Mahabarata Episode 4: Amba, Ambika Dan Ambalika
Senin, 08 September 2014
Sebelumnya...
Chitranggada, putra Satyawati, tewas dalam pertempu- ran melawan gandarwa. Karena ia tewas dalam pepe- rangan tanpa mempunyai anak, maka Wichitrawirya, adiknya, dinobatkan menjadi raja menggantikannya. Tetapi, alasannya yaitu waktu naik takhta ia belum dewasa, tampuk pemerin- tahan untuk sementara dipegang oleh kakaknya dari lain ibu, yaitu Dewabrata alias Bhisma, hingga ia dewasa. Ketika Wichitrawirya telah cukup remaja untuk menikah, Bhisma mencarikan calon istri yang pantas bagi adiknya itu. Ia mendengar bahwa tiga putri Raja Kasi akan menentukan calon suami berdasarkan adat-istiadat kaum bang- sawan, yaitu dengan mengadakan sayembara. Bhisma me- mutuskan mengikuti sayembara itu biar bisa memboyong putri-putri Raja Kasi untuk adiknya.
Pada hari sayembara, di alun-alun Kerajaan Kasi ber- kumpul putra-putra mahkota dari Kerajaan Kosala, Wangsa, Pundra, Kalingga dan lain-lain. Mereka semua berminat mempersunting putri-putri Raja Kasi yang sangat populer kecantikan dan keanggunannya. Karena ada tiga putri yang diperebutkan, sayembara itu diselenggarakan secara besar-besaran. Meskipun tiba dengan semangat tinggi, banyak juga putra mahkota yang merasa cemas, takut menanggung malu kalau gagal memenangkan sayem- bara; lebih-lebih saat melihat Bhisma hadir di antara mereka.
Bhisma populer sakti dan mahir menggunakan segala macam senjata perang. Kecuali itu, alasannya yaitu kesetiaan dan keteguhan hatinya, semua orang segan padanya.
Semula para putra mahkota menyangka Bhisma tiba hanya untuk menyaksikan jalannya sayembara alasannya yaitu pangeran itu telah bersumpah takkan pernah menikah. Tetapi, saat mengetahui bahwa Bhisma mengikuti sayembara, sangatlah kecut hati mereka.
Tak ada yang menyangka bahwa Bhisma tiba untuk maksud yang sama. Dan tak seorang pun tahu bahwa ia tiba demi saudaranya yang lebih muda, Wichitrawirya.
Para putra mahkota itu berbisik-bisik, membicarakan Bhisma. Seseorang berkata, “Dia memang keturunan Bharata yang sakti dan bijaksana. Sayang sekali, ia lupa diri. Tak sadar bahwa sudah renta dan lupa akan sum- pahnya untuk hidup sebagai brahmacarin yang seumur hidup tidak akan kawin. Untuk apa ia ikut sayembara ini? Dasar pangeran tak tahu malu!”
Putri-putri Kasi yang hendak menentukan calon suami mereka sama sekali tak menghiraukan kehadiran Bhisma. Mereka menganggapnya cowok renta yang tidak menarik. Mereka berbisik-bisik mengolok-olok pendekar renta itu sambil membuang muka, tak mau memandangnya.
Bhisma, yang merasa diejek dan dipermainkan, menjadi berang. Ditantangnya semua putra mahkota untuk berpe- rang-tanding dengannya. Tak ada yang berani menolak meskipun sadar semua takkan bisa mengalahkan kesatria renta itu. Tak ada yang mau dipermalukan di depan putri-putri jelita idaman mereka.
Satu per satu mereka berperang-tanding melawan Bhisma. Semua kalah. Segera setelah mengalahkan semua putra mahkota, Bhisma menyambar ketiga putri jelita itu dan melarikan mereka dengan keretanya yang termasyhur. Begitu kencang laju kereta itu hingga seperti mereka terbang meninggalkan gelanggang sayembara, menuju Hastinapura. Belum lagi jauh dari arena sayembara Kera- jaan Kasi, mereka dihadang Raja Salwa dari Kerajaan Saubala. Raja itu menantang Bhisma untuk bertarung.
Sebenarnya, Raja Salwa sudah menjalin kasih dengan Amba dan Amba yang jelita telah menentukan Salwa sebagai calon suaminya. Setelah perkelahian sengit, Salwa takluk. Menyerah. Bhisma mengangkat senjata, hendak membu- nuh, tetapi dicegah oleh Amba. Karena seruan putri itu, Bhisma urung membunuh Salwa.
Setibanya di Hastinapura, Bhisma segera mempersiap- kan ijab kabul Wichitrawirya. Ketika tamu-tamu mulai berdatangan, Amba berkata kepada Bhisma dengan nada mencemooh, “Wahai putra Dewi Gangga yang masyhur, Tuan niscaya tahu yang terkandung dalam kitab-kitab suci yang kita hormati dan muliakan. Seharusnya Tuan juga tahu bahwa saya telah menentukan Salwa, Raja Kerajaan Saubala, untuk menjadi suamiku. Tuan memaksa diriku mendapatkan ijab kabul ini. Bila Tuan mengerti akan hal ini, bertindaklah sesuai dengan fatwa kitab suci.”
Sementara ijab kabul Ambika dan Ambalika, adik-adik Amba, dengan Wichitrawirya berlangsung dengan baik dan penuh kebesaran, Bhisma mengantarkan Amba kepada Raja Salwa.
Hal itu dilakukan Bhisma alasannya yaitu memahami maksud putri itu dan demi menaati apa yang tertulis dalam kitab suci. Diiringkan sejumlah pengawal kehormatan yang pantas, diantarkannya Amba ke istana Kerajaan Saubala. Sampai di sana, Bhisma menghadap Raja Salwa dan menyerahkan Amba kepadanya. Segera setelah itu, pangeran renta itu kembali ke Hastinapura.
Dengan perasaan besar hati dan mesra, Amba mencerita- kan semua yang telah terjadi kepada Raja Salwa. Setelah itu ia berkata, “Sejak semula hamba telah menetapkan hati untuk mengabdikan diri, lahir dan batin kepada Tuanku. Pangeran Bhisma mendapatkan penolakan hamba dan meng- antarkan hamba ke hadapan Tuanku. Jadikanlah hamba permaisuri Tuanku berdasarkan fatwa kitab-kitab suci sastra.”
Maharaja Salwa menjawab, “Bhisma telah menaklukkan saya dan telah melarikan engkau di depan umum. Aku merasa sangat terhina. Karena itu, saya tidak bisa mene- rima engkau menjadi istriku. Sebaiknya engkau kembali kepada Bhisma dan lakukan apa yang ia perintahkan.”
Setelah berkata demikian, Raja memanggil beberapa pengawal dan memerintahkan mereka untuk mengawal Amba kembali kepada Bhisma.
Sampai di Hastinapura, Amba menceritakan apa yang telah terjadi kepada Bhisma. Pangeran renta itu kemudian membujuk adiknya biar mau menikahi Amba. Tetapi, Wichitrawirya tegas-tegas menolak, alasannya yaitu putri itu telah menunjukkan hatinya kepada orang lain.
Penolakan Wichitrawirya merupakan beban berat bagi Bhisma, alasannya yaitu ia sendiri telah bersumpah tidak akan pernah menikah. Tak mungkin ia melanggar sumpahnya sendiri. Lebih-lebih alasannya yaitu ia keturunan aristokrat yang terhormat. Ia iba kepada Amba, tetapi tak kuasa berbuat apa-apa. Beberapa kali dicobanya membujuk Wichitra- wirya, tetapi adiknya itu tetap pada pendiriannya. Tak ada jalan lain. Ia terpaksa menasihati Amba biar kembali lagi kepada Salwa.
Hal itu sungguh sangat berat bagi Amba. Karena tak berani kembali ke Kerajaan Saubala, selama beberapa waktu Amba terpaksa bersembunyi di Hastinapura. Akhir- nya dengan perasaan berat, Amba mencoba kembali kepa- da Raja Salwa.
Sekali lagi, dengan bunyi yang keras dan tegas, Raja Salwa menolak Amba.
Demikianlah, Amba yang jelita kemudian terpaksa mele- watkan hari-harinya dalam kemurungan. Hampir enam tahun lamanya ia hidup tanpa cinta, penuh duka, dan tanpa harapan. Parasnya yang segar dan jelita menjadi layu dan kisut. Hatinya yang menderita berubah, berisi kepahitan dan kebencian kepada Bhisma — yang menurut- nya telah menghancurkan hidupnya. Sia-sia ia berusaha mencari seorang kesatria tangguh untuk bertarung mela- wan Bhisma dan kalau bisa ... sekaligus membunuh pa- ngeran renta itu. Tak seorang kesatria pun berani bertarung dengan Bhisma yang termasyhur sakti dan perkasa. Akhirnya, Amba pergi ke hutan dan bertapa dengan sangat tekun. Ia memohon kepada Dewa Subrahmanya biar membantunya menghancurkan Bhisma. Dewa itu menghadiahkan seuntai kalung bunga teratai segar yang sudah diberi restu-pastu. Orang yang berkalung bunga teratai segar itu akan menjadi sakti dan dengan kesak- tiannya ia akan bisa mengalahkan Bhisma.
Amba mendapatkan kalung bunga teratai itu. Kemudian sekali lagi ia mencari seorang kesatria yang mau menggunakan kalung bunga hadiah Dewa Subrahmanya, ilahi sakti berwajah enam. Sayang sekali, tak seorang kesatria pun mau menerimanya. Tak seorang kesatria pun berani mela- wan Bhisma yang termasyhur kesaktiannya. Kemudian Amba menghadap Raja Drupada. Raja ini juga menolak- nya. Akhirnya, Amba meninggalkan kalung bunga itu di pintu gerbang istana Raja Drupada kemudian pergi mengembara ke dalam hutan.
Kepada beberapa pertapa yang ditemuinya di hutan, Amba menceritakan pengalamannya yang menyedihkan itu. Mereka menasihatinya biar menghadap Parasurama. Amba menuruti hikmah mereka, ia pergi menghadap Parasurama.
Mendengar dongeng Amba, Parasurama merasa kasihan. Ia berkata, “Wahai anakku yang jelita, apa yang kau- kehendaki sekarang? Aku sanggup meminta Salwa untuk mengawinimu kalau engkau mau.”
Amba menjawab dengan hati teguh, “Tidak, saya tidak menginginkan itu lagi. Saya tak punya hasrat lagi untuk menikah atau mencari kebahagiaan. Satu-satunya yang saya inginkan dalam hidup ini yaitu membalas dendam kepada Bhisma. Saya bersumpah, yang saya inginkan tak lain hanyalah selesai hidup Bhisma.”
Parasurama mendengarkan kata-kata Amba dengan penuh perhatian. Ia sendiri amat membenci golongan kesa- tria. Karena itu, ia menetapkan untuk menolong Amba dan bertarung melawan Bhisma. Pertempuran mereka sangat jago dan berlangsung lama. Dua-duanya setara kesaktian dan kemahirannya dalam olah senjata. Tetapi, jadinya Parasurama harus mengakui keunggulan Bhisma.
Setelah dikalahkan Bhisma, ia menemui Amba dan berkata, “Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk menaklukkan dan menghancurkan Bhisma, tetapi saya kalah. Satu-satunya jalan bagimu yaitu kembali kepada- nya dan menyerahkan nasibmu kepadanya. Hanya itu yang sanggup kaulakukan.”
Dengan membawa duka, sakit hati, dendam, dan kebencian, jadinya Amba pergi ke kaki Gunung Himalaya untuk bertapa. Dengan khusyuk ia bertapa dan terus- menerus melaksanakan penyucian diri biar sanggup mendapatkan karunia Batara Shiwa alasannya yaitu di dunia tak ada lagi insan yang bisa menolongnya.
Setelah usang bertapa dengan sangat khusyuk, Batara Shiwa muncul di hadapannya dan memberinya restu: ‘dalam inkarnasinya yang akan datang, Amba sanggup membunuh Bhisma’.
Amba tidak sabar menunggu hingga masa inkarnasinya yang akan datang. Karena itu, ia menciptakan api unggun besar dan melaksanakan satya, mengorbankan diri dengan terjun ke dalam api yang berkobar-kobar. Dengan satya, badannya akan hangus terbakar.
Atas pemberian Batara Shiwa, Amba berinkarnasi, terlahir kembali sebagai putri Raja Drupada. Ajaib! Beberapa tahun kemudian ia menemukan kalung bunga teratai yang dahulu ia gantungkan di pintu gerbang istana Raja Drupada. Kalung bunga itu masih elok dan segar, seperti tak pernah disentuh orang. Maka dikalung- kanlah untaian bunga itu di lehernya. Melihat perbuatan- nya yang gegabah itu, Raja Drupada menjadi cemas alasannya yaitu ingat bagaimana dahulu Amba mengalungkan untaian bunga itu di situ sebelum meninggalkan istana Hastina- pura dengan hati penuh dendam. Putri yang mendendam itu kemudian bertapa di hutan yang lengang dan sunyi.
Begitulah, putri Raja Drupada mengambil untaian bunga itu dan mengalungkannya di lehernya. Ajaib! Lama kelamaan, kelamin putri Raja Drupada itu berubah. Ia menjadi seorang pria dan kemudian termasyhur dengan nama Srikandi, artinya “pahlawan perang.”
Kelak dalam perang besar Bharatayuda, Srikandi bertempur di depan kereta Arjuna melawan Bhisma. Dalam perang di padang Kurukshetra itu, Bhisma tahu benar bahwa Amba telah lahir kembali dalam wujud Srikandi, yakni perempuan yang bermetamorfosis pria dan alasannya yaitu penampilannya yang tetap ibarat wanita, berdasarkan tata krama, hukum perang dan sumpahnya sendiri, dalam keadaan apa pun Bhisma dilarang melawannya. Dalam keadaan apa pun Bhisma tidak akan bertempur melawan Srikandi yang termasyhur dan gagah berani.
Bersambung...
Chitranggada, putra Satyawati, tewas dalam pertempu- ran melawan gandarwa. Karena ia tewas dalam pepe- rangan tanpa mempunyai anak, maka Wichitrawirya, adiknya, dinobatkan menjadi raja menggantikannya. Tetapi, alasannya yaitu waktu naik takhta ia belum dewasa, tampuk pemerin- tahan untuk sementara dipegang oleh kakaknya dari lain ibu, yaitu Dewabrata alias Bhisma, hingga ia dewasa. Ketika Wichitrawirya telah cukup remaja untuk menikah, Bhisma mencarikan calon istri yang pantas bagi adiknya itu. Ia mendengar bahwa tiga putri Raja Kasi akan menentukan calon suami berdasarkan adat-istiadat kaum bang- sawan, yaitu dengan mengadakan sayembara. Bhisma me- mutuskan mengikuti sayembara itu biar bisa memboyong putri-putri Raja Kasi untuk adiknya.
Pada hari sayembara, di alun-alun Kerajaan Kasi ber- kumpul putra-putra mahkota dari Kerajaan Kosala, Wangsa, Pundra, Kalingga dan lain-lain. Mereka semua berminat mempersunting putri-putri Raja Kasi yang sangat populer kecantikan dan keanggunannya. Karena ada tiga putri yang diperebutkan, sayembara itu diselenggarakan secara besar-besaran. Meskipun tiba dengan semangat tinggi, banyak juga putra mahkota yang merasa cemas, takut menanggung malu kalau gagal memenangkan sayem- bara; lebih-lebih saat melihat Bhisma hadir di antara mereka.
Bhisma populer sakti dan mahir menggunakan segala macam senjata perang. Kecuali itu, alasannya yaitu kesetiaan dan keteguhan hatinya, semua orang segan padanya.
Semula para putra mahkota menyangka Bhisma tiba hanya untuk menyaksikan jalannya sayembara alasannya yaitu pangeran itu telah bersumpah takkan pernah menikah. Tetapi, saat mengetahui bahwa Bhisma mengikuti sayembara, sangatlah kecut hati mereka.
Tak ada yang menyangka bahwa Bhisma tiba untuk maksud yang sama. Dan tak seorang pun tahu bahwa ia tiba demi saudaranya yang lebih muda, Wichitrawirya.
Para putra mahkota itu berbisik-bisik, membicarakan Bhisma. Seseorang berkata, “Dia memang keturunan Bharata yang sakti dan bijaksana. Sayang sekali, ia lupa diri. Tak sadar bahwa sudah renta dan lupa akan sum- pahnya untuk hidup sebagai brahmacarin yang seumur hidup tidak akan kawin. Untuk apa ia ikut sayembara ini? Dasar pangeran tak tahu malu!”
Putri-putri Kasi yang hendak menentukan calon suami mereka sama sekali tak menghiraukan kehadiran Bhisma. Mereka menganggapnya cowok renta yang tidak menarik. Mereka berbisik-bisik mengolok-olok pendekar renta itu sambil membuang muka, tak mau memandangnya.
Bhisma, yang merasa diejek dan dipermainkan, menjadi berang. Ditantangnya semua putra mahkota untuk berpe- rang-tanding dengannya. Tak ada yang berani menolak meskipun sadar semua takkan bisa mengalahkan kesatria renta itu. Tak ada yang mau dipermalukan di depan putri-putri jelita idaman mereka.
Satu per satu mereka berperang-tanding melawan Bhisma. Semua kalah. Segera setelah mengalahkan semua putra mahkota, Bhisma menyambar ketiga putri jelita itu dan melarikan mereka dengan keretanya yang termasyhur. Begitu kencang laju kereta itu hingga seperti mereka terbang meninggalkan gelanggang sayembara, menuju Hastinapura. Belum lagi jauh dari arena sayembara Kera- jaan Kasi, mereka dihadang Raja Salwa dari Kerajaan Saubala. Raja itu menantang Bhisma untuk bertarung.
Sebenarnya, Raja Salwa sudah menjalin kasih dengan Amba dan Amba yang jelita telah menentukan Salwa sebagai calon suaminya. Setelah perkelahian sengit, Salwa takluk. Menyerah. Bhisma mengangkat senjata, hendak membu- nuh, tetapi dicegah oleh Amba. Karena seruan putri itu, Bhisma urung membunuh Salwa.
Setibanya di Hastinapura, Bhisma segera mempersiap- kan ijab kabul Wichitrawirya. Ketika tamu-tamu mulai berdatangan, Amba berkata kepada Bhisma dengan nada mencemooh, “Wahai putra Dewi Gangga yang masyhur, Tuan niscaya tahu yang terkandung dalam kitab-kitab suci yang kita hormati dan muliakan. Seharusnya Tuan juga tahu bahwa saya telah menentukan Salwa, Raja Kerajaan Saubala, untuk menjadi suamiku. Tuan memaksa diriku mendapatkan ijab kabul ini. Bila Tuan mengerti akan hal ini, bertindaklah sesuai dengan fatwa kitab suci.”
Sementara ijab kabul Ambika dan Ambalika, adik-adik Amba, dengan Wichitrawirya berlangsung dengan baik dan penuh kebesaran, Bhisma mengantarkan Amba kepada Raja Salwa.
Hal itu dilakukan Bhisma alasannya yaitu memahami maksud putri itu dan demi menaati apa yang tertulis dalam kitab suci. Diiringkan sejumlah pengawal kehormatan yang pantas, diantarkannya Amba ke istana Kerajaan Saubala. Sampai di sana, Bhisma menghadap Raja Salwa dan menyerahkan Amba kepadanya. Segera setelah itu, pangeran renta itu kembali ke Hastinapura.
Dengan perasaan besar hati dan mesra, Amba mencerita- kan semua yang telah terjadi kepada Raja Salwa. Setelah itu ia berkata, “Sejak semula hamba telah menetapkan hati untuk mengabdikan diri, lahir dan batin kepada Tuanku. Pangeran Bhisma mendapatkan penolakan hamba dan meng- antarkan hamba ke hadapan Tuanku. Jadikanlah hamba permaisuri Tuanku berdasarkan fatwa kitab-kitab suci sastra.”
Maharaja Salwa menjawab, “Bhisma telah menaklukkan saya dan telah melarikan engkau di depan umum. Aku merasa sangat terhina. Karena itu, saya tidak bisa mene- rima engkau menjadi istriku. Sebaiknya engkau kembali kepada Bhisma dan lakukan apa yang ia perintahkan.”
Setelah berkata demikian, Raja memanggil beberapa pengawal dan memerintahkan mereka untuk mengawal Amba kembali kepada Bhisma.
Sampai di Hastinapura, Amba menceritakan apa yang telah terjadi kepada Bhisma. Pangeran renta itu kemudian membujuk adiknya biar mau menikahi Amba. Tetapi, Wichitrawirya tegas-tegas menolak, alasannya yaitu putri itu telah menunjukkan hatinya kepada orang lain.
Penolakan Wichitrawirya merupakan beban berat bagi Bhisma, alasannya yaitu ia sendiri telah bersumpah tidak akan pernah menikah. Tak mungkin ia melanggar sumpahnya sendiri. Lebih-lebih alasannya yaitu ia keturunan aristokrat yang terhormat. Ia iba kepada Amba, tetapi tak kuasa berbuat apa-apa. Beberapa kali dicobanya membujuk Wichitra- wirya, tetapi adiknya itu tetap pada pendiriannya. Tak ada jalan lain. Ia terpaksa menasihati Amba biar kembali lagi kepada Salwa.
Hal itu sungguh sangat berat bagi Amba. Karena tak berani kembali ke Kerajaan Saubala, selama beberapa waktu Amba terpaksa bersembunyi di Hastinapura. Akhir- nya dengan perasaan berat, Amba mencoba kembali kepa- da Raja Salwa.
Sekali lagi, dengan bunyi yang keras dan tegas, Raja Salwa menolak Amba.
Demikianlah, Amba yang jelita kemudian terpaksa mele- watkan hari-harinya dalam kemurungan. Hampir enam tahun lamanya ia hidup tanpa cinta, penuh duka, dan tanpa harapan. Parasnya yang segar dan jelita menjadi layu dan kisut. Hatinya yang menderita berubah, berisi kepahitan dan kebencian kepada Bhisma — yang menurut- nya telah menghancurkan hidupnya. Sia-sia ia berusaha mencari seorang kesatria tangguh untuk bertarung mela- wan Bhisma dan kalau bisa ... sekaligus membunuh pa- ngeran renta itu. Tak seorang kesatria pun berani bertarung dengan Bhisma yang termasyhur sakti dan perkasa. Akhirnya, Amba pergi ke hutan dan bertapa dengan sangat tekun. Ia memohon kepada Dewa Subrahmanya biar membantunya menghancurkan Bhisma. Dewa itu menghadiahkan seuntai kalung bunga teratai segar yang sudah diberi restu-pastu. Orang yang berkalung bunga teratai segar itu akan menjadi sakti dan dengan kesak- tiannya ia akan bisa mengalahkan Bhisma.
Amba mendapatkan kalung bunga teratai itu. Kemudian sekali lagi ia mencari seorang kesatria yang mau menggunakan kalung bunga hadiah Dewa Subrahmanya, ilahi sakti berwajah enam. Sayang sekali, tak seorang kesatria pun mau menerimanya. Tak seorang kesatria pun berani mela- wan Bhisma yang termasyhur kesaktiannya. Kemudian Amba menghadap Raja Drupada. Raja ini juga menolak- nya. Akhirnya, Amba meninggalkan kalung bunga itu di pintu gerbang istana Raja Drupada kemudian pergi mengembara ke dalam hutan.
Kepada beberapa pertapa yang ditemuinya di hutan, Amba menceritakan pengalamannya yang menyedihkan itu. Mereka menasihatinya biar menghadap Parasurama. Amba menuruti hikmah mereka, ia pergi menghadap Parasurama.
Mendengar dongeng Amba, Parasurama merasa kasihan. Ia berkata, “Wahai anakku yang jelita, apa yang kau- kehendaki sekarang? Aku sanggup meminta Salwa untuk mengawinimu kalau engkau mau.”
Amba menjawab dengan hati teguh, “Tidak, saya tidak menginginkan itu lagi. Saya tak punya hasrat lagi untuk menikah atau mencari kebahagiaan. Satu-satunya yang saya inginkan dalam hidup ini yaitu membalas dendam kepada Bhisma. Saya bersumpah, yang saya inginkan tak lain hanyalah selesai hidup Bhisma.”
Parasurama mendengarkan kata-kata Amba dengan penuh perhatian. Ia sendiri amat membenci golongan kesa- tria. Karena itu, ia menetapkan untuk menolong Amba dan bertarung melawan Bhisma. Pertempuran mereka sangat jago dan berlangsung lama. Dua-duanya setara kesaktian dan kemahirannya dalam olah senjata. Tetapi, jadinya Parasurama harus mengakui keunggulan Bhisma.
Setelah dikalahkan Bhisma, ia menemui Amba dan berkata, “Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk menaklukkan dan menghancurkan Bhisma, tetapi saya kalah. Satu-satunya jalan bagimu yaitu kembali kepada- nya dan menyerahkan nasibmu kepadanya. Hanya itu yang sanggup kaulakukan.”
Dengan membawa duka, sakit hati, dendam, dan kebencian, jadinya Amba pergi ke kaki Gunung Himalaya untuk bertapa. Dengan khusyuk ia bertapa dan terus- menerus melaksanakan penyucian diri biar sanggup mendapatkan karunia Batara Shiwa alasannya yaitu di dunia tak ada lagi insan yang bisa menolongnya.
Setelah usang bertapa dengan sangat khusyuk, Batara Shiwa muncul di hadapannya dan memberinya restu: ‘dalam inkarnasinya yang akan datang, Amba sanggup membunuh Bhisma’.
Amba tidak sabar menunggu hingga masa inkarnasinya yang akan datang. Karena itu, ia menciptakan api unggun besar dan melaksanakan satya, mengorbankan diri dengan terjun ke dalam api yang berkobar-kobar. Dengan satya, badannya akan hangus terbakar.
Atas pemberian Batara Shiwa, Amba berinkarnasi, terlahir kembali sebagai putri Raja Drupada. Ajaib! Beberapa tahun kemudian ia menemukan kalung bunga teratai yang dahulu ia gantungkan di pintu gerbang istana Raja Drupada. Kalung bunga itu masih elok dan segar, seperti tak pernah disentuh orang. Maka dikalung- kanlah untaian bunga itu di lehernya. Melihat perbuatan- nya yang gegabah itu, Raja Drupada menjadi cemas alasannya yaitu ingat bagaimana dahulu Amba mengalungkan untaian bunga itu di situ sebelum meninggalkan istana Hastina- pura dengan hati penuh dendam. Putri yang mendendam itu kemudian bertapa di hutan yang lengang dan sunyi.
Begitulah, putri Raja Drupada mengambil untaian bunga itu dan mengalungkannya di lehernya. Ajaib! Lama kelamaan, kelamin putri Raja Drupada itu berubah. Ia menjadi seorang pria dan kemudian termasyhur dengan nama Srikandi, artinya “pahlawan perang.”
Kelak dalam perang besar Bharatayuda, Srikandi bertempur di depan kereta Arjuna melawan Bhisma. Dalam perang di padang Kurukshetra itu, Bhisma tahu benar bahwa Amba telah lahir kembali dalam wujud Srikandi, yakni perempuan yang bermetamorfosis pria dan alasannya yaitu penampilannya yang tetap ibarat wanita, berdasarkan tata krama, hukum perang dan sumpahnya sendiri, dalam keadaan apa pun Bhisma dilarang melawannya. Dalam keadaan apa pun Bhisma tidak akan bertempur melawan Srikandi yang termasyhur dan gagah berani.
Bersambung...