Nit Upit Warda yang lembut mengalun membawakan tembang “Kembang Kacang.”
Kedua mempelai yang berbahagia yaitu Ning Leswani dan Rana Wulung kelihatan duduk diantara para tamu dibarisan dingklik paling depan, sempurna dimuka panggung. Ki Lurah Rantas Madan duduk di samping Rana Wulung bersama istrinya sedang Ki Lurah Jambar Wulung di sebelah Ning Leswani juga bersama istrinya.
Karena masing-masing mempelai yang kawin yakni belum dewasa lurah dari dua desa yang berdekatan maka dengan sendirinya suasana perkawinan meriah dan besar-besaran. Malam itu yakni malam pesta perkawinan yang pertama dan besok lusa akan dilanjutkan dengan pesta perkawinan yang kedua dan ketiga.
Pada menjelang dinihari di mana udara dinginnya mencucuk tulang- tulang hingga ke sungsum, tamu-tamu sudah banyak yang pulang.
Beberapa orang yang masih disana sudah mengantuk bahkan banyak yang tertidur seenaknya di kursi. Para pemain gamelan di bawah pimpinan Ageng Comal tak ketinggalan ketularan kantuk sehingga Ageng Comal menghentikan permainan hingga di situ.
Ki Lurah Rantas Madan dan Ki Lurah Jambar Wulung bersama istri masing-masing berdiri dari dingklik mereka dan disertai beberapa orang lainnya kemudian melangkah mengiringi kedua penganten masuk ke dalam rumah besar yang tentunya terus ke dalam kamar!
Namun, belum lagi rombongan ini mencapai tangga langkan rumah, dari atas atap mendadak berkelebat satu sosok tubuh manusia, melompat ke atas panggung! Kedua kakinya menjejak taron (salah satu alat bunyi- bunyian dalam permainan gamelan) sedang kedua tangan berkacak pinggang.
Jarak atap rumah dan lantai panggung demikian tingginya tapi insan tadi melompat ke atas taron tanpa menjadikan bunyi sedikitpun. Bahkan taron itu sama sekali tidak bergerak ataupun bergeser! Orang ini masih muda belia, berbadan agak kurus dan tinggi. Rambutnya gondrong hingga ke bahu. Pada parasnya yang gagah itu terbayang sifat buas, apalagi jikalau diperhatikan sepasang bola matanya hal itu akan lebih kentara lagi.
Pemuda ini mengenakan jubah hitam yang sangat panjang sehingga menjela-jela di atas taron dan lantai panggung. Jubah hitam ini disulam dengan bunga besar-besar berwarna kuning. Pada belakang kain epilog kepalanya tertancap sebuah bunga kertas yang juga berwarna kuning.
Melihat alat bunyi-bunyian diinjak seenaknya demikian rupa oleh seorang perjaka tak dikenal, tentu saja Ageng Comal menjadi murka sekali. Pemimpin kesenian gamelan ini maju melangkah sambil membentak.
“Pemuda kurang ajar! Turun dari taron itu sebelum kupatahkan batang lehermu!”
Seringai menggurat di wajah si pemuda. Dari mulutnya meledak bunyi tertawa yang menggetarkan dan menggidikkan serta menciptakan liang indera pendengaran ibarat ditusuk-tusuk!
Suara tertawa itu, yang didahului oleh bunyi bentakan Ageng Comal tadi dengan serta merta menciptakan semua orang berpaling. Tamu-tamu yang duduk terhenyak tidur di dingklik terbangun oleh kedahsyatan tertawa si jubah hitam dan semua mata ditujukan adanya.
Beberapa orang yang mengenali ciri-ciri perjaka di atas taron itu berseru kaget. “Pendekar Pemetik Bunga!”
Maka suasana itupun mendadak sontak menjadi gempar penuh ketegangan. Yang mempunyai senjata segera menggerakkan tangan bersiap sedia menjaga segala kemungkinan.
Ki Rantas Madan berbisik pada menantunya, “Rana, bawa istrimu ke dalam, cepat!”
Sedang Ki Lurah Jambar Wulung berbisik pula pada istrinya, “Wiri, cepat masuk ke dalam. Bawa besanmu serta…”
Rana Wulung yang memang pernah mendengar dan mengetahui siapa adanya insan bergelar “Pendekar Pemetik Bunga” itu segera memegang lengan istrinya kemudian membimbing Ning Leswani. Istri Ki Lurah Jambar Wulung serta besannya mengikuti di belakang mereka.
Namun gres saja mereka bergerak satu langkah, perjaka jubah hitam di atas taron membentak garang.
“Siapa berani meninggalkan daerah ini berarti mampus!” Semua yang melangkah jadi berhenti.
Ki Lurah Jambar Wulung hendak melangkah kea rah panggung, besannya – Rantas Madan – memegang lengannya dan berbisik, “Jangan tempuh jalan kekerasan, Ki Lurah Jambar. Manusia ini tinggi ilmunya dan berbahaya. Biar saya yang bicara…”
Habis berkata demikian Ki Lurah Rantas Madan maju ke depan panggung. Dia menegur dengan nada seramah mungkin.
“Pendekar Pemetik Bunga, kedatanganmu sungguh tak kami duga. Kalau kamu ke sini hendak menunjukkan restu ucapan selamat keada puteri dan menantuku, sebelumnya saya haturkan terima kasih.”
“Ah..,” Pendekar Pemetik Bunga rangkapkan tangan di muka dada kemudian tertawa bergelak-gelak. Matanya yang menyipit hampir terpejam sebab tertawa itu. Dan dalam tertawa itu sesungguhnya kedua matanya memandang tajam kepada Ning Leswani yang manis jelita. Disekanya ujung bibirnya dengan telapak tangan.
“Orang tua, kamu sedikit lebih ramah dari besanmu,” kata Pendekar Pemetik Bunga pula.”Tapi ketahuilah, saya tiba ke sini bukan buat kasih ucapan selamat tapi sebaliknya.”
Pendekar Pemetik Bunga untuk kesekian kalinya tertawa lagi gelak- gelak. “Aku tiba untuk menjemput puterimu, Ki Lurah,” katanya. “Dia sudah ditakdirkan menjadi milikku!”
Berubahlah air muka orang banyak terutama Rantas Madan, Jambar Wulung, Rana Wulung dan Ning Leswani. Suasana sehening dipekuburan. Tegang mencekam.
Ki Lurah Jambar Wulung tak sanggup lagi menahan hati dan luapan amarahnya.
“Setan alas! Lekas angkat kaki dari sini kalau tidak ingin kupecahkan batok kepala sintingmu itu!”
Pendekar Pemetik Bunga mendengus.
“Mulutmu keliwat besar, Ki Lurah. Kau andalkan ilmu apakah?!” hardik Pendekar Pemetik Bunga.
Sebagai jawaban, Jambar Wulung melompat ke atas panggung. Laki- laki ini tidak mempunyai ilmu kesaktian dan tak pernah menuntut ilmu kebathinan. Namun dalam ilmu silat luar ia sudah menjajakinya hingga tingkat teratas. Karenanya tidak mengherankan gerakannya melompat ke atas panggung tadi gesit dan enteng. Namun Pendekar Pemetik Bunga menyaksikan gerakan itu dengan perilaku sinis dan air muka mengejek.
Matanya yang tajam dan pengalamannya yang dalam sekilas saja sudah melihat dan mengetahui bahwa Ki Lurah Jambar Wulung hanya mempunyai ilmu silat luar, tak mempunyai isi apa-apa!
Di lain pihak, begitu kedua kakinya menginjak lantai panggung, begitu Jambar Wulung berkelebat mengirimkan serangan. Meski ilmu silatnya ilmu silat yang tak mempunyai tenaga dalam, namun serangan yang dilancarkannya menjadikan angin deras.
“Huh, segala silat picisan. hendak diandalkan!” ejek Pendekar Pemetik Bunga. “Makan sikutku ini, Ki Lurah!” Manusia ini kelihatan menggeserkan kaki kirinya sedikit dan tahu-tahu terdengar suara, “ngek!”
Suara itu keluar dari verbal Jambar Wulung. Tubuh Ki Lurah ini terpelanting menabrak gong besar di sudut panggung sebelah kanan, terus jatuh ke bawah panggung bersama alat bunyi-bunyian itu dengan menjadikan bunyi hiruk pikuk.
Begitu terhampar di tanah Jambar Wulung tak bangkit lagi alias pingsan. Dua tulang iganya telah hancur remuk di makan sikut Pendekar Pemetik Bunga!
Melihat ayahnya dibentuk demikian rupa, naiklah darah Rana Wulung. Tapi sebelum ia bergerak, mertuanya – Ki Lurah Tantas Madan – cepat memegang bahunya. Orang bau tanah ini segera mendahului hendak melompat ke panggung tapi di atas panggung dilihatnya Ageng Comal sudah berhadap- hadapan dengan Pendekar Pemetik Bunga!
“Pemuda keparat! Biang racun pengacau! Jaga kepalamu!”
Ageng Comal dengan mempergunakan pukulan gong menyerbu ke muka. Pemuda yang diserang rundukkan kepala. Begitu pukulan gong berdesing di atasnya, cepat sekali tangan kirinya meluncur ke muka. Ageng Comal yang juga pernah mendalami ilmu silat melihat serangannya lewat serta menyaksikan serangan akibat lawan dengan sigap memiringkan tubuh ke kiri. Serentak dengan itu lutut kanannya dilipat menyongsong pukulan lawan!
Secara ilmu luar, memang walau bagaimanapun kepalan tak akan menang melawan lutut. Dan yakni sangat berbahaya bagi seorang yang menyerang dengan tinju bila ia meneruskan niatnya menyerang lutut yang keras dengan tinjunya! Namun Pendekar Pemetik Bunga sama sekali tidak menarik pulang serangannya!
“Ageng Comal!! Lekas tarik tanganmu!” teriak seorang dibawah panggung berteriak memberi peringatan.
Tapi, “Braak!”
Kasip sudah!
Pemimpin kesenian gamelan itu menjerit. Tubuhnya terguling pingsan di lantai panggung. Tulang tempurung lututnya hancur, kakinya sendiri teruntai-untai hampir putus!
Semua mata melotot. Semua muka pucat den semua verbal melongo!
Bagaimanakah tidak! Pemuda jubah hitam di atas panggung itu merobohkan lawannya tanpa bergeser satu langkahpun!
Di lain kejap seorang lain telah melompat pula ke atas panggung. Orang itu yakni Rantas Madan yang sudah semenjak tadi tak sanggup lagi menahan hati panasnya.
Pendekar Pemetik Bunga lontarkan pandangan mengejek pada orang bau tanah itu.
“Kau juga mau cari penyakit hah?!” hardiknya.
“Selagi masih ada waktu berlututlah minta ampun! Hukumanmu niscaya kuperingan!,” kata Rantas Madan. Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh.
“Jangan ngaco, orang tua! Kalau mau konyol marilah!” Tentu saja ditantang demikian rupa menciptakan Ki Lurah Rantas Madan semakin berkobar kemarahannya. Tanpa menunggu lebih usang pria ini yang pernah menuntut ilmu kesaktian di Gunung Simping menerkam ke muka.
Dalam jarak satu meter saja serangannya sudah menjadikan angin ber- siuran yang tajam dan menerpa ke arah Pendekar Pemetik Bunga.
Yang diserang maklum bahwa lawannya yang seorang ini berbeda dengan dua orang yang terdahulu. Tanpa menghentikan tertawanya tadi, Pendekar Pemetik Bunga lantas mengangkat dan melambaikan tangan kirinya ke muka. Setiup angin keras yang menggetarkan panggung bersuit memapas tubuh Ki Lurah Rantas Madan. Serangannya dengan serta merta buyar dan tubuhnya sendiri kemudian terangkat ke udara setinggi lima tombak, hampir menyundul atap panggung!
Dengan cekatan Ki I.urah Rantas Madan jungkir balik di udara kemudian dengan gerakan kilat menukik dan menghantamkan tangan kanannya ke arah lawan! inilah jurus “Walet Menukik Lembah!” Pemuda bertempang gagah tapi buas agresif itu terkejut sekali sewaktu mencicipi angin panas menyerang kepalanya! Cepat-cepat ia rundukkan tubuh sebatas pinggang dan balas mengirimkan pukulan jarak jauh dengan tangan kanan.
Ki Lurah Rantas Madan terdengar menjerit. Tubuhnya mental ke atas, melabrak dan membobolkan atap panggung, lenyap dari pemandangan untuk kemudian terdengar gedebuk tubuhnya sembilan tombak di tanah di belakang panggung! Waktu jatuh kepalanya lebih dahulu, tulang lehernya patah! Nyawanya lepas. Ning Leswani dan beberapa wanita yang ada di sana menjerit! Bersama ibunya temanten wanita itu hendak lari memburu ayahnya namun Rana Wulung den seorang lainnya, menahan mereka.
Rana Wulung seorang perjaka cendekia yang tak kenal satu jurus ilmu silatpun! Namun menyaksikan final hidup ayah serta mertuanya itu gelaplah pemandangannya! Keris suplemen penganten yang tersisip di pinggang segera dicabut. Ketika melompat ke atas panggung kaki kanannya hampir terserandung!
“Ho-ho! Temanten juga mau ikut-ikutan minta digebuk?!” teriak Pendekar Pemetik Bunga.
“Kubunuh kamu keparat!” hardik Rana Wulung menggeledek. Keris di tangan kanannya ditusukkan sekeras-keras dan secepat-cepatnya ke dada Pendekar Pemetik Bunga.
“Budak tolol!” maki Pendekar Pemetik Bunga.
Sekali perjaka jubah hitam itu gerakkan tangannya maka keris yang dipegang Rana Wulung sudah kena dirampas, dijepit di antara jari tengah dan jari telunjuk tangan kanannya!
Suara tertawa Pendekar Pemetik Bunga kernudian terdengar mengumandang diseantero panggung. Kemarahan dan sakit hati Rana Wulung tiada terperikan. Dengan kedua tinju terpentang ia menyerbu ke muka.
“Edan betul!” hardik Pendekar Pemetik Bunga. “Masih tak melihat tingginya gunung dalamnya lautan!” Dan insan ini segera menyongsong serangan Rana Wulung dengan tendangan maut yang mengarah lambung!
Kalau saja Rana Wulung seorang yang mengetahui sedikit ilmu silat, dalam posisinya ibarat ketika itu sesungguhnya ia masih sanggup dan punya kesempatan untuk mengelak atau berkelit atau sekaligus melompat cepat ke samping. Tapi sayang, perjaka ini tidak tahu apa-apa ihwal persilatan dan kaki maut Pendekar Pemetik Bunga sementara itu semakin erat menyambarnya ke perut si pemuda.
Setengah kejapan lagi niscaya robeklah perut Rana Wulung. Ning Leswani menjerit. Ibu Rana Wulung juga menjerit untuk kemudian jatuh pingsan sebelum sanggup menyaksikan apa yang bakal dialami anaknya!
Beberapa orang mengeluarkan permintaan tertahan. Agaknya tak satupun yang bisa berbuat apa-apa! Agaknya sudah nasib Rana Wulung bakal menemui kematiannya pada hari pernilahannya itu!
Tapi....
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel