Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 14

 Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng  Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 14
Sebelumnya...
Karena merasa sia-sia untuk meneruskan pencariannya maka Nilamsuri akhirnya tetapkan untuk cepat-cepat kembali ke pekuburan. Sebenarnya, gadis ini telah bertemu dengan orang yang telah menolongnya sewaktu dikeroyok oleh Bergola Wungu dan anak- anak buahnya. Cuma Nilamsuri tidak tahu sama sekali jika orang yang ditemuinya itulah tuan penolongnya. Dan siapa adanya orang yang menolong Nilamsuri tiada lain dari pada Wiro Sableng itu cowok yang gres turun gunung yang perilaku serta lagaknya begitu lucu sehingga setiap orang akan menduga bahwa ia tentunya seorang yang kurang waras.
Ketika Nilamsuri kembali ke pekuburan itu, yang ditemuinya bukanlah Bergola Wungu dan ketiga orang anak buahnya melainkan Wiro Sableng! Pemuda ini tengah berlutut menepekur di hadapan sebuah makam yang tanahnya hampir rata dan penuh ditumbuhi rumptu-rumput liar serta kotor oleh daun-daun kering.
”Kemana perginya kunyuk-kunyuk berewok itu?” pikir Nilamsuri. Penasaran sekali ia jadinya. Sudah tak berhasil mengejar insan yang diburunya sekarang empat musuh besarnya telah lenyap sepeninggal pengejarannya. Dan apa pula urusan cowok berotak miring yang mengaku berjulukan Wiro Sableng itu di pekuburan ini? Makam siapa yang tengah ditepekurinya itu?
Kemudian Nilamsuri melilhat Wiro bangun dari berlututnya. Dan ketika ia memalingkan muka, Nilam melihat pada paras cowok itu terang terbayang rasa duka yang mendalam. Atas banyak insiden abnormal yang tengah dialaminya hingga dikala itu rahasia Nilamsuri ingin sekali tahu siapa adanya cowok berambut gondrong ini.
Dibukanya pembicaraan denga bertanya, ”Saudara, waktu mula-mula kamu tiba ke sini apa ada melihat empat orang pria berewok?”
Bayangan kesedihan pada paras Wiro Sableng segera sirna. Dan cowok ini tersenyum. ”Kau lucu sekali saudari,” kata Wiro. ”Pertama kali jumpa, ditepi sungai tadi kamu tanya satu orang laki-laki. Kalau jumpa ketiga kali nanti, kira-kira berapa orang pria yang bakal kamu tanyai padaku?!”
Mau tak mau paras Nilamsuri menjadi merah oleh ucapan Wiro Sableng itu.
”Saudara,” katanya, ”Kau siapakah sebenarnya?”
”Siapa saya bukankah saya sudah kasih tahu tadi di hulu sungai? Kenapa tanya lagi?
Kau sendiri tidak mau kasih tahu nama.”
Nilamsuri terdiam. Kemudian diputarnya pembicaraan dengan bertanya, ”Makam siapa itu?”
”Kau dapat baca sendiri pada kerikil nisan….” jawabnya. Penuh rasa ingin tahu Nilamsuri melangkah dan mendekati nisan makam renta itu.
Nisan itu terbuat dari batu. Barisan kalimat yang terukir pada kerikil yang sudah retak-retak itu tak terang lagi. Tapi Nilam masih dapat membacanya. Dan pada kerikil nisan itu tertulis:

”DISINI TELAH DIMAKAMKAN SUCI BANTARI”

Melihat Wiro yang masih muda, Nilamsuri tahu jika orang yang berjulukan Suci Bantari itu bukanlah isteri Wiro Sableng.
”Ibumu….?”, tanyanya.
Pemuda itu mengangguk perlahan. Dia teringat pada keterangan Eyang Sinto Gendeng ketika ia masih digembleng di puncak Gunung Gede dulu. Menurut wanita sakti itu ia telah dipelihara semenjak masih orok. Kini setelah belasan tahun, setelah menjadi seorang dewasa, setelah sekian usang tiada mengenal kasih sayang ayah bunda, maka yang ditemuinya hanyalah dua onggok makam yang tiada terawat sepantasnya. Makam ayah dan makam ibunya.
”Kalau begitu kamu yakni penduduk sini….?”
Wiro Sableng mengangguk lagi. ”Aku tak pernah mengenal mereka.”
”Maksudmu ayah dan ibumu?”
”Ya… Keduanya menemui janjkematian sebab kebiadaban seseorang….”
”Dibunuh….?”
Wiro Sableng mengangguk. Matanya yang biasanya bersinar lucu itu sekarang kelihatan kuyu dan kedua matanya itu memandang pada bangkai kuda yang lehernya hampir puntung terbabat pedang Nilamsuri sewaktu terjadi pertempuran antara gadis itu dengan Bergola Wungu dan belum dewasa buahnya. Wiro menggeram dalam hati. Nasib ayahnya tidak lebih baik dari kuda itu!
Nilamsuri sementara itu karam dalam alam pikirannya sendiri. Tadipun Bergola Wungu menyampaikan bahwa orang tuanya mati dibunuh, dibunuh ayahnya Kalingundil, ayahnya sendiri. Apakah orang renta cowok ini ayahnya juga yang telah membunuhnya?
Kalau benar maka pastilah cowok ini tiba untuk mencari urusan. Untuk menuntut balas sebagaimana kemunculan Bergola Wungu dan anak buahnya. Kaprikornus insan ini tak lebih dari seorang musuh pula baginya!
Tapi untuk meyakinkan maka bertanyalah Nilamsuri. ”Siapakah manusianya yang membunuh kedua orang tuamu, Saudara?”
“Ah panjang kisahnya. Kalaupun kuberi tahu kamu tak akan kenal mungkin. Dan lagi semua itu bukan urusanmu….”
”Apakah pembunuh itu berjulukan Kalingundil?” memancing Nilamsuri dengan hati berdebar.
Dadanya lega ketika dilihatnya Wiro Sableng menggeleng.
”Kau sendiri perlu apa tiba ke pekuburan ini?” bertanya Wiro.
“Sama dengan kau. Untuk menyambangi makam ibuku….” Dan Nilamsuri menceritakan apa yang telah terjadi dengan dirinya ketika ia tengah mencabuti rumput- rumput di makam ibunya. Tapi tidak diterangkannya mengapa hingga Bergola Wungu hendak merusak kehormatannya dan hendak membunuhnya!
“Sungguh abnormal dongeng perihal insan yang telah menolongmu itu saudari,” kata Wiro Sableng pula dengan menahan rasa gelinya. “Pastilah ia seorang insan sakti luar biasa. Mungkin juga ia seorang malaikat….!”
Nilamsuri hanya termangu. Tapi rahasia matanya melirik pada Wiro Sableng.
Kalau tadi memang ia kagum akan paras cowok yang keren ini tapi sebab bicaranya yang usil serta lucu tapi kurang asuh itu, maka sekarang bicara secara baik-baik nyatanya cowok itu bukanlah seorang yang kurang ingatan.
”Kalau sekiranya kamu menemui pembunuh orang tuamu itu,” bertanya Nilamsuri,
”apakah kamu juga akan membunuhnya?”
Wiro Sableng tertawa, ”Itu tak perlu musti dijelaskan lagi saudari,” sahutnya.
Nilamsuri ingat pada nasib buruknya yang tadi hendak menimpanya. Lalu berkatalah wanita ini, ”Dunia ini penuh dengan ketidakadilan!”
”Ketidak adilan macam mana maksudmu saudari?” tanya Wiro Sableng pula.
Nilamsuri hendak membuka mulutnya. Tapi cepat-cepat lisan itu dikatupkannya kembali. Hampir saja terluncur rahasia mengapa Bergola Wungu hendak membunuhnya. Gadis ini kemudian hanya gelengkan kepala. ”Nanti kamu bakal mengalami sendiri mungkin,” katanya. ”Sekurang-kurangnya melihat dengan positif ketidakadilan berlangsung di depan matamu.”
Wiro Sableng tertawa.
”Kenapa kamu tertawa?” tanya Nilamsuri sebab merasa diejek.
”Berapa umurmu, saudari….?”
Dalam hatinya gadis itu berpikir si cowok hendak mulai lagi dengan keusilannya.
Wiro masih juga tertawa kemudian berkata, ”Kau masih sangat muda tapi bicaramu sudah menyerupai orang tua….”
Mau tak mau Nilamsuri tertawa juga. Tapi tertawa cemberut. Diam-diam hatinya yang tadi tertarik sekarang semakin bahagia pada cowok itu.
Tiba-tiba kedua orang itu saling pandang. Dikejauhan terdengar derap bunyi kaki kuda.
”Ah…. hanya bunyi kaki-kaki kuda, kenapa terkejut?” tanya Wiro Sableng meskipun hatinya sendiri terasa tidak enak.
”Mungkin sekali, itu yakni manusia-manusia laknat yang tadi mengeroyokku!” kata Nilamsuri.
”Kalau begitu mari cepat-cepat menyingkir!”
Si gadis enam belas tahun gelengkan kepala.
”Lebih baik mati daripada lari….!”
Wiro Sableng menggerendeng. ”Keberanianmu tidak pakai pikiran saudari!”, katanya.
Wiro Sableng melompat ke muka dan menotok pundak kanan Nilamsuri. Gadis itu rebah dalam keadaan kaku tapi sebelum jatuh ke tanah Wiro sudah membopongnya. Segera gadis itu dilarikannya namun kasip. Empat penunggang kuda sudah mengurungnya. Keempatnya tiada lain daripada Bergola Wungu dan belum dewasa buahnya.
”Ha….ha…, ruapanya ada juga culik kesiangan yang inginkan mangsa kita kawan- kawan!” kata Bergola Wungu.
”Tikus busuk!”, kata Ketut Ireng. ”Turunkan gadis itu!”
”Masih junior sudah tahu perempuan!” memaki Pitala Kuning, anak buah Bergola Wungu yang bermata jereng. ”Ayo turunkan gadis itu cepat!”
Perlahan-lahan Wiro Sableng menurunkan badan Nilamsuri. Dipandanginya keempat insan berewok itu seketika. ”Saudara-saudara kita tidak saling kenal satu sama lain, mengapa bicara memaki begitu?!”
”Bocah geblek! Terima ini!”, hardik Ketut Ireng pergunakan kaki kanannya untuk menendang dada cowok itu.
”Buuk”!!
Kaki kanan Ketut Ireng mendarat di dada Wiro Sableng. Tidak serambutpun badan jagoan dari Gunung Gede ini bergerak.
Sebaliknya dari lisan Ketut Ireng terdengar lolong kesakitan setinggi langit!
Tendangan yang dilancarkan Ketut Ireng hanya memakai tenaga bergairah atau tenaga luar sebab ia sama sekali tidak menduga siapa adanya cowok berambut gondrong itu. Dan karenanya dari tendangan itu menimpa dirinya sendiri. Kaki kanannya hingga ke betis kelihatan menjadi gembung dan kehitaman. Ketut Ireng menelungkup di atas punggung kuda dan melolong kesakitan.
Kaget Bergola Wungu dan dua orang lainnya bukan olah-olah.
”Sreet”!!
Pemimpin ini segera cabut golok panjangnya.
Seta Inging cabut senjatanya yang berupa kelewang sedang Pitala Kuning keluarkan ruyung berdurinya!
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel