Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 10

 Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng  Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 10
Sebelumnya...
Kedai nasi itu cukup besar. Tapi dikala itu pengunjungnya cuma beberapa orang. Wiro Sableng meneguk air liurnya. Dia tak punya banyak uang tapi perutnya perih dan lapar, tenggorokannya kering dahaga. Akhirnya ia masuk juga ke dalam kedai itu. Wiro duduk di satu sudut. Kursi-kursi dan meja lengket oleh debu. Tapi perjaka rambut gondrong ini terus saja duduk seenaknya tanpa mengacuhkan debu itu.
Seorang pria bau tanah ubanan tiba mendekatinya. Dia yaitu pemilik kedai.
”Makan nak....?” tegurnya.
Wiro mengangguk. ”Tapi jangan mahal-mahal, saya tak punya banyak uang!” kata Wiro Sableng terus terang.
Pemilik warung itu kerutkan kening. Selama ia membuka kedai di Jatiwalu itu gres hari ini ada seorang tamu yang tiba di kedainya dan berkata ibarat itu. Matanya meneliti
Wiro Sableng dari rambutnya yang gondrong hingga ke kakinya yang berdebu.
”Kau tentu seorang pendatang....”, katanya.
”Betul,” Wiro menggaruk-garuk rambutnya. ”Tolong lekas nasinya, pak, perutku sudah lapar betul....!”
Orang kedai itu segera mengambilkan sepiring nasi dan segelas air kemudian diletakkannya di atas meja di hadapan Wiro. Titik air liur perjaka ini. Selama tujuh belas tahun di puncak Gunung Gede ia hanya kenal nasi merah dan sayur. Kini menghadapi nasi putih dan ikan serta gulai yang enak maka lahaplah makan Wiro. Keringat memercik di kulit mukanya.
Kemudian diteguknya air. Pada dikala ia mengusapi perutnya yang buncit keras itu maka masuklah empat orang laki-laki. Semuanya berpakaian serba hitam, menggunakan golok di pinggang. Tampang-tampang mereka sungguh tak sedap dipandang. Mereka masuk dan duduk dengan seenaknya. Keempatnya memelihara berewok. Pemilik kedai melihat kehadiran keempat orang ini dengan cepat tiba melayani.
Agaknya keempat insan ini pastilah orang-orang penting juga. Tak usang kemudian maka dihidangkanlah masakan yang lezat-lezat di atas meja. Tuak murni pun diletakkan dalam sebuah bumbung bambu berikut empat buah gelas yang juga dari bambu.
Keempat orang itu makan dengan angkat kaki. Suara celepak-celapak verbal mereka terdengar hingga ke daerah Wiro Sableng duduk. Tapi tentu saja perjaka ini tak mau ambil peduli. Meski mereka menyiplak hingga sekeras geledek pun ia tak akan ambil pusing! Wiro Sableng melambaikan tangan memanggil pemilik kedai.
”Berapa saya musti bayar?” tanya Wiro.
Orang kedai itu menyebutkan jumlah uang yang musti dibayar Wiro.
”Waduh... mahal sekali!” keluh Wiro. ”Tadi saya sudah bilang jangan mahal-mahal...”
”Itu juga sudah sangat murah, Nak,” kata orang kedai.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. ”Habis uangku buat bayar masakan itu.”
Dikeluarkannya uangnya dan diberikannya pada orang di kedai. Pada dikala itu pula terdengar gelak tawa keempat orang yang duduk di meja seberang sana. Salah seorang dari mereka, yang berbadan gemuk pendek dan berkepala botak berkata,
”Kalau tidak gablek uang, jangan masuk kedai, Bung!” Yang seorang lagi menyambungi, ”Dari pada takut-takut keluar uang, sebaiknya cari saja masakan di tong sampah!” Keempat orang itu tertawa gelak-gelak.
Wiro memandang kepada mereka. Diejek demikian rupa perjaka ini tenang-tenang saja malahan sunggingkan senyum dan garuk-garuk kepala.
Laki-laki yang berkumis panjang menjulai ke bawah bertanya, ”Kau mau uang buat beli makanan?”
”Mau saja jikalau diberi,” jawab Wiro sejujurnya. Digaruknya lagi kepalanya.
”Merangkaklah dihadapanku, menyalak tiga kali dan tuanmu ini niscaya akan kasih uang kepadamu”
Atap kedai itu ibarat mau runtuh oleh bunyi tertawa keempat orang itu.
Wiro memandang berkeliling. Ketika dilihatnya beberapa sisir pisang ambon yang berjejer digantung di atas meja daerah meletakkan ikan dan gulai maka tertawalah perjaka itu. Mula-mula perlahan tapi makin usang makin keras dan ia melangkah mendekati gugusan pisang itu. Dikeluarkannya sisa seluruh uangnya yang masih ada yang tak seberapa tapi cukup untuk membeli sesisir pisang.
”Aku beli pisangmu, pak,” kata Wiro.
Diturunkannya sesisir sambil melangkah ke pintu dipotesnya sekaligus empat buah pisang. Dia melangkah juga ke pintu sementara di belakangnya masih terdengar bunyi gelak tawa keempat orang tadi.
Tiba-tiba hampir tak kelihatan saking cepatnya, dan tanpa berpaling sama sekali Wiro Sableng gerakkan tangan kanannya. Empat buah pisang meluncur lewat bahunya.
Di belakangnya bunyi tertawa keempat orang tadi mendadak sontak berhenti, berganti dengan suara-suara tercekik! Keempat buah pisang itu telah jeblos ke dalam verbal empat insan berpakaian hitam-hitam itu. Jangankan untuk tertawa, bernafaspun mereka sudah megap-megap! Dan diluar sana Wiro Sableng sambil senyum-senyum melangkah terus sepanjang jalan. Dipotesnya sebuah pisang dan mulai memakannya.
Dia melangkah terus dan hirau tak hirau ketika beberapa dikala kemudian didengarnya derap kaki empat orang dalam kedai tadi mengejarnya.
”Bikin mampus saja sama kawan-kawan!” teriak salah seorang pengejar.
”Berani kurang bimbing sama kita orang! Cincang hingga lumat!,” kata yang berbadan paling tinggi.
Wiro Sableng terus juga melangkah enak-enak. Cuma sekali-kali tangan kanannya dilambaikannya ke belakang untuk melemparkan kulit-kulit pisang yang dimakannya. Namun lambaian tangan itu bukan lambaian tangan biasa yang hanya sekedar melemparkan kulit pisang belaka! Dari asisten perjaka itu membadai angin dahsyat laksana tembok baja yang membendung lari keempat orang pengejar itu! Betapapun mereka mempercepat lari mereka namun tetap saja mereka tak sanggup mengejar Wiro Sableng padahal kelihatannya perjaka itu hanya tinggal sepejangkauan tangan lagi!
Keempat orang itu berteriak-teriak, memaki dan menggeram, menggapai-gapaikan tangan ke muka alasannya merasa hampir-hampir sanggup menagkap punggung baju Wiro Sableng!
Namun gerakan-gerakan mereka itu tak ubahnya ibarat empat ekor monyet yang menjadi gila mencak-mencak kian kemari! Dan orang yang dikejar terus juga berjalan ongkang- ongkang bahkan sambil makan pisang ambon!
Mengapa hingga terjadi hal yang demikian, lain tidak alasannya Wiro Sableng telah mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang bernama: dinding angin berhembus tindih menindih!
”Gila betul!” teriak pria tinggi jangkung yang lari paling depan. Namanya Bergola Wungu. Dialah yang menjadi pemimpin dari tiga orang lainnya dan dialah yang mempunyai ilmu paling tinggi!
Dengan sangat geram, sambil lari dicabutnya sebilah belati dari pinggangnya dan dilemparkannya ke arah punggung Wiro Sableng. Tapi anehnya pisau itu melesat kembali, berbalik menyerang Bergola Wungu! Kalau saja ia tidak cepat-cepat buang diri ke samping pastilah lehernya akan dimakan ujung pisau!
Akhirnya dengan keluarkan keringat dingin, Bergola Wungu dan belum dewasa buahnya hentikan pengejaran. Baru hari ini Bergola Wungu serta belum dewasa buahnya menghadapi bencana ibarat itu. Kejadian yang mendekam hati tapi juga asing tak bisa mereka mengerti.
Sebagai pemimpin dari tiga orang itu, sebagai orang yang paling tinggi ilmu silat dan kesaktiannya sudah barang tentu Bergola Wungu malunya bukan main! Untuk mencuci mukanya ia berkata menggerendeng:
”Kalau bedebah itu bukannya insan siluman pastilah ia iblis bermuka manusia!”
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel