Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 11

 Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng  Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 11
Sebelumnya...
Siapakah keempat insan berpakaian serba hitam dan sama-sama memelihara berewok itu? Mereka menamakan diri dengan Bergola Wungu sebagai pimpinannya. Mereka tak lain ialah persekutuan rampok yang malang melintang sepanjang sungai Cimandilu yang populer keganasannya di tempat sekitar situ.
Dulunya, Bergola Wungu ialah turunan orang baik-baik yang ayahnya mati ditangan Kalingundil, kepala rampok yang malang melintang dan bersarang di kampung Jatiwalu. Sesudah ayahnya dibunuh, keluarganya ditumpas sedang keganasan Kalingundil dan tiga orang anak buahnya semakin menjadi-jadi melanda Jatiwalu maka Bergola Wungu yang ketika itu berumur dua puluh enam tahun meninggalkan kampung kelahirannya dengan satu tekat yaitu mencari guru silat yang sanggup mengajarkan ilmu dan kesaktian kepadanya.
Dia berhasil menemukan seorang guru dan kemudiannya berhasil pula menerima tiga orang anak buah, maka malang melintanglah Bergola Wungu di sepanjang sungai Cimandilu, menjadi kepala perampok yang ditakuti.
Dan ketika dirasakannya ketika untuk melaksanakan pembalasan sudah tiba maka bersama ketiga orang anak buahnya berangkatlah ia menuju Jatiwalu. Tapi sewaktu hingga di Jatiwalu, Kalingundil dan bawah umur buahnya tak ada di sana, pergi keluar kampung dan tak satu orangpun yang tahu. Rumahnya kosong dan sepi. Bergola Wungu tetapkan untuk menunggu hingga musuh besarnya itu kembali. Dan hingga hari itu Kalingundil masih juga belum muncul.
Mereka duduk di dalam kedai di tempat semula. Untuk berapa lamanya tak satupun yang sanggup bicara. Bergola Wungu teguk tuaknya hingga habis.
”Kurasa insan itu mungkin salah seorang anak buah Kalingundil….”, kata Ketut Ireng, pria yang duduk di hadapan Bergola Wungu.
Bergola Wungu letakkan gelas bambunya ke meja. Dia berpikir, kalau yang tadi itu benar-benar anak buah Kalingundil, pastilah maksudnya untuk menuntut balas akan menemui kegagalan. Kalau anak buah Kalingundil sudah demikian hebatnya, apalagi Kalingundil sendiri! Memang waktu lima belas tahun belakangan ini ialah waktu yang cukup usang untuk menambah ilmu kesaktian. Tapi bila kehebatan anak buah Kalingundil menyerupai kenyataan tadi, ini ialah tiada diduga Bergola Wungu sama sekali!
”Tidak mungkin….,” desis Bergola Wungu. ”Tak mungkin insan tadi ialah anak buah Kalingundil! Lagi kita belum yakin betul apa ia benar-benar manusia! Dan saya ingat bahwa Kalingundil cuma punya tiga orang kaki tangan! Aku kenal tampang-tampang mereka semua!”
”Tapi bukan tidak mungkin selama belasan tahun ini jumlah anak buahnya bertambah,” menyela pria yang berjulukan Seta Inging.
”Aku tetap tidak mau percaya….!”, kata Bergola Wungu. Dilambaikannya tangannya pada pemilik kedai. ”Sini!”, bentaknya. Orang renta pemilik kedai tiba dengan ketakutan dan terbungkuk-bungkuk.
”Berapa orang anak buah Kalingundil semuanya?”
”Cuma tiga, Den. Cuma tiga….”
”Masih yang dulu-dulu juga….?” Orang renta itu mengangguk.
”Dan tak satu manusiapun disini yang tahu kemana mereka pergi?!”
”Tidak satupun, Den….”
”Selain mereka berempat, siapa lagi yang membisu di rumah besar itu….?”
”Tidak ada, Den….”
”Dulu kudengar ia punya bini….”
”Sudah meninggal, Den….”
”Juga seorang anak perempuan…. Apa juga sudah meninggal?!”
”Tidak.”
”Kalau begitu dimana wanita itu sekarang?”
”Bapak tidak tahu, Den….”
”Dusta!”
”Sungguh tidak tahu, Den….”
”Bakar saja kedai ini!”, ancam Ketut Ireng.
Dan orang renta itupun berlutut minta dikasihani. ”Jangan den…. sungguh bapak tidak tahu. Jangan dibakar kedai ini den…. Kasihani bapak…. Tapi mungkin ia ikut bersama Kalingundil. Mungkin juga…. Mungkin juga menginap di tempat bibinya….”
”Dimana tempat bibinya?”
”Tidak tahu, Den….”
”Tidak tahu melulu!”, hardik Bergola Wungu.
”Kalian manusia-manusia yang sudah diinjak-injak kemanusiaannya oleh Kalingundil, yang diperas dan dipreteli harta kekayaannya, yang dibunuh dan disiksa, masih saja melindungi manusia-manusia keparat itu!”
”Kami semua benci dan mendendam terhadap Kalingundil serta anak buahnya, Den. Tapi kami ini rakyat lemah. Tak ada daya untuk melawan...........”
”Kalian bukan lemah tapi terbelakang dan pengecut!” hardik Ketut Ireng. Lalu sambungnya, ”jika beberapa hari dimuka ini kami masih belum juga menemui Kalingundil dan cecunguk-cecunguknya itu, akan kubakar rumahnya, juga seluruh kampung ini….!”
”Oh jangan, Den…. Jangan, Den. Sekurang-kurangnya Raden musti ingat bahwa kampung ini dulunya ialah kampung raden juga….”
”Dulu!” kata Bergola Wungu, ”tapi setelah bapakku dibunuh dan keluargaku ditumpas, kampung ini bukan kampungku lagi! Orang-orang di kampung ini berdiam diri, tak ambil perduli ketika ibuku dirusak kehormatannya, ketika saudara-saudaraku ditebas lehernya! Patutkah kuakui ini sebagai kampungku? Persetan sama kampung keparat ini!”
Bergola Wungu membantingkan gelas bambunya ke meja. Papan meja pecah, gelas bambu mental terbelah dua!
”Mereka bukannya takut, den, bukan tak mau menolong, tapi tak punya daya. Kalingundil dan anak buahnya berakal tinggi….”
”Diam!”, hardik Bergola Wungu. Orang renta pemilik kedai itu membisu membungkam.
Ketut Ireng ambil bab kini, ”Kau tahu siapa itu insan rambut gondrong yang tadi makan di sini?!”
”Tidak tahu, Den. Sungguh tidak tahu.......”
”Sudah pergi sana!” hardik Bergola Wungu.
Orang renta itu berlalu dengan cepat. Tak usang kemudian Bergola Wungu dan ketiga anak buahnya meninggalkan kedai tanpa membayar satu peser tengikpun atas apa yang telah mereka makan dan mereka minum!
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel