Mahabarata Episode 20: Krishna Mendapatkan Kehormatan Tertinggi
Jumat, 17 Oktober 2014
Sebelumnya...
Setelah Jarasandha mati, Pandawa mengundang raja- raja untuk bermusyawarah dan menyaksikan upacara rajasuya yang sudah ditradisikan semenjak jaman dahulu dan sesuai dengan anutan agama. Upacara dilaksanakan untuk menawarkan gelar Maharajadiraja kepada raja yang diang- gap pantas menyandangnya. Sesuai tradisi, dalam upacara itu penghormatan utama harus diberikan kepada tamu yang dianggap paling layak menerimanya, diikuti tamu- tamu lainnya, sesuai keagungan, kekuasaan, kebijak- sanaan dan kebajikan masing-masing.
Sebelum upacara dimulai, Pandawa, para penasihat Pandawa, dan semua raja yang diundang bermusyawarah untuk menentukan siapa yang pantas mendapat penghor- matan tertinggi sebagai tamu utama dan bagaimana uru- tan penghormatan itu akan diberikan kepada tamu-tamu lainnya. Penentuan itu menjadikan perbedaan pendapat dan perdebatan sengit. Setelah usang berdebat, Bhisma, kesatria bau tanah dan penasihat Pandawa yang sangat disegani, berkata bahwa menurutnya Krishnalah yang paling pantas mendapat penghormatan utama. Yudhistira sependapat dengannya. Ia menyuruh Sahadewa menyiapkan segala keperluan upacara dengan penghormatan utama untuk Krishna.
Tiba-tiba Sisupala, Raja Chedi, yang sangat membenci Krishna bangun dari daerah duduknya kemudian berkata lan- tang sambil tertawa lebar, “Sungguh tidak adil. Tetapi saya tidak heran. Orang yang mengharapkan pesan yang tersirat dari orang lain niscaya berasal dari kelahiran tidak sah.” Ia berkata demikian sambil menoleh ke arah Pandawa dengan hirau tak acuh.
Kemudian ia melanjutkan, “Demikian pula orang yang memberi nasihat. Meski ia berasal dari keturunan yang tinggi derajatnya, kemuliaannya semakin usang semakin merosot, begitu pula kebijaksanaannya.” Dengan pandang menghina ia menoleh ke arah Bhisma, putra Dewi Gangga.
Belum puas menghina Pandawa dan Bhisma, Sisupala melanjutkan, “Dengar kalian semua! Orang yang diberi kehormatan utama ini sesungguhnya berasal dari keluarga gila dan dibesarkan sebagai pengecut! Apakah ia pantas mendapatkan kehormatan utama?!”
Hadirin diam, tertegun. Tak ada yang menjawab. Sisupala semakin lantang berteriak, “He, kalian semua! Apakah kalian bisu? Tak beranikah kalian menyatakan pikiran sendiri? Pantas saja. Keputusan itu tidak sah kare- na diambil oleh orang-orang yang tidak terhormat.”
Beberapa raja yang hadir dalam sidang itu bertepuk tangan menyemangati Sisupala. Mendapat jawaban menyerupai itu, Sisupala menjadi besar kepala. ia berkata lagi, kali ini kepada Yudhistira. “He, Yudhistira, lihatlah para raja yang hadir di sini. Tidak malukah engkau menawarkan kehormatan utama kepada Krishna? Banyak raja yang lebih mulia dan lebih pantas menerimanya dibanding dia! Tidak menawarkan kehormatan utama kepada orang yang layak atau memberikannya kepada orang yang tidak pantas menerimanya yaitu salah besar! Engkau raja yang agung. Sungguh sayang bila engkau mengabaikan hal ini.”
Hati Sisupala semakin panas lantaran Yudhistira tidak menghiraukannya. Maka ia melanjutkan, “Tanpa menghi- raukan raja-raja dan para kesatria yang hadir di sini atas undanganmu, engkau akan berikan kehormatan utama kepada seorang pengecut yang tak punya malu. Ingat, sikapmu itu menciptakan para raja yang kamu undang sakit hati. Basudewa, ayah Krishna, hanyalah salah satu budak Raja Ugrasena. Ia tidak berdarah kesatria dan bukan keturunan raja-raja. Apakah kesempatan ini sengaja kau- gunakan untuk mempertunjukkan perilaku berat sebelahmu kepada Krishna, anak Dewaki? Apa gunanya upacara ini bagi putra-putra Pandu?
“Hai putra-putra Pandu, kalian masih hijau, kurang terdidik dan belum berpengalaman. Kalian sama sekali tidak tahu tata cara persidangan raja-raja terhormat. Bhisma yang berjiwa lemah telah mempermainkan engkau.
“Hai, Yudhistira, mengapa engkau lancang memutuskan dukungan kehormatan utama tanpa bermusyawarah dulu dengan para raja yang masyhur dan terhormat? Krishna belum patut menjadi penasihatmu lantaran ia masih muda. Yang paling pantas sebetulnya yaitu Drona, maha- gurumu. Dia juga hadir dalam persidangan ini. Apakah menurutmu Krishna yang paling mumpuni dalam upacara keagamaan dan jadinya engkau pilih dia? Itu tidak mungkin, lantaran Bhagawan Wyasa hadir di sini. Masih lebih baik bila kauberikan kehormatan utama kepada Bhisma. Walaupun lemah hati, ia yaitu sesepuh keluar- gamu. Atau ... kepada Mahaguru Kripa, guru seluruh kelu- argamu, yang juga hadir di sini. Lalu ... Aswatthama, pendekar dan andal kitab suci, juga hadir di sini. Mengapa engkau pilih Krishna dan melupakan yang lain?”
Sisupala semakin bernafsu, bicaranya semakin lantang, “Putra mahkota Duryodhana juga hadir di sini. Begitu pula Karna. Tapi mereka tidak engkau pilih. Dengan menentukan Krishna yang bukan keturunan raja, bukan pahlawan, tidak terpelajar, tidak suci, belum berpengalaman, dan pengecut, engkau merendahkan derajat semua raja dan putra mahkota yang hadir di sini.”
Ia memandang para raja kemudian melanjutkan, “Wahai Raja- Raja yang saya muliakan, saya bicara bukan lantaran tidak oke Yudhistira bergelar Maharajadiraja. Saya tidak peduli apakah ia musuh atau kawan. Tetapi, lantaran banyak mendengar perihal keluhuran budinya, kita ingin melihat apakah ia sanggup memegang teguh panji dharma yang kita muliakan. Lihatlah, dengan sengaja ia menghina kita. Apakah sikapnya itu selaras dengan keluhuran budinya yang termasyhur? Tahukah kalian bagaimana dengan liciknya Krishna membantu Bhima membunuh Jarasan- dha? Menurutku Yudhistira sebetulnya rendah budi, sama dengan penasihatnya yang licik dan pengecut.”
Sampai di sini ia berhenti sebentar. Kemudian ia me- mandang Krishna kemudian meneruskan kata-katanya dengan berapi-api, “Alangkah pongahnya engkau, mau mendapatkan kehormatan yang tidak pantas bagimu dari Pandawa yang tidak mengerti tatakrama! Apa kamu sudah lupa diri? Apa kamu tidak tahu tatakrama? Atau kamu tidak sanggup melihat bahwa upacara ini hanyalah sandiwara untuk memper- malukan dirimu? Apa kamu tidak mengerti bahwa penghor- matan yang akan kauterima pada hakikatnya menyerupai kotoran yang dilemparkan ke wajahmu? Tak ada gunanya; menyerupai menunjukkan barang-barang indah kepada orang buta. Sekarang terbukti bahwa Yudhistira, Bhisma dan Krishna berasal dari kelahiran yang sama.”
Setelah puas memaki-maki, Sisupala mengajak para raja dan pangeran meninggalkan persidangan. Banyak yang mengikuti jejaknya. Yudhistira, sebagai tuan rumah, mencoba menenangkan suasana dengan kata-kata santun dan perilaku sabar. Ia memohon biar para raja damai dan duduk kembali. Tetapi usahanya sia-sia, lantaran mereka sangat marah.
Sementara itu, Krishna tidak tinggal diam. Ia tidak terima dihina dan dipermalukan di hadapan para tamu. Ia bangun berdiri kemudian dengan cepat menghalangi Sisupala dan para pengikutnya. Pertarungan tidak sanggup dihindar- kan. Sesuai watak para kesatria, Krishna dan Sisupala bertarung satu lawan satu. Setelah bertarung sengit, Sisupala tewas. Melihat itu, para raja yang lain tidak berani berhadapan dengan Krishna. Mereka mengurung- kan niatnya dan kembali duduk di balai persidangan.
Akhirnya, sesudah segala sesuatunya siap, upacara raja- suya dilangsungkan dengan megah dan meriah, sesuai rencana semula. Dalam upacara itu Yudhistira diberi gelar dan diakui sebagai Maharajadiraja.
Bersambung...
Setelah Jarasandha mati, Pandawa mengundang raja- raja untuk bermusyawarah dan menyaksikan upacara rajasuya yang sudah ditradisikan semenjak jaman dahulu dan sesuai dengan anutan agama. Upacara dilaksanakan untuk menawarkan gelar Maharajadiraja kepada raja yang diang- gap pantas menyandangnya. Sesuai tradisi, dalam upacara itu penghormatan utama harus diberikan kepada tamu yang dianggap paling layak menerimanya, diikuti tamu- tamu lainnya, sesuai keagungan, kekuasaan, kebijak- sanaan dan kebajikan masing-masing.
Sebelum upacara dimulai, Pandawa, para penasihat Pandawa, dan semua raja yang diundang bermusyawarah untuk menentukan siapa yang pantas mendapat penghor- matan tertinggi sebagai tamu utama dan bagaimana uru- tan penghormatan itu akan diberikan kepada tamu-tamu lainnya. Penentuan itu menjadikan perbedaan pendapat dan perdebatan sengit. Setelah usang berdebat, Bhisma, kesatria bau tanah dan penasihat Pandawa yang sangat disegani, berkata bahwa menurutnya Krishnalah yang paling pantas mendapat penghormatan utama. Yudhistira sependapat dengannya. Ia menyuruh Sahadewa menyiapkan segala keperluan upacara dengan penghormatan utama untuk Krishna.
Tiba-tiba Sisupala, Raja Chedi, yang sangat membenci Krishna bangun dari daerah duduknya kemudian berkata lan- tang sambil tertawa lebar, “Sungguh tidak adil. Tetapi saya tidak heran. Orang yang mengharapkan pesan yang tersirat dari orang lain niscaya berasal dari kelahiran tidak sah.” Ia berkata demikian sambil menoleh ke arah Pandawa dengan hirau tak acuh.
Kemudian ia melanjutkan, “Demikian pula orang yang memberi nasihat. Meski ia berasal dari keturunan yang tinggi derajatnya, kemuliaannya semakin usang semakin merosot, begitu pula kebijaksanaannya.” Dengan pandang menghina ia menoleh ke arah Bhisma, putra Dewi Gangga.
Belum puas menghina Pandawa dan Bhisma, Sisupala melanjutkan, “Dengar kalian semua! Orang yang diberi kehormatan utama ini sesungguhnya berasal dari keluarga gila dan dibesarkan sebagai pengecut! Apakah ia pantas mendapatkan kehormatan utama?!”
Hadirin diam, tertegun. Tak ada yang menjawab. Sisupala semakin lantang berteriak, “He, kalian semua! Apakah kalian bisu? Tak beranikah kalian menyatakan pikiran sendiri? Pantas saja. Keputusan itu tidak sah kare- na diambil oleh orang-orang yang tidak terhormat.”
Beberapa raja yang hadir dalam sidang itu bertepuk tangan menyemangati Sisupala. Mendapat jawaban menyerupai itu, Sisupala menjadi besar kepala. ia berkata lagi, kali ini kepada Yudhistira. “He, Yudhistira, lihatlah para raja yang hadir di sini. Tidak malukah engkau menawarkan kehormatan utama kepada Krishna? Banyak raja yang lebih mulia dan lebih pantas menerimanya dibanding dia! Tidak menawarkan kehormatan utama kepada orang yang layak atau memberikannya kepada orang yang tidak pantas menerimanya yaitu salah besar! Engkau raja yang agung. Sungguh sayang bila engkau mengabaikan hal ini.”
Hati Sisupala semakin panas lantaran Yudhistira tidak menghiraukannya. Maka ia melanjutkan, “Tanpa menghi- raukan raja-raja dan para kesatria yang hadir di sini atas undanganmu, engkau akan berikan kehormatan utama kepada seorang pengecut yang tak punya malu. Ingat, sikapmu itu menciptakan para raja yang kamu undang sakit hati. Basudewa, ayah Krishna, hanyalah salah satu budak Raja Ugrasena. Ia tidak berdarah kesatria dan bukan keturunan raja-raja. Apakah kesempatan ini sengaja kau- gunakan untuk mempertunjukkan perilaku berat sebelahmu kepada Krishna, anak Dewaki? Apa gunanya upacara ini bagi putra-putra Pandu?
“Hai putra-putra Pandu, kalian masih hijau, kurang terdidik dan belum berpengalaman. Kalian sama sekali tidak tahu tata cara persidangan raja-raja terhormat. Bhisma yang berjiwa lemah telah mempermainkan engkau.
“Hai, Yudhistira, mengapa engkau lancang memutuskan dukungan kehormatan utama tanpa bermusyawarah dulu dengan para raja yang masyhur dan terhormat? Krishna belum patut menjadi penasihatmu lantaran ia masih muda. Yang paling pantas sebetulnya yaitu Drona, maha- gurumu. Dia juga hadir dalam persidangan ini. Apakah menurutmu Krishna yang paling mumpuni dalam upacara keagamaan dan jadinya engkau pilih dia? Itu tidak mungkin, lantaran Bhagawan Wyasa hadir di sini. Masih lebih baik bila kauberikan kehormatan utama kepada Bhisma. Walaupun lemah hati, ia yaitu sesepuh keluar- gamu. Atau ... kepada Mahaguru Kripa, guru seluruh kelu- argamu, yang juga hadir di sini. Lalu ... Aswatthama, pendekar dan andal kitab suci, juga hadir di sini. Mengapa engkau pilih Krishna dan melupakan yang lain?”
Sisupala semakin bernafsu, bicaranya semakin lantang, “Putra mahkota Duryodhana juga hadir di sini. Begitu pula Karna. Tapi mereka tidak engkau pilih. Dengan menentukan Krishna yang bukan keturunan raja, bukan pahlawan, tidak terpelajar, tidak suci, belum berpengalaman, dan pengecut, engkau merendahkan derajat semua raja dan putra mahkota yang hadir di sini.”
Ia memandang para raja kemudian melanjutkan, “Wahai Raja- Raja yang saya muliakan, saya bicara bukan lantaran tidak oke Yudhistira bergelar Maharajadiraja. Saya tidak peduli apakah ia musuh atau kawan. Tetapi, lantaran banyak mendengar perihal keluhuran budinya, kita ingin melihat apakah ia sanggup memegang teguh panji dharma yang kita muliakan. Lihatlah, dengan sengaja ia menghina kita. Apakah sikapnya itu selaras dengan keluhuran budinya yang termasyhur? Tahukah kalian bagaimana dengan liciknya Krishna membantu Bhima membunuh Jarasan- dha? Menurutku Yudhistira sebetulnya rendah budi, sama dengan penasihatnya yang licik dan pengecut.”
Sampai di sini ia berhenti sebentar. Kemudian ia me- mandang Krishna kemudian meneruskan kata-katanya dengan berapi-api, “Alangkah pongahnya engkau, mau mendapatkan kehormatan yang tidak pantas bagimu dari Pandawa yang tidak mengerti tatakrama! Apa kamu sudah lupa diri? Apa kamu tidak tahu tatakrama? Atau kamu tidak sanggup melihat bahwa upacara ini hanyalah sandiwara untuk memper- malukan dirimu? Apa kamu tidak mengerti bahwa penghor- matan yang akan kauterima pada hakikatnya menyerupai kotoran yang dilemparkan ke wajahmu? Tak ada gunanya; menyerupai menunjukkan barang-barang indah kepada orang buta. Sekarang terbukti bahwa Yudhistira, Bhisma dan Krishna berasal dari kelahiran yang sama.”
Setelah puas memaki-maki, Sisupala mengajak para raja dan pangeran meninggalkan persidangan. Banyak yang mengikuti jejaknya. Yudhistira, sebagai tuan rumah, mencoba menenangkan suasana dengan kata-kata santun dan perilaku sabar. Ia memohon biar para raja damai dan duduk kembali. Tetapi usahanya sia-sia, lantaran mereka sangat marah.
Sementara itu, Krishna tidak tinggal diam. Ia tidak terima dihina dan dipermalukan di hadapan para tamu. Ia bangun berdiri kemudian dengan cepat menghalangi Sisupala dan para pengikutnya. Pertarungan tidak sanggup dihindar- kan. Sesuai watak para kesatria, Krishna dan Sisupala bertarung satu lawan satu. Setelah bertarung sengit, Sisupala tewas. Melihat itu, para raja yang lain tidak berani berhadapan dengan Krishna. Mereka mengurung- kan niatnya dan kembali duduk di balai persidangan.
Akhirnya, sesudah segala sesuatunya siap, upacara raja- suya dilangsungkan dengan megah dan meriah, sesuai rencana semula. Dalam upacara itu Yudhistira diberi gelar dan diakui sebagai Maharajadiraja.
Bersambung...