Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 17

 Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng  Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 17
Sebelumnya...
Dari jauh telah terdengar bunyi beradunya senjata serta bentakan-bentakan hebat. Wiro Sableng percepat jalannya. Dan bila ia hingga di halaman rumah yang agak kegelapan itu maka dilihatnyalah bagaimana halaman rumah itu sekarang berkembang menjadi sebuah medan pertempuran. Enam manusia, sepasang demi sepasang tangah bertempur jago dan cepat. Di tangga rumah besar dilihatnya berdiri Nilamsuri.
Di bawah tangga, dengan bersedekap tangan berdiri seorang pria berbadan tinggi langsing. Wiro tak pernah melihat orang ini sebelumnya. Tapi ia yakin betul bahwa insan ini pastilah Kalingundil.
Di ujung halaman sebelah kiri berdiri pula Bergola Wungu. Sebagaimana dua orang yang terdahulu sepasang matanya memandang ke tengah halaman, memperhatikan jalannya pertempuran.
Tiga orang anak buah Kalingundil yaitu Saksoko, Majineng dan Krocoweti sebetulnya bukan orang-orang yang berakal rendah. Permainan golok mereka cukup lihay. Tapi menghadapi belum dewasa buah Bergola Wungu yaitu Ketut Ireng, Seta Inging, dan Pitala Kuning merak kalah gesit. Dalam sembilan jurus Krocoweti terpaksa pasrahkan nyawa dilanda ruyung berduri Pitala Kuning! Krocoweti menggeletak di tanah dengan dada melesak!
Tiga jurus kemudian menyusul Majineng. Lehernya hampir kutung terbabat kelewang Seta Inging. Pertempuran yang agak usang berlangsung ialah antara Ketut Ireng dan Saksoko.
Kedua orang ini memiliki tingkat kepandaian yang sama dan sama-sama bersenjatakan golok. Namun oleh kemenangan kedua kawannya Ketut Ireng menerima semangat dan nyali besar. Lima jurus di muka sambaran goloknya tiada tertahankan. Akhirnya Saksoko yang berbadan gemuk pendek itu menjerit mengerikan ketika perutnya yang buncit terbabat ujung golok! Ususnya membusai dan menjela-jela di tanah!
Rahang-rahang Kalingundil kelihatan mengatup rapat dan bertonjolan. Kedua kakinya terpentang. Saat itu alasannya gelap tak seorangpun yang melihat bagaimana kedua lengan Kalingundil menjadi hitam samapi ke jari-jari tangannya. Didahului dengan bunyi bentakan yang bukan saja dahsyatnya menggetarkan dada tapi juga menggetarkan tanah maka melompatlah Kalingundil ke tengah halaman di mana tiga anak buah Bergola Wungu berada.
Tujuh belas tahun yang lampau kehebatan pukulan lengan baja itu sudah mengagumkan. Dan sekarang sanggup dibayangkan bagaimana keampuhannya!
Tiga pekik kematian merobek kegelapan malam! Ketut Ireng, Seta Inging dan Pitala Kuning terlempar hingga lima-enam tombak dan menggeletak di tanah tanpa nyawa! Bergola Wungu saksikan kematian yang mengenaskan ketiga muridnya itu dengan tubuh bergetar.
”Bergola Wungu! Kau tunggu apa lagi! Majulah bila kau benar-benar ingin membalaskan dendam kesumat seribu karat!”
Meski bagaimana kobaran amarahnya namun Bergola Wungu menyahuti, ”Jangan bicara terlalu keren, keparat! Aku masih berbaik hati untuk membiarkan kau bernafas beberapa jam lagi! Aku Bergola Wungu menunggu kau besok pagi waktu matahari terbit di pekuburan Jatiwalu! Aku ingin nyawamu terbang ke neraka disaksikan makam ayah- bundaku!”
Habis berkata demikian, Bergola Wungu putar tubuh. Tapi ketika itu Kalingundil sudah menyerbunya dengan kedua tangan terpentang!
Bergola Wungu yang tahu kehebatan lengan baja itu tak berani menyambuti. Dia berkelit ke samping dan lambaikan tangan kanannya. Serangkum angin menyambar ke dada Kalingundil. Kalingundil melompat ke samping dan hantamkan lengannya kembali. Tapi ini juga sanggup dielakkan Bergola Wungu. Dalam sebentar saja kedua orang ini sudah terlibat dalam tiga jurus. Memasuki jurus keempat tiba-tiba dari penggalan yang gelap di bawah pohon mempelam terdengar bunyi memaki.
”Kalingundil edan! Orang sudah kasih kesempatan untuk bertempur besok pagi masih saja beringasan! Gelo betul!”
Kalingundil keluar dari kalangan pertempuran. Segera ia hantamkan lengannya ke jurusan datangnya suara.
”Jangan memaki saja kunyuk! Keluarlah unjukkan diri!”
Angin dahsyat melanda ke daerah gelap, menghantam pohon mempelam hingga pohon itu tumbang. Tapi orang yang memaki sudah kabur. Dan ketika menoleh ke samping, Bergola Wungu pun sudah lenyap!
Akan Nilamsuri begitu mengenali bunyi yang memaki tadi tanpa tunggu lebih usang ia segara mengejar ke daerah gelap. Beberapa puluh meter kemudian, di pinggiran kampung akrab pematang sawah, orang yang dikejar tahu kalau dirinya dikuntit. Dengan pergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah hingga ke puncak yang sangat tinggi ia melompat ke satu cabang pohon dan menunggu.
Nyatanya yang mengejar yaitu si gadis baju biru itu. Segera ia lompat turun kembali.
”Kita berjumpa lagi, Nilamsuri….”
”Eh, dari mana kau tahu namaku?” gadis itu tanya dengan heran.
Wiro Sableng tertawa dan menjawab, ”Terlalu banyak insan daerah bertanya.
Terlalu banyak verbal yang sanggup kasih keterangan! Ada apa kau mengejar aku?!”
”Ada apa kau ikut campur urusan ayahku?!” balik menanya Nilamsuri.
Wiro Sableng melangkah mendekati gadis itu. Matanya yang memandang tajam menciptakan hati si gadis menjadi berdebar. Wiro semakin mendekat juga. Nilamsuri menyurut mundur namun badannya tertahan oleh batang pohon.
”Ayahmu Kalingundil, bukan….?” desisnya.
Gadis itu mengangguk.
Wiro menyeringai. Dipegangnya pundak gadis itu. Nilamsuri hendak menyibakkan tangan itu tapi tak jadi alasannya ketika itu Wiro membungkukkan kepalanya. Rasa panas menjalari darah ditubuhnya ketika bibir cowok itu berani mengecup bibirnya. Kemudian tangan yang lain dari si cowok mengusap mukanya. Dia membisu saja. Juga masih membisu ketika tangan itu meluncur turun ke bawah lehernya.
”Wiro…. kau ini bawel sekali…. bawel sekali,” bisik gadis itu setengah merintih.
Pemuda itu menyeringai.
”Kenapa kau ikuti aku….?”
”A…. saya suka padamu Wiro….”
Wiro tak banyak tanya lagi. Dipanggulnya tubuh yang semok itu lembut itu dan dilarikannya ke tengah sawah dimana terdapat sebuah dangau. Angin malam terasa sangat masbodoh di udara yang terbuka itu. Tapi tubuh mereka dilanda keringat panas dalam melaksanakan apa yang belum pernah mereka alami sebelumnya, dalam mencicipi apa yang mereka tak pernah rasakan sebelumnya! *****
Sinar matahari pagi memerak kekuningan. Udara segar sekali. Namun kesejukan itu tiada dirasakan oleh tiga manuisa yang berada di pekuburan Jatiwalu. Yang dua yaitu Bergola Wungu dan musuh besarnya Kalingundil. Yang ketiga Nilamsuri. Paras gadis ini agak pucat.
Bergola Wungu hentikan langkahnya beberapa tombak di hadapan Kalingundil.
”Keluarkan senjatamua Kalingundil!”
Kalingundil tertawa bergelak dan meludah ke tanah. ”Untuk menghadapi insan macam kau tak perlu pakai senjata segala! Mulailah!.” Mulut Kalingundil komat-kamit dan sebentar kemudian kelihatanlah kedua lengannya menjadi hitam!
Tergetar juga hati BergolaWungu melihat dua lengan lawan itu. Tapi tentu saja tak diperlihatkannya. Malahan ia berkata, ”Bagus kalau tak mau pakai senjata. Itu mempercepat saya mengirimkan kau ke neraka!”
Bergola Wungu mencabut golok panjangnya. Dengan ujung senjata itu ia menunjuk ke arah dua buah makam di bukit pekuburan.
”Kau lihat dua makam di lereng sana, Kalingundil?!”
Kalingundil tak berani mengalihkan pandangannya alasannya khawatir ini hanya tipuan belaka.
”Itu yaitu makam ayah bundaku. Roh-roh penghuni makam itu akan bersorak bangga bila menyaksikan sesaat lagi kepalamu kubabat menggelinding!”
”Tak perlu jual bacot insan hina! Terima lenganku!”
Disertai angin yang dahsyat maka kedua lengan Kalaingundil memukul susul menyusul. Bergola Wungu kiblatkan golok memapas salah satu lengan lawan! Betapa terkejutnya ia ketika goloknya tidak mempan membabat lengan lawan malahan mata goloknya menjadi sumplung!
Dengan segera Bergola Wungu keluarkan jurus terhebat dari ilmu goloknya yaitu jurus ”merobek langit.” Sesaat saja terbungkuslah tubuh Kalingundil oleh sinar golok! Dan satu jurus dimuka Kalingundil terdesak hebat. Berkali-kali ia hantamkan lengannya ke arah lawan namun Bergola Wungu berkelit sangat cepat. Dengan ingin tau Kalingundil coba menyampoki senjata lawan dengan kedua lengannya.
Tapi Bergola Wungu tidak bodoh. Mana ia mau langgar senjata dengan lengan yang kerasnya macam baja itu!
”Ha... ha... lekaslah minta tobat pada Tuhan atas kesalahan-kesalahanmu, Kalingundil!
Sebentar lagi kepalamu akan menggelinding!” ejek Bergola Wungu.
Geram Kalingundil bukan alang kepalang. ”Kita akan lihat siapa yang bakal meregang nyawa lebih dahulu kunyuk berewok!”, balasnya mengejek.
Kalingundil berseru keras, ”Terima senjata rahasiaku ini, kunyuk!”
Ratusan jarum hitam kemudian menggebubu menyerang Bergola Wungu tapi dengan satu kali putaran golok saja senjata belakang layar itu gugur semua ke tanah!
”Hebat! Hebat…. hebat!” terdengar bunyi dari jurusan barat. Orang yang bicara itu jauhnya masih sekitar seratus tombak. Namun begitu suaranya berakhir serentak itu pula ia sudah berada di daerah pertempuran itu! Dapat dibayangkan hebatnya ilmu lari orang itu.
”Hebat memang hebat, Bergola Wungu! Tapi mungkin kau tidak tahu bahwa insan itu yaitu bagianku!”
Baik Bergola Wungu maupun Kalingundil sama lompatkan diri dari kalangan pertempuran. Bagi Kalingundil ini yaitu satu laba alasannya ketika itu dirinya terdesak.
Keduanya memandang pada orang yang berdiri di bawah pohon. Kalingundil kerutkan kening sedang Bergola Wungu katupkan rahang rapat-rapat begitu kenal pendatang gres itu!
”Kalingundil! Kau tak perlu pandang saya dengan kerut jidat segala! Dimana insan berjulukan Mahesa Birawa?!”
”Orang muda bermulut besar, kau siapa?!” hardik Kalingundil.
”Ditanya malah menanya! Sialan betul!”, gerendeng Wiro Sableng. ”Tujuh belas tahun yang silam kau bersama Mahesa Birawa telah membunuh Ranaweleng, bapakku! Juga membunuh ibuku dan Jarot Karsa! Apa kau punya otak masih sanggup mengingatnya?!”
Kalingundil merutuk dalam hati. Apakah insan ini juga hendak membalaskan dendam kesumatnya ibarat Bergola Wungu? Melihat kepada tenaga dalam yang menyertai suaranya tadi Kalingundil sudah sanggup mengukur kehebatan insan ini. Hatinya mengeluh!
Melayani Bergola Wungu saja ia sudah kepepet, apalagi menghadapi dua lawan sekaligus!
”Apa maumu orang muda?!”
”Apa mauku….?!” Wiro tertawa bergelak.
Nilamsuri yang merasa cemas segera mengetengahi dengan berkata, ”Wiro…. ia yaitu ayahku!”
”Aku tahu adik manis…,” dan si cowok tertawa lagi. Dalam tertawanya itu masih sanggup ia mengingat kemesraan dan kebahagiaan hidup yang dirasakannya bersama gadis itu di dangau di tengah sawah tadi malam. ”Karena itulah saya berbaik hati tiba ke sini hanya untuk meminta tangan kanannya saja!”
”Wiro!” muka Nilamsuri menjadi pucat.
Bergola Wungu sendiri tahu bahwa apa yang dikatakan oleh Wiro Sableng bukan omong kosong belaka. Dia telah melihat kehebatan cowok rambut gondrong ini!
Sebaliknya Kalingundil keluarkan tertawa membahak. ”Kurasa kau masih pantas untuk menetek sama kau punya ibu!”, ejeknya.
”Kata-kata itu cukup lucu, Kalingundil! Aku senang pada manusia-manusia yang suka bicara lucu!” Wiro Sableng melangkah mendekati Kalingundil.
Nilamsuri melompat ke muka hendak menahan si cowok tapi pada ketika itu pula dari samping Bergola Wungu yang semenjak usang menahan kegeramannya terhadap Kalingundil, maka ketika melihat anak musuh bebuyutannya itu melompat ke muka, tanpa tunggu lebih usang segera ditebaskan golok panjangnya!
Nilamsuri melengking! Tubuhnya tercampak ke tanah. Dadanya robek besar. Darah menyembur! Bergola Wungu yang melihat tidak adanya kesempatan baginya untuk turun tangan terhadap Kalingundil segera lari ke lereng bukit pekuburan dan berseru:
”Manusia berjulukan Wiro Sableng! Antara kita masih ada sedikit urusan! Kalau kau merasa punya nyali untuk meneruskan, saya tunggu di Gua Sanggreng!”
”Setan ganjal betul!” maki Wiro Sableng. Dipukulkannya tangan kanannya ke arah lereng bukit pekuburan. Angin laksana angin puting-beliung menderu dahsyat. Batu-batu nisan dan tanah pekuburan beterbangan. Pohon-pohon bertumbangan. Semak belukar diterabas gundul!
Tapi Bergola Wungu sudah lenyap dibalik bukit!
Wiro Sableng putar kepala dan ia memaki lagi ketika melihat Kalingundil melarikan diri. ”Boleh saja lari Kalingundil! Tapi tinggalkan lenganmu dahulu!”
Sekali cowok itu melompat ke muka maka ia berhasil menyusul Kalingundil. Tiba- tiba Kalingundil berbalik, cabut keris di pinggang dan tusukkan ke perut Wiro Sableng!
Serangan yang dilancarkan dengan kalap serta alasannya ketakutan itu tidak mengenai sasarannya. Sebaliknya yang diserang cepat gerakkan tangan kanannya.
”Kraak”!
Kalingundil meolong. Tangan kanannya sebatas pundak tanggal. Tulangnya copot!
Daging dan otot seta urat-urat berserabutan mengerikan sekali!
Laki-laki itu macam babi celeng seradak seruduk kian kemari. Dia hendak lari lagi.
”Eee…. tunggu dulu Kalingundil! Kenapa terburu-buru kabur?! Terima dulu angka kenang-kenangan ini!” Habis berkata begitu Wiro Sableng benturkan tapak tangan kanannya ke jidat Kalingundil! Pada kulit jidat pria ini maka terpampanglah lukisan telapak tangan berikut lima jari dengan angka 212 pada baigan tengahnya!
Kalingundil seradak seruduk lagi macam babi celeng! Darah berceceran dari luka di tangannya. Wiro Sableng tertawa mengekeh. Diperhatikannya pria itu berlari macam dikejar setan! Tangan kirinya memutar-mutar lengan Kalingundil yang masih dipegangnya. Tiba-tiba dilemparkannya potongan lengan itu. Laksana anak panah potongan lengen itu melesat dan menghantam punggung Kalingundil, menciptakan pria itu tergelimpang menelungkup di tanah, tapi segera berdiri lagi dan lari lagi!
Wiro Sableng hentikan gelaknya ketika telinganya mendengar bunyi gerangan Nilamsuri. Cepat didekatinya tubuh gadis itu. Dia berlutut di tanah. Matanya menyipit melihat luka besar di dada si gadis. Nyawa Nilamsuri tak mungkin di tolong lagi. Dibopongnya gadis itu, dibawanya ke daerah teduh dan dibaringkannya.
”Wiro….” Nilamsuri membuka kedua matanya yang telah menjadi sayu itu. ”Wiro…. peluk aku….,” pintanya.
Wiro Sabelng merangkul gadis itu.
”Cium aku…. Wiro….”
Si cowok mencium pipi Nilamsuri. Lalu mengecup bibirnya. Bibir itu kesat dan masbodoh kini, tidak berair dan hangat ibarat malam tadi. Nafas Nilamsuri lambat dan satu- satu.
Sinar matanya semakin pudar.
”Umurku untuk mengenalmu hanya hingga di sini, Wiro….” bisik Nilamsuri.
”Aku akan obati lukamu, Nilam. Kau akan sembuh….” kata Wiro pula menghibur.
Nilamsuri tersenyum. Bersamaan dengan memberkasnya senyum itu di bibirnya maka ketika itu pula rohnya lepas meninggalkan tubuh.
Pendekar muda dari Gunung Gede hela nafas panjang. Hatinya beku menyaksikan kematian gadis itu. Semalam Nilamsuri masih dirangkulnya, masih dirabanya…. tapi sekarang tubuh itu tiada akan menunjukkan apa-apa lagi kepadanya. Bahkan kehangatanpun tidak alasannya ketika itu tubuh Nilamsuri berangsur menjadi dingin.
Wiro mennghela nafas panjang sekali lagi. Disibakkannya penggalan pakaian yang robek di dada gadis itu. Pada penggalan kulit dada yang masih utuh, sempurna di atas buah dada sebelah kiri si gadis, dengan pergunakan ujung telunjuk jari tangan kanannya, Wiro menggurat tiga barisan angka: 212.
Disandarkannya tubuh tanpa nyawa itu ke batang pohon dengan hati-hati. Lalu melangkahlah satria ini meninggalkan daerah itu. Dan ibarat tak pernah terjadi apa- apa, ibarat tak satupun yang barusan dialaminya, dari sela bibir cowok ini terdengarlah bunyi siulan. Siulan melagukan nyanyi tak menentu….
TAMAT

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel