Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 16

Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng  Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 16
Sebelumnya...
Begitu lenyap dikejauhan maka Wiro Sableng segera lepaskan totokan di leher Nilamsuri. Gadis ini memandang berkeliling dengan terheran-heran. Dia menyerupai orang yang gres berdiri dari mimpi. Tapi terang dilihatnya bekas- bekas pertempuran di sekelilingnya.
”Apa yang terjadi?” bertanya gadis itu. Wiro tertawa. ”Tak satupun,” jawabnya.
”Aku tak percaya. Tadi kudengar bunyi derap kaki kuda menuju ke sini….”
”Ah, kamu ini ada-ada saja. Aku tak dengar bunyi apa-apa….”
Nilamsuri berpikir-pikir dan mengingat-ingat. Parasnya mendadak berubah. Matanya memandang lekat-lekat pada Wiro Sableng. ”Tadi…. kamu melompatiku dan…,” gadis ini raba urat besar di pangkal lehernya. ”Ya…. kamu menotok urat besar di leherku ini?”
Habis berkata demikian Nilamsuri segera cabut pedang! ”Apa yang kamu telah perbuat terhadap diriku?” tanyanya membentak.
Murid Sinto Gendeng memaki dalam hati, ”Sialan! Sudah ditolong malah menuduh yang bukan-bukan!”
Tapi di hadapan si gadis itu cowok itu masih sunggingkan senyum. ”Kuharap kamu jangan punya pikiran yang tidak-tidak terhadapku saudari….” ”Lalu perlu apa kamu menotok aku?!”
Wiro garuk-garuk kepalanya. Dia tak ingin Nilamsuri tahu siapa ia sebenarnya. Karena itu ia menjawab dusta. ”Kau ingat bagaimana kamu begitu kalap untuk bertempur melawan itu?!”
”Ya, lalu?!”
”Dengar saudari, saya hanya paham sedikti ilmu totokan. Karena saya tahu kamu tak bakal sanggup menghadapi mereka, saya lantas totok kamu punya urat besar kemudian sembunyi dibalik rumpun bambu. Ketika mereka pergi kubawa kamu kembali ke sini dan kulepaskan totokan di lehermu.”
”Aku tak percaya….!” kata Nilamsuri.
”Aku memang tidak suruh kamu percaya untuk mempercayainya,” menyahuti Wiro Sableng.
”Kau ini siapa sebenarnya?!”
”Heh…,” Wiro Sableng hela nafas panjang. ”Bukankah saya sudah kasih tahu nama?
Malah kamu sendiri masih rahasiakan kamu punya nama!”
Nilamsuri dalam kesalnya tambah tak percaya. Terlintas dalam pikirannya untuk menjajal si pemuda.
”Baik,” katanya, ”jika kamu tidak mau kasih keterangan, semoga pedangku ini yang memintanya!”
Habis berkata demikian maka gadis ini segera kirimkan satu bacokan ahli ke dada Wiro Sableng!
Wiro terkejut dan gerabak gerubuk lompat kesamping.
”Saudari! Apa-apaan ini? Kenapa kamu serang aku?!”
Sebagai jawaban Nilamsuri kirimkan serangan berantai. Pedangnya menderu kian kemari menciptakan Wiro tak bisa ayal lagi dan terpaksa berlompatan dengan cepat.
”Sekarang kamu tak bisa sembunyikan diri lagi saudara!” kata Nilamsuri. ”Terima jurus elang menyambar burung dara ini!”
Pedang di tangan Nilamsuri menderu dari samping kiri ke pundak Wiro. Ketika cowok ini berkelit, ujung pedang dengan sangat tiba-tiba menusuk ke rusuk laksana patukan burung elang!
Wiro lambaikan tangan kiri, angin keras membentur tubuh pedang, menyimpangkan senjata itu dari sasarannya!
”Saudari!” seru Wiro Sableng, ”sayang saya ada urusan lain. Sampai jumpa lagi!”
Habis berkata demikian cowok ini melompat ke muka, mencuil dagu si gadis kemudian berkelebat.
”Pemuda kurang ajar!” maki Nilamsuri. Disabetkannya pedangnya dengan sekuat tenaga. Tapi Wiro Sableng sudah lenyap dari hadapannya. Hanya bunyi tertawanya yang masih sempat terdengar di kejauhan. Gadis itu berdiri termangu. Parasnya yang elok kelihatan kemerahan. Pemuda itu benar-benar cerewet sekali! Tapi kini ia sudah tahu bahwa cowok itu sama sekali bukan kurang arif dan berotak miring. Sama sekali tidak buta dalam ilmu silat! Tadi ia telah menyerang dengan jurus-jurus ilmu pedangnya yang lihay dan si cowok berhasil mengelakkan bahkan memukul tubuh pedang dengan pukulan tangan kosong yang menyebabkan angin keras!
Meski hatinya murka sekali dengan keceriwisan cowok itu tapi rasa bahagia dan kagumnya tak sanggup disembunyikannya. Sekelumit senyum memberkas di bibirnya ketika ia mengusap dagunya yang tadi dicuil oleh Wiro Sableng. *****
Kedai itu sepi saja.
Angin malam bertiup hambar dari lembah. Wiro Sableng masuk ke dalam seenaknya dan sambil bersiul-siul.
Orang bau tanah pemilik kedai menyambuti dengan muka pucat cemas.
”Orang muda,” katanya, ”sebaiknya kamu lekas-lekas tinggalkan daerah ini!”
”Memang kenapa?” tanyanya.
”Sebentar lagi mungkin empat insan berewok itu akan kembali ke sini….”
”Siapa takutkan mereka!” ujar Wiro.
”Tapi anak muda, kamu mungkin belum tahu siapa mereka itu.”
”Perduli amat siapa mereka,” kata Wiro pula sambil duduk di kursi.
Dan pemilik kedai itu berkata lagi, ”Mereka ialah rampok-rampok yang ditakuti di sungai Cimandilu! Mereka ialah Empat Berewok dari Goa Sanggreng!”
”Biar mereka ialah Empat Setan dari Neraka, saya tetap tak perduli!” Pemilik kedai jadi terdiam. Siang tadi ia memang telah menyaksikan bagaimana cowok itu menyumpal lisan dengan pisang. Maka bertanyalah dia, ”Orang muda, kamu ini siapa bergotong-royong dan tiba dari mana?”
Wiro usap-usap dagunya yang licin. Ini mengingatkannya pada dagu Nilamsuri yang dicuilnya dan cowok ini senyum-senyum sendiri. Si orang bau tanah rahasia mulai mencurigai apakah anak muda ini berotak sehat!
”Bapak sudah usang tinggal di sini?” tanya Wiro.
”Sejak masih orok….”
”Hem…. kalau begitu tentu kenal dengna nama Ranaweleng….”
”Oh tentu... tentu sekali. Beliau ialah Kepala Kampung yang baik. Cuma sayang….”
”Sayang kenapa….?”
Orang bau tanah itu tak segera menjawab. Dia memandang keluar kedai menyerupai mau menembusi kegelapan malam, menyerupai tengah mengenangkan sesuatu.
”Beliau sudah meninggal…,” katanya kemudian menambahkan. Wiro Sableng menelan ludahnya.
”Bapak tahu siapa yang membunuhnya….?”
Pertanyaan ini menciptakan si orang bau tanah memandang lekat-lekat pada paras Wiro Sableng.
”Semua orang tahu….,” katanya. Kemudian dituturkannya kejadian kematian Ranaweleng dan Suci Bantari sekitar tujuh belas tahun yang lewat. Kisah ini sudah didengar sejelasnya oleh Wiro Sableng dari gurunya Eyang Sinto Gendeng.
”Ada satu abnormalitas dalam kejadian tujuh belas tahun yang kemudian itu,” kata si pemilik kedai.
”Keanehan bagaimana?” tanya Wiro ingin tahu.
”Waktu itu Mahesa Birawa dan belum dewasa buahnya memperabukan rumah mendiang Ranaweleng. Dalam kobaran api yang tiada terkirakan besarnya terdengar bunyi tangisan orok! Itu ialah oroknya Ranaweleng sendiri! Orang banayak sangat kebingungan.
Bagaimana mungkin menyelamatkan bayi dalam kobaran api itu? Pada dikala yang sangat tegang itu semua orang melihat berkelebatnya bayangan hitam. Sangat cepat sekali bayangan hitam itu menyerbu ke dalam kobaran api kemudian lenyap. Dan bunyi tangisan oroknya Ranaweleng juga hilang! Sewaktu api padam semua orang mencari. Tapi tak ditemui tulang belulang orok itu….”
Wiro Sableng termanggu-manggu. Dia tahu betul, orok yang diceritakan orang bau tanah itu ialah dirinya sendiri dan berkelebatnya bayangan hitam ialah kelebat bayangan gurunya Eyang Sinto Gendeng!
”Sampai kini tidak pernah diketahui dimana anak Ranaweleng itu?” bertanya Wiro.
Si orang bau tanah angkat bahu. ”Kalau ia masih hidup kira-kira sebesar kaulah, anak muda,” katanya.
”Mahesa Birawa sendiri…. apakah masih hdiup?”
”Masih…. hingga dua tahun belakangan ini ia masih tinggal di sini. Tapi kini entah dimana. Tapi ada atau tidaknya ia di sini, sama saja. Empat orang anak buahnya sama saja jahat dan kejamnya dan keempatnya malang melintang di kampung ini. Kalau makan tak pernah bayar!”
”Apakah mereka itu itu?” tanya Wiro.
”Bukan…. bukan! Justru ini sengaja tiba dari jauh bikin perhitungan dengan anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini! Dan Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu bukanlah insan baik. Mereka rampok-rampok yang tak kalah kejam dan terkutuknya dengan belum dewasa buah Mahesa Birawa! Tapi ketika mereka tiba belum dewasa buah Mahesa Birawa tak ada di sini. Kebetulan keluar…. sudah empat hari dengan hari ini….”
Wiro mengulurkan tangannya memotes sebuah pisang yang tergantung
”Eee…. apakah kamu punya uang untuk membayar pisang itu, anak muda?” tanya si pemilik kedai.
Wiro tertawa, ”Hutang dulu toh tak apa-apa….” sahutnya.
Si orang bau tanah mengeluh dalam hati. Berarti tambah satu lagi ”langganan”nya yang makan tanpa bayar!
Sambil mengunyah pisangnya Wiro Sableng bertanya, ”Urusan apakah yang dibawa oleh itu ke sini?”
Si orang bau tanah memandang lagi ke luar kedai. Lalu katanya, ”Perlu kamu ketahui…. pemimpin itu, yang kini menggunakan nama Bergola Wungu, dulunya ialah penduduk kampung Jatiwalu ini! Anak-anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini kemudian membunuh ayahnya, juga ibunya, merusak kehormatan wanita itu serta saudara-saudara perempuannya. Bergola Wungu sempat melarikan diri. Ketika ia kembali ke sini ternyata ia sudah jadi seorang yang tak kalah jahatnya dengan belum dewasa buah Mahesa Birawa!”
Lama Wiro Sableng terdiam. Tiba-tiba ia ingat satu nama yang diucapkan Nilamsuri.
”Kenal dengan seorang yang berjulukan Kalingundil?” Kulit kening pemilik kedai itu mengkerut.
”Adalah lucu kalau pertanyaan itu kamu ejekan dikala ini, anak muda?” katanya.
”Kenapa….?”
”Karena Kalingundil ialah anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini dan yang bertindak sebagai pemimpin dari tiga kawan-kawan lainnya!”
Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar keterangan ini. Tapi rasa terkejutnya disembunyikannya. Dan ia berpikir-pikir, mengapa gadis itu di pekuburan siang tadi menanyakan apakah kedua orang tuanya dibunuh oleh insan berjulukan Kalingundil itu?
Wiro meletakkan kulit pisang di tepi meja. ”Siang tadi, Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu telah mengeroyok seorang gadis belia berparas cantik. Bahkan gadis itu hendak mereka perkosa beramai-ramai. Mungkin bapak tahu pangkal alasannya ialah hingga hal itu terjadi….? mungkin juga kenal dengan gadis itu?”
”Gadis itu berpakaian biru….?”
”Betul.”
Si orang bau tanah hela nafas. ”Sebenarnya sudah berkali-kali Bergola Wungu tanya padaku apakah ada seorang lain yang tinggal di rumah Kalingundil. Aku jawab tidak tahu. Aku tak ingin susah anak muda. Kalau kukatakan ada dan Kalingundil mengetahuinya, pastilah leherku akan jadi umpan pedang Kalingundil dan gadis itu ialah anak Kalingundil sendiri!”
Kini jelaslah bagi Wiro Sableng mengapa demikian besar tekat Bergola Wungu untuk membunuh si gadis baju biru itu.
”Kalingundil yang bikin kejahatan, anaknya yang musti ikut tanggung akibat…,” desis orang bau tanah pemilik kedai.
Wiro manggutkan kepala. ”Dendam kesumat laksana besi bau tanah seribu karat kadang-kadang tidak mengenal pembalasan yang wajar….”, katanya. ”Kadang kadang itu ialah merupakan aturan eksekusi alam bagi seseorang yang pernah melaksanakan perbuatan terkutuk!”
”Kata-katamu beul, anak muda….”, kata orang bau tanah itu pula. Lalu diangsurkannya mukanya dekat-dekat ke muka Wiro Sableng. ”Waktu Bergola Wungu tahu bahwa kamu telah mendustainya, habis mukaku ini ditempelaknya….!”
”Itu salahmu sendiri,” kata Wiro seenaknya. ”Siapa suruh kamu yang bau tanah bangka masih mau berdusta!”
Orang bau tanah itu jadi menggerendeng dan memaki panjang pendek dalam hatinya. Dan ia memaki lagi untuk kedua kalinya ketika didengarnya Wiro berkata, ”Minta tehnya, pak.”
Sementara si orang bau tanah mengembangkan segelas teh manis untuknya, Wiro Sableng karam dalam pikirannya sendiri. Tidak diduganya kalau gadis berbaju biru yang menarik perhatiannya itu ialah anak Kalingundil. Anak buah Mahesa Birawa yang telah membunuh kedua orang tuanya.
Ketika si orang bau tanah tiba membawakan teh bertanyalah Wiro Sableng, ”Bapak tahu nama anak wanita Kalingundil itu?”
”Nilamsuri. Nama bagus, orangnya juga cantik, tapi sayang bapaknya insan terkutuk!”
”Sewaktu Mahesa Birawa melaksanakan pembunuhan atas diri Ranaweleng, apakah Kalingundil juga ikut-ikutan?” tanya Wiro lagi.
”Bukan hanya Kalingundil, tapi semua anak buahnya,” menyahuti si orang tua. Wiro hendak bertanya lagi tapi mulutnya terkatup kembali lantaran di luar terdengar bunyi gemuruh derap kaki kuda. Empat penunggang kuda lewat di muka kedai dengan cepat.
Mereka bukanlah Empat Berewok dari Goa Sanggreng. Dan ketika Wiro Sableng berpaling pada orang bau tanah pemilik kedai, orang bau tanah ini tarik nafas panjang dan berkata,
”Kalingundil dan belum dewasa buahnya…. niscaya akan segera terjadi bentrokan dengan Bergola Wungu….”
”Menurutmu…. siapa yang bakal menang di antara mereka?” tanya Wiro. Oran bau tanah itu angkat bahu. ”Aku tidak mengharapkan siapapun di antara mereka akan menang! Kalau sanggup biarlah Gusti Allah menciptakan mereka mampus semua. Kalingundil dan Bergola Wungu tiada beda bagiku! Sama-sama jahat! Sama-sama tidak bayar kalau makan apa-apa di sini!”
Wiro Sableng tertawa. Diteguknya teh manis dalam gelas beling itu. Lalu ia berdiri.
”Meski hari ini saya tidak bayar harga pisang dan teh manis itu, tapi jangan samakan saya dengan Bergola Wungu atau Kalingundil….” Habis berkata demikian Wiro segera tinggalkan kedai.
Si orang bau tanah mengangkat gelas bekas minuman cowok itu. Tapi sesuatu menarik perhatian matanya yang sudah agak mengabur itu. Pada beling gelas dilihatnya sederetan angka. Diperhatikannya lebih dekat. Tidak salah, itu memang gugusan angka 212. Tak habis mengerti orang bau tanah ini bagaimana angka ini bisa tertera di sana. Disekanya dengan ujung pakaiannya. Disekanya lagi…. lagi…. Tapi angka 212 itu tetap saja tidak mau pupus!
”Ah…. semakin bau tanah umur dunia ini semakin banyak terjadi keanehan….” katanya dalam hati.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel