Mahabarata Episode 22: Semua Dipertaruhkan Dalam Judi Dadu

 Raja muda itu bertanya dengan perasaan prihatin Mahabarata Episode 22: Semua Dipertaruhkan Dalam Judi Dadu
Sebelumnya...
Maka pergilah Widura ke Indraprastha. Sampai di sana, ia disambut oleh Yudhistira. Raja muda itu bertanya dengan perasaan prihatin, “Mengapa engkau tidak gembi- ra? Apakah keluarga kita di Hastinapura sehat-sehat?
Apakah Baginda Raja dan putra-putranya sehat-sehat?” Setelah saling memberikan salam penghormatan, Wi- dura menjelaskan maksud kedatangannya. “Semua kera- bat kita di Hastinapura sehat. Bagaimana di sini? Apakah semuanya sehat? Aku tiba lantaran diutus mengundang- mu atas nama Raja Dritarastra. Datanglah ke Hastinapura dan lihatlah bangunan-bangunan yang telah disiapkan untuk beristirahat.
“Sebuah balairung indah telah didirikan mirip yang engkau bangun di sini. Baginda Raja mengundang kamu dan adik-adikmu untuk beristirahat dan bermain dadu di sana.”
Yudhistira tidak eksklusif mendapatkan permintaan itu. Ia ingin mendengar pesan tersirat Widura ihwal permintaan itu. Katanya, “Bermain dadu sambil bertaruh selalu menimbul- kan pertengkaran di antara kaum kesatria. Orang yang bijak niscaya akan menghindari hal itu. Kami selalu patuh pada nasihatmu. Apa yang sebaiknya kami lakukan?”
Widura menjawab, “Setiap orang tahu, bermain dadu ialah pangkal semua kejahatan. Aku telah berusaha me- nentang planning jelek ini! Tetapi Baginda Raja meme- rintahkan saya mengundang engkau. Terserah kepadamu, lakukanlah apa yang menurutmu baik.”
Walaupun telah mendengar peringatan halus Widura, Yudhistira tetap saja berniat pergi ke Hastinapura.
Memang sulit menghindari nasib insan yang dengan sengaja melangkah menuju kehancurannya sendiri lantaran didorong nafsu berahi, kegemaran berjudi, dan kebiasaan minum-minum. Lagi pula, sesungguhnya Yudhistira me- mang gemar berjudi. Menurut tradisi jaman itu, seorang kesatria dianggap tidak sopan bila menolak permintaan bermain dadu. Kecuali itu, Yudhistira telah bersumpah untuk tidak pernah melaksanakan tindakan yang sanggup menciptakan orang lain tidak senang atau marah. Karena itu, sungguh tidak pantas bila ia menolak permintaan pamannya sendiri, Raja Dritarastra. Itu sebabnya ia mendapatkan unda- ngan tersebut dan berangkat bersama saudara-saudaranya diiringkan sepasukan pengawal.
Yudhistira dan rombongannya diterima Dritarastra di Hastinapura dan dipersilakan menginap di balai peristira- hatan khusus untuk tamu. Setelah cukup beristirahat, esok harinya mereka diantar ke ruang permainan dadu. Setelah saling bertegur sapa sesuai adat, Sakuni mengu- mumkan bahwa permadani, meja dan kain beludu penu- tupnya telah disiapkan secara khusus dan bahwa perma- inan sanggup dimulai.
Yudhistira berkata, “Paduka Raja, bermain judi itu tidak baik. Bukan dengan cara kesatria, kepandaian, dan kebi- jaksanaan seseorang menang dalam permainan tubruk nasib mirip ini. Resi Asita, para dewata dan dan para resi yang mengenal inti hakikat kehidupan secara mendalam telah menasihatkan, bahwa permainan judi harus dihindari, lantaran permainan ini bisa menciptakan orang ingin berbohong dan menipu. Mereka juga menyatakan bahwa kekalahan dan kemenangan dalam pertempuran ialah jalan yang paling pantas bagi kesatria. Paduka Tuanku sudah tentu bukannya tidak menyadari hal ini.” Meski berkata demi- kian, sesungguhnya hati kecil Yudhistira bimbang lantaran kata-katanya bertentangan dengan kegemarannya bermain dadu.
Sakuni tahu apa yang bahu-membahu bergolak di dalam hati Yudhistira lantaran ia telah mendengar ihwal sumpah kesatria itu. Itulah kelemahan Yudhistira. Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Sakuni. Ia berkata, “Apa salahnya permainan ini? Sebenarnya, bila sungguh-sungguh dipikir- kan, pertempuran itu bahu-membahu apa? Apa pula gunanya berbincang-bincang ihwal ajaran-ajaran Weda dengan para guru andal kitab suci? Dalam kenyataannya kita tahu, orang pandai selalu menang melawan orang bodoh. Dalam kenyataannya, orang yang lebih akil selalu menang dalam segala hal. Semua ini hasil ujian kekuatan atau kepandaian. Dalam kehidupan manusia, yang andal selalu mengalahkan yang gres mulai belajar. Demikian pula da- lam hal bermain dadu. Kalau memang takut kalah jangan ikut main. Jangan mencari-cari alasan dengan mengemu- kakan basa-basi ihwal fatwa moral dan budi pekerti.”
Yudhistira menjawab, “Baiklah, siapa yang akan main melawan aku?”
Duryodhana eksklusif menjawab, “Aku ingin meme- nangkan semua taruhanmu, semua harta kekayaan dan kerajaanmu. Paman Sakuni akan mengocok dadu dan ber- main atas namaku.”
Semula Yudhistira telah memperhitungkan bahwa beliau niscaya bisa menang melawan Duryodhana. Tetapi, melawan Sakuni lain soal. Sakuni termasyhur sebagai pemain dadu yang ulung namun tidak malu-malu memakai segala cara, kalau perlu cara-cara licik, untuk memenangkan permainan. Karena itu Yudhistira berkata, “Menurutku itu menyalahi adat. Sungguh tidak lazim seseorang bermain atas nama orang lain.”
Sakuni menjawab sambil mengejek, “Aku tahu, engkau hanya mencari-cari alasan.”
Wajah Yudhistira memerah. Sambil menahan murka ia menjawab, “Baiklah, saya akan main.”
Ruangan bermain dadu itu penuh sesak. Tampak di antara yang menonton ialah Drona, Mahaguru Kripa, Bhisma, Widura dan Raja Dritarastra. Mereka memba- yangkan betapa buruknya jawaban yang bisa ditimbulkan oleh permainan judi, tetapi mereka tak bisa mencegah. Itu sebabnya mereka duduk dengan gelisah. Para pangeran dan aristokrat menyaksikan permainan itu dengan penuh minat dan semangat.
Mula-mula mereka bertaruh uang, setelah itu bertaruh emas permata. Disusul kereta dan kuda-kudanya. Yudhis- tira selalu kalah. Sejak permainan pertama beliau belum pernah menang. Kemudian Yudhistira mempertaruhkan semua pengawal dan pelayannya, kemudian gajah-gajah dan pasukan berkudanya. Semua yang ia pertaruhkan habis. Setiap kali Sakuni mengocok dan melemparkan dadu, dadu itu selalu memunculkan angka sesuai kemauannya.
Yudhistira kemudian mempertaruhkan semua desa di wilayah kerajaannya, lengkap dengan penduduknya, sawah dan ladangnya, dan segala macam ternaknya. Semuanya habis dikalahkan Sakuni.
Akhirnya Sakuni bertanya, “Apakah masih ada yang bisa kaujadikan taruhan?”
Yudhistira menjawab, “Aku pertaruhkan Nakula, sauda- raku yang tampan dan berkulit bersih. Ia ialah salah satu hartaku yang paling berharga.”
Sakuni bertanya, “Kau tidak menyesal? Kami akan senang sekali memenangkan taruhan itu.” Sambil berkata demikian ia melemparkan dadu. Ketika berhenti berputar, dadu itu memunculkan angka yang dikehendakinya. Hadi- rin resah melihat itu.
Yudhistira berkata, “Ini saudaraku yang lain, Sahadewa. Ia seorang seniman yang punya pengetahuan mendalam ihwal aneka macam macam seni. Aku tahu, bahu-membahu saya dilarang mempertaruhkan dia. Tetapi ... ayo, kita teruskan permainan.”
Sambil melemparkan dadu, Sakuni berkata, “Baiklah, kita teruskan permainan, dan ... lihat saya menang.”
Yudhistira menyerahkan Sahadewa yang ia pertaruh- kan. Khawatir kalau-kalau Yudhistira memutuskan untuk berhenti bermain, dengan licik Sakuni memancing-man- cing, “Bhima dan Arjuna ialah saudara-saudara kan- dungmu. Kalian terlahir dari satu ibu. Kau tidak akan mempertaruhkan mereka, bukan?”
Mendengar kata-kata itu, Yudhistira tersinggung. Ia tidak mau dikatakan tega mempertaruhkan saudara-sau- dara tirinya dan lebih menyayangi saudara-saudaranya sekandung. Ia tidak sanggup menahan perasaannya, kemudian berkata, “Engkau sengaja hendak memecah-belah kami. Engkau mengadu domba kami! Engkau yang selalu hidup dikuasai nafsu setan takkan bisa mengerti bagaimana hidup kami yang sebenarnya.”
Setelah mengambil napas, ia menyambung, “Aku akan pertaruhkan Arjuna, jagoan yang selalu menang di medan pertempuran. Mari kita teruskan permainan.”
Sakuni menjawab, “Baiklah, saya lemparkan dadu. Lihat ... saya menang!”
Yudhistira kalah lagi. Arjuna diambil oleh Kaurawa. Kekalahan terus-menerus menciptakan Yudhistira gelap mata. Tanpa sadar, ia semakin karam dalam tipu daya Sakuni. Dengan air mata berlinang-linang ia berkata, “Ini Bhima, saudaraku, panglima tertinggi balatentara kami. Ia tak kenal mengalah dan keperkasaannya tak tertandingi. Aku jadikan beliau taruhanku.”
Permainan diteruskan. Yudhistira kehilangan Bhima. Sambil mengejek Sakuni bertanya, “Apakah masih ada yang bisa kaujadikan taruhan?”
Dharmaputra menjawab, “Ya, diriku sendiri. Kalau kamu menang, saya bersedia menjadi budakmu. Awas, perhati- kan! Aku niscaya menang.”
Sakuni melemparkan dadu dan ia menang. Demikianlah, Yudhistira telah mempertaruhkan semua miliknya, termasuk saudara-saudara dan dirinya sendiri, lengkap dengan pakaian dan senjata yang selalu lekat pada badan para kesatria. Semua itu gara-gara ia terbujuk oleh kata-kata Sakuni yang terus-menerus berusaha mempe- ngaruhi, memancing-mancing, menyindir dan mengejeknya biar Yudhistira kehilangan kendali atas dirinya, menjadi marah, garang dan tak kuasa menghentikan permainan.
Sakuni berdiri berdiri kemudian memanggil kelima Pandawa satu per satu. Dengan lantang ia mengumumkan bahwa secara sah mereka kini menjadi budak-budaknya. Para hadirin terpaku, tak kuasa berkata-kata. Sambil memandang Yudhistira, Sakuni melanjutkan, “Masih ada satu permata milikmu yang sanggup engkau pertaruhkan. Mungkin kali ini nasib baik berpihak padamu dan engkau menang. Apakah kamu tidak berani melanjutkan permainan dengan mempertaruhkan Draupadi, istrimu?”
Dengan frustasi Yudhistira menjawab, suaranya bergetar, “Baiklah, saya pertaruhkan dia.”
Hadirin menjadi ribut. Dari daerah duduk para sesepuh terdengar bisik-bisik tidak setuju. Kemudian dari segala penjuru terdengar teriakan, “Tidak, tidak, tidak!”
Tetapi Duryodhana dan saudara-saudaranya bersorak- sorak. Di antara para Kaurawa, hanya Yuyutsu yang menundukkan kepala, sedih menyaksikan semua itu. Sakuni melemparkan dadu lagi dan berteriak, “Aku menang! Lihatlah!”
Duryodhana menoleh kepada Widura sambil berkata, “Pergilah ambil Draupadi istri Pandawa. Mulai kini ia harus menyapu dan membersihkan istana kita. Pergi segera! Sekarang juga!”
Widura menjawab, “Kau gila. Ini berarti kamu mengun- dang kehancuranmu sendiri. Ketahuilah, nasibmu kini menyerupai tergantung pada seutas benang. Kalau tak hati-hati, kamu akan jatuh ke dalam jurang kenistaan. Kaukira keme- nanganmu ini akan membuatmu bahagia. Dengar, seka- rang kamu sedang mabuk dalam lautan kemenangan yang akan menenggelamkan dirimu.”
Setelah berkata demikian, Widura menoleh kepada Yudhistira sambil melanjutkan kata-katanya, “Yudhistira, kamu tidak berhak mempertaruhkan Draupadi alasannya ialah dirimu sendiri tidak bebas lagi. Dirimu sudah kaupertaruhkan. Kau telah kehilangan kebebasan dan segala hakmu. Tapi ... saya melihat keruntuhan Kaurawa semakin dekat. Kare- na mengabaikan pesan tersirat dan petunjuk para guru, mitra dan pendukung mereka, saya yakin, putra-putra Drita- rastra kini sedang menuju ke lembah neraka.”
Duryodhana sangat murka mendengar kata-kata Widura. Ia kemudian berkata kepada Prathikami, sais keretanya, “Widura iri melihat kemenangan kita dan takut kepada Pandawa. Tetapi engkau ada di pihak kami. Pergilah engkau, ambil, dan bawalah Draupadi ke sini.”
Prathikami pergi menjemput Draupadi di balai peristira- hatan. Seperti diperintahkan Duryodhana, ia berkata, “Paduka Permaisuri, Raja Yudhistira kalah dalam perma- inan dadu dan telah mempertaruhkan semuanya, terma- suk diri Paduka. Kini Paduka menjadi milik Duryodhana. Hamba diperintahkan menjemput Paduka untuk dijadikan pelayan di istana ini.”
Draupadi, permaisuri Rajadiraja yang telah melaksana- kan rajasuya, sangat terkejut mendengar pesan aneh itu. Ia bertanya, “Wahai Prathikami, apa maksudmu berkata begitu? Raja Yudhistira tak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan?”
Prathikami menjawab, “Ya, Raja Yudhistira telah mem- pertaruhkan semua miliknya dan kalah. Kini ia tak punya apa-apa lagi. Karena itu, ia mempertaruhkan Paduka Permaisuri.”
Kemudian ia menceritakan bagaimana Yudhistira kalah dalam permainan dadu dengan mempertaruhkan semua miliknya, saudara-saudaranya, termasuk dirinya sendiri.
Walaupun hatinya pedih sekali, namun kekuatan batin- nya mendorong Draupadi untuk berkata, “Wahai sais kereta, kembalilah kepada tuanmu. Tanyakan pada yang bermain dadu. Tanyakan, apakah lebih dulu memperta- ruhkan dirinya sendiri atau istrinya. Tanyakan ini di depan semua yang hadir di sana. Kemudian kembalilah ke sini dengan jawaban itu. Setelah itu, barulah saya bersedia kaubawa ke sana.”
Prathikami kembali ke ruang permainan dadu. Ia menyembah Yudhistira kemudian menanyakan pertanyaan Drau- padi. Yudhistira bungkam, tak sanggup menjawab.
Sekali lagi Duryodhana menyuruh Prathikami menjem- put Draupadi biar bisa bertanya eksklusif kepada suami- nya. Prathikami kembali menghadap Draupadi. Setelah menyembah ia berkata, “Paduka Permaisuri, Duryodhana yang berhati licik mengharapkan Paduka pergi ke ruang permainan dan bertanya sendiri kepada suami Paduka.”
Draupadi menjawab, “Tidak! Kembalilah ke sana, aju- kan pertanyaan itu dan minta jawabannya.”
Prathikami mematuhinya. Ia kembali ke ruang perma- inan, menghadap Duryodhana dan melaporkan bahwa Draupadi tidak bersedia datang.
Dengan murka Duryodhana kemudian berkata kepada Duhsa- sana, salah satu saudaranya, “Orang ini takut pada Bhima! Pergilah engkau dan bawa Draupadi ke sini. Kalau perlu ... seret dia!”
Mendengar perintah itu, Duhsasana yang berhati wangi dengan senang hati pergi melakukannya. Sampai di balai peristirahatan, ia eksklusif masuk ke kamar Draupadi sambil berteriak-teriak, “Ayo pergi, kenapa kamu membisu saja? Sekarang kamu milik kami. Jangan malu-malu, hai perempuan cantik! Menurutlah, alasannya ialah kami telah memenangkan eng- kau. Ayo, kini juga kita berangkat ke persidangan!” Sambil berkata demikian ia mendekati Draupadi dengan maksud menyeretnya secara paksa.
Draupadi bangkit. Dengan perasaan sedih bercampur benci ia berlari mencari daerah berlindung. Ia bersembunyi di dalam kamar Permaisuri Raja Dritarastra. Tetapi Duhsa- sana mengejarnya, menyergapnya, dan mencengkeram rambutnya. Sambil mencengkam rambut perempuan jelita itu, ia menyeret Draupadi ke ruang permainan. Setibanya di sana, sambil menekan perasaannya, Draupadi berkata kepada mereka yang lebih tua, “Bagaimana mungkin Tuan- Tuan membiarkan diriku dijadikan taruhan oleh orang yang telah kalah berjudi? Bukankah para penjudi ialah manusia-manusia jahat yang andal tipu-menipu? Karena suamiku sudah menjadi budak gara-gara kalah berjudi, ia bukan insan bebas lagi dan lantaran itu ia tak berhak mempertaruhkan aku.”
Dengan air mata berlinang-linang Draupadi menerus- kan kata-katanya, “Jika kalian memang menyayangi dan menghormati kaum ibu yang telah melahirkan dan menyusui kalian, bila penghargaan terhadap istri atau saudara perempuan atau putri kalian benar-benar tulus, bila kalian memang percaya kepada Yang Maha Agung dan dharma, jangan biarkan saya dihina mirip ini. Penghinaan ini lebih kejam dari kematian!”
Mendengar kata-kata Draupadi yang tajam menyayat hati dan melihat air matanya yang bercucuran, para sesepuh itu menundukkan kepala lantaran malu dan sedih. Bhima tak bisa menahan diri lagi. Dadanya sesak, seakan hendak meledak. Dengan bunyi menggelegar dan dengan nada pahit ia berkata kepada Yudhistira, “Penjudi kawakan yang paling bejat pun tidak akan mempertaruhkan perem- puan kotor yang mereka pelihara. Tetapi ... lihatlah dirimu yang mengaku sebagai insan berbudi luhur. Engkau ternyata lebih jelek dari mereka. Engkau biarkan putri Raja Drupada, permaisurimu, dihina oleh manusia-manu- sia kurang asuh ini. Aku tak sanggup membiarkan tindakan tak susila ini tanpa bertindak. Saudaraku Sahadewa, am- bilkan api. Akan kubakar tangan manusia-manusia yang merencanakan permainan dadu curang ini.”
Arjuna bangkit, menahan Bhima dengan kata-kata penuh kesabaran, “Sejak semula engkau tidak berkata apa-apa. Sejak dulu mereka selalu ingin mengenyahkan kita atau menjerumuskan kita ke dalam jaring-jaring keja- hatan biar kita terseret ikut berbuat jahat. Kita dilarang mengikuti segala tipu daya, kejahatan dan permainan licik mereka. Waspadalah!”
Mendengar peringatan Arjuna, Bhima membisu dan beru- saha menahan perasaannya.
Tetapi Wikarna, salah seorang putra Dritarastra tidak tega melihat penderitaan Draupadi. Ia berdiri berdiri dan berkata, “Wahai para kesatria yang hadir di sini, mengapa Tuan-Tuan membisu saja? Aku tahu, saya masih muda. Tetapi lantaran kalian membisu saja, saya terpaksa bicara. Dengar! Yudhistira telah ditipu dalam permainan yang telah direncanakan masak-masak sebelum ia diundang. Karena itu ia tak mungkin menang. Karena terus menerus kalah, ia kehilangan kendali atas dirinya. Ia tega mempertaruh- kan permaisurinya. Tetapi, bahu-membahu ia tak punya hak untuk mempertaruhkan Draupadi lantaran putri ini bukan miliknya seorang. Maka taruhan itu tidak sah. Kecuali itu, Yudhistira telah kehilangan kebebasannya maka tak punya hak untuk mempertaruhkan putri ini. Ada lagi alasan yang memberatkan bahwa permainan ini tidak sah. Sakunilah yang mengusulkan Draupadi dijadikan taruhan. Ini berten- tangan dengan hukum permainan. Siapa pun yang bermain dadu tidak berhak meminta taruhan tertentu kepada la- wannya. Kalau kita pertimbangkan hal-hal tersebut, kita harus mengakui bahwa Draupadi telah dipertaruhkan dengan tidak sah, inilah pendapatku.”
Mendengar kata-kata Wikarna yang tajam dan berani, para tamu merasa lega dan pikiran mereka menjadi terang. Mereka bersorak, “Hidup dharma! Hidup dharma!”
Pada ketika itulah Karna berdiri dan berkata, “Hai Wikar- na, engkau lupa bahwa banyak yang lebih bau tanah darimu hadir di ruangan ini. Lancang benar engkau, berani mem- pertanyakan aturan-aturan. Engkau masih bocah. Kelan- canganmu melukai keluargamu yang telah melahirkan dan membesarkan engkau. Kau menyerupai nyala api yang memba- kar ranting kayu arani dan risikonya memusnahkan po- honnya. Kau menyerupai seekor burung yang merusak sarang- nya sendiri. Sejak semula, ketika Yudhistira masih bebas, ia telah mempertaruhkan semua miliknya dan tentu saja itu termasuk Draupadi. Karena itu, kini Draupadi menjadi milik Sakuni. Hal ini tak perlu diperdebatkan. Semua milik Pandawa kini menjadi milik Sakuni, termasuk pakaian yang mereka kenakan. Hai Duhsasana, tanggal- kan pakaian Pandawa dan Draupadi. Serahkan semua kepada Sakuni!”
Mendengar kata-kata Karna yang kasar, Pandawa mere- lakan pakaian mereka demi menjalani cobaan dharma yang amat pahit. Mereka menanggalkan pakaian, hingga tinggal sehelai kain epilog aurat. Semua mereka jalani demi kehormatan, kebenaran dan keagungan dharma.
Karena Pandawa menyerahkan sendiri pakaian mereka, Duhsasana mendekati Draupadi, siap merampas pakaian sang putri. Ia berusaha menelanjangi Draupadi, tetapi putri itu melawan dengan sekuat tenaga. Duhsasana terus memaksa dan Draupadi terus bertahan. Draupadi menge- rahkan kekuatan batinnya, membaca mantra dalam hati, berdoa dan memohon sumbangan Brahma, “Oh Dewata Penguasa Alam Semesta, kepadaMu kuserahkan segala keyakinanku. Jangan biarkan saya dihina mirip ini. Eng- kaulah satu-satunya tempatku berlindung. Oh Dewata, lindungilah aku.” Setelah berkata demikian, ia jatuh pingsan.
Duhsasana kemudian melaksanakan perbuatan yang sangat memalukan itu. Ia menanggalkan pakaian Draupadi satu per satu. Ajaib! Tiba-tiba terjadilah sebuah insiden gaib. Setiap kali ia melepas pakaian sang putri yang tak sadar- kan diri itu, setiap kali pula muncul pakaian gres menu- tupi tubuhnya yang jelita. Duhsasana terus melaksanakan pekerjaan hina itu. Pakaian Draupadi menumpuk mirip gunung, tetapi tubuhnya yang belum siuman tetap utuh dan berpakaian lengkap. Semua yang hadir dalam ruangan itu gemetar, sadar bahwa Dewata telah memperlihatkan kebesaranNya. Duhsasana tak sanggup lagi melaksanakan tugasnya. Ia terduduk lemas, tak berdaya.
Dengan bibir gemetar Bhima mengucapkan sumpahnya, “Semoga saya tidak diterima oleh nenek moyangku di nirwana sebelum saya remukkan dada Duhsasana yang penuh dosa dan saya hisap darah insan yang telah menodai keluhu- ran wangsa Bharata.”
Maka terdengarlah anjing dan serigala meraung-raung, unta, gajah, kuda dan keledai meringkik-ringkik, burung- burung berkicau melagukan nyanyian sedih di seluruh negeri. Semua itu merupakan menandakan akan datangnya malapetaka mengerikan di masa datang.
Raja Dritarastra sadar, keturunannya akan mengalami kehancuran. Dengan berani ia mengambil keputusan un- tuk berdamai dengan Pandawa. Ia memanggil Draupadi dan Yudhistira. Ia berkata kepada Yudhistira, “Engkau tidak bersalah, lantaran itu engkau bukanlah musuh kami. Maafkan Duryodhana demi keagungan budimu dan buang- lah kenangan pahit ini dari ingatanmu. Ambil kembali kerajaanmu, kekayaanmu dan semua milikmu. Engkau kubebaskan dan perintahlah kerajaanmu hingga rakyatmu makmur sejahtera. Kembalilah kalian ke Indraprastha.”
Demikianlah Pandawa meninggalkan ruangan terkutuk itu. Hadirin resah dan terpaku melihat keajaiban yang tak masuk nalar itu. Pandawa dilepaskan dari malapetaka yang mengerikan, tetapi itu semua terlalu cepat dan ringan untuk dinikmati keindahannya.
Setelah Yudhistira dan saudara-saudaranya pergi, di dalam ruangan terjadi perdebatan sengit. Atas hasutan Duhsasana dan Sakuni, Duryodhana memaki-maki ayah- nya yang telah mengacaukan planning mereka. Mereka kemudian mengutip petuah Brihaspati yang menyampaikan bahwa melaksanakan tipu kebijaksanaan bulus untuk menghancurkan musuh turun-temurun ialah tindakan benar. Ia menggambarkan, kebebasan dan kekuatan Pandawa akan membahayakan mereka bila dibiarkan tumbuh. Kata mereka, satu-satunya cara untuk mengalahkan Pandawa yang sakti dan perkasa ialah dengan tipu kebijaksanaan bulus dan mengambil laba sebesar-besarnya dari tipu kebijaksanaan bulus itu untuk melum- puhkan pujian dan kehormatan mereka. Untuk itu, semboyan yang paling sempurna ialah “tidak seorang kesatria pun akan menolak permintaan bermain dadu.”
Mengetahui betapa besar cinta ayahnya kepada dirinya, Duryodhana meminta persetujuan Dritarastra untuk mengundang Yudhistira bermain dadu sekali lagi. Dengan berat hati lantaran merasa menerima firasat buruk, Drita- rastra memperlihatkan persetujuan.
Segera Duryodhana mengirim utusan untuk menyusul Yudhistira yang belum hingga ke Indraprastha. Utusan itu membawa permintaan pribadi dari Raja Dritarastra.
Setelah mendapatkan permintaan itu, Yudhistira berkata, “Memang benar, kebaikan dan kejahatan sudah tersurat dan tak sanggup dihindari. Kalau kita harus main lagi, kita akan main, demikian jawabanku. Ajakan bermain dadu demi kehormatan tak sanggup ditolak. Aku harus meneri- manya.”
Dharmaputra kembali ke Hastinapura dan berkemas-kemas untuk bermain dadu lagi melawan Sakuni. Setiap orang yang berpikiran baik dan berpendirian halus yang hadir dalam pertemuan itu bahu-membahu tidak menyetujui perma- inan itu. Agaknya Yudhistira telah ditakdirkan oleh Batari Kali, Dewi Kemusnahan, untuk menjadi umpan yang sanggup meringankan beban dunia dari segala macam kejahatan.
Sebelum bertanding, taruhan ditentukan, “Barangsiapa kalah dalam permainan ini, ia dan saudara-saudaranya harus menjalani hidup dalam pengasingan dan pembu- angan di hutan rimba selama dua belas tahun. Pada tahun ketiga belas ia harus hidup menyamar selama setahun penuh. Kalau pada tahun ketiga belas ada yang mengenali mereka, mereka harus dibuang ke pengasingan selama dua belas tahun lagi.”
Tidak perlu diceritakan bagaimana Sakuni mengguna- kan tipu dayanya lagi dalam permainan ini. Lagi-lagi Yudhistira kalah. Pandawa harus menjalani hidup dalam pembuangan di hutan rimba. Mereka yang menyaksikan kekalahan Pandawa menundukkan kepala lantaran malu, membisu karam dalam sedih dan tak bisa berbuat apa- apa.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel