Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 5
Sabtu, 13 September 2014
Sebelumnya...
Adalah hampir tak sanggup mendapatkan amanah bila di puncak Gunung Gede yang semustinya sepi tiada bermanusia, pada siang hari yang panas terik itu terdengar bunyi lengkingan tawa manusia! Sekali-sekali lengkingan itu hilang, berganti dengan bunyi yang membentak yang kadang kala dibarengi oleh bunyi gelak membahak lain! Jelas bahwa ada dua insan di puncak Gunung Gede ketika itu! Dan keduanya kelihatan tengah bertempur dengan segala kehebatan yang ada. Bertempur sambil tertawa-tawa! Siapakah mereka ini?!
Yang berbadan tinggi langsing dan mengenakan pakaian serta kain hitam yaitu seorang nenek-nenek berkulit sangat hitam berkeringat-kerinyut. Kulit yang hitam berkerinyut ini tak lebih hanya merupakan kulit tipis pembalut tulang saja! Mukanya cekung dan kecekungan ini merambas ke matanya sehingga matanya ini kelihatan demikian menyeramkan. Berlainan dengan kulit serta pakaiannya yang seba hitam itu maka rambut di kepalanya serta alis matanya berwarna sangat putih. Dan rambut yang putih itu tumbuh sangat jarang di atas batok kepalanya yang hampir membotak licin berkilat. Namun lucunya pada kepala yang berambut jarang ini, nenek-nenek itu menggunakan lima tusuk kundai. Dan anehnya kelima tusuk itu tidaklah tersisip disela-sela rambut yang putih sebab memang tidak mungkin untuk menyisip di rambut yang jarang itu. Kelima tusuk kundai itu menancap pribadi ke kulit kepala nenek-nenek itu!
Siapakah nenek-nenek ini? Dialah yang berjulukan Eyang Sinto Gendeng, seorang wanita sakti yang telah mengundurkan diri semenjak dua puluh tahun yang kemudian dari dunia persilatan.
Selama malang melintang dalam dunia persilatan itu, sepuluh tahun terakhir Sinto Gendeng telah merajai dunia persilatan di kawasan Barat Jawa bahkan sampai-sampai ke Jawa Tengah.
Selama itu pula ia telah menyapu dan membasmi habis segala insan jahat. Terhadap manusia-manusia jahat, hanya ada satu kesimpulan bagi Sinto Gendeng untuk dilakukan yaitu membunuhnya! Tidak heran jikalau namanya menjadi harum. Nama orisinil dari wanita ini yaitu Sinto Weni. Namun sebab perilaku dan tingkah lakunya yang lucu serta aneh-aneh bahkan seringkali menyerupai orang yang kurang ingatan maka lambat laun dunia persilatan menganugerahkan nama gres padanya yaitu Sinto Gendeng! Atau Sinto Gila!
Siapa pula orang kedua yang berada di puncak Gunung Gede itu dan yang ketika itu bertempur menghadapi Sinto Gendeng? Dia seorang perjaka belia dewasa yang gres memasuki usia tujuh belas tahun. Tubuhnya tegap, tampangnya gagah dan kulitnya higienis kuning, hampir menyerupai kulit perempuan. Rambutnya gondrong sebahu dan agak acak- acakan sehingga tampangnya yang keren itu menyerupai paras kanak-kanak.
Sebenarnya kedua orang itu sama sekali bukan tengah bertempur sebab perjaka tujuh belas tahun tersebut yaitu murid Eyang Sinto Gendeng sendiri! Bagaimana perilaku tingkah laris gurunya, demikian pula perilaku sang murid. Tertawa-tawa dan menjerit-jerit serta cengar- cengir!
Meski keduanya tengah melatih ilmu kepandaian, namun setiap jurus-jurus serta serangan-serangan yang mereka lancarkan yaitu benar-benar serangan yang berbahaya sehingga bila tidak hati-hati sanggup mencelakai diri! Debu dan pasir beterbangan. Daun- daun pohon berguguran, semak belukar tersapu kian kemari oleh angin pukulan dan gerakan tubuh kedua orang itu yang laksana bayang-bayang!
Di ajudan Sinto Gendeng ada sebatnag ranting kering sedang muridnya memegang sebilah keris bereluk tujuh.
”Ayo Wiro! Serang saya dengan jurus – orang gila mengebut lalat – ! Serang cepat, jikalau tidak saya kentuti kamu punya muka!”
Wiro Saksana sang murid tertawa membahak dan menggaruk-garuk kepalanya sehingga rambutnya yang gondrong semakin awut-awutan. Tiba-tiba bunyi tawa membahak itu menjadi keras dan menggetarkan tanah, menggugurkan daun-daun pepohonan!
”Ciaaat....!!” Bentakan setinggi jagat keluar dari verbal Wiro Saksana. Tubuhnya lenyap. Keris yang di tangan kanannya menyapu kian kemari dalam kecepatan yang sukar ditangkap oleh mata. Inilah yang disebut jurus: orang gila mengebut lalat. Dan memang gerakan menyapu-nyapu dengan keris itu meskipun luar biasa cepatnya namun kelihatan menyerupai tak teratur tak menentu. Tubuh Wiro Saksana hoyong sana hoyong sini. Namun serangan itu telah mengurung si nenek sakti Eyang Sinto Gendeng!
Tapi si wanita renta masih juga mengikik-ngikik. Masih juga petatang petiting sambil memainkan ranting kering yang di tangannya. Jika saja yang dihadapi oleh Wiro Saksana ketika itu bukannya gurunya sendiri, bukan seorang sakti macam Sinto Gendeng, tapi seorang lain pastilah tubuhnya akan terkutung-kutung atau sekurang-kurangnya terbabat, tercincang oleh mata keris yang menyapu-nyapu laksana topan itu! Sinto Gendeng mengikik.
”Geblek kamu Wiro! Masih kurang cepat, masih kurang cepat!” kata Sinto Gendeng. Sang murid memaki dalam hati.
”Eeeee.... kamu memaki ya?!” hardik Sinto Gendeng. ”Lihat ranting!” teriak wanita renta itu.
Tubuh Sinto Gendeng berkelebat. Tangan kanannya yang memegang ranting bergerak. ”Awas ketek kananmu, Wiro!” (ketek=ketiak). Meskipun sudah diperingatkan, meskipun sudah mengelak dengan kecepatan yang luar biasa namun tetap saja ujung ranting itu lebih cepat datangnya ke ketiak kanan Wiro Saksana.
”Breeett!!” Baju putih Wiro Saksana robek besar di cuilan ketiak sebelah kanan!
”Buset....! Untung cuma ketekku!” seru perjaka itu. Dengan kertakkan geraham ia menerjang ke muka. ”Eyang,” katanya, ”terima jurus – kunyuk melempar buah – ini!” (kunyuk = monyet).
”Ah hanya jurus geblek begitu siapa yang takut?!” menyahuti sang guru. Wiro Saksana meninjukan tangan kanannya ke muka. Pada ketika tangannya perpentang lurus maka jari-jari tangannya membuka dan setiup gumpalan angin keras laksana kerikil besar melesat ke arah tenggorokan Eyang Sinto Gendeng!
Nenek-nenek itu tertawa cekikikan. Dia meludah. Meski Cuma ludah dan disemburkan secara hirau tak hirau tapi sebab diisi dengan tenaga dalam, ludah itu berbahaya sekali bagi pembuluh-pembuluh kulit dan mata. Wiro Saksana berkelit ke samping. Sambil berkelit dilambaikannya tangan kirinya untuk menambah perbawa dorongan pukulan tangan kosongnya tadi yaitu – kunyuk melempar buah – yang agak menyendat sedikit akhir dipapaki oleh semburan ludah Sinto Gendeng.
Melihat serangan lawan masih terus mengganas ke batang tenggorokannya, kembali Sinto Gendeng tertawa. Memang insan satu ini asing sekali sifatnya. Bahkan setiap jurus- jurus ilmu yang diciptakannya diberinya dengan nama-nama asing dan lucu. Tak salah jikalau banyak orang-orang dalam dunia persilatan menukar namanya menjadi Sinto Gendeng! Suara tertawa nenek-nenek itu lenyap, berganti dengan satu lengkingan nyaring yang menusuk gendang-gendang telinga. Tubuhnya kelihatan jungkir balik dan melesat menyerupai terbang ke sebuah cabang pohon jambu klutuk! Sekaligus Sinto Gendeng telah mengelakkan gumpalan angin keras ”kunyuk melempar buah.” Angin keras ini menghajar batang pohon di seberang sana dan batang pohon itu patah kemudian tumbang ke tanah!
Terdengar lagi bunyi tawa mengikik.
Gemas sekali Wiro Saksana memandang ke atas. Dilihatnya gurunya duduk enak- enakan di cabang pohon jambu klutuk sambil menggerogoti buah jambu itu!
”Gendeng betul....!” gerutu Wiro kesal sebab serangannya hanya mengenai pohon.
”Memang namaku Sinto Gendeng!” kata sang guru pula. Kemudian tanyanya, ”Kau mau jambu, Wiro?!” Dan sebelum Wiro Saksana sempat menyahuti maka gurunya telah menyemburkan biji-biji jambu klutuk itu ke arahnya. Dua puluh satu butir biji jambu klutuk menyerang hampir ke seluruh jalan darah di tubuh Wiro Saksana!
”Ah, cuma bijinya siapa yang sudi!,” jawab Wiro Saksana. Dia menghembus ke udara dan melambai-lambaikan kedua tangannya. Dua puluh satu butir biji jambu klutuk itu berguguran ke tanah bahkan tujuh butir di antaranya berbalik menyerang Sinto Gendeng.
Tapi dengan goyangkan sedikit saja kaki kanannya, maka nenek-nenek sakti itu menciptakan ketujuh biji jambu klutuk itu bermentalan!
”Kalau tak sudi biji jambu, terimalah ranting kering ini!” kata Sinto Gendeng. Dan ranting kering yang di tangan kirinya dilemparkannya ke bawah, mendesing laksana anak panah mengarah batok kepala muridnya! Memang Sinto Gendeng benar-benar seorang wanita renta yang aneh. Dalam melatih muridnya setiap serangan yang dilancarkannya benar-benar merupakan serangan yang mematikan atau sekurang-kurangnya sanggup mengakibatkan celaka hebat bila sang murid tidak berhati-hati. Setiap jurus ilmu silat yang diciptakannyapun aneh-aneh namanya.
Melihat serangan ranting kering ini Wiro ganda tertawa. Sekali ia gerakkan tangan kanan yang memegang keris maka ranting kering itu belah dua sempurna di pertengahannya dan jatuh ke tanah.
”Sebaiknya turun saja dari pohon eyang” kata Wiro Saksana. ”Kalau tidak....”
”Kalau tidak kenapa?” memotong Eyang Sinto Gendeng.
”Sambut keris ini, Eyang....! Sambut dengan jidatmu agar konyol!”
Habis berkata begitu Wiro Saksana tertawa mengakak dan melemparkan keris eluk tujuh yang di tangan kanannya. Senjata itu melesat hampir tidak kelihatan sebab cepatnya.
Namun empat detik kemudian terdengarlah bunyi cekikikan Eyang Sinto Gendeng. Dan ketika Wiro mendongak ke atas dilihatnya keris yang dilemparkannya tadi berada dalam jepitan telunjuk dan jari tengah kanan gurunya. Wiro Saksana menggerendeng.
Tiba-tiba. ”Ini jawaban kehormatan untuk keris bututmu, Wiro!” Sinto Gendeng cabut dua tusuk kundainya dari batok kepalanya yang berambut putih dan jarang itu. Dibarengi dengan angin lemparan yang bukan olah-olah dahsyatnya maka menyambarlah dua tusuk kundai itu ke arah Wiro Saksana. Yang satu menyerang kepala, yang lain menyerang perut!
Wiro Saksana yang tahu kehebatan tusuk kundai itu tak mau memapaki senjata tersebut dengan mengandalkan lambaian tangan yang mengandung tenaga dalam. Didahului dengan bentakan nyaring maka perjaka ini menjejek bumi dan melintangkan badannya ke udara. Tusuk-tusuk kundai itu lewat di kiri kanannya, terus amblas ke dalam tanah! Eyang Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak.
”Bagus...., anggun kamu tidak menangkis seranganku dengan hantaman tenaga dalam! Tak satu tenaga dalam yang bagaimana hebatnyapun yang sanggup memapaki tusuk kundai itu Wiro! Eeee.... saya haus!
Hik.... ambilkan air buatku Wiro! Cepat!”
”Kalau haus jilat saja air keringat!” kata murid yang lucu dan menyerupai kurang ingatan pula macam gurunya.
Dan dasar Eyang Sinto Gendeng insan aneh, ia sama sekali tidak murka mendengar gurau yang keliwatan dari muridnya itu, melainkan tertawa mengakak.
Tiba-tiba tawanya lenyap. ”Air, Wiro! Lekas!” hardik wanita itu. Sang murid berlalu juga dari tempat itu. Melangkah ke sebuah pondok kecil. Di cuilan belakang pondok ini ada sebuha gentong berisi air putih dingin. Wiro mengambilnya segayung.
Ketika ia melangkah kembali ke tempat tadi untuk memperlihatkan air itu kepada gurunya maka didengarnya bunyi Eyang Sinto Gendeng menyanyi. Suaranya sama sekali tidak merdu.
Namun kata-kata yang terjalin dalam nyanyian itu menciptakan Wiro Saksana menjadi heran dan bertanya-tanya dalam hati
Pitulas taun wus katilar,
Pucuking Gunung Gede isih panggah kaya biyen mulo,
Langit isih tetep biru,
Wulan lan suryo isih tetep mandeng lan kangen,
Pitulas taun agawe kang renta tambah tua.
Pitulas taun ndadekake bayi kakak dadi perjaka kang gagah,
Pitulas taun wektu perjanjian,
Pitulas taun wiwitane perpisahan,
Pitulas taun wekdaling pamales....
Artinya:
(Tujuh belas tahun telah berlalu. Puncak Gunung Gede masih tetap menyerupai dulu,
Langit masih tetap biru,
Bulan dan matahari masih berpandangan jauh dan rindu.
Tujuh belas tahun menciptakan si renta tambah tua,
Tujuh belas tahun menciptakan seorang orok menjadi perjaka gagah,
Tujuh belas tahun masa perjanjian,
Tujuh belas tahun ujung perpisahan,
Tujuh belas tahun ketika pembalasan).
Bersambung...
Adalah hampir tak sanggup mendapatkan amanah bila di puncak Gunung Gede yang semustinya sepi tiada bermanusia, pada siang hari yang panas terik itu terdengar bunyi lengkingan tawa manusia! Sekali-sekali lengkingan itu hilang, berganti dengan bunyi yang membentak yang kadang kala dibarengi oleh bunyi gelak membahak lain! Jelas bahwa ada dua insan di puncak Gunung Gede ketika itu! Dan keduanya kelihatan tengah bertempur dengan segala kehebatan yang ada. Bertempur sambil tertawa-tawa! Siapakah mereka ini?!
Yang berbadan tinggi langsing dan mengenakan pakaian serta kain hitam yaitu seorang nenek-nenek berkulit sangat hitam berkeringat-kerinyut. Kulit yang hitam berkerinyut ini tak lebih hanya merupakan kulit tipis pembalut tulang saja! Mukanya cekung dan kecekungan ini merambas ke matanya sehingga matanya ini kelihatan demikian menyeramkan. Berlainan dengan kulit serta pakaiannya yang seba hitam itu maka rambut di kepalanya serta alis matanya berwarna sangat putih. Dan rambut yang putih itu tumbuh sangat jarang di atas batok kepalanya yang hampir membotak licin berkilat. Namun lucunya pada kepala yang berambut jarang ini, nenek-nenek itu menggunakan lima tusuk kundai. Dan anehnya kelima tusuk itu tidaklah tersisip disela-sela rambut yang putih sebab memang tidak mungkin untuk menyisip di rambut yang jarang itu. Kelima tusuk kundai itu menancap pribadi ke kulit kepala nenek-nenek itu!
Siapakah nenek-nenek ini? Dialah yang berjulukan Eyang Sinto Gendeng, seorang wanita sakti yang telah mengundurkan diri semenjak dua puluh tahun yang kemudian dari dunia persilatan.
Selama malang melintang dalam dunia persilatan itu, sepuluh tahun terakhir Sinto Gendeng telah merajai dunia persilatan di kawasan Barat Jawa bahkan sampai-sampai ke Jawa Tengah.
Selama itu pula ia telah menyapu dan membasmi habis segala insan jahat. Terhadap manusia-manusia jahat, hanya ada satu kesimpulan bagi Sinto Gendeng untuk dilakukan yaitu membunuhnya! Tidak heran jikalau namanya menjadi harum. Nama orisinil dari wanita ini yaitu Sinto Weni. Namun sebab perilaku dan tingkah lakunya yang lucu serta aneh-aneh bahkan seringkali menyerupai orang yang kurang ingatan maka lambat laun dunia persilatan menganugerahkan nama gres padanya yaitu Sinto Gendeng! Atau Sinto Gila!
Siapa pula orang kedua yang berada di puncak Gunung Gede itu dan yang ketika itu bertempur menghadapi Sinto Gendeng? Dia seorang perjaka belia dewasa yang gres memasuki usia tujuh belas tahun. Tubuhnya tegap, tampangnya gagah dan kulitnya higienis kuning, hampir menyerupai kulit perempuan. Rambutnya gondrong sebahu dan agak acak- acakan sehingga tampangnya yang keren itu menyerupai paras kanak-kanak.
Sebenarnya kedua orang itu sama sekali bukan tengah bertempur sebab perjaka tujuh belas tahun tersebut yaitu murid Eyang Sinto Gendeng sendiri! Bagaimana perilaku tingkah laris gurunya, demikian pula perilaku sang murid. Tertawa-tawa dan menjerit-jerit serta cengar- cengir!
Meski keduanya tengah melatih ilmu kepandaian, namun setiap jurus-jurus serta serangan-serangan yang mereka lancarkan yaitu benar-benar serangan yang berbahaya sehingga bila tidak hati-hati sanggup mencelakai diri! Debu dan pasir beterbangan. Daun- daun pohon berguguran, semak belukar tersapu kian kemari oleh angin pukulan dan gerakan tubuh kedua orang itu yang laksana bayang-bayang!
Di ajudan Sinto Gendeng ada sebatnag ranting kering sedang muridnya memegang sebilah keris bereluk tujuh.
”Ayo Wiro! Serang saya dengan jurus – orang gila mengebut lalat – ! Serang cepat, jikalau tidak saya kentuti kamu punya muka!”
Wiro Saksana sang murid tertawa membahak dan menggaruk-garuk kepalanya sehingga rambutnya yang gondrong semakin awut-awutan. Tiba-tiba bunyi tawa membahak itu menjadi keras dan menggetarkan tanah, menggugurkan daun-daun pepohonan!
”Ciaaat....!!” Bentakan setinggi jagat keluar dari verbal Wiro Saksana. Tubuhnya lenyap. Keris yang di tangan kanannya menyapu kian kemari dalam kecepatan yang sukar ditangkap oleh mata. Inilah yang disebut jurus: orang gila mengebut lalat. Dan memang gerakan menyapu-nyapu dengan keris itu meskipun luar biasa cepatnya namun kelihatan menyerupai tak teratur tak menentu. Tubuh Wiro Saksana hoyong sana hoyong sini. Namun serangan itu telah mengurung si nenek sakti Eyang Sinto Gendeng!
Tapi si wanita renta masih juga mengikik-ngikik. Masih juga petatang petiting sambil memainkan ranting kering yang di tangannya. Jika saja yang dihadapi oleh Wiro Saksana ketika itu bukannya gurunya sendiri, bukan seorang sakti macam Sinto Gendeng, tapi seorang lain pastilah tubuhnya akan terkutung-kutung atau sekurang-kurangnya terbabat, tercincang oleh mata keris yang menyapu-nyapu laksana topan itu! Sinto Gendeng mengikik.
”Geblek kamu Wiro! Masih kurang cepat, masih kurang cepat!” kata Sinto Gendeng. Sang murid memaki dalam hati.
”Eeeee.... kamu memaki ya?!” hardik Sinto Gendeng. ”Lihat ranting!” teriak wanita renta itu.
Tubuh Sinto Gendeng berkelebat. Tangan kanannya yang memegang ranting bergerak. ”Awas ketek kananmu, Wiro!” (ketek=ketiak). Meskipun sudah diperingatkan, meskipun sudah mengelak dengan kecepatan yang luar biasa namun tetap saja ujung ranting itu lebih cepat datangnya ke ketiak kanan Wiro Saksana.
”Breeett!!” Baju putih Wiro Saksana robek besar di cuilan ketiak sebelah kanan!
”Buset....! Untung cuma ketekku!” seru perjaka itu. Dengan kertakkan geraham ia menerjang ke muka. ”Eyang,” katanya, ”terima jurus – kunyuk melempar buah – ini!” (kunyuk = monyet).
”Ah hanya jurus geblek begitu siapa yang takut?!” menyahuti sang guru. Wiro Saksana meninjukan tangan kanannya ke muka. Pada ketika tangannya perpentang lurus maka jari-jari tangannya membuka dan setiup gumpalan angin keras laksana kerikil besar melesat ke arah tenggorokan Eyang Sinto Gendeng!
Nenek-nenek itu tertawa cekikikan. Dia meludah. Meski Cuma ludah dan disemburkan secara hirau tak hirau tapi sebab diisi dengan tenaga dalam, ludah itu berbahaya sekali bagi pembuluh-pembuluh kulit dan mata. Wiro Saksana berkelit ke samping. Sambil berkelit dilambaikannya tangan kirinya untuk menambah perbawa dorongan pukulan tangan kosongnya tadi yaitu – kunyuk melempar buah – yang agak menyendat sedikit akhir dipapaki oleh semburan ludah Sinto Gendeng.
Melihat serangan lawan masih terus mengganas ke batang tenggorokannya, kembali Sinto Gendeng tertawa. Memang insan satu ini asing sekali sifatnya. Bahkan setiap jurus- jurus ilmu yang diciptakannya diberinya dengan nama-nama asing dan lucu. Tak salah jikalau banyak orang-orang dalam dunia persilatan menukar namanya menjadi Sinto Gendeng! Suara tertawa nenek-nenek itu lenyap, berganti dengan satu lengkingan nyaring yang menusuk gendang-gendang telinga. Tubuhnya kelihatan jungkir balik dan melesat menyerupai terbang ke sebuah cabang pohon jambu klutuk! Sekaligus Sinto Gendeng telah mengelakkan gumpalan angin keras ”kunyuk melempar buah.” Angin keras ini menghajar batang pohon di seberang sana dan batang pohon itu patah kemudian tumbang ke tanah!
Terdengar lagi bunyi tawa mengikik.
Gemas sekali Wiro Saksana memandang ke atas. Dilihatnya gurunya duduk enak- enakan di cabang pohon jambu klutuk sambil menggerogoti buah jambu itu!
”Gendeng betul....!” gerutu Wiro kesal sebab serangannya hanya mengenai pohon.
”Memang namaku Sinto Gendeng!” kata sang guru pula. Kemudian tanyanya, ”Kau mau jambu, Wiro?!” Dan sebelum Wiro Saksana sempat menyahuti maka gurunya telah menyemburkan biji-biji jambu klutuk itu ke arahnya. Dua puluh satu butir biji jambu klutuk menyerang hampir ke seluruh jalan darah di tubuh Wiro Saksana!
”Ah, cuma bijinya siapa yang sudi!,” jawab Wiro Saksana. Dia menghembus ke udara dan melambai-lambaikan kedua tangannya. Dua puluh satu butir biji jambu klutuk itu berguguran ke tanah bahkan tujuh butir di antaranya berbalik menyerang Sinto Gendeng.
Tapi dengan goyangkan sedikit saja kaki kanannya, maka nenek-nenek sakti itu menciptakan ketujuh biji jambu klutuk itu bermentalan!
”Kalau tak sudi biji jambu, terimalah ranting kering ini!” kata Sinto Gendeng. Dan ranting kering yang di tangan kirinya dilemparkannya ke bawah, mendesing laksana anak panah mengarah batok kepala muridnya! Memang Sinto Gendeng benar-benar seorang wanita renta yang aneh. Dalam melatih muridnya setiap serangan yang dilancarkannya benar-benar merupakan serangan yang mematikan atau sekurang-kurangnya sanggup mengakibatkan celaka hebat bila sang murid tidak berhati-hati. Setiap jurus ilmu silat yang diciptakannyapun aneh-aneh namanya.
Melihat serangan ranting kering ini Wiro ganda tertawa. Sekali ia gerakkan tangan kanan yang memegang keris maka ranting kering itu belah dua sempurna di pertengahannya dan jatuh ke tanah.
”Sebaiknya turun saja dari pohon eyang” kata Wiro Saksana. ”Kalau tidak....”
”Kalau tidak kenapa?” memotong Eyang Sinto Gendeng.
”Sambut keris ini, Eyang....! Sambut dengan jidatmu agar konyol!”
Habis berkata begitu Wiro Saksana tertawa mengakak dan melemparkan keris eluk tujuh yang di tangan kanannya. Senjata itu melesat hampir tidak kelihatan sebab cepatnya.
Namun empat detik kemudian terdengarlah bunyi cekikikan Eyang Sinto Gendeng. Dan ketika Wiro mendongak ke atas dilihatnya keris yang dilemparkannya tadi berada dalam jepitan telunjuk dan jari tengah kanan gurunya. Wiro Saksana menggerendeng.
Tiba-tiba. ”Ini jawaban kehormatan untuk keris bututmu, Wiro!” Sinto Gendeng cabut dua tusuk kundainya dari batok kepalanya yang berambut putih dan jarang itu. Dibarengi dengan angin lemparan yang bukan olah-olah dahsyatnya maka menyambarlah dua tusuk kundai itu ke arah Wiro Saksana. Yang satu menyerang kepala, yang lain menyerang perut!
Wiro Saksana yang tahu kehebatan tusuk kundai itu tak mau memapaki senjata tersebut dengan mengandalkan lambaian tangan yang mengandung tenaga dalam. Didahului dengan bentakan nyaring maka perjaka ini menjejek bumi dan melintangkan badannya ke udara. Tusuk-tusuk kundai itu lewat di kiri kanannya, terus amblas ke dalam tanah! Eyang Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak.
”Bagus...., anggun kamu tidak menangkis seranganku dengan hantaman tenaga dalam! Tak satu tenaga dalam yang bagaimana hebatnyapun yang sanggup memapaki tusuk kundai itu Wiro! Eeee.... saya haus!
Hik.... ambilkan air buatku Wiro! Cepat!”
”Kalau haus jilat saja air keringat!” kata murid yang lucu dan menyerupai kurang ingatan pula macam gurunya.
Dan dasar Eyang Sinto Gendeng insan aneh, ia sama sekali tidak murka mendengar gurau yang keliwatan dari muridnya itu, melainkan tertawa mengakak.
Tiba-tiba tawanya lenyap. ”Air, Wiro! Lekas!” hardik wanita itu. Sang murid berlalu juga dari tempat itu. Melangkah ke sebuah pondok kecil. Di cuilan belakang pondok ini ada sebuha gentong berisi air putih dingin. Wiro mengambilnya segayung.
Ketika ia melangkah kembali ke tempat tadi untuk memperlihatkan air itu kepada gurunya maka didengarnya bunyi Eyang Sinto Gendeng menyanyi. Suaranya sama sekali tidak merdu.
Namun kata-kata yang terjalin dalam nyanyian itu menciptakan Wiro Saksana menjadi heran dan bertanya-tanya dalam hati
Pitulas taun wus katilar,
Pucuking Gunung Gede isih panggah kaya biyen mulo,
Langit isih tetep biru,
Wulan lan suryo isih tetep mandeng lan kangen,
Pitulas taun agawe kang renta tambah tua.
Pitulas taun ndadekake bayi kakak dadi perjaka kang gagah,
Pitulas taun wektu perjanjian,
Pitulas taun wiwitane perpisahan,
Pitulas taun wekdaling pamales....
Artinya:
(Tujuh belas tahun telah berlalu. Puncak Gunung Gede masih tetap menyerupai dulu,
Langit masih tetap biru,
Bulan dan matahari masih berpandangan jauh dan rindu.
Tujuh belas tahun menciptakan si renta tambah tua,
Tujuh belas tahun menciptakan seorang orok menjadi perjaka gagah,
Tujuh belas tahun masa perjanjian,
Tujuh belas tahun ujung perpisahan,
Tujuh belas tahun ketika pembalasan).
Bersambung...