Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 4
Sabtu, 13 September 2014
Sebelumnya...
”Manusia keparat yang tidak tahu diri, hari ini terimalah mampus di tanganku!” hardik Mahesa Birawa seraya angkat lengan kirinya untuk menangkis pukulan lawan. Dua lengan beradu dengan keras, Ranaweleng terpelanting ke belakang sedang Mahesa Birawa hanya terjajar beberapa langkah saja. Lengan Ranaweleng yang beradu dengan lengan Mahesa Birawa kelihatan kemerahan dan perih. Laki-laki ini menggigit bibirnya menahan sakit.
Dia maklum bahwa tenaga dalamnnya lebih rendah dari lawan. Karena itu dengan memepergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah hingga ke puncaknya, Ranaweleng tidak lebih digdaya dari Jarot Karsa. Sementara itu di langkan rumah terdengar jeritan-jeritan Suci pada kedua orang yang berkelahi itu. ”Suranyali! Kakang Rana! Hentikanlah perkelahian ini! Hentikanlah!” Suci tidak pernah tahu jikalau Suranyali telah berganti nama menjadi Mahesa Birawa. Dan ia berteriak lagi, ”Kalian berdua tidak memiliki permusuhan mengapa musti berkelahi?!”
”Suci masuklah ke dalam!” sahut Ranaweleng kepada isterinya. Saat itu ia harus jungkir balik di udara mengelakkan pukulan lawannya. Di pihak Mahesa Birawa sudah barang tentu tiada niat sama sekali untuk menghentikan perkelahian. Bahkan teriakan-teriakan Suci tadi mendorongnya untuk lebih cepat menamatkan riwayat Ranaweleng!
Dalam sekejapan saja kedua orang itu telah bertempur delapan jurus dan kelihatanlah dengan kasatmata betapa Ranaweleng terdesak dengan hebat. Pukulan-pukulan tangan kosong lawan mengurungnya dari aneka macam jurusan. Dengan membentak keras serta mempercepat gerakannya dan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh, Ranaweleng berusaha keluar dari kurungan pukulan lawan. Namun percuma saja. Tubuh Mahesa Birawa laksana bayang- bayang. Bergerak cepat sekali. Dan pada jurus ke sepuluh satu hantaman sikut kiri yang keras sekali menyambar rusuk kanan Ranaweleng. Ranaweleng merintih tertahan.
Mukanya kelihatan pucat kebiruan. Dia tahu, sekurang- kurangnya dua dari tulang iganya telah patah dan tubuhnya di bab dalam terluka hebat!
Untuk beberapa usang ia berdiri limbung dengan pemandangan mata berkunang-kunang.
”Ha.... ha....,” tertawa Mahesa Birawa. ”Sebentar lagi Ranaweleng, sebentar lagi ajalmu akan sampai. Lebih cantik cepat-cepat kau minta tobat pada Tuhanmu sebelum mampus!”
Mulut Ranaweleng komat kamit. Rahang-rahangnya menggembung. Kedua tangannya terpentang ke muka. Dia siap-siap untuk melancarkan pukulan tangan kosong yang dahsyat.
Di lain pihak Mahesa Birawa berdiri laksana tugu. Kedua kakinya karam satu senti ke dalam tanah. Tenaga dalamnya dialirkan ke segenap bab tubuh untuk menghadapi serangan lawan.
Tiba-tiba jeritan sedahsyat angin punting beliung keluar dari lisan Ranaweleng. Kedua tangannya bergerak susul menyusul dan gelombang Angin Panas menderu ke arah Mahesa Birawa. Yang di serang membentak dahsyat dan lompat tiga tombak ke udara. Begitu angin panas menggebubu di bawah kakinya, aben hangus pohon-pohon di belakangnya, maka Mahesa Birawa segera menukik ke bawah laksana seekor elang.
Pukulan Angin Panas yang dilakukan oleh Ranaweleng membutuhkan pemusatan tenaga dan pikiran yang besar. Beberapa detik sehabis ia melancarkan pukulan tersebut, keadaan dirinya masih terbungkus oleh pemusatan pikiran itu sehingga pada dikala lawannya menukik dari atas ia terlambat meneyingkir. Untuk kedua kalinya Ranaweleng harus mendapatkan hantaman lawan. Kali ini badannya hampir terjungkal ke tanah. Masih untung ia sempat menggulingkan diri jikalau tidak pastilah tendangan kaki kanan Mahesa Birawa yang mengarah bawah perutnya menamatkan riwayatnya!
Begitu bangun, alasannya tahu bahwa ia tak akan sanggup menghadapi lawan dengan tangan kosong maka Ranaweleng segera cabut keris eluk tujuh dari balik pinggangnya! Tapi betapa terkejutnya Ranaweleng ketika melihat ke muka. Mahesa Birawa berdiri dengan kedua kaki terpentang. Tangan kiri lurus-lurus ke muka, asisten diangkat tingi- tinggi di belakang kepala dan tangan itu sudah menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan Kelabang Hijau!
Suci yang telah melihat kedahsyatan pukulan Kelabang Hijau itu menjerti keras. ”Sura!! Jangan....! Hentikan perkelahian ini!” Suranyali alias Mahesa Birawa sunggingkan senyum berbau maut. ”Jika kau punya sepuluh senjata, keluarkanlah sekaligus Ranaweleng!” katanya mengejek. Hati Ranaweleng tergetar hebat. Keringat masbodoh mebasahi badannya. Seperti halnya dengan Jarot Karsa ia tak akan sanggup menghadapi kedahsyatan pukulan Kelabang Hijau tersebut. Tapi untuk lari menyelamatkan diri, sebagai seorang laki-laki, sebagai seorang yang berjiwa ksatria, tiada ada dalam kamus hidup Ranaweleng. Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup sebagai pengecut! Lagi pula ia sudah tahu benar bahwa lawan betul-betul menginginkan nyawanya. Karena itu Ranaweleng ambil keputusan untuk mendahului menyerang.
Dengan keris sakti di tangan, Ranaweleng menerjang ke muka. Namun tetap sia-sia saja. Pada detik tubuhnya gres dalam setengah lompatan, asisten Mahesa Birawa telah memukul ke depan!
Suci menjerit. Tubuh Ranaweleng mencelat mental dan jatuh di tanah tanpa nyawa. Sekujur kulit tubuhnya bahkan sampai-sampai kepada keris sakti yang dikala itu masih tergenggam di tangannya menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan Kelabang Hijau! Suci pun menjerit lagi kemudian lari menubruk suaminya. Tapi Mahesa Birawa cepat meloncat ke muka dan mencekal wanita itu. Kalau hingga Suci menyentuh tubuh suaminya yang mati hijau itu maka dalam sekejapan racun yang menyerap di tubuh Ranaweleng akan mengalir ke tubuh Suci dan pastilah wanita ini akan meregang nyawa pula!
”Lepaskan aku! Lepaskan saya insan terkutuk! Biadab!!” pekik Suci.
”Sedikit saja kau menyentuh tubuh pria itu kau akan keracunan Suci....!”
”Aku tidak takut! Aku juga ingin mati!”
”Kau masih terlalu muda untuk mati....!”
Dan dengan sekali gerakkan tangannya, maka Mahesa Birawa segera membopong Suci di bahunya. Karena wanita itu masih meronta-ronta dan menjerit-jerit serta memukuli punggungnya, maka Mahesa Birawa segera menotok urat darah besar di pangkal leher Suci sehingga wanita itu menjadi kejang kaku kini. Sambil melangkah ke kudanya Mahesa Birawa memerintah kepada ketiga orang anak buahnya.
”Bakar rumah keparat itu!” Kalingundil dan Krocoweti serta Majineng segera laksanakan perintah itu. Dalam sekejapan mata maka tengelamlah rumah besar Kepala Kampung Jatiwalu itu dalam kobaran api.
Senyum puas membayang di muka Mahesa Birawa. Bila sebagian dari rumah itu sudah musnah di makan api, maka bersama anak buahnya segera ditinggalkannya daerah itu.
Jeritan bayi yang gres berumur beberapa bulan terdengar melengking-lengking di antara kobaran lidah-lidah api yang aben rumah.
”Bayi itu! Bayi itu....!” teriak salah seorang di antara orang banyak yang berkerubung di halaman rumah Kepala Kampung.
”Oroknya Raden Rana....! Aduh, kasihan!”
”Kalau tidak lekas ditolong niscaya mati!”
Tapi semua orang di situ hanya bisa berteriak dan berteriak. Mana mereka berani menghambur menyelamakan bayi itu. Dan bunyi tangisan bayi semakin usang semakin kecil serta parau sementara nyala api mulai aben daerah tidur di mana bayi itu terbaring!
Pada dikala bunyi tangisan bayi yang menyayat hati itu hampir tidak lagi kedengaran, pada dikala orang banyak sudah tak tahu lagi apa yang mesti mereka perbuat untuk menyelamatkan itu orok, maka pada dikala itu pula, entah dari mana datangnya kelihatan sesosok bayangan berkelebat dan lenyap masuk ke dalam kobaran api. Sesaat kemudian sosok tubuh itu keluar lagi dan melesat ke halaman kemudian lenyap di jurusan timur.
Demikian cepat dan sebatnya sosok tubuh itu bergerak sehingga tidak satu orangpun yang sanggup melihat siapa adanya insan tersebut ataukah betul bisa memastikan bahwa sosok tubuh itu ialah bantu-membantu manusia, bukan setan atau dedemit!
Jangankan untuk melihat wajahnya, untuk memastikan sosok tubuh itu pria atau wanita juga tak satu orangpun yang bisa!
Begitu cepat ia datang, begitu cepat ia lenyap! Hanya warna pakaian yang hitam saja yang bisa dilihat mata orang banyak dikala itu. Dan hanya beberapa detik saja sehabis sosok tubuh itu lenyap maka rumah Ranaweleng yang terbakar itu runtuh ambruk dan pengecap api mengelombang tinggi ke udara!
Siapapun adanya sosok tubuh itu, entah ia insan atau bukan, entah pria atau perempuan, tapi yang niscaya dan semua orang yang ada di situ tahu, bahwa sosok tubuh itu telah menyelamatkan bayi Ranaweleng dan melarikannya ke arah timur!
Ketika Mahesa Birawa membuka pintu kamar dan membaringkan Suci di atas daerah tidur dan secara tak sengaja memandang ke dinding, maka meluncurlah usul tertahan dari lisan pria ini!
Pada dinding papan kayu jati yang keras itu tertulis rangkaian kalimat yang berbunyi:
APA YANG KAU LAKUKAN HARI INI
AKAN KAU TERIMA BALASANNYA PADA
TUJUH BELAS TAHUN MENDATANG!
Tiada tertera nama dari siapa yang menulis goresan pena pada dinding itu. Tulisan itu dibentuk dengan sangat cepat. Dan Mahesa Birawa tahu, jikalau bukan insan yang memiliki tenaga dalam luar biasa dahsyatna pastilah tak akan sanggup menciptakan goresan pena semacam itu pada dinding kayu jati yang keras, alasannya goresan pena itu dibentuk dengan mempergunakan ujung jari!
Bersambung...
”Manusia keparat yang tidak tahu diri, hari ini terimalah mampus di tanganku!” hardik Mahesa Birawa seraya angkat lengan kirinya untuk menangkis pukulan lawan. Dua lengan beradu dengan keras, Ranaweleng terpelanting ke belakang sedang Mahesa Birawa hanya terjajar beberapa langkah saja. Lengan Ranaweleng yang beradu dengan lengan Mahesa Birawa kelihatan kemerahan dan perih. Laki-laki ini menggigit bibirnya menahan sakit.
Dia maklum bahwa tenaga dalamnnya lebih rendah dari lawan. Karena itu dengan memepergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah hingga ke puncaknya, Ranaweleng tidak lebih digdaya dari Jarot Karsa. Sementara itu di langkan rumah terdengar jeritan-jeritan Suci pada kedua orang yang berkelahi itu. ”Suranyali! Kakang Rana! Hentikanlah perkelahian ini! Hentikanlah!” Suci tidak pernah tahu jikalau Suranyali telah berganti nama menjadi Mahesa Birawa. Dan ia berteriak lagi, ”Kalian berdua tidak memiliki permusuhan mengapa musti berkelahi?!”
”Suci masuklah ke dalam!” sahut Ranaweleng kepada isterinya. Saat itu ia harus jungkir balik di udara mengelakkan pukulan lawannya. Di pihak Mahesa Birawa sudah barang tentu tiada niat sama sekali untuk menghentikan perkelahian. Bahkan teriakan-teriakan Suci tadi mendorongnya untuk lebih cepat menamatkan riwayat Ranaweleng!
Dalam sekejapan saja kedua orang itu telah bertempur delapan jurus dan kelihatanlah dengan kasatmata betapa Ranaweleng terdesak dengan hebat. Pukulan-pukulan tangan kosong lawan mengurungnya dari aneka macam jurusan. Dengan membentak keras serta mempercepat gerakannya dan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh, Ranaweleng berusaha keluar dari kurungan pukulan lawan. Namun percuma saja. Tubuh Mahesa Birawa laksana bayang- bayang. Bergerak cepat sekali. Dan pada jurus ke sepuluh satu hantaman sikut kiri yang keras sekali menyambar rusuk kanan Ranaweleng. Ranaweleng merintih tertahan.
Mukanya kelihatan pucat kebiruan. Dia tahu, sekurang- kurangnya dua dari tulang iganya telah patah dan tubuhnya di bab dalam terluka hebat!
Untuk beberapa usang ia berdiri limbung dengan pemandangan mata berkunang-kunang.
”Ha.... ha....,” tertawa Mahesa Birawa. ”Sebentar lagi Ranaweleng, sebentar lagi ajalmu akan sampai. Lebih cantik cepat-cepat kau minta tobat pada Tuhanmu sebelum mampus!”
Mulut Ranaweleng komat kamit. Rahang-rahangnya menggembung. Kedua tangannya terpentang ke muka. Dia siap-siap untuk melancarkan pukulan tangan kosong yang dahsyat.
Di lain pihak Mahesa Birawa berdiri laksana tugu. Kedua kakinya karam satu senti ke dalam tanah. Tenaga dalamnya dialirkan ke segenap bab tubuh untuk menghadapi serangan lawan.
Tiba-tiba jeritan sedahsyat angin punting beliung keluar dari lisan Ranaweleng. Kedua tangannya bergerak susul menyusul dan gelombang Angin Panas menderu ke arah Mahesa Birawa. Yang di serang membentak dahsyat dan lompat tiga tombak ke udara. Begitu angin panas menggebubu di bawah kakinya, aben hangus pohon-pohon di belakangnya, maka Mahesa Birawa segera menukik ke bawah laksana seekor elang.
Pukulan Angin Panas yang dilakukan oleh Ranaweleng membutuhkan pemusatan tenaga dan pikiran yang besar. Beberapa detik sehabis ia melancarkan pukulan tersebut, keadaan dirinya masih terbungkus oleh pemusatan pikiran itu sehingga pada dikala lawannya menukik dari atas ia terlambat meneyingkir. Untuk kedua kalinya Ranaweleng harus mendapatkan hantaman lawan. Kali ini badannya hampir terjungkal ke tanah. Masih untung ia sempat menggulingkan diri jikalau tidak pastilah tendangan kaki kanan Mahesa Birawa yang mengarah bawah perutnya menamatkan riwayatnya!
Begitu bangun, alasannya tahu bahwa ia tak akan sanggup menghadapi lawan dengan tangan kosong maka Ranaweleng segera cabut keris eluk tujuh dari balik pinggangnya! Tapi betapa terkejutnya Ranaweleng ketika melihat ke muka. Mahesa Birawa berdiri dengan kedua kaki terpentang. Tangan kiri lurus-lurus ke muka, asisten diangkat tingi- tinggi di belakang kepala dan tangan itu sudah menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan Kelabang Hijau!
Suci yang telah melihat kedahsyatan pukulan Kelabang Hijau itu menjerti keras. ”Sura!! Jangan....! Hentikan perkelahian ini!” Suranyali alias Mahesa Birawa sunggingkan senyum berbau maut. ”Jika kau punya sepuluh senjata, keluarkanlah sekaligus Ranaweleng!” katanya mengejek. Hati Ranaweleng tergetar hebat. Keringat masbodoh mebasahi badannya. Seperti halnya dengan Jarot Karsa ia tak akan sanggup menghadapi kedahsyatan pukulan Kelabang Hijau tersebut. Tapi untuk lari menyelamatkan diri, sebagai seorang laki-laki, sebagai seorang yang berjiwa ksatria, tiada ada dalam kamus hidup Ranaweleng. Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup sebagai pengecut! Lagi pula ia sudah tahu benar bahwa lawan betul-betul menginginkan nyawanya. Karena itu Ranaweleng ambil keputusan untuk mendahului menyerang.
Dengan keris sakti di tangan, Ranaweleng menerjang ke muka. Namun tetap sia-sia saja. Pada detik tubuhnya gres dalam setengah lompatan, asisten Mahesa Birawa telah memukul ke depan!
Suci menjerit. Tubuh Ranaweleng mencelat mental dan jatuh di tanah tanpa nyawa. Sekujur kulit tubuhnya bahkan sampai-sampai kepada keris sakti yang dikala itu masih tergenggam di tangannya menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan Kelabang Hijau! Suci pun menjerit lagi kemudian lari menubruk suaminya. Tapi Mahesa Birawa cepat meloncat ke muka dan mencekal wanita itu. Kalau hingga Suci menyentuh tubuh suaminya yang mati hijau itu maka dalam sekejapan racun yang menyerap di tubuh Ranaweleng akan mengalir ke tubuh Suci dan pastilah wanita ini akan meregang nyawa pula!
”Lepaskan aku! Lepaskan saya insan terkutuk! Biadab!!” pekik Suci.
”Sedikit saja kau menyentuh tubuh pria itu kau akan keracunan Suci....!”
”Aku tidak takut! Aku juga ingin mati!”
”Kau masih terlalu muda untuk mati....!”
Dan dengan sekali gerakkan tangannya, maka Mahesa Birawa segera membopong Suci di bahunya. Karena wanita itu masih meronta-ronta dan menjerit-jerit serta memukuli punggungnya, maka Mahesa Birawa segera menotok urat darah besar di pangkal leher Suci sehingga wanita itu menjadi kejang kaku kini. Sambil melangkah ke kudanya Mahesa Birawa memerintah kepada ketiga orang anak buahnya.
”Bakar rumah keparat itu!” Kalingundil dan Krocoweti serta Majineng segera laksanakan perintah itu. Dalam sekejapan mata maka tengelamlah rumah besar Kepala Kampung Jatiwalu itu dalam kobaran api.
Senyum puas membayang di muka Mahesa Birawa. Bila sebagian dari rumah itu sudah musnah di makan api, maka bersama anak buahnya segera ditinggalkannya daerah itu.
Jeritan bayi yang gres berumur beberapa bulan terdengar melengking-lengking di antara kobaran lidah-lidah api yang aben rumah.
”Bayi itu! Bayi itu....!” teriak salah seorang di antara orang banyak yang berkerubung di halaman rumah Kepala Kampung.
”Oroknya Raden Rana....! Aduh, kasihan!”
”Kalau tidak lekas ditolong niscaya mati!”
Tapi semua orang di situ hanya bisa berteriak dan berteriak. Mana mereka berani menghambur menyelamakan bayi itu. Dan bunyi tangisan bayi semakin usang semakin kecil serta parau sementara nyala api mulai aben daerah tidur di mana bayi itu terbaring!
Pada dikala bunyi tangisan bayi yang menyayat hati itu hampir tidak lagi kedengaran, pada dikala orang banyak sudah tak tahu lagi apa yang mesti mereka perbuat untuk menyelamatkan itu orok, maka pada dikala itu pula, entah dari mana datangnya kelihatan sesosok bayangan berkelebat dan lenyap masuk ke dalam kobaran api. Sesaat kemudian sosok tubuh itu keluar lagi dan melesat ke halaman kemudian lenyap di jurusan timur.
Demikian cepat dan sebatnya sosok tubuh itu bergerak sehingga tidak satu orangpun yang sanggup melihat siapa adanya insan tersebut ataukah betul bisa memastikan bahwa sosok tubuh itu ialah bantu-membantu manusia, bukan setan atau dedemit!
Jangankan untuk melihat wajahnya, untuk memastikan sosok tubuh itu pria atau wanita juga tak satu orangpun yang bisa!
Begitu cepat ia datang, begitu cepat ia lenyap! Hanya warna pakaian yang hitam saja yang bisa dilihat mata orang banyak dikala itu. Dan hanya beberapa detik saja sehabis sosok tubuh itu lenyap maka rumah Ranaweleng yang terbakar itu runtuh ambruk dan pengecap api mengelombang tinggi ke udara!
Siapapun adanya sosok tubuh itu, entah ia insan atau bukan, entah pria atau perempuan, tapi yang niscaya dan semua orang yang ada di situ tahu, bahwa sosok tubuh itu telah menyelamatkan bayi Ranaweleng dan melarikannya ke arah timur!
Ketika Mahesa Birawa membuka pintu kamar dan membaringkan Suci di atas daerah tidur dan secara tak sengaja memandang ke dinding, maka meluncurlah usul tertahan dari lisan pria ini!
Pada dinding papan kayu jati yang keras itu tertulis rangkaian kalimat yang berbunyi:
APA YANG KAU LAKUKAN HARI INI
AKAN KAU TERIMA BALASANNYA PADA
TUJUH BELAS TAHUN MENDATANG!
Tiada tertera nama dari siapa yang menulis goresan pena pada dinding itu. Tulisan itu dibentuk dengan sangat cepat. Dan Mahesa Birawa tahu, jikalau bukan insan yang memiliki tenaga dalam luar biasa dahsyatna pastilah tak akan sanggup menciptakan goresan pena semacam itu pada dinding kayu jati yang keras, alasannya goresan pena itu dibentuk dengan mempergunakan ujung jari!
Bersambung...