Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 13

 Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng  Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 13
Sebelumnya...
Pembalasan dendam kesumat memang dahsyat. Apalagi kini disertai dengan dorongan nafsu binatang yang meluap-luap. Keadaan Nilamsuri benar-benar sudah kepepet. Tenaganya sudah hampir habis. Empat pasang tangan insan menggerayang di seluruh tubuh yang tertelentang di atas sebuah makam tua.
”Ha….ha...ha! Tulang belulang kamu punya ibu akan menyaksikan pelaksanaan aturan eksekusi alam ini!” kata Bergola Wungu. Nilamsuri hantamkan lututnya ke perut pria itu ketika Bergola Wungu hendak mendatanginya dari atas. Tapi hantaman lutut yang tiada bertenaga sama sekali itu tiada terasa oleh insan berewok itu!
”Keparat! Bunuh saja aku! Bunuh!”, teriak Nilamsuri.
”Kehormatanmu dulu, gres nyawamu!.” Bergola Wungu mengekeh. Disaksikan oleh tiga anak buahnya yang juga menggerayangi tubuh gadis enam belas tahun itu, Bergola Wungu mulai melakukan niat terkutuknya. Runtuhlah cita-cita Nilamsuri untuk bisa selamatkan diri. Air mata meleleh di pipinya.
Namun nasib Nilamsuri tidak seburuk yang dibayangkannya ketika itu. Satu bayangan putih berkelebat dari sebelah timur pekuburan yang tanahnya agak membukit. Dan tahu- tahu keempat orang yang mengerumuni Nilamsuri menjadi kaku tegang laksana patung batu! Nilamsuri yang hanya mencicipi sambaran angin serta gerayangan-gerayangan tangan pada tubuhnya berhenti dengan mendadak, membuka kedua matanya yang berkaca-kaca itu.
Terkejut sekali dan hampir tak percaya beliau melihat bagaimana keempat insan berewok itu masih berjongkok di sekelilingnya tapi mata mereka semua melotot dan tubuh mereka tegang kaku!
Gadis ini berdiri dengan cepat. Apakah yang telah terjadi dengan keempat insan itu? Dia ingat pada desiran angin tadi. Mungkin ada insan yang telah menolongnya? Manusia yang memiliki kesaktian luar biasa? Diperhatikannya keempat pria itu.
Ternyata mereka tertotok urat besar di pangkal leher masing-masing. Atau mungkin keempatnya telah dicekik oleh setan kuburan?!
Peristiwa yang sangat gila itu menciptakan Nilamsuri lupa akan keadaan dirinya sendiri ketika itu. Dia memandang berkeliling. Matanya membentur segulung benda putih yang tergeletak di atas watu nisan sebuah kuburan. Benda ini yaitu sehelai baju dan celana putih.
Dan memandang pakaian itu sekaligus mengingatkan Nilamsuri pada keadaan dirinya. Tanpa perduli lagi siapa pemilik pakaian itu, tanpa ambil pusing lagi bagaimana pakaian itu bisa berada di atas kuburan tersebut si gadis pribadi saja melompat, menyambar pakaian itu dan lari ke balik serumpun semak-semak. Dikenakannya pakaian itu cepat-cepat. Meski agak kebesaran sedikit, tapi pakaian itu memberi banyak santunan bagi Nilamsuri dan si gadis merasa sangat bersyukur.
Dia keluar dari balik semak-semak itu. Dan ketika terpandang olehnya keempat insan yang masih berjongkok kaku di seberang sana maka meluaplah amarahnya. Mendidih darahnya. Disambarnya pedangnya yang tergeletak di tanah. Sinar pedang berkiblat sekaligus menyambar ke arah kepala Bergola Wungu dan bawah umur buahnya.
”Tring!”
Sebutir kerikil sebesar ujung jari telunjuk membentur pertengahan pedang yang hendak merenggut nyawa keempat insan berewok itu. Dan benturan watu kerikil ini menciptakan pedang di tangan Nilamsuri terdorong setengah tombak ke atas, lewat satu jengkal di atas kepala Bergola Wungu dan tiga orang lainnya itu!
Terkejut anak gadis Kalingundil ini bukan kepalang. Serentak dengan itu beliau membentak dan memandang berkeliling. ”Manusia atau setan yang jadi biang kerok jangan sembunyi! Unjukkan diri!”
Tak ada yang menyahut. Tapi rerumpunan semak belukar di erat pohon kamboja kelihatan bergerak. Dan Nilamsuri hantamkan pukulan tangan kosong ke arah semak belukar itu. Semak belukar tercabut dari akarnya dan berhamburan jauh, tapi tak ada siapapun kelihatan di belakang sana.
Dengan gemas Nilamsuri balikkan tubuh. Pedangnya kembali membabat ke arah empat kepala insan di hadapannya. Namun sekali lagi sebutir kerikil membentur senjata itu!
”Kurang didik betul!”, maki Nilamsuri. ”Jika berani cari urusan, berani unjukkan diri!!”
Terdengar bunyi tawa bergelak.
Suara tertawa itu datangnya dari balik pohon-pohon bambu di tepi pekuburan. Untuk kedua kalinya Nilamsuri lepaskan pukulan tangan kosong. Angin deras melanda pohon- pohon bambu. Batang-batang bambu pecah, yang tercerabut dari akarnya segera tumbang sedang daun-daunnya luruh ke tanah. Tapi ibarat tadi kali ini juga tidak kelihatan seorang insan pun dibalik pohon-pohon bambu itu!
Gemas Nilamsuri bukan main.
Terdengar lagi bunyi tertawa bergelak. Kali ini diiringi dengan ucapan, ”Hanya insan pengecut yang membunuh musuh dalam keadaan tak berdaya!” Nilamsuri memandang ke atas pohon kamboja merah. Detik itu juga sesosok tubuh kelihatan lenyap berkelebat ke utara laksana gaib!
Nilamsuri kertakkan rahang. Tanpa menunggu lebih usang gadis ini hentakkan kedua kaki dan segera mengejar ke jurusan utara! Sampai beberapa ratus tombak jauhnya ke utara Nilamsuri masih juga belum berhasil mengejar orang tadi. Jangankan mengejar, melihat bayangannyapun tidak bahkan jejak kakinya sama sekali tidak kelihatan di tanah. Gadis itu menghentikan pengejarannya di tepi sebuah lembah.
Di samping rasa geram hatinya juga heran dan bertanya-tanya. Siapakah insan itu tadi dan kemanakah lenyapnya? Apakah insan itu yang telah menolongnya dari perbuatan terkutuk Bergola Wungu dan kawan-kawannya? Sekiranya betul mengapa lantas kemudiannya orang itu menghalangi ketika beliau hendak menebas batang leher keempat insan berewok itu?
Nilamsuri memandang lagi ke dalam lembah. Segala sesuatunya diselimuti kesunyian. Kemudian gadis ini memandang kepada pakaian yang dikenakannya. Pakaian ini ditemuinya di atas sebuah makam. Apakah pakaian ini sengaja pula ditinggalkan untuk dipakainya oleh insan gila yang melarikan diri itu?
Nilamsuri memutar tubuhnya hendak kembali ke pekuburan. Tapi dengan serta merta tertahan ketika di belakangnya dari balik sebatang pohon waru terdengar bunyi orang berkata.
”Hendak kembali menciptakan kepengecutan? Membunuh musuh yang tak berdaya? Percuma tahu ilmu silat tapi tidak tahu tata peradatan silat!” Bukan main geramnya Nilamsuri mendengar usikan itu. Dia melompat ke arah pohon waru. Tapi lebih cepat lagi gerakannya itu orang yang tadi berkata telah berkelebat laksana bayang-bayang dan lari ke dalam lembah.
”Manusia atau setan! Jangan lari!” teriak Nilamsuri. Dan segera pula beliau mengejar ke dalam lembah. Tapi ibarat tadi, begitu beliau hingga di dasar lembah maka orang yang dikejarnya lenyap lagi! Dengan hati ingin tau gadis ini loncat ke atas sebatang pohon tinggi dan dari sini memandang ke seantero lembah untuk menyelidik kemana larinya orang tadi. Namun ini juga tidak memperlihatkan hasil.
Nilamsuri turun kembali. Dijelajahinya sebagian dari lembah. Hatinya belum puas jikalau belum berhasil menemui orang yang dikejarnya itu. Di tepi sebuah anak sungai akibatnya gadis ini hentikan langkah. Sejurus kemudian beliau termangu di tepi sungai ini. Kemudian hidungnya dilanda oleh busuk harum dari sesuatu yang dipanggang. Bau ini tiba dari arah hulu sungai, menciptakan tenggorokannya menerbitkan air liur. Gadis ini langkahkan kaki ke hulu sungai.
Belum hingga lima puluh langkah beliau berjalan, maka di satu tikungan sungai yang arus airnya lebih cepat mengalir, dilihatnya duduk ditengah sungai, di atas sebuah watu besar yang licin kehitaman, seorang laki-laki. Laki-laki ini duduk membelakanginya dan rambutnya gondrong, berpakain putih-ptuih. Tak tahu Nilamsuri apa yang dibentuk orang ini ditengah sungai ini di atas watu itu. Berat kecurigannya bahwa insan ini yaitu orang yang tadi dikejarnya. Tapi anehnya santarnya busuk benda yang terpanggang itu tiba dari arah laki- laki di tengah sungai ini!
Nilamsuri terus melangkah beberapa jauhnya ke hulu sungai, melewati pria itu, untuk sanggup melihat apa yang tengah dilakukannya. Nilamsuri masih belum sanggup melihat paras pria berambut gondrong itu. Tapi dari tempatnya berdiri ketika itu sanggup disaksikannya bahwa busuk harum yang menciptakan titik seleranya itu disebabkan oleh seekor ikan besar yang dipanggang oleh pria itu dan kini tengah digerogotinya dengan lahap!
Ikan panggang itu masih mengepulkan hawa hangat. Yang tidak dimengerti sama sekali oleh Nilamsuri ialah bahwa di atas watu itu di mana pria itu duduk atau ditepi sungai sama sekali tidak dilihatnya bekas-bekas perapian untuk memperabukan ikan yang kini tengah dimakan dengan lahap oleh si rambut gondrong!
Nilamsuri berpikir sejurus. Kemudian berserulah beliau ke tengah sungai.
”Saudara! Apa kamu melihat seseorang lewat sekitar sini?!”
Laki-laki di tengah sungai tidak menjawab. Malah menolehpun tidak dan dengan lahapnya terus saja beliau makan ikan panggang itu.
”Saudara!”, seru Nilamsuri sekali lagi.
Kali ini orang itu palingkan kepala. Dan Nilamsuri terkesiap sejenak lantaran tak menyangka jikalau si rambut gondrong ini nyatanya yaitu seorang cowok bertampang keren!
Meski keren tapi paras itu membayangkan pula paras bawah umur dan lucu!
”Eh…. kamu bicara sama aku?” tanya cowok yang asyik menggerogoti ikan panggang itu.
”Ya! Aku tanya apa kamu lihat seseorang lewat di sini?!” kata Nilamsuri pula.
”Laki-laki atau perempuan?” tanya si rambut gondrong.
”Laki-laki….”
”Orangnya sudah renta apa masih muda….?”
”Kurang jelas. Cuma beliau berpakaian putih-putih....”
Si rambut gondrong melemparkan kerangka ikan yang habis dimakannya ke dalam sungai. Kemudian dipandanginya pakaiannya sendiri. ”Eh, saya juga berpakaian putih- putih….,” katanya. ”Kalau begitu pastilah saya yang kamu cari!”. Pemuda ini garuk rambutnya dan tertawa.
Sikap dan ucapan cowok ini agak mengesalkan Nilamsuri. Hatinya bimbang untuk memastikan bahwa orang yang dikejarnya yaitu cowok itu. Karena tampangnya meski keren tapi ibarat kanak-kanak.
”Eh, kenapa diam?!” tanya cowok itu. ”Aku tahu…. saya tahu….,” katanya.
”Tahu apa?”
”Aku tahu kamu hingga ke sini lantaran mencium harumnya busuk ikan panggangku! Lalu kamu berpura-pura tanya seseorang! Kenapa musti akal-akalan dan malu-malu? Kalau doyan ikan panggang silahkan tiba kemari. Aku masih ada seekor lagi!”
”Saudara! Jangan bicara seenaknya!”
”Seenaknya bagaimana?!”
”Aku betul-betul mencari seseorang! Dan saya tidak butuh sama ikan panggangmu!”
”Oh…. begitu….?”. Pemuda itu manggut-manggut. Lalu katanya, ”Kalau saya tahu wacana orang yang kamu cari itu, kamu mau persen saya apa?”
”Apa saja yang kamu maui….”, jawab Nilamsuri tanpa pikir panjang lantaran beliau betul- betul ingin lekas-lekas sanggup mengejar orang yang dicarinya tadi. Si cowok tertawa mengekeh dan tercekik serta batuk-batuk ketika ikan panggang yang dimakannya menyekat tenggorokannya.
”Kalau begitu….,” kata cowok rambut gondrong itu dengan masih tertawa serta batuk-batuk, ”aku mau dirimu saja saudari.”
”Pemuda ceriwis! Kutampar kamu punya verbal gres rasa!”
”Lho…,” cowok itu terdiam macam orang bodoh. ”Kenapa kamu jadi marah?!” tanyanya.
Benar-benar kesal jadinya Nilamsuri. Dikatupkannya mulutnya rapat-rapat menahan rasa kesal itu.
”Eh, kini kamu tutup mulut. Lucu! Kau toh belum jawab pertanyaanku, saudari. Aku minta dirimu. Boleh….?”
Rasa kesal di diri Nilamsuri kini bermetamorfosis amarah yang meluap. Parasnya kelihatan merah. Sekali lompat beliau sudah berada di hadapan cowok itu, di atas watu besar.
”Pemuda edan, kamu mau mampus?!”
Si gondrong garuk-garuk kepala. “Aku tidak mengerti saudari, saya benar-benar tidak mengerti. Menapa kamu jadi marah-marah begini samaku?!”
”Bicaramu terlalu kurang ajar, tahu?!” Pemuda itu goleng kepala dan angkat bahu. Lalu tertawa sambil memandangi paras Nilamsuri. ”Kau tahu saudari…,” katanya, ”kalau kamu marah-marah dan membentak macam tadi hem…. parasmu tambah cantik!”
”Plak!”
Tamparan tangan kiri Nilamsuri mendarat di pipi si pemuda. Pemuda itu meringis kesakitan. Penyesalan timbul di hati Nilamsuri melihat bagaimana pipi yang ditamparnya itu kelihatan menjadi sangat merah.
“Kau jahat sekali!,” kata si cowok pula. ”Aku tanya sama kau, kamu mau persen saya apa jikalau saya tahu orang yang kamu cari itu. Dan kamu jawab apa saja mauku! Lantas saya bilang mau dirimu! Apa saya salah….?!”
Nilamsuri menggigit bibirnya. Dia tahu ucapan cowok itu betul. Dia tahu jikalau tadi beliau telah ketelepasan bicara.
“Saudara…,” kata Nilamsuri.
Tapi si cowok memotong. “Sudahlah. Aku tak sudi bicara sama kau. Orang mau menolong dikasih tamparan. Baru mau menolong. Kalau sudah ditolong saya akan sanggup tendangan!”
Dan Nilamsuri menggigit bibir lagi. Tanpa berkata apa-apa beliau melompat ke tepi sungai kembali.
“Hai saudari! Tunggu dulu!”, seru si pemuda. Nilamsuri balikkan badan.
”Sebenarnya ada apa kamu mencari pria itu?!”
”Itu urusanku sendiri!”, jawab Nilamsuri.
”Laki-laki itu kekasihmu agaknya?”
”Kau mau tamparan sekali lagi?!”
Si cowok tertawa. ”Dunia serba aneh,” katanya seolah-olah pada diri sendiri.
“Mustinya pria yang cari perempuan. Ini wanita yang cari laki-laki….!” Dan digaruknya kepalanya.
Dalam pikiran Nilamsuri terbit prasangka bahwa tentunya cowok itu seorang yang berotak miring. Karenanya tanpa ambil perduli lagi beliau segera tinggalkan daerah itu.
”Hai saudari! Kau tidak mau ikan panggang ini?!”
Nilamsuri terus saja menyusuri sungai menuju ke hulu. Dia hampir keluar dari kelokan sungai ketika didengarnya lagi bunyi cowok itu berseru. Jarak antara mereka ketika itu sudah puluhan tombak. Kalau saja Nilamsuri mau berpikir sejenak beliau akan segera tahu jikalau cowok itu bukan berteriak biasa tapi dengan memakai tenaga dalam. Karena dalam jarak sejauh itu bagaimanapun kerasnya seseorang berteriak namun apa yang diucapkannya tak akan terdengar dengan jelas.
”Saudari! Jangan pergi ke sana! Saudari, kembalilah!”
Nilamsuri melangkah terus.
”Saudari! Hai! Disebelah sana banyak buayanya! Kembalilah!”
Tapi Nilamsuri jalan terus. Si cowok goleng-goleng kepala kemudian turun ke air.
Nyatanya sungai itu dalamnya hanya sebatas lutut. Begitu hingga di seberang si cowok cepat lari menyusul Nilamsuri.
“Saudari kamu mau kemana?!”, tanya cowok itu seraya pegang pundak Nilamsuri.
“Kau jangan kurang ajar, saudara!” hardik Nilamsuri lantaran murka sekali bahunya dipegang seenaknya.
“Kau mau kemana?”
“Perduli apa kau?!”
”Jangan kesana saudari. Banyak buaya lagi berjemur….”. dan belum habis cowok ini bicara tahu-tahu dua ekor buaya besar menyeruak dari belakang semak belukar di tepi sungai.
”Aku bilang apa! Celaka….! Saudari larilah!” Pemuda itu melompat ke belakang.
Sementar itu kedua ekor buaya dengan cepat meluncur menyerang Nilamsuri. Gadis itu cabut pedangnya. Sekali menebas puntunglah sebagian dari verbal buaya yang hendak menerkamnya. Binatang ini menggelepar-gelepar di pasir. Buaya kedua mengalami nasib yang sama. Bau anyirnya darah yang masuk ke dalam air sungai mengundang munculnya beberapa ekor buaya lagi. Binatang-binatang itu menyelusur ke tepi sungai dan berlomba menyergap Nilamsuri. Tapi si gadis dengan permainan pedangnya yang mengagumkan berhasil menewaskan semua buaya itu!
Si cowok geleng-geleng kepala dan leletkan lidah. ”Hebat! Hebat sekali kamu saudari!”, katanya memuji. ”Kau tentu seorang hebat silat! Sejak usang saya ingin berguru silat!
Bersediakah kamu mengambil saya jadi murid?!”
”Jangan ngaco!”, hardik Nilamsuri.
”Aku tidak ngaco. Aku bicara sungguhan….”.
”Buka lagi mulutmu!”, hardik Nilamsuri. Pedangnya masih merah oleh darah buaya- buaya tadi siap ditetakkannya ke kepala cowok itu. Tentu saja cowok ini cepat-cepat melompat ke samping.
”Saudari, saya betul-betul ingin berguru silat padamu….”
Nilamsuri pencongkan hidung. ”Tidak malu merengek macam anak kecil!”, ejeknya.
Si cowok agaknya jadi kesal, kemudian menyahuti. ”Kau sendiri tidak malu pakai pakaian laki-laki!”
Memang ketika itu Nilamsuri mengenakan baju dan celana pria berwarna putih yakni pakaian yang tadi ditemuinya di atas sebuah kuburan. Dan parasnya menjadi kemerahan. Cepat-cepat beliau berlalu dari situ.
”Saudari…. Tunggu….!”
”Apalagi?!”
”Kalau kamu tak mau ambil saya jadi muridmu, tak apa. Tapi ada satu permintaanku yang lain…. Boleh saya tahu namamu?”
”Manusia macammu tak perlu tahu namaku!”
”Ah saudari, kamu sombong betul. Beri tahu namamu, nanti kuberi tahu namaku….”
”Siapa sudi tahu namamu segala?!”
”Namaku Wiro Sableng saudari…. Harap kamu mau kasih tahu kamu punya nama….”
”Wiro Sableng?” ujar Nilamsuri. Pemuda itu mengangguk.
”Pantas,” kata Nilamsuri pula.
”Pantas kenapa?” tanya Wiro.
”Pantas lagakmu ibarat orang edan!” dan habis berkata begitu Nilamsuri segera berlalu.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel