Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 3

 Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng  Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 3
Sebelumnya...
Kedua mata Mahesa Birawa alias Suranyali yang menutup dalam tidur-tidur ayam membuka lebar-lebar bila telinganya menangkap bunyi derap kaki kuda yang memasuki pekarangan. Dia bangkit dan melangkah cepat ke pintu muka. Dan matanya yang tadi membuka lebar itu sekarang tampak membeliak. Setengah meloncat ia turun ke tanah. ”Ada apa dengan kalian?!” tanya Mahesa Birawa. Pertanyaan ini hampir merupakan teriakan.
Kedua kuda itu berhenti. Penunggangnya, Kalingundil dan Saksoko turun perlahan- lahan. Pakaian mereka kotor oleh darah dan debu. Muka keduanya pucat pasi. Melihat ini Mahesa Birawa segera maklum bahwa kedua anak buahnya itu menerima luka dalam yang parah.
Kalingundil berdiri terbungkuk-bungkuk sambil mengurut dada. Pemandangannya masih berkunang-kunang. Saksoko begitu menginjakkan kedua kakinya di tanah segera tergelimpang, muntah darah lagi kemudian pingsan! Mahesa Birawa melompat dan cepat menubruk Saksoko. Dari dalam sabuknya dikeluarkannya sebutir pil dan dimasukkannya ke dalam verbal Saksoko. Sebutir lagi kemudian diberikannya pada Kalingundil.
”Telan cepat!,” katanya. ”Kalau sudah, lekas atur jalan nafas dan darahmu!” Kalingundil menelan pil yang diberikan kemudian cepat-cepat duduk bersila di tanah untuk mengatur jalan nafas dan darahnya. Tak lupa ia mengalirkan tenaga dalamnya ke bab tubuh yang tadi kena terpukul.
Satu jam kemudian keadaan Kalingundil boleh dikatakan siuman meski masih berbaring menelentang di atas sebuah daerah tidur. ”Sekarang!” kata Mahesa Birawa sangat tidak sabar dan sambil menggeprak meja, ”terangkan apa yang terjadi Kalingundil!” Kalingundil tarik nafas panjang. Diurutnya dadanya beberapa kali kemudian mulailah ia memberi keterangan. Dan bila Mahesa Birawa akibat mendengar keterangan itu maka mendidih darah di kepalanya. Mukanya hitam membesi. Kumisnya yang tebal melintang bergetar. Matanya yang memang sudah besar itu dalam keadaan melotot menyerupai mau tanggal dari rongganya!
”Kalingundil! Siapkan kudaku! Panggil Majineng dan Krocoweti. Kalian bertiga ikut saya ke tempatnya itu insan haram jadah! Lekas.....!” Kalingundil tanpa banyak bicara tinggalkan daerah itu. Tak usang kemudian kelihatanlah empat orang penunggang kuda menderu laksana terbang. Debu mengepul, pasir berhamparan. Mahesa Birawa memacu kudanya di muka sekali. Orang renta berjulukan Jarot Karsa itu mengusap dagunya. Tanpa berpaling pada Ranaweleng yang berdiri di sampingnya dengan mata yang memandang tajam ke muka ia berkata, ”Dugaan kita tidak salah, Raden. Mereka datang. Agaknya yang di depan sendiri itu ialah insan yang berjulukan Mahesa Birawa.....”
Ranaweleng memandang pula ke muka. Hatinya mengeluh. Inilah pertama selama menjadi Kepala Kampung ia menghadapi kesukaran dan kekerasan macam begini! Bahkan ia tadi belum sempat menuntaskan pembicarannya dengan Suci ketika Jarot Karsa memanggilnya, memberi tahu kedatangan empat penunggang kuda itu. Ketika Mahesa Birawa hingga di halaman, Suci pun ketika itu sudah berdiri di belakang suaminya.
Mahesa Birawa hentikan kudanya. Sorotan matanya seganas kelaparan tertuju pada Ranaweleng. Di belakangnya Kalingundil memperlihatkan kisikan. ”Laki-laki renta yang berdiri di bersahabat tiang itulah bangsatnya yang telah mencelakai saya dan Saksoko. Hati-hati terhadap dia, Mahesa. Ilmunya tinggi sekali.....” ”Kau insan kintel tutup mulut! Tak usah kasih nasihat padaku!” membentak Mahesa Birawa.
Kalingundil terdiam. Digigitnya bibirnya. Dan ketika itu dendam serta bencinya terhadap kedua orang yang berdiri di langkan rumah itu, terutama Jarot Karsa, tak sanggup dilukiskan. Mahesa Birawa memandang sekilas pada Suci yang berdiri di belakang suaminya. Nafsu untuk sanggup mempunyai wanita ini yang tak kesampaian atau belum kesampaian menciptakan amarahnya semakin meluap-luap. Dadanya menyerupai mau pecah. Saat itu meski sudah bersuami dan punya anak satu tapi Suci dilihatnya semakin tambah elok dan muda jelita.
Bola mata Mahesa Birawa bergerak ke jurusan Jarot Karsa sesudah terlebih dahulu menyapu tampang Ranaweleng dengan garangnya.
”Anjing renta yang di atas langkan turunlah untuk mendapatkan mampus!” bunyi Mahesa Birawa begitu lantang dan menggeletarkan alasannya ialah disertai tenaga dalam yang tinggi sudah mencapai puncak kesempurnaannya. Jarot Karsa sunggingkan senyum tawar. Sekali ia menggerakkan kedua kakinya maka setengah detik kemudian ia sudah berdiri di tanah, beberapa tombak di hadapan kuda Mahesa Birawa. Gerakannya waktu melompat tadi enteng sekali. Senyum datar yang mengejek tersungging lagi di verbal orang renta ini.
”Ini manusianya yang berjulukan Mahesa Birawa?! Yang inginkan istri orang?! Kalau kau tidak sedeng tentu sinting! Apa kunyukmu yang satu ini sudah kasih tahu padamu biar mencari dukun untuk mengobati otak miringmu?!”
Bergetar tubuh Mahesa Birawa mulai dari ubun-ubun hingga ke ujung jari-jari kaki! ”Anjing renta yang tak tahu diri, hari ini terpaksa kau harus pasrahkan nyawa kepadaku!” Mahesa Birawa enjot diri, melompat turun dari kuda. Dalam keadaan tubuh melayang demikian rupa kedua tangannya dipukulkan ke muka. Dua rangkum angin sedahsyat angin puting-beliung menyerbu orang renta yang membungkuk itu. Debu dan pasir mengebubu!
Jarot Karsa melengking dan melompat setinggi tiga tombak ke atas. Angin pukulan yang dahsyat lewat di bawah kedua kakinya. Pada detik ia hendak mengirimkan serangan jawaban maka berserulah Ranaweleng.
”Bapak Jarot minggirlah, biar saya yang hadapi insan pengacau ini!”
”Ah Raden....,” kata Jarot Karsa dalam keadaan tubuh masih mengapung di udara.
”Biarlah saya yang sudah renta ini kasih pelajaran padanya! Tak usah Raden bersusah payah.
Dalam satu dua jurus ini akan kusapu badannya keluar halaman!” Mahesa Birawa kertakkan rahang. Dua tinjunya bergerak susul menyusul. Deru angin yang dahsyat melanda ke arah Jarot Karsa. Si orang tua, yang rupanya ingin menjajaki hingga di mana ketinggian tenaga dalam lawan, balas mengirimkan pukulan tangan kosong.
Letusan sedahsyat meriam berdentum ketika dua tenaga dalam itu saling bentrokan di udara. Gendang-gendang indera pendengaran menyerupai menjadi pecah dan pekak. Tubuh Mahesa Birawa kelihatan berdiri gontai beberapa detik lamanya sedangkan Jarot Karsa jatuh duduk di tanah, mandi keringat dingin!
Bukan saja Jarot Karsa sendiri, tapi Ranaweleng-pun kagetnya bukan main. Suci yang berdiri di belakang suaminya dan menyaksikan itu menjerit tertahan alasannya ialah menyangka si orang renta menerima celaka besar. Ternyata tenaga dalam Mahesa Birawa demikian tingginya, lebih tinggi dari tenaga dalam Jarot Karsa.
Tahu jika tenaga dalam lawan lebih unggul dari dia, Jarot Karsa segera melompat dan menyerang. Kedua tangannya bergerak demikian cepat hampir tak kelihatan, menyapu- nyapu dan sekali-kali menjotos ke muka dengan dahsyatnya.
Hampir dua jurus Mahesa Birawa terkurung oleh pukulan-pukulan yang anginnya memerihkan matanya. Mahesa Birawa atau Suranyali mau tak mau mempercepat pula gerakannya. Tubuhnya sekarang laksana bayang-bayang. Bila satu jurus lagi berlalu, maka Jarot Karsa mulai mencicipi tekanan-tekanan serangan yang membuatnya harus berhati-hati. Tiga jurus lagi berlalu. Tubuh kedua insan itu sudah hampir tak kelihatan alasannya ialah cepatnya gerakan mereka ditambah lagi dengan debu serta pasir yang menggebubu ke udara menutupi keduanya.
Tiba-tiba diiringi dengan lengkingan yang menggetarkan dengan satu gerakan yang sukar ditangkap oleh mata Jarot Karsa, dengan mengandalkan ilmu mengentengi tubuhnya yang lebih tinggi sedikit dari lawan ia menyorongkan siku kirinya ke muka. Tubuh lawan di lihatnya mengelak ke samping dan sekaligus tangannya yang lain memapaki gerakan mengelak dari Mahesa Birawa.
”Buk!!”
Mahesa Birawa terjajar hingga dua tombak ke belakang. Mulutnya memencong menahan sakit pukulan asisten Jarot Karsa yang bersarang di dada kirinya. Cepat- cepat dialirkannya tenaga dalamnya ke bab yang terkena itu, Jarot Karsa tertawa mengekeh. ”Jika kau masih juga belum mau angkat kaki dari sini bersama kunyuk-kunyukmu itu, jangan menyesal jika mukamu nanti akan benjat benjut macam mangga busuk!”
Tampang Mahesa Birawa kelam membesi. Kedua kakinya merenggang. Tangan kiri dipentang lurus-lurus ke muka. Tangan kanan ditarik tinggi-tinggi ke belakang di atas kepala. Pelipisnya bergerak-gerak. Tangan kanan Mahesa Birawa kemudian kelihatan menjadi hijau dan bergeletar.
”Bangsat renta bangka!” kertak Mahesa Birawa, ”lihat tangan kananku. Kenalkah kau akan pukulan yang akan kulepaskan ini....!” Jarot Karsa kerutkan kening. Matanya memandang lekat-lekat ke asisten Mahesa Birawa yang semakin usang semakin bertambah hijau itu. Meski ia sudah hidup hampir tujuh puluh tahun, meski pengalamannya di dunia persilatan setinggi langit sedalam lautan namun kali ini mau tak mau tergetar juga hatinya meliahat asisten lawan itu, ditambah lagi ia sama sekali tidak tahu ilmu pukulan apakah yang akan dilancarkan oleh lawannya!
Akan Ranaweleng, begitu melihat tangan Mahesa Birawa yang menjadi hijau itu, kagetnya bukan main. Dengan cepat ia memperlihatkan kisikan pada Jarot Karsa dengan mempergunakan ilmu ”menyusupkan suara.”
”Bapak Jarot, hati-hati. Pukulan yang hjendak dilepaskan itu ialah pukulan – Kelabang Hijau — Hebatnya bukan main dan sangat beracun....!” Jarot Karsa menindih rasa terkejutnya. ”Pukulan Kelabang Hijau....,” keluhnya dalam hati. Hampir-hampir tak sanggup dipercayanya jika tidak menyaksikan sendiri. Dia tahu betul bahwa di dunia persilatan hanya ada satu insan yang mempunyai ilmu pukulan yang dahsyat ini yaitu seorang Resi berjulukan Tapak Gajah yang membisu di lereng Gunung Lawu. Tapi sekarang muncul seorang lain yang mempunyai ilmu pukulan itu. Apakah Mahesa Birawa ini muridnya Tapak Gajah?
Kerut-kerut pada kening Jarot Karsa mengendur sedikit. Dicobanya memperlihatkan mimik mengejek. ”Hanya pukulan Kelabang Hijau, apakah perlu ditakutkan....!” kata seorang renta bungkuk itu.
Diam-diam Mahesa Birawa menjadi kaget melihat bahwa lawan mengetahui ilmu pukulan yang hendak dilepaskannya. Cepat ia membentak.
”Kalau sudah tahu mengapa tidak segera berlutut, anjing tua?!”
”Hanya monyet edan yang akan berlutut di hadapanmu Mahesa Birawa. Terimalah ini....!” dan tangan Jarot Karsa mendahului melepaskan pukulan tangan kosong yang dahsyat.
Setengah tombak lagi angin pukulan yang menghembuskan maut itu melanda tubuh dan kepala Mahesa Birawa maka kelihatanlah pria ini meninjukan tangan kanannya ke muka!
Setiup angin laksana topan prahara dan mengeluarkan sinar hijau melesat ke muka. Angin pukulan Jarot Karsa terdorong dan balik menyerang orang renta itu sendiri! Jarot Karsa melompat ke samping. Tapi tak keburu. Sinar hijau pukulan Kelabang Hijau telah melanda pinggangnya. Suci menjerit dan menutup mukanya dangan kedua tangan.
Orang renta itu berteriak setinggi langit. Tubuhnya terguling di tanah. Kulitnya kelihatan hijau.
Dia mengerang dan menggelepar-gelepar seketika, kemudian nafasnya lepas, maka tubuhnya melingkar tanpa nyawa!
”Manusia biadab!” hardik Ranaweleng. ”Orangku tiada permusuhan dengan kau. Mengapa kau bunuh dia?!” Mahesa Birawa atau Suranyali tertawa mengekeh. ”Sebentar lagi kau juga akan mampus Ranaweleng! Tapi saya masih berbaik hati untuk membiarkan kau angkat kaki dari sini. Kalau kau masih keras kepala ketahuilah bahwa maut sudah di depan mata!” dan Mahesa Birawa tertawa lagi macam tadi.
”Hari ini saya mengadu nyawa dengan kau insan iblis!” teriak Ranaweleng. Maka menerjanglah Kepala Kampung Jatiwalu itu.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel