Mahabarata Episode 21: Seruan Bermain Dadu

 guru dan para tamu agung lainnya meninggalkan Indraprastha Mahabarata Episode 21: Undangan Bermain Dadu
Sebelumnya...
Upacara rajasuya selesai. Para raja, putra mahkota, pendita, penasihat, guru dan para tamu agung lainnya meninggalkan Indraprastha.
Setelah para tamu pergi, Dharmaputra menyembah Bhagawan Wyasa dan disuruh duduk di sampingnya. Mahaguru itu berkata kepadanya, “Wahai, putra Dewi Kunti, engkau sekarang bergelar Maharajadiraja. Sungguh gelar yang pantas sekali bagimu. Kudoakan, semoga bangsa Kuru yang masyhur ini mencapai kemuliaannya melalui engkau. Sekarang, saya akan kembali ke pertapaanku.”
Yudhistira menyembah kaki mahaguru itu sambil ber- kata, “Wahai, Guru, hanya Gurulah yang sanggup mengha- pus kecemasanku. Banyak insiden penting gres saja terjadi. Hanya orang bijaksana yang sanggup meramalkan malapetaka apa yang akan terjadi lantaran peristiwa- insiden itu. Apakah berdasarkan ramalan Guru, hal itu tercermin dalam janjkematian Sisupala? Atau ... apakah ada kemungkinan yang lebih mengerikan di masa datang?”
Bhagawan Wyasa menjawab, “Anakku tercinta, engkau akan mengalami banyak kesusahan dan penderitaan sela- ma empat belas tahun mendatang. Peristiwa teramat pen- ting yang gres saja berlalu tadi meramalkan kehancuran kaum kesatria dan itu tidak berhenti pada janjkematian Sisupala. Jauh lebih mengerikan daripada itu! Ratusan raja akan tewas dalam perang besar. Alur kehidupan usang akan hancur. Malapetaka akan timbul lantaran permusuhan antara kamu dan adik-adikmu di satu pihak dan sepupumu, putra-putra Dritarastra, di lain pihak. Permusuhan itu akan memuncak dalam satu perang besar yang memus- nahkan kaum kesatria. Tak seorang pun bisa melawan atau menghindari suratan nasibnya. Teguhkan hatimu dan tegakkan keluhuran budimu. Waspadalah dan perintahlah rakyatmu dengan bijaksana. Selamat tinggal!”
Setelah memperlihatkan restu kepada Yudhistira, Bhaga- wan Wyasa meninggalkan Indraprastha. Ramalan Bhagawan Wyasa menciptakan Yudhistira sedih dan merasa jijik terhadap nafsu-nafsu duniawi. Ia me- nyampaikan ramalan itu kepada adik-adiknya. Ia merasa hidupnya sia-sia lantaran kepunahan bangsanya sudah diramalkan.
Arjuna berkata, “Engkau seorang raja. Tak pantas kamu mempercayai hasutan dan bahaya mirip itu. Kita hada- pi nasib kita dengan penuh keberanian dan kita lakukan kiprah kita sebaik-baiknya.”
Yudhistira menjawab, “Saudara-saudaraku, semoga keyakinan kita diteguhkan oleh Yang Kuasa dan semoga Yang Kuasa selalu melindungi kita. Aku bersumpah, saya tidak akan bicara lemah dan agresif kepada saudara-saudara dan sanak kerabatku selama tiga belas tahun. Aku akan menghindari segala hal yang mungkin menimbulkan sengketa. Aku tidak akan pernah marah, alasannya yakni kemarahan yakni pangkal permusuhan. Semoga kita diberi jalan terbaik sesudah mengetahui peringatan dari Bhagawan Wyasa.”
Semua saudaranya mendukung sumpahnya.
Menurut Bhagawan Wyasa, rangkaian malapetaka yang akan memuncak dalam perang besar di padang Kuruk- shetra berawal dari perjudian yang direncanakan Sakuni, penasihat Duryodhana. Sakuni menyarankan biar Duryo- dhana mengundang Yudhistira bermain dadu. Di balik itu, ia sudah menyiapkan planning licik.
Sesuai etika di jaman itu, Yudhistira mustahil menolak seruan sepupunya. Ia mendapatkan seruan itu dengan prihatin dan bersedia memenuhinya demi kewaji- bannya untuk menghormati sepupunya dan memupuk rasa persaudaraan dengannya. Ia menduga keputusannya benar, padahal yang akan terjadi justru sebaliknya! Tanpa disadarinya, Yudhistira telah ikut menanam benih keben- cian dan kemusnahan.
Sementara Yudhistira berusaha keras menghindari perselisihan, Duryodhana justru panas hati lantaran dengki dan iri melihat kemakmuran kerajaan yang dipimpin Pan- dawa. Hal itu dilihatnya sewaktu ia menghadiri upacara rajasuya. Istana Indraprastha dibangun megah dan dikeli- lingi taman yang luas dan indah. Ukiran dan banyak sekali hiasan dari emas, perak dan permata menciptakan istana itu semakin semarak. Semua itu mengambarkan bahwa Yudhis- tira benar-benar memerintah dengan baik dan adil. Ia juga menyaksikan betapa gembiranya para raja yang menjadi sekutu Yudhistira.
Sakuni menyapa, “Mengapa engkau berdiam diri? Ja- ngan biarkan sedih menyiksa dirimu.” Duryodhana menjawab, “Yudhistira dilindungi para dewata. Di depan semua raja, Sisupala dibunuh dan tak seorang pun berani membela dia. Seperti pedagang yang hanya mementingkan keselamatan diri dan lakunya dagangannya, para raja itu bersedia menjual kehormatan dan kekayaan mereka asalkan bisa bergabung dengan Yudhistira. Bagaimana saya tidak sedih melihat semua ini? Apa gunanya hidup mirip ini?”
Sakuni berkata, “Wahai Duryodhana, Pandawa yakni sepupumu. Tidak pantas engkau iri melihat kemakmuran mereka. Mereka memperoleh kerajaan dan kekayaan itu dengan sah. Tetapi, kita sanggup mengundang Yudhistira un- tuk bermain dadu dengan dalih untuk bersenang-senang dan mempererat persaudaraan. Dia tak mungkin menolak seruan mirip itu. Kelak, Bhisma, Mahaguru Kripa, Jayadratha, Somadatta dan saya akan mendukungmu. Engkau niscaya bisa menaklukkan dunia kalau kamu mau. Jangan biarkan sedih merongrong dirimu!”
Duryodhana menjawab, “Benar katamu, Paman Sakuni, saya punya banyak pendukung. Jadi, mengapa tidak kita gempur saja Pandawa dan kita usir mereka dari Indra- prastha?”
Sakuni berkata, “Tidak. Itu tidak mudah. Tetapi, saya tahu cara mengusir Pandawa dari Indraprastha, tanpa pertempuran dan pertumpahan darah.”
Duryodhana tertarik mendengar itu. Ia bertanya kehera- nan, “Hai, Paman Sakuni, apakah mungkin mengalahkan Pandawa tanpa mengorbankan jiwa? Apa rencanamu, Paman?”
Kata Sakuni, “Aku tahu Yudhistira gemar main dadu, tetapi tidak pandai. Ia terlalu jujur dan sama sekali tak tahu logika dan siasat untuk memenangkan permainan. Karena itu, ia tak pernah menang. Kita undang ia bermain dadu, kita gunakan logika dan siasat. Kita akan pertaruhkan kekayaan dan kerajaan Astina. Dia niscaya akan memperta- ruhkan kekayaan dan kerajaannya. Jika semua terealisasi sesuai rencana, kita niscaya bisa memenangkan kekayaannya dan kerajaannya tanpa perlu menitikkan darah setetes pun.”
Duryodhana dan Sakuni kemudian menghadap Raja Drita- rastra. Sakuni berkata, “Tuanku Raja, Duryodhana diliputi perasaan sedih dan cemas. Tetapi, mengapa Tuanku tak hiraukan kesedihan dan kecemasannya? Apa sebabnya, wahai Paduka Raja?”
Raja yang buta itu memeluk putranya tercinta sambil berkata, “Aku tidak tahu mengapa engkau bersedih. Apa yang kaurisaukan? Seisi kerajaan ini ada dalam kekuasa- anmu. Bukankah selama ini kamu dikelilingi banyak sekali hibu- ran dan kesenangan? Mengapa kamu sedih? Engkau telah mempelajari kitab-kitab Weda, ilmu peperangan dan ilmu- ilmu lain dari para mahaguru terbaik. Sebagai putra su- lungku kamu mewarisi mahkota. Apa lagi yang masih kau- kehendaki?”
Duryodhana menjawab, “Ayahanda, meski hidupku dikelilingi hiburan dan kesenangan, meski seisi kerajaan ini tunduk padaku, saya tetap merasa hidupku tak berkhasiat lantaran Pandawa memerintah kerajaannya dengan baik dan rakyat menyayangi mereka. Aku merasa mereka lebih ber- hasil daripada aku. Apa gunanya hidup mirip ini?”
Melihat ayahnya membisu mendengarkan, Duryodhana me- lanjutkan, “Cepat puas diri bukanlah sifat seorang kesa- tria. Rasa takut dan mengasihani diri sendiri yakni sifat- sifat yang merendahkan martabat raja-raja. Kekayaan dan kesenanganku tidak membuatku puas sesudah saya melihat —dengan mataku sendiri— kemakmuran Yudhistira. Tidakkah Ayah sadari, Pandawa semakin kaya dan perkasa sementara kita semakin lemah dan pudar.”
Dritarastra berkata, “Anakku tercinta, engkau yakni putra sulung dari istriku tertua. Engkau mewarisi keme- gahan dan kebesaran bangsa kita. Jangan membenci Pan- dawa. Kebencian akan membuahkan kesedihan dan kema- tian. Katakan terus terang, mengapa engkau membenci Yudhistira yang tidak bersalah. Bukankah keberhasilannya juga berarti keberhasilan kita? Sahabatnya yakni sahabat kita. Apalagi lantaran ia sama sekali tidak iri atau membenci kita. Jangan kotori hatimu dengan iri dan dengki!”
Duryodhana kecewa mendengar jawaban ayahnya. Ia menyahut dengan tidak sopan, “Orang yang tidak punya pengetahuan ihwal hal-hal biasa tetapi karam dalam samudera ilmu menyerupai sepotong sendok yang ditenggelam- kan ke dalam kuliner yang enak. Ia berada di dalam kuliner tetapi tak bisa menikmati kelezatannya dan tak bisa memperoleh manfaatnya.
“Ayah banyak mempelajari ilmu ketatanegaraan, tetapi tidak bijak dalam memerintah. Seperti selalu Ayah ajarkan padaku, keadaan dunia yakni sesuatu, sedangkan urusan kerajaan yakni sesuatu yang lain. Seperti kata Brihaspati, meneguhkan keyakinan dan merasa puas akan keadaan itu yakni pesan yang tersirat yang cocok bagi orang biasa, bukan bagi raja. Kewajiban kesatria yakni selalu mencari kemenang- an, dengan segala cara. Kaprikornus Raja, sebagai kesatria, harus mencari kemenangan.”
Demikianlah Duryodhana bicara dengan mengutip uca- pan para jago pemerintahan. Ia juga menghasut ayahnya biar mau memberinya ijin.
Sakuni menyela, menjelaskan rencananya untuk meng- undang Yudhistira bermain dadu. Dengan begitu, Pandawa niscaya sanggup ditaklukkan tanpa pertumpahan darah. Sakuni meyakinkan sang Raja, “Cukup ijinkan kami mengirim utusan untuk mengundang Pandawa bermain dadu. Selebihnya serahkan padaku.”
Duryodhana menambahkan, “Jika Ayah setuju, Paman Sakuni akan memenangkan permainan ini atas namaku. Tak perlu ada pertarungan.”
Dritarastra berkata, “Usul Sakuni tidak pantas. Sebaik- nya kita tanyakan hal ini kepada Widura. Ia niscaya memberi pesan yang tersirat yang benar kepada kita.”
Tetapi Duryodhana tidak mau mendengar pendapat Widura. Ia berkata, “Widura hanya bisa memberi pesan yang tersirat yang membosankan ihwal kebijaksanaan pekerti, tapi ia tidak bisa menolong kita untuk mencapai maksud kita. Da- lam langkah pelaksanaan untuk memperoleh hasil terbaik, siasat kenegaraan para raja tidak harus sama dengan isi kitab-kitab ilmu pemerintahan yang baik, yang dilengkapi dengan cara-cara melaksanakannya. Kecuali itu, Widura tidak suka padaku dan lebih memihak Pandawa. Ayah tentu lebih tahu ihwal ini daripada aku.”
Dritarastra berkata, “Pandawa itu kuat. Menurutku, memusuhi mereka tidaklah bijaksana. Permainan dadu hanya akan menyeret kita dalam permusuhan. Nafsu serakah yang timbul tanggapan permainan ini tidak mengenal batas. Kita harus hindari hal ini.”
Tetapi Duryodhana terus mendesak, “Kepemimpinan negara yang bijak terletak pada keberanian untuk membe- la diri dengan kekuatan sendiri dan mengenyahkan segala ketakutan. Bukankah lebih baik kalau kita laksanakan planning itu selagi kita masih lebih besar lengan berkuasa daripada mereka? Ini keputusan yang paling benar! Kesempatan tidak akan tiba dua kali. Permainan dadu melawan Pandawa bukanlah siasat buatan kita. Permainan ini sudah merupakan tradisi para kestaria semenjak jaman dahulu. Dan kalau kita yakin bisa menang tanpa pertumpahan darah, mengapa tidak?”
Dritarastra menjawab, “Anakku tercinta, Ayah sudah tua. Lakukanlah apa yang ingin kaulakukan. Tetapi saya tidak merestuimu. Ayah yakin, kelak engkau niscaya menye- sal. Semua ini bahwasanya sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.”
Demikianlah, sesudah lelah berdebat Dritarastra membi- arkan putranya melaksanakan apa yang dimauinya. Kemudi- an ia menyuruh para budak membangun balairung indah khusus untuk bermain dadu walaupun hati kecilnya sedih dan cemas membayangkan hasilnya nanti. Diam-diam ia menghubungi Widura dan meminta pendapatnya.
Widura berkata, “Tuanku Raja, permainan itu niscaya akan menghancurkan bangsa kita lantaran permainan itu memupuk dan mengobarkan kebencian yang tak mungkin dibendung.”
Dritarastra yang tidak sanggup menghalang-halangi kema- uan anaknya berkata, “Bila nasib kita baik, saya tidak kha- watir. Tetapi kalau nasib baik tidak berpihak pada kita, apa yang bisa kita perbuat? Kodrat dan nasib telah digariskan Yang Maha Kuasa. Pergilah engkau, Widura, untuk atas namaku mengundang Pandawa bermain dadu di Hastina- pura.”
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel