Wiro Sableng: Episode Jagoan Terkutuk Pemetik Bunga 3

 Episode Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga  Wiro Sableng: Episode Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga 3
Sebelumnya...
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga hentikan gerakan tangannya yang hendak menjamah tubuh Ning Leswani. Kepalanya di putar. Sepasang matanya membentur sosok tubuh seorang pria renta berbadan bungkuk, berambut dan berjanggut putih. Orang renta yang berselempang kain putih ini bangkit dengan sebatang tongkat bambu kuning di tangan kanan.
“Siapa kau?” hardik Pendekar Pemetik Bunga.
Yang ditanya menyeringai dan ketuk-ketukkan tongkat bambu kuningnya ke tanah. Ketukan ini menciptakan semua orang merasa bagaimana tanah yang mereka pijak menjadi bergetar. Bambu kuning di tangan si orang renta pastiiah satu senjata yang sangat hebat. Dan orang- orang yang masih ada di situ, yang membenci terhariap Pendekar Pemetik Bunga merasa punya impian kembali atas kemunculan si orang renta berselempangan kain putih ini.
“Lekas jawab!” hardik Pendekar Pemetik Bunga. “Kalau tidak kau akan mati percuma!”
Si janggut putih ketuk-ketukkan lagi tongkat bambu kuningnya ke arah tanah. Matanya yang kecil memandang tajam pada si cowok jubah hitam.
“Ratusan hari turun gunung, puluhan ahad mengarungi lembah dan bukit, berbulan-bulan menyeberangi sungai memasuki hutan belantara akhimya kau kutemui juga. Heh... he... he... he... he ...!”
“Kau masih belum mau beri tahu siapa namamu, orang tua? Jangan menyesal!”
“Namaku tidak penting, insan bejat. Yang penting ialah apa kau masih ingat kebiadaban yang kau lakukan di desa Srintil beberapa bulan yang silam...?”
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga kerutkan kening. Sepasang alis matanya menaik.
“Sembilan pria tak berdosa kau bunuh. Dua diantaranya yakni muridku. Empat orang wanita di desa itu kau bawa kabur, kau perkosa kemudian kau bunuh! Kau lupa itu semua...?!”
“Hem....” Pendekar Pemetik Bunga manggut-manggut beberapa kali. “Tidak, saya tidak lupa,” katanya dengan terus terang.
“Bagus sekali bila kau tidak lupa!” ujar si orang tua. Dan bambu di tangan kanannya di ketuk-ketukkannya lagi. Tanah kembali bergetar. “Orang-orang desa telah tiba kepadaku mengadukan kebiadabanmu itu....”
“Berapa uang suap yang diberikan orang-orang desa padamu untuk mencariku orang tua?!” ejek Pendekar Pemetik Bunga. Wajah si orang renta kelihatan menjadi merah. Dia tertawa dingin.
“Sekalipun mereka tidak tiba ke puncak gunung Bromo, memang sudah semenjak usang saya berniat turun tangan membekuk batang lehermu…!”
Pendekar Pemetik Bunga tertawa gelak-gelak, “Oh jadi kau yakni Datuk Bambu Kuning dari gunung Bromo?!”
Si orang renta sekarang balas tertawa panjang-panjang sambil tangan kirinya mengusap-usap janggut putihnya yang panjang menjela hingga ke dada.
“Kalau sudah tahu siapa aku, mengapa tidak lekas-lekas bertobat dan bunuh diri? Atau masih perlu saya memecahkan kepalamu dengan bambu kuning ini?!”
“Kentut!” maki Pendekar Pemetik Bunga dengan muka membesi penuh marah.
“Kalau saya kentut, kau tahinya!” kata Datuk Bambu Kuning pula dan tertawa lagi panjang-panjang menyerupai tadi.
Naiklah darah Pendekar Pemetik Bunga.
“Manusia tolol yang tidak tahu gunung Semeru bangkit di muka hidung, terima kematianmu dalam tiga jurus!” teriak Pendekar Pemetik Bunga sambil menyerbu dengan sabuk mutiara milik korbannya tadi.
Datuk Bambu Kuning terkejut melihat sabuk itu. “Eh, itu yakni senjata Kidal Boga, murid Rah Kuntarbelong. Dari mana kau dapat, insan bejat?!”
“Tanya pada setan di neraka nanti!” sahut Pendekar Pemetik Bunga seraya sabetkan sabuk mutiara ke arah lawan. Angin laksana gunung gelombang menerpa Datuk Bambu Kuning.
Datuk Bambu Kuning cepat menghindar. “Rupanya kau bukan saja insan bejat tukang bunuh dan tukang perkosa tapi juga pencuri kesiangan huh!” Datuk Bambu Kuning kiblatkan tongkat bambu kuningnya. Serangkum angin yang bukan main dahsyatnya menyambar dan menahan serangan angin sabuk. Debu dan pasir beterbangan jawaban angin kedua senjata sakti itu!
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga tak kurang kejutnya ketika mencicipi serangan sabuknya menjadi tak berarti sewaktu tongkat bambu kuning di tangan lawan menyambuti gempurannya itu! Dengan serta merta cowok ini percepat gerakannya. Dalam sekejap Datuk Bambu Kuning terbungkus oleh serangan sabuk mutiara.
Namun sekali si orang renta memekik keras dan sekali ia putar tongkat bambunya dalam jurus yang aneh maka keluarlah ia dari kurungan serangan senjata lawan! Kini gempuran tongkat bambu itulah yang membungkus tubuh Pendekar Pemetik Bunga!
Si cowok tiada habisnya menggerutu dan memaki dalam hati sewaktu mendapat dirinya terdesak jago oleh gempuran lawan. Apalagi sewaktu jurus kedua berakhir dan sewaktu Datuk Bambu Kuning tertawa mengejek dan berkata. “Jurus ketiga ini yakni jurus kematianmu, insan bejat! Bukan jurus kematianku!” Dan permainan tongkat bambu kuningnya semakin dipercepat dan semakin dahsyat. Sinar kuning bergulung-gulung menyelimuti tubuh si pemuda!
“Setan ganjal keparat!” maki Pendekar Pemetik Bunga. Dengan gerakan yang sulit sekali ia membungkuk. Sabuk mutiara diputar sebat melindungi tubuh sedang tangan kiri diulurkan untuk menjangkau tepi jubah hitamnya. Dengan dua senjata di tangan yaitu tepi jubah di tangan kiri dan sabuk mutiara di tangan kanan, Pendekar Pemetik Bunga bangkit kembali menghadapi lawannya. Sabuk mutiara mengeluarkan gelombang angin yang laksana gunung besarnya sedang tepi jubah hitam menghamburkan angin pengap yang sanggup menyesakkan jalan pernafasan yang menyendat tenggorokan serta liang hidung!
Dalam jurus ketiga itu kelihatanlah bagaimana gempuran Datuk Bambu Kuning menjadi lamban. Orang renta itu berteriak keras dan kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Namun sia-sia saja. Dirasakannya dadanya menjadi sesak, lobang-lobang hidungnya laksana tersumbat.
Sukar baginya untuk bernafas! Menanggapi hal ini si orang renta segera atur jalan darah dan tutup pemafasannya. Tubuhnya lenyap sewaktu din mempercepat gerakannya!
Namun kedahsyatan angin pengap yang menderu dari tepi jubah memang tidak kepalang tanggung. Sebentar saja serangan-serangan bambu kuning lawan sudah dibendungnya. Gerakan Datuk Bambu Kuning kembali menjadi lamban sewaktu orang renta itu tidak sanggup mempertahankan lagi menutup jalan nafasnya terus-terusan sedang sementara itu pertempuran sudah berjalan lima jurus!
Pendekar Pemetik Bunga kembali keluarkan bunyi tertawa sewaktu ia tahu bahwa dirinya telah berada di atas angin. “Ha…ha...! Kau disuruh turun gunung oleh penduduk desa hanya untuk mencari janjkematian saja Datuk Bambu Kuning!”
“Pendekar terkutuk jangan terlalu besar harapan!” kertak Datuk Bambu Kuning. Diam-diam tiga perempat dari tenaga dalamnya dikerahkan ke dada.
Tiba-tiba, “Bluuss!”
Selarik asap kuning menyembur dari lisan si orang tua! Pendekar Pemetik Bunga terkejut bukan main dan cepat tutup jalan nafasnya. Keterkejutan dan dikala menutup jalan nafas tadi menciptakan gerakannya mengendur. Sewaktu din menghindar ke samping sambil babatkan sabuk mutiaranya memapasi semburan asap kuning, bambu di tangan kanan lawan tiba menderu!
Si cowok kebutkan tepi jubahnya. Celaka! Asap kuning itu tak sanggup dibikin buyar oleh angin pengap tepi jubah hitamnya! Pendekar Pemetik Bunga menjerit setinggi langit. Tubuhnya lenyap dan sesaat kemudian ia berhasil ke luar dari serangan lawan yang bukan kepalang dahsyatnya tadi. Sewaktu bangkit mengatur jalan darah dan nafasnya kembali, belakang layar cowok ini keluarkan keringat hambar juga!
“Kau kira kau sanggup lari dari sini, insan bejat?!” hardik Datuk Bambu Kuning. Mulutnya membuka dan asap kuning rnenyembur lagi kemuka lawan. Pendekar Pemetik Bunga kembali tutup jalan nafasnya dan melompat ke samping. Serangan kebutan tepi jubah dan sambaran sabuk mutiara dilakukannya berbarengan sekaligus ke arah lawan. Si orang renta melompat tiga tombak ke atas dan sewaktu turun kembali menyemburkan asap kunign dari mulutnya! Pendekar Pemetik Bunga menjadi kewalahan kini. Kewalahan dan merutuk! Di samping itu tak habis heran kesaktian apakah yang dikandung oleh asap kuning yang keluar dari lisan lawannya sehingga angin pengap jubah hitam dan angin sabuk mutiara tiada sanggup membuyarkannya!
Tiba-tiba cowok itu menggereng macam harimau. Tubuhnya melesat kemuka. Angin pengap menyerang ketenggorokan Datuk Bambu Kuning sedang sabuk mutiara menerpa dari atas ke bawah!
Si orang renta ganda tertawa menghardapi serangan ini Bambu kuningnya diputar-putar, tiba-tiba dikiblatkan demikian rupa “Sreet!”
Sabuk mutiara di tangan kanan Pendekar Pemetik Bunga kena disambar den terlepas mental dari tangan cowok itu! Si cowok sendiri dengan jungkir balik susah payah gres berhasil ke luar dari sambaran tongkat bambu serta semburan asap kuning yang dilepaskan lawan!
Matanya membeliak, mulutnya kornat kamit. Mukanya mengelam sewaktu si orang renta melangkah perlahan mendekatinya dengan tertawa sedingin salju!
“Nyawa anjingmu hanya tinggal beberapa detik saja, cowok terkutuk!” kata Datuk Bambu Kuning. “Sejak hari ini dunia persilatan akan higienis dari noda kekotoran insan macam kau!”
“Aku masih belum mengalah keparat!” hardik Pendekar Pemetik Bunga. Mulutnya masih komat-kamit. Matanya dengan waspada memperhatikan setiap gerak yang dibentuk Datuk Bambu Kuning.
“Aku memang tak suruh kau menyerah, “ sahut Datuk Bambu Kuning dengan tertawa sedingin tadi. “Aku cuma perlu nyawa anjingmu!”
“Soal nyawa soal mudah,” tukas Pendekar Terkutuk Pemetik Btmga. Diam-diam ia salurkan seluruh tenaga dalamnya ke ujung jari telunjuknya.
Sesaat kemudian ujung jari itu menjadi hitam legam dan mengeluarkan sinar menggidikkan. “Orang renta edan, kau lihat jari ini?! “
Datuk Bambu Kuning memandang dengan kerenyit kulit kening pada jari telunjuk tangan kanan Pendekar Pemetik Bunga. Darahnya tersirap, mukanya berubah.
Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh. “Kenapa mukamu menjadi pucat, kunyuk tua?!”
Datuk Bambu Kuning tidak menyahut. Mukanya bertambah pucat dan matanya melotot memandang tajam-tajam pada jari telunjuk si pemuda. Ketika jari telunjuk itu dan ibu jari si cowok menciptakan lingkaran. Datuk Bambu Kuning berseru kaget. “Ilmu Jari Penghancur Sukma!” Dengan serta merta Datuk Bambu Kuning bagi dua fatwa tenaga dalamnya. Sebagian ke ujung tongkat bambu den sebagian lagi ke dada!
“Makan jariku ini, Datuk keparat!” seru Pendekar Pemetik Bunga. Dikejap itu juga ia menjentikkan jari telunjuknya. Satu gelombang angin hitam menderu laksana angin puting-beliung prahara, menyereng ke arah Datuk Bambu Kuning. Di dikala yang sama Datuk Bambu Kuning sapukan tongkat di tangan kanan dan semburkan asap kuning!
Datuk Bambu Kuning berteriak kaget ketika melihat angin pukulan bambu kuning dan sambaran asap kuningnya buyar berserakan dilanda angin hitam lawan. Dan angin hitam yang menggidikkan ini terus melesat ke arahnya. Datuk Bambu Kuning cepat menyingkir tapi kasip!
Orang renta itu mencelat beberapa tombak jauhnya ketika angina hitam menyambar tubuhnya. Dan terdengarlah jeritnya melengking langit! Datuk Bambu Kuning terguling-guling di tanah. Sekujur tubuhnya hitam hangus! Nyawanya tidak ketolongan lagi, putus kejap itu juga!
Pendeker Pemetik Bunga mengatur jalan nafas dan fatwa darahnya kembali. Sewaktu ia menggerakkan kakinya gres disadariya bahwa kedua kakinya itu telah karam ke dalam tanah sedalam lima senti! Bila cowok ini melangkah mendekati Ning Leswani, kembali terdengar makian gadis itu.
Makian yang kemudian disusul dengan jeritan. Tak ada satu orangpun yang berani menghalangi dan berbuat suatu apa ketika Ning Leswani dipanggul oleh Pendekar Pemetik Bunga dan dilarikan!
Sampai pagi, hingga ketika matahari muncul di utuk timur desa masih diselimuti oleh kehebohan atas apa yang telah terjadi! Ki Lurah Rantas Madan den Rana Wulung bersama kira-kira selusin penduduk, dengan membawa banyak sekali senjata dan menunggangi kuda coba mencari jejak Pendekar Pemetik Bunga. Namun ke mana insan cecunguk itu hendak dicari?! Menjelang tengah hari, mereka sudah berbisik-bisik sesama mereka bahwa tak mungkin mereka akan menemui Ning Leswani. Kalaupun bertemu, tentu gadis itu sudah rusak kehor- matannya! Dan seandainya pula mereka berhasil menyergap Pendekar Pemetik Bunga, belum tentu mereka sebanyak itu sanggup membekuk batang lehernya!
Rantas Madan tahu suasana yang dirasakan anggota-anggota rombongannya. Dia berunding dengan Rana Wulung dan balasannya diambil keputusan untuk pulang saja.
Terik matahari memperabukan kulit di siang itu. Rana Wulung dengan muka pucat menunggangi kudanya di samping Rantas Madan. Hati cowok ini hancur sudah! Dendam kesumatnya terhadap Pendekar Pemetik Bunga tak akan pupus selama hidupnya!
Ketika rombongan melalui lereng sebuah bukit dalam perjalanan pulang itu, ada sesuatu yang menarik perhatian Rana Wulung. Dia berpaling pada Rantas Madan.
“Bapak, kau lihat burung-burung gagak yang beterbangan di puncak bukit itu.”
Ki Lurah Rantas Madan terkejut kemudian memandang ke puncak bukit di atasnya. Beberapa burung gagak hitam dilihatnya terbang berputar- putar naik turun di atas puncak sana. Berdebar hati pria ini. Lalu dihentikannya rombongan.
“Kita ke sana!” mengambil keputusan Rantas Madan. Masing- masing kemudian memacu kuda mereka ke puncak bukit. Rana Wulung di depan sekali. Di puncak bukit cowok ini menghentikan kudanya dan meneliti ke mana turunnya burung-burung gagak tadi. Diikuti oleh anggota-anggota rombongan yang lain Rana Wulung bergerak ke arah serumpunan semak belukar lebat. Waktu ia mencapai semak itu, empat ekor burung gagak terbang ke udara.
Rana Wulung melompat dari kudanya dan lari ke balik semak belukar lebat.
“Tuhanku!” seru cowok itu. Lututnya goyah. Matanya membeliak. Tiba-tiba laksana orang kalap ia melompat ke muka sambil berseru nyaring . “Nining! Nining!”
Ning Leswani terhampar di atas rerumputan. Tak selembar benangpun yang menutupi auratnya. Tubuh yang telanjang ini sudah tiada nafas lagi dan sebagian sudah berlubang-lubang dipatuk gagak- gagak hitam pemakan bangkai! Tubuh yang malang itulah yang dipeluk Rana Wulung. Namun cuma sebentar saja. Sewaktu Rantas Madan dan rombongan lainnya hingga ke situ, Rana Wulung sudah jatuh pingsan!
Rantas Madan sendiri hampir-hampir tak berpengaruh pula menyaksikan pemandangan itu! Hampir tak sanggup melihat anak kandung yang dikasihinya menemui janjkematian dalam cara yang mengenaskan begitu rupa. Mulutnya komat kamit. Tenggorokannya turun naik.
“Anakku....” desis pria itu. Dia berlutut. Beberapa orang menarik Rana Wulung dari atas tubuh Ning Leswani. Rantas Madan cepat membuka bajunya dan menutupi aurat anaknya dengan baju itu. Air matanya berlinang. Dendam kesumat menyerupai mau memecahkan dadanya dikala itu!
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel