Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 9
Senin, 22 September 2014
Sebelumnya...
“Kenapa kamu terkejut....?” tanya Eyang Sinto Gendeng. “Kau takut?!”
“Eyang mau bikin cilaka murid lagi?!” tanya Wiro Saksana bersiap-siap.
Dan nenek itu tertawa lagi melengking-lengking. Dia mundur hingga tujuh tombak ke belakang. ”Pejamkan matamu, Wiro!” perintah Eyang Sinto Gendeng pula.
”Tapi.... Eyang mau bikin apa?!”
”Eeee.... kunyuk betul kau! Aku suruh pejamkan mata malah banyak tanya!! pejamkan matamu!”
Wiro memejamkan matanya dengan ragu-ragu. Karena itu kedua mata itu dipejamkannya tidak rapat betul.
”Biar rapat!” hardik Sinto Gendeng. Dan Wiro terpaksa menutup matanya rapat-rapat.
“Buka bajumu!” Wiro membuka bajunya dan meletakkannya di tanah. Kedua matanya tetap memejam.
“Buka tangan kananmu, naikkan ke atas dan hadapkan telapaknya kepadaku!”, perintah Sinto Gendeng lagi. Wiro mengikuti perintah itu. Eyang Sinto Gendeng memegang mata kapak dengan tangan kanannya erat-erat. Salah satu jarinya kemudian menempelkan disatu bab belakang layar pada gading bersahabat kepala kapak yang terbuat dari besi putih itu.
”Apapun yang terjadi sekali-kali jangan buka kedua matamu dan sekali-kali jangan bergeser. Kecuali kalau kamu mau mampus!”
”Eyang....”
”Diam! Gila betul!,” hardik Sinto Gendeng. Wiro terpaksa membungkam.
Perempuan bau tanah itu menekan alat belakang layar bersahabat kepala kapak. Maka dari ekspresi naga- nagaan di hulu kapak melesat dengan bunyi menderu tiga puluh enam batang jarum putih. Ketiga puluh enam jarum itu mendarat dan menancap di dada kanan Wiro Saksana. Jarum-jarum ini menancap dengan teratur membentuk susunan angka 212. Pemuda itu menjerit keras. Tubuhnya rebah ke tanah! Sekali lagi Sinto Gendeng menekan alat belakang layar bersahabat kepala kapak. Kini dua puluh empat batang jarum hitam meluncur dan menancap di telapak tangan sebelah kanan Wiro Saksana! Pemuda ini menjerit lagi alasannya tancapan jarum yang 36 tadi telah menciptakan ia tak sadarkan diri!
Sebelum Wiro Saksana siuman, Eyang Sinto Gendeng sudah mencabuti jarum-jarum putih di dada cowok itu, juga jarum-jarum hitam di telapak tangan kanan Wiro. Dan ketika Wiro sadarkan diri maka dilihatnya di kulit dadanya terukir formasi angka-angka 212 berwarna hitam kebiruan. Angka-angka yang sama juga juga terdapat di telapak tangannya.
Bedanya angka-angaka yang di telapak tangan ini agak kecil dan berwarna putih sehingga agak kurang jelas kelihatannya.
”Berdiri Wiro!” perintah sang guru.
Wiro Saksana berdiri. Dia tak tahu apa bergotong-royong yang telah dilakukan oleh gurunya.
Yang ia tahu tadi ialah bunyi yang menderu-deru, kemudian ia menjerit, kemudian roboh dan.... tak ingat apa-apa lagi.
“Kau telah lihat angka 212 pada kulit dada dan telapak tangan kananmu?” Wiro mengangguk.
“Berarti dalam dirimu sudah kulekatkan unsur-unsur keduniaan dan unsur ingat Tuhan. Agar kamu tidak lupa bahwa kamu hidup di dunia yaitu untuk menolong sesama manusia. Juga supaya kamu tidak lupa bahwa kamu mempunyai Tuhan yang harus dituruti segala perintah dan dijauhkan segala laranganNya. Kau mengerti?”
“Mengerti Eyang. Tapi... mengapa badanku sekarang tiga kali lebih enteng dari sebelumnya? Bahkan tenaga juga terasa bertambah hebat!” Eyang Sinto Gendeng tertawa mengikik.
“Itu yaitu berkat jarum kapak Naga Geni 212” kata Sinto Gendeng pula. Lalu nenek- nenek ini mengambarkan apa yang telah dilakukannya terhadap muridnya. Wiro merasa menerima anugerah ilmu perhiasan segera berlutut dihadapan gurunya.
”Tak usah pakai peradatan segala macam. Berdirilah! Masih banyak yang saya mau bicarakan sama kau,” kata Sinto Gendeng pula. Wiro berdiri.
Sinto Gendeng mengeluarkan kapak dan kerikil hitam kembali. Diulurkannya benda- benda itu. ”Wiro.... kapak ini kuberi nama Kapak Naga Geni 212. Sepuluh tahun lamanya kubutuhkan waktu untuk membuatnya dan telah dua puluh tahun lebih senjata ini berada di tanganku. Rupanya kamu ada jodoh dengan senjata ini. Terimalah....” Tertegun dan hampir tak percaya Wiro Saksana mendengar ucapan gurunya. Tak disangkanya bahwa ia bakal menerima anugerah senjata yang sangat sakti itu. Dia melamun mematung seketika.
”Ayo Wiro! Kenapa kamu jadi bimbang? Terimalah Kapak Naga Geni 212 ini untuk kau!”
Wiro Saksana mengulurkan kedua tangannya. Ketika senjata sakti itu menyentuh tangannya mendadak sontak mengalirlah arus asing yang hirau taacuh ke dalam tubuh Wiro. Dan disaat itu pula dirasakannya tubuhnya naik hingga dua tingkat, padahal ia merasa tingkat tenaga dalam yang sudah dimilikinya sebelumnya sudah mencapai tingkat yang paling sempurna!
”Sisipkan di pinggangmu Wiro dan pakai kamu punya baju kembali!” Wiro melaksanakan apa yang dikatakan Eyang Sinto Gendeng. Kapak dan kerikil yang ada angka 212-nya itu disisipkan ke pinggangnya.
”Kapak Naga Geni 212 bukan senjata sembarangan, Wiro. Karenanya juga tak boleh kamu pakai sembarangan. Pergunakanlah hanya pada saat-saat kamu terdesak mahir atau dalam keadaan nyawamu terancam. Kau telah lihat juga macam kehebatan kapak itu tadi, tapi masih ada satu lagi kehebatannya yaitu bila kamu tekan salah satu bab di bawah mata kapak itu maka akan berhamburanlah jarum-jarum putih dari ekspresi naga-nagaan.... Untuk menciptakan angka 212 pada dada dan telapak tanganmu saya telah pergunakan jarum-jarum semacam itu tadi. Cuma jarum-jarum tadi telah kuisi dengan sejenis racun yang mahir sehingga tubuhmu akan kebal terhadap segala racun apapun juga! Tangan kananmu juga mempunyai racun yang tersembunyi, Wiro. Jangan sembarangan mempergunakannya alasannya bisa mematikan lawan!”
Wiro Saksana hendak berlutut lagi, tapi segera dibentak oleh gurunya.
”Terima kasih Eyang.... terima kasih,” kata cowok itu. Eyang Sinto Gendeng hanya keluarkan bunyi tertawa. Digaruk-garuknya kepalanya yang berambut jarang dan yang sekarang hanya ditancapi dua buah tusuk kundai. Kemudian mulailah ia untuk ketiga kalinya menyanyikan lagu tadi: Pitulas taun wus katilar....
Ketika Sinto Gendeng selesai menyanyikan lagu itu maka bertanyalah Wiro.
”Eyang, apakah maksud Eyang dengan nyanyian itu....?”
Sinto Gendeng tertawa. Aneh sekali tawanya kali ini. Dan parasnya kelihatan begitu duka serta rawan. Kemudian ketika ia berkata, terperinci suaranya itu bergetar tanda ia tak sanggup menahan sesuatu yang menyesak di lubuk hatinya.
”Aku sudah bilang bahwa hari ini yaitu hari yang penghabisan kamu berada di Gunung Gede ini bersamaku....”
”Mengapa demikian, Eyang....?” Wiro garuk-garuk kepalanya.
”Karena segala ilmuku telah kupasrahkan kepadamu. Karena hari inilah saatnya bagimu untuk turun gunung, memasuki alam dunia luar, membawa garis-garis kehidupanmu sendiri yang telah ditentukan Gusti Allah....”
Sinto Gendeng membisu seketika. Kemudian diteruskannya, ”Sebelum kamu meninggalkan puncak Gunung Gede ini ada satu kiprah yang musti kamu lakukan....”
”Tugas apakah itu, Eyang?” tanya Wiro Saksana. Lagi-lagi digaruknya kepalanya yang berambut gondrong itu.
”Dengar baik-baik Wiro.... Lebih dari empat puluh tahun yang silam saya telah mengambil seorang murid berjulukan Suranyali. Waktu itu ia gres saja berumur dua tahun. Dari umur dua tahun itulah saya mulai mendidiknya pelbagai ilmu dasar silat dan kesaktian.
Tapi kemudian saya ketahui bahwa saya telah ketelanjuran mengambil itu insan menjadi muridku. Suranyali kulepas turun gunung, kubekali pelbagai pesan yang tersirat tapi dasar Suranyali bukan insan baik-baik, begitu turun gunung segala ilmu yang kuberikan padanya dipakainya untuk perbuatan jahat, maksiat. Dia menciptakan keonaran dimana-mana! Menjadi kepala perampok! Tukang peras bahkan menculik perempuan-perempuan anggun dan merusak kehormatannya! Menurutku sekarang umurnya sudah hampir setengah abad, sudah bersahabat ke liang kubur! Tapi ini sama sekali tidak memperlihatkan keinsyafan pada dirinya. Kejahatannya akhir- final ini semakin menjadi-jadi, sudah lewat dari takaran! Kini ia tengah menyusun rencana bacin terhadap Pajajaran. Pajajaran hendak dibikinnya banjir darah! Karena itu kamu harus lekas-lekas sanggup mencari itu insan laknat dan perintahkan kepadanya untuk tiba ke sini menghadapku guna mempertanggungjawabkan segala apa yang telah dibuatnya selama malang melintang di dunia sana! Dan perlu kamu ketahui, Suranyali sekarang telah menggunakan nama gres yakni Mahesa Birawa!”
Wiro Saksana merasa betapa sedihnya akan berpisah dengan gurunya yang selama 17 tahun telah mendidiknya itu. Tapi mengingat perpisahan itu yaitu demi untuk menjalankan kiprah dari sang guru, terhibur juga sedikit hatinya. Dan berkatalah cowok itu:
”Tugas Eyang akan saya laksanakan. Cuma bagaimana jikalau itu insan Mahesa Birawa tidak mau mematuhi perintah untuk tiba ke sini....?”
”Jawabnya hanya satu Wiro. Pateni insan itu! Bunuh insan durhaka itu!” Wiro Saksana terdiam. Dalam diamnya ini ia berpikir-pikir hingga dimanakah ketinggian ilmu Suranyali atau Mahesa Birawa itu? Sanggupkah ia menghadapi insan yang sesungguhnya yaitu abang seperguruannya sendiri?!
”Aku tahu apa yang kamu pikirkan Wiro,” kata Eyang Sinto Gendeng pula tiba-tiba. Ini mengejutkan Wiro Saksana. ”Suranyali memang sakti bahkan kudengar ia telah mencar ilmu pula pada seorang sakti di Gunung Lawu! Tapi kamu tak usah takut! Kau mempunyai kapak Naga Geni 212. Dan kamu berada dalam kebenaran pula! Sesungguhnya kamu punya hak untuk membunuh itu manusia, Wiro. Pertama alasannya kiprah yang saya pikulkan dibatok kepalamu! Kedua alasannya Suranyali atau Mahesa Birawa itulah yang telah membunuh kamu punya ibu-bapak!”
Mendadak sontak bergetarlah sekujur tubuh Wiro Saksana. Parasnya berubah kelam membesi! Sejak kecil, semenjak membisu di puncak Gunung Gede itu belum pernah ia mengetahui apa yang dinamakan kebencian dan dendam kesumat! Tapi ketika itu dadanya serasa mau pecah oleh kobaran kebencian dan amarah serta dendam yang tiada terkirakan!.
”Bapakmu berjulukan Ranaweleng! Dibunuh oleh Suranyali. Ibumu dilarikannya. Sesudah itu bunuh diri setelah dirusak kehormatannya. Kau sendiri hampir menemui janjkematian dimakan api sewaktu rumah bapakmu dibakar oleh Suranyali dan anak buahnya. Kebetulan sekali saya lewat disitu....”
Wiro menjatuhkan diri di hadapan gurunya. ”Terima kasih Eyang.... kalau Eyang tidak ada....”
”Berdiri!” hardik Sinto Gendeng. Perempuan asing itu memang paling tidak suka dilututi ibarat itu. ”Bukan saya yang menolong kau, tapi Gusti Allah!” katanya. ”Ayo berdiri!”
Wiro bangun kembali. Dan Sinto Gendeng menuturkan insiden tujuh belas tahun yang kemudian sejelas-jelasnya. Kini maklumlah Wiro apa arti kata-kata dalam nyanyian gurunya tadi. Dikuatkan hatinya untuk mengendalikan perasaannya yang campur aduk. Dikuatkannya dirinya untuk membendung air mata yang hendak tumpah dari kelompok matanya!
”Eyang....,” desis Wiro Saksana, ”Sewaktu Eyang turun ke kampung Jatiwalu itu, mengapa Eyang tidak eksklusif turun tangan....?” Sinto Gendeng tertawa rawan.
”Semustinya.... semustinya memang saya harus turun tangan ketika itu. Tapi ketika kutahu bahwa Ranaweleng – bapakmu – mempunyai seorang orok maka saya mempunyai pikiran lain! Kalau kupelihara anak itu dan kudidik ilmu silat seta kesaktian maka jikalau sudah besar ia lebih mempunyai hak dariku untuk menamatkan riwayat Suranyali alias Mahesa Birawa. Kalau tidak percuma saja saya ajarkan kepadamu bahwa kehidupan di dunia ini tersimpul dalam tiga barisan angka 212. Bukankah setiap budi ada balas? Setiap kejahatan ada pembalasannya? Tuhan telah menolongmu, berarti itu angka 1. Suranyali membunuh orang tuamu berarti itu angka2, Wiro! Jangan sekali-kali kamu lupakan!”
”Menurut Eyang, apakah insan keparat itu masih ada di kampung Jatiwalu bersama bawah umur buahnya....?”
”Tak sanggup kupastikan, Wiro. Itu tugasmu untuk menyelidik. Yang saya tahu ialah bahwa insan itu hendak menciptakan Pajajran banjir darah. Karenanya, seret ia ke sini sebelum hal itu terjadi. Dan kalau ia tidak mau, pateni saja!!” (pateni=bunuh). Sunyi selang beberapa lamanya. Kedua orang itu karam dalam alam pikiran masing-masing.
”Kau akan segera berangkat, Wiro?”
Pemuda itu tak segera menjawab. Kemudian ia mengangguk perlahan.
”Ucapanku yang terakhir Wiro, mulai ketika kamu turun gunung ini, pakailah nama WIRO SABLENG. Itu lebih baik bagi kau. Gurunya GENDENG, muridnya SABLENG.” Dan habis berkata demikian si nenek bau tanah ini tertawa mengikik usang dan panjang. Namun tertawa itu hanyalah untuk menyembunyikan hati yang rawan, duka itu untuk membendung air mata yang hendak tumpah keluar!
”Eyang.... kapan kita bisa bertemu lagi?” tanya Wiro. Sang guru hentikan tertawanya. ”Selama langit masih biru, selama hutan masih hijau, selama air sungai masih mengalir ke laut, kita niscaya bertemu lagi Wiro Sableng....!”
Bersambung...
“Kenapa kamu terkejut....?” tanya Eyang Sinto Gendeng. “Kau takut?!”
“Eyang mau bikin cilaka murid lagi?!” tanya Wiro Saksana bersiap-siap.
Dan nenek itu tertawa lagi melengking-lengking. Dia mundur hingga tujuh tombak ke belakang. ”Pejamkan matamu, Wiro!” perintah Eyang Sinto Gendeng pula.
”Tapi.... Eyang mau bikin apa?!”
”Eeee.... kunyuk betul kau! Aku suruh pejamkan mata malah banyak tanya!! pejamkan matamu!”
Wiro memejamkan matanya dengan ragu-ragu. Karena itu kedua mata itu dipejamkannya tidak rapat betul.
”Biar rapat!” hardik Sinto Gendeng. Dan Wiro terpaksa menutup matanya rapat-rapat.
“Buka bajumu!” Wiro membuka bajunya dan meletakkannya di tanah. Kedua matanya tetap memejam.
“Buka tangan kananmu, naikkan ke atas dan hadapkan telapaknya kepadaku!”, perintah Sinto Gendeng lagi. Wiro mengikuti perintah itu. Eyang Sinto Gendeng memegang mata kapak dengan tangan kanannya erat-erat. Salah satu jarinya kemudian menempelkan disatu bab belakang layar pada gading bersahabat kepala kapak yang terbuat dari besi putih itu.
”Apapun yang terjadi sekali-kali jangan buka kedua matamu dan sekali-kali jangan bergeser. Kecuali kalau kamu mau mampus!”
”Eyang....”
”Diam! Gila betul!,” hardik Sinto Gendeng. Wiro terpaksa membungkam.
Perempuan bau tanah itu menekan alat belakang layar bersahabat kepala kapak. Maka dari ekspresi naga- nagaan di hulu kapak melesat dengan bunyi menderu tiga puluh enam batang jarum putih. Ketiga puluh enam jarum itu mendarat dan menancap di dada kanan Wiro Saksana. Jarum-jarum ini menancap dengan teratur membentuk susunan angka 212. Pemuda itu menjerit keras. Tubuhnya rebah ke tanah! Sekali lagi Sinto Gendeng menekan alat belakang layar bersahabat kepala kapak. Kini dua puluh empat batang jarum hitam meluncur dan menancap di telapak tangan sebelah kanan Wiro Saksana! Pemuda ini menjerit lagi alasannya tancapan jarum yang 36 tadi telah menciptakan ia tak sadarkan diri!
Sebelum Wiro Saksana siuman, Eyang Sinto Gendeng sudah mencabuti jarum-jarum putih di dada cowok itu, juga jarum-jarum hitam di telapak tangan kanan Wiro. Dan ketika Wiro sadarkan diri maka dilihatnya di kulit dadanya terukir formasi angka-angka 212 berwarna hitam kebiruan. Angka-angka yang sama juga juga terdapat di telapak tangannya.
Bedanya angka-angaka yang di telapak tangan ini agak kecil dan berwarna putih sehingga agak kurang jelas kelihatannya.
”Berdiri Wiro!” perintah sang guru.
Wiro Saksana berdiri. Dia tak tahu apa bergotong-royong yang telah dilakukan oleh gurunya.
Yang ia tahu tadi ialah bunyi yang menderu-deru, kemudian ia menjerit, kemudian roboh dan.... tak ingat apa-apa lagi.
“Kau telah lihat angka 212 pada kulit dada dan telapak tangan kananmu?” Wiro mengangguk.
“Berarti dalam dirimu sudah kulekatkan unsur-unsur keduniaan dan unsur ingat Tuhan. Agar kamu tidak lupa bahwa kamu hidup di dunia yaitu untuk menolong sesama manusia. Juga supaya kamu tidak lupa bahwa kamu mempunyai Tuhan yang harus dituruti segala perintah dan dijauhkan segala laranganNya. Kau mengerti?”
“Mengerti Eyang. Tapi... mengapa badanku sekarang tiga kali lebih enteng dari sebelumnya? Bahkan tenaga juga terasa bertambah hebat!” Eyang Sinto Gendeng tertawa mengikik.
“Itu yaitu berkat jarum kapak Naga Geni 212” kata Sinto Gendeng pula. Lalu nenek- nenek ini mengambarkan apa yang telah dilakukannya terhadap muridnya. Wiro merasa menerima anugerah ilmu perhiasan segera berlutut dihadapan gurunya.
”Tak usah pakai peradatan segala macam. Berdirilah! Masih banyak yang saya mau bicarakan sama kau,” kata Sinto Gendeng pula. Wiro berdiri.
Sinto Gendeng mengeluarkan kapak dan kerikil hitam kembali. Diulurkannya benda- benda itu. ”Wiro.... kapak ini kuberi nama Kapak Naga Geni 212. Sepuluh tahun lamanya kubutuhkan waktu untuk membuatnya dan telah dua puluh tahun lebih senjata ini berada di tanganku. Rupanya kamu ada jodoh dengan senjata ini. Terimalah....” Tertegun dan hampir tak percaya Wiro Saksana mendengar ucapan gurunya. Tak disangkanya bahwa ia bakal menerima anugerah senjata yang sangat sakti itu. Dia melamun mematung seketika.
”Ayo Wiro! Kenapa kamu jadi bimbang? Terimalah Kapak Naga Geni 212 ini untuk kau!”
Wiro Saksana mengulurkan kedua tangannya. Ketika senjata sakti itu menyentuh tangannya mendadak sontak mengalirlah arus asing yang hirau taacuh ke dalam tubuh Wiro. Dan disaat itu pula dirasakannya tubuhnya naik hingga dua tingkat, padahal ia merasa tingkat tenaga dalam yang sudah dimilikinya sebelumnya sudah mencapai tingkat yang paling sempurna!
”Sisipkan di pinggangmu Wiro dan pakai kamu punya baju kembali!” Wiro melaksanakan apa yang dikatakan Eyang Sinto Gendeng. Kapak dan kerikil yang ada angka 212-nya itu disisipkan ke pinggangnya.
”Kapak Naga Geni 212 bukan senjata sembarangan, Wiro. Karenanya juga tak boleh kamu pakai sembarangan. Pergunakanlah hanya pada saat-saat kamu terdesak mahir atau dalam keadaan nyawamu terancam. Kau telah lihat juga macam kehebatan kapak itu tadi, tapi masih ada satu lagi kehebatannya yaitu bila kamu tekan salah satu bab di bawah mata kapak itu maka akan berhamburanlah jarum-jarum putih dari ekspresi naga-nagaan.... Untuk menciptakan angka 212 pada dada dan telapak tanganmu saya telah pergunakan jarum-jarum semacam itu tadi. Cuma jarum-jarum tadi telah kuisi dengan sejenis racun yang mahir sehingga tubuhmu akan kebal terhadap segala racun apapun juga! Tangan kananmu juga mempunyai racun yang tersembunyi, Wiro. Jangan sembarangan mempergunakannya alasannya bisa mematikan lawan!”
Wiro Saksana hendak berlutut lagi, tapi segera dibentak oleh gurunya.
”Terima kasih Eyang.... terima kasih,” kata cowok itu. Eyang Sinto Gendeng hanya keluarkan bunyi tertawa. Digaruk-garuknya kepalanya yang berambut jarang dan yang sekarang hanya ditancapi dua buah tusuk kundai. Kemudian mulailah ia untuk ketiga kalinya menyanyikan lagu tadi: Pitulas taun wus katilar....
Ketika Sinto Gendeng selesai menyanyikan lagu itu maka bertanyalah Wiro.
”Eyang, apakah maksud Eyang dengan nyanyian itu....?”
Sinto Gendeng tertawa. Aneh sekali tawanya kali ini. Dan parasnya kelihatan begitu duka serta rawan. Kemudian ketika ia berkata, terperinci suaranya itu bergetar tanda ia tak sanggup menahan sesuatu yang menyesak di lubuk hatinya.
”Aku sudah bilang bahwa hari ini yaitu hari yang penghabisan kamu berada di Gunung Gede ini bersamaku....”
”Mengapa demikian, Eyang....?” Wiro garuk-garuk kepalanya.
”Karena segala ilmuku telah kupasrahkan kepadamu. Karena hari inilah saatnya bagimu untuk turun gunung, memasuki alam dunia luar, membawa garis-garis kehidupanmu sendiri yang telah ditentukan Gusti Allah....”
Sinto Gendeng membisu seketika. Kemudian diteruskannya, ”Sebelum kamu meninggalkan puncak Gunung Gede ini ada satu kiprah yang musti kamu lakukan....”
”Tugas apakah itu, Eyang?” tanya Wiro Saksana. Lagi-lagi digaruknya kepalanya yang berambut gondrong itu.
”Dengar baik-baik Wiro.... Lebih dari empat puluh tahun yang silam saya telah mengambil seorang murid berjulukan Suranyali. Waktu itu ia gres saja berumur dua tahun. Dari umur dua tahun itulah saya mulai mendidiknya pelbagai ilmu dasar silat dan kesaktian.
Tapi kemudian saya ketahui bahwa saya telah ketelanjuran mengambil itu insan menjadi muridku. Suranyali kulepas turun gunung, kubekali pelbagai pesan yang tersirat tapi dasar Suranyali bukan insan baik-baik, begitu turun gunung segala ilmu yang kuberikan padanya dipakainya untuk perbuatan jahat, maksiat. Dia menciptakan keonaran dimana-mana! Menjadi kepala perampok! Tukang peras bahkan menculik perempuan-perempuan anggun dan merusak kehormatannya! Menurutku sekarang umurnya sudah hampir setengah abad, sudah bersahabat ke liang kubur! Tapi ini sama sekali tidak memperlihatkan keinsyafan pada dirinya. Kejahatannya akhir- final ini semakin menjadi-jadi, sudah lewat dari takaran! Kini ia tengah menyusun rencana bacin terhadap Pajajaran. Pajajaran hendak dibikinnya banjir darah! Karena itu kamu harus lekas-lekas sanggup mencari itu insan laknat dan perintahkan kepadanya untuk tiba ke sini menghadapku guna mempertanggungjawabkan segala apa yang telah dibuatnya selama malang melintang di dunia sana! Dan perlu kamu ketahui, Suranyali sekarang telah menggunakan nama gres yakni Mahesa Birawa!”
Wiro Saksana merasa betapa sedihnya akan berpisah dengan gurunya yang selama 17 tahun telah mendidiknya itu. Tapi mengingat perpisahan itu yaitu demi untuk menjalankan kiprah dari sang guru, terhibur juga sedikit hatinya. Dan berkatalah cowok itu:
”Tugas Eyang akan saya laksanakan. Cuma bagaimana jikalau itu insan Mahesa Birawa tidak mau mematuhi perintah untuk tiba ke sini....?”
”Jawabnya hanya satu Wiro. Pateni insan itu! Bunuh insan durhaka itu!” Wiro Saksana terdiam. Dalam diamnya ini ia berpikir-pikir hingga dimanakah ketinggian ilmu Suranyali atau Mahesa Birawa itu? Sanggupkah ia menghadapi insan yang sesungguhnya yaitu abang seperguruannya sendiri?!
”Aku tahu apa yang kamu pikirkan Wiro,” kata Eyang Sinto Gendeng pula tiba-tiba. Ini mengejutkan Wiro Saksana. ”Suranyali memang sakti bahkan kudengar ia telah mencar ilmu pula pada seorang sakti di Gunung Lawu! Tapi kamu tak usah takut! Kau mempunyai kapak Naga Geni 212. Dan kamu berada dalam kebenaran pula! Sesungguhnya kamu punya hak untuk membunuh itu manusia, Wiro. Pertama alasannya kiprah yang saya pikulkan dibatok kepalamu! Kedua alasannya Suranyali atau Mahesa Birawa itulah yang telah membunuh kamu punya ibu-bapak!”
Mendadak sontak bergetarlah sekujur tubuh Wiro Saksana. Parasnya berubah kelam membesi! Sejak kecil, semenjak membisu di puncak Gunung Gede itu belum pernah ia mengetahui apa yang dinamakan kebencian dan dendam kesumat! Tapi ketika itu dadanya serasa mau pecah oleh kobaran kebencian dan amarah serta dendam yang tiada terkirakan!.
”Bapakmu berjulukan Ranaweleng! Dibunuh oleh Suranyali. Ibumu dilarikannya. Sesudah itu bunuh diri setelah dirusak kehormatannya. Kau sendiri hampir menemui janjkematian dimakan api sewaktu rumah bapakmu dibakar oleh Suranyali dan anak buahnya. Kebetulan sekali saya lewat disitu....”
Wiro menjatuhkan diri di hadapan gurunya. ”Terima kasih Eyang.... kalau Eyang tidak ada....”
”Berdiri!” hardik Sinto Gendeng. Perempuan asing itu memang paling tidak suka dilututi ibarat itu. ”Bukan saya yang menolong kau, tapi Gusti Allah!” katanya. ”Ayo berdiri!”
Wiro bangun kembali. Dan Sinto Gendeng menuturkan insiden tujuh belas tahun yang kemudian sejelas-jelasnya. Kini maklumlah Wiro apa arti kata-kata dalam nyanyian gurunya tadi. Dikuatkan hatinya untuk mengendalikan perasaannya yang campur aduk. Dikuatkannya dirinya untuk membendung air mata yang hendak tumpah dari kelompok matanya!
”Eyang....,” desis Wiro Saksana, ”Sewaktu Eyang turun ke kampung Jatiwalu itu, mengapa Eyang tidak eksklusif turun tangan....?” Sinto Gendeng tertawa rawan.
”Semustinya.... semustinya memang saya harus turun tangan ketika itu. Tapi ketika kutahu bahwa Ranaweleng – bapakmu – mempunyai seorang orok maka saya mempunyai pikiran lain! Kalau kupelihara anak itu dan kudidik ilmu silat seta kesaktian maka jikalau sudah besar ia lebih mempunyai hak dariku untuk menamatkan riwayat Suranyali alias Mahesa Birawa. Kalau tidak percuma saja saya ajarkan kepadamu bahwa kehidupan di dunia ini tersimpul dalam tiga barisan angka 212. Bukankah setiap budi ada balas? Setiap kejahatan ada pembalasannya? Tuhan telah menolongmu, berarti itu angka 1. Suranyali membunuh orang tuamu berarti itu angka2, Wiro! Jangan sekali-kali kamu lupakan!”
”Menurut Eyang, apakah insan keparat itu masih ada di kampung Jatiwalu bersama bawah umur buahnya....?”
”Tak sanggup kupastikan, Wiro. Itu tugasmu untuk menyelidik. Yang saya tahu ialah bahwa insan itu hendak menciptakan Pajajran banjir darah. Karenanya, seret ia ke sini sebelum hal itu terjadi. Dan kalau ia tidak mau, pateni saja!!” (pateni=bunuh). Sunyi selang beberapa lamanya. Kedua orang itu karam dalam alam pikiran masing-masing.
”Kau akan segera berangkat, Wiro?”
Pemuda itu tak segera menjawab. Kemudian ia mengangguk perlahan.
”Ucapanku yang terakhir Wiro, mulai ketika kamu turun gunung ini, pakailah nama WIRO SABLENG. Itu lebih baik bagi kau. Gurunya GENDENG, muridnya SABLENG.” Dan habis berkata demikian si nenek bau tanah ini tertawa mengikik usang dan panjang. Namun tertawa itu hanyalah untuk menyembunyikan hati yang rawan, duka itu untuk membendung air mata yang hendak tumpah keluar!
”Eyang.... kapan kita bisa bertemu lagi?” tanya Wiro. Sang guru hentikan tertawanya. ”Selama langit masih biru, selama hutan masih hijau, selama air sungai masih mengalir ke laut, kita niscaya bertemu lagi Wiro Sableng....!”
Bersambung...