Wiro Sableng: Episode Jagoan Terkutuk Pemetik Bunga 7

 Episode Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga  Wiro Sableng: Episode Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga 7 
Sebelumnya...
Sejak kemarin senja hingga siang hari itu Kadipaten Kaliurang tampak sibuk sekali. Senja kemarin lima orang pembantu Bupati Sentot Sastra telah dikirim ke Kaliprogo wetan untuk menyidik kenapa Galuh Warsih hingga sesenja itu tidak kunjung muncul di Kaliurang.
Pada tengah malam kelima pembantu Bupati yang menunggangi kuda itu berhenti di satu tikungan di lamping bukit. Di bawah penerangan bintang-bintang dan bulan sabit mereka menyaksikan tebaran mayit pengawal-pengawal Bupati yang yaitu juga kawan-kawan mereka.
Semuanya mati dalam cara yang mengenaskan dan menggidikkan. Sebagian besar hancur kepalanya atau bobol dada serta perutnya. Kereta yang menjadi tumpangan anak gadis Bupati Sentot Sastra angsrok di tengah jalan sedang dua ekor kuda penarik kereta hancur keempat kaki masing-masing! Ketika seorang diantara yang lima itu meloncat turun dan mengusut kereta, ternyata kereta itu kosong.
"Aku tidak melihat Tegal Ireng!" kata salah seorang dari mereka.
"Aku juga! Di mana kusir kereta itu?"
"Mungkin ia satu-satunya yang selamat... "
Tapi ketika menyelidik ke tikungan yang menurun di sebelah sana mereka kemudian menemui mayit kusir kereta itu menggeletak menelungkup di tanah tanpa nyawa!
"Aku tak sanggup mengira apa yang bahwasanya terjadi di sini! Kalau rombongan Den Ayu Galuh Warsih dihadang perampok, mengapa kawan- mitra kita mati dalam keadaan demikian rupa? Dan kaki-kaki kuda yang hancur itu?!"
"Aku sendiri tak sanggup membayangkan apa yang terjadi dengan Den Ayu Galuh Warsih," menyahuti pembantu Bupati Kaliurang yarg lain,
"Dia diculik, itu niscaya sudah!"
"Diculik dan dirusak kehormatannya?!" menambahkan yang lain.
"Kalau begitu kita harus cari jejak-jejak si penculik!"
"Di malam buta begini bukan pekerjaan gampang mencari jejak-jejak manusia! Lagi pula siapapun manusia-manusianya yang melaksanakan perbuatan biadab ini pastilah ia arif Tinggi! Orang arif tinggi tidak terlalu ndeso untuk mau tinggalkan jejak!"
"Lantas kita bikin apa kalau sudah begini?!"
"Kembali saja ke Kaliurang dan beri keterangan pada Bupati Sentot?"
"Kalau kamu mau disemprot, kembalilah sendiri!"
Sepi beberapa lamanya. Kesepian yang menciptakan bulu kuduk kelima orang itu menggerinding, ditambah lagi dengan tiupan angin bukit di malam buta yang hambar itu.
"Sebaiknya kita teruskan saja perjalanan ke Kaliprogo wetan," mengusulkan seseorang.
Tapi tak ada seorangpun yang mendapatkan dan menyetujui usul itu. Kelimanya kemudian mencari daerah yang baik, agak jauh dari tikungan jalan, menyalakan api unggun, berkemah di situ menunggu hingga pagi.
Esok paginya, dengan sedapat-dapatnya kelima orang itu memperbaiki kereta yang rusak. Mayat kawan-kawan mereka yang berjumlah dua belas ditumpuk sebisa-bisanya di dalam dan di atas atap kereta. Dua diantara lima pembantu Bupati itu duduk di depan kereta, satu memegang kendali. Kuda keduanya digunakan sebagai kuda-kuda penarik kereta alasannya yaitu kuda-kuda milik kawan-kawan mereka yang menemui ajal itu tak seekorpun yang hidup dan ada sekitar situ!
Kedatangan kelima orang itu dengan membawa kereta yang ditumpuki dua belas mayit yang mengerikan tentu saja menggemparkan seisi Kadipaten, bahkan menggemparkan seluruh Kaliurang!
Wajah Bupati Sentot Sastra membeku mengelam. Kedua tangannya mengepal. Dia melangkah mundar mandir. Kepanikan yaan amat sangat menciptakan ia tak sanggup membuka mulut! Sebaliknya di dalam kamar istrinya terdengar menangis meraung-raung.
"Mana anakku! Mana anakku!" pekik ratap wanita itu.
"Galuh! Galuh Warsih, di mana kamu anak? Oh Galuh! Tuhan! Di mana anakku Tuhan"
Tenggorokan Bupati Sentot Sastra turun naik. Dadanya menggelora. Kematian kedua belas pengawal Kadipaten itu menciptakan kepalanya serasa mau pecah oleh luapan darah! Di samping itu yang menciptakan ia tak sanggup membisu dan ibarat mau gila ialah alasannya yaitu tidak mengetahui di mana anak gadisnya dikala itu atau apa yang telah terjadi dengan Galuh Warsih!
Melihat kepada kenyataan yang terjadi, niscaya nasib Galuh Warsih tidak lebih baik dari kedua belas anak buahnya itu! Kepada siapakah kemarahan yang meluap itu hendak dilepaskannya? Hendak dilampiaskannya?!
Laki-laki ini melangkah terus mundar mandir! Setahunya sekitar perjalanan antara Kaliurang dan Kaliprogo wetan tak ada gerombolan rampok jahat!
Lantas siapakah yang telah me lakukan kebiadaban terkutuk itu?!
Siapa yang menculik anak gadisnya? Anak tunggal satu- satunya yang menjadi kesayangan tambatan hati?!
Dan sementara itu telinganya tiada henti mendengar ratap tangis istrinya yang bukan saja menyayat hati tapi juga menciptakan darah di dalam tubuhnya semakin bergejolak mendidih!
Di langkan kadipaten itu, pada sisi-sisi tangga sebelah atas terdapat masing-masing sebuah arca Batara Wisnu yang duduk di atas seekor burung rajawali yang tengah mengembangkan sayapnya.
Mungkin alasannya yaitu luapan amarah yang tak terkendalikan dan tak tentu kepada siapa dilampiaskan, ditambah pula mendengar ratap tangis istrinya di dalam, maka sewaktu melawati arca itu untuk kesekian kalinya, tiba-tiba Bupati Sentot Sastra menghantamkan tinju kanannya!
"Braak!"
Arca Batara Wisnu hancur berkeping-keping! Itulah ilmu pukulan "Genta Kematian." Kalau arca kerikil yang keras itu sekali pukul saja sanggup dibikin hancur berkeping-keping, maka bila dipukulkan kepada insan tentulah tak sanggup dibayangkan bagaimana akibatnya!
Sementara itu, para pembantu Sentot Sastra yang bangun dilangkan Kadipaten itu masing-masing sama merasa takut dan cemas. Khawatir mereka kalau-kalau dalam amarah gelap mata ibarat itu, diri mereka pula yang bakal ketiban pulung dihantam sang Bupati!
Tiba-tiba laksana halilintar di siang hari layaknya berteriaklah Sentot Sastra. Semua pembantu-pembantunya yang berjumlah lima belas orang diperintahkannya untuk bersiapsiap.
"Kita akan ulangi lagi penyelidikan!" teriaknya.
"Kau Darjakumara, bersama enam orang lainnya menyelidik kejurusan Kaliprogo wetan den sekitarnya. Aku dan yang lain-lain ke timur! Kalian harus berhasil mencari jejak insan yang telah melaksanakan kebiadaban ini! Harus berhasil membekuk batang lehernya! Siapa yang kembali sebelum dapatkan itu insan cecunguk akan kubunuh! Sekarang siapkan kudaku!"
Seorang pernbantu Sentot Sastra segera berlalu untuk menyiapkan kuda sang Bupati sedang yang lain-lainnya segera pula meninggalkan langkan Kadipaten guna mengambil kuda masing-masing dan mempersiapkan segala sesuatu yang diharapkan dalam perjalanan mencari insan biang penimbul malapetaka itu. Mereka masing-masing menyadari bahwa pencarian itu tidak akan berhasil dalam tempo yang singkat, tapi memakan waktu berhari-hari.
Selang beberapa ketika lima belas penunggang kuda ditambah dengan Sentot Sastra sendiri sudah berkumpul di halaman Kadipaten. Mereka siap menunggu perintah dan langkah-langkah terakhir yang harus mereka lakukan.
Bupati Sentot Sastra menyapu paras kelima belas orang anak buahnya itu kemudian berkata, "Sekali lagi kalian ingat baik-baik. Kalian musti temukan bedebah itu dan seret ia hidup-hidup ke sini! Jika tak berhasil menemuinya, lebih baik tidak usah kembali! Kalian menger...."
Bupati Sentot Sastra tidak teruskan ucapannya. Sepasang matanya sekarang tidak lagi menyaputi paras pembantu-pembantunya satu demi satu melainkan dialihkan ke lereng bukit di sebelah selatan. Sentot Sastra seorang yang arif cukup tinggi sehingga meskipun jarak bukit dengan tempatnya berada dikala itu terpisah hampir dua ratus tombak namun sepasang telinganya lapat-lapat mendengar bunyi siulan absurd yang menggelombang tiada nada dalam lagu tak menentu!
Lima belas pasang mata pembantu-pembantu Sentot Sastta sama dialihkan pula ke lereng bukit di sebelah selatan itu. Dan dikejauhan kelihatanlah sesosok badan pria berlari sangat cepatnya laksana angin!
Yang anehnya ialah pada pundak kiri pria ini terpanggul sebuah peti yang melihat kepada besarnya niscaya puluhan kati beratnya! Sewaktu semua orang itu pertama kali melihat insan yang berlari cepat tersebut, jarak mereka demikian jauhnya namun dalam beberapa kejapan mata kemudian tahu-tahu si insan pemanggul peti sudah berada di halaman Kadipaten dihadapan Bupati Sentot Sastra dan pembantu-pembantunya!
Ternyata insan pemanggul peti kayu itu seorang perjaka berambut gondrong, bertampang keren dan punya pandangan mata yang tajam menyorot. Peti yang dipundaknya beratnya puluhan kati tapi ia bangun seperti peti itu sama sekali tidak ada di pundaknya!
Pemuda tak dikenal ini kemudian hentikan siulannya. Begitu siulan berhenti maka dari celah-celah papan peti yang tidak begitu rapat membuatkan amis basi yang ibarat mau meranggas bulu hidung, menciptakan nafas sesak dan mau muntah.
Lima belas pembantu Sentot Sastra yang tak tahan segera menutup hidung sedang Sentot Sastra sendiri dengan ilmunya yang sudah tinggi tutup jalan pernafasannya.
Si perjaka rambut gondrong yang tak dikenal menggaruk-garuk kepalanya beberapa kali. Sikapnya ini menciptakan Bupati Sentot Sastra kehilangan kesabarannya dan hendak mendamprat. Namun sebelum mulutnya terbuka si perjaka asing sudah buka bunyi bertanya.
"Apakah saya berhadapan dengan Bupati Kaliurang yang berjulukan Sentot Sastra?"
"Jawab dulu kamu siapa?!" sentak sentot Sastra.
"Siapa saya tidak penting," katanya.
"Aku tiba membawa peti ini untukmu."
"Peti apa?! Apa isi peti itu!"
Si perjaka menghela nafas dalam dan rawan. "Peti ini membawa isu jelek bagimu, Bupati."
"Jangan bicara berbelit-belit! Turunkan peti itu, saya mau lihat isinya!"
Si perjaka garuk lagi kepalanya yang berambut gondrong kemudian dengan perilaku hirau tak hirau turunkan peti kayu yang berat dari pundaknya.
Bersamaan dengan itu Sentot Sastra melompat dari punggung kuda. Dia maju mendekati peti. Sebelum melangkah lebih akrab ia tiba-tiba olok-olokan satu pertenyaan,
"Apakah seseorang menyuruhmu mengirimkan peti ini padaku?!"
Si perjaka tertawa absurd dan angkat bahunya.
Sentot Sastra ingin tau dan gusar sekali melihat perilaku perjaka tak dikenal ini. Dia berpaling pada anak buahnya den memerintah, "Buka peti itu!"
Yang diperintah turun dari kudanya. Dengan masih menutup hidung alasannya yaitu tak tahan dilanda amis basi yang amat sangat itu ia melangkah mendekati peti kayu kemudian dengan tangan kiri yang gemetaran dibukanya kayu epilog peti! Begitu peti terbuka amis basi yang lebih dahsyat menyambar hidung. Ketika merhandang ke dalam peti kayu itu semua orang mengeluarkan ajakan tertahan dan mata masing-masing me- lotot besar laksana mau berlompatan dari rongganya!
Di dalam peti itu terbujur sesosok badan insan bertelanjang bulat. Kulitnya sudah membiru dan memar. Di beberapa bab kelihatan bekas penganiayaan. Dan insan yang sudah menjadi mayit basi ini tiada lain yaitu Galuh Warsih, anak kandung Bupati Sentot Sastra sendiri!
Maka menggunturlah bentakan Sentot Sastra!
"Kurung dan cincang hingga lumat insan ini!"
Begitu perintah terdengar begitu lima belas golok panjang yang berkilauan ditimpa sinar matahari dicabut dari sarungnyai Sentot Sastra sendiri audah lebih dahulu melompat ke muka dengan senjatanya yaitu sepasang pedang ungu!
Melihat dirinya diserang mendadak begitu rupa, perjaka rambut gondrong segera berseru.
"Tunggu! Tahan dulu! Aku belum kasih keterangan!"
"Iblis bermuka insan biadab terkutuk! Kasihlah keterangan pada hantu kuburmu nanti!" teriak Sentot Sastra! Dan setelah itu tujuh belas senjatapun berkiblatlah menyerang kesatu sasaran yaitu badan perjaka berambut gondrong!
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel