Mahabarata Episode 3: Sumpah Dewabrata Sebagai Bhisma
Senin, 08 September 2014
Sebelumnya...
Dengan hati senang Raja Santanu menyambut putra- nya dan membawanya ke istana. Anak yang dikelilingi aura keagungan dan menawarkan watak-watak kesatria sejati itu dinobatkannya menjadi putra mahkota. Dewa- brata diangkat sebagai yuwaraja atau putra mahkota yang bertugas mendampingi Raja dalam memerintah. Dia pula yang akan mewarisi kerajaan ayahnya, kelak sehabis ayahnya mengundurkan diri dengan bijaksana.
Empat tahun berlalu. Pada suatu hari, Raja Santanu berjalan-jalan di tepi Sungai Yamuna. Tiba-tiba angin berhembus dan terciumlah olehnya keharuman yang memenuhi udara. Raja mencari sumber keharuman yang suci itu dan melihat seorang gadis manis jelita, secantik bidadari kahyangan, duduk termenung di tepi sungai.
Sejak Dewi Gangga meninggalkannya, Raja Santanu selalu berusaha menahan hasrat dan hawa nafsunya dan berusaha hidup dengan sepenuhnya mengutamakan kebajikan. Tetapi, kecantikan wajah dan keharuman badan gadis itu membuatnya lupa akan tapabrata-nya. Hatinya bergejolak, dilanda cinta asmara yang meluap-luap. Raja Santanu meminang gadis itu semoga mau menjadi permaisu- rinya.
“Wahai gadis jelita, siapakah namamu dan dari mana asalmu? Aku terpesona oleh kecantikanmu. Maukah eng- kamu kupersunting menjadi istriku?” kata sang Raja.
Berkatalah sang juwita, “Daulat Tuanku, nama hamba Satyawati. Hamba seorang penangkap ikan. Ayah hamba kepala kampung nelayan di sini. Hamba persilakan Paduka membicarakan undangan itu dengan ayah hamba. Semo- ga dia menyetujuinya.”
Satyawati mengantarkan sang Raja ke rumah orangtua- nya di kampung nelayan yang agak jauh dari tempatnya mencari ikan. Sampai di rumah, sang Raja dipersilakan untuk mengutarakan niatnya.
Kata Raja Santanu, “Wahai Bapak nelayan, saya temukan putrimu yang jelita ini di tepi sungai sedang mencari ikan. Aku sangat terpesona oleh kecantikan dan tutur katanya yang lembut. Aku ingin mempersunting dia menjadi istriku dan memboyongnya ke istanaku.”
Ayah gadis itu orang yang cerdik. Ia menyembah Raja Santanu dan berkata, “Daulat Tuanku. Memang sudah waktunya anak hamba menikah dengan seorang lelaki, menyerupai gadis-gadis lain. Paduka Tuanku ialah raja yang mulia dan berkedudukan jauh di atas dia. Hamba tidak keberatan jikalau anak hamba Paduka persunting. Tetapi, sebelum Satyawati hamba serahkan, Paduka harus berjanji.”
Kata Raja Santanu, “Apa pun syarat yang kauajukan, saya akan memenuhinya.”
Kepala kampung nelayan itu memohon, “Jika anak hamba melahirkan seorang bayi lelaki, Paduka harus menobatkannya menjadi putra mahkota dan kelak sehabis Paduka mengundurkan diri, Paduka harus mewariskan kerajaan ini kepadanya.”
Meskipun tergila-gila pada anak gadis kepala kampung nelayan itu, namun Raja Santanu tak sanggup menyanggupi persyaratan itu. Ia sadar, jikalau dia memenuhi semua syarat yang diajukan ayah si gadis, berarti ia harus menyingkir- kan Dewabrata yang sudah dinobatkannya menjadi yuwa- raja dan berhak atas takhta kerajaannya kelak. Terlalu besar yang harus ia pertaruhkan untuk mempersunting Satyawati. Sungguh tidak pantas dan memalukan, jikalau ia menuruti kata hatinya. Setelah bergulat dengan perasaannya, Raja Santanu kembali ke istananya di Hastinapura. Perasaannya campur aduk, sedih lantaran mungkin harus menyingkirkan Dewabrata, senang lantaran sedang jatuh cinta. Tetapi, sang Raja menyimpan rahasianya rapat- rapat. Tak seorang pun diberi tahu akan hal itu. Raja lebih banyak mengurung diri di ruang peraduannya dan melamun. Tugas-tugas kerajaan lebih banyak dilakukan oleh Dewabrata.
Mengetahui hal itu, suatu hari Dewabrata bertanya kepada ayahnya, “Ayahanda mempunyai segala sesuatu yang mungkin diinginkan oleh seorang manusia. Tetapi mengapa Ayahanda kelihatan begitu murung? Apa sebab- nya Ayahanda berduka demikian rupa? Wajah Paduka seolah-olah menyimpan diam-diam dan menanggung beban berat.”
Jawab Baginda, “Anakku sayang, apa yang kaukatakan itu benar. Sesungguhnya Ayahanda sedang tersiksa oleh perasaan sedih dan cemas. Engkau putraku satu-satunya. Engkau selalu sibuk mengurus kerajaan dan melatih para prajurit semoga mahir berperang. Hidup di dunia ini tidak niscaya dan tidak kekal. Perang dan hening silih berganti tiada henti. Jika kamu mati tanpa punya anak, maka garis keturunan kita akan putus, habis.
“Sudah tentu seorang anak —apalagi anak tunggal— sama berharganya dengan seratus anak. Para tua-tua arif yang mahir akan makna kitab-kitab suci berkata, ‘Di mayapada atau di dunia ini, punya anak hanya seorang sama dengan tidak punya anak sama sekali’. Sungguh sayang jikalau kelangsungan hidup keluarga dan keturunan kita hanya bergantung pada seorang saja. Sebenarnya, Ayahanda memikirkan kelangsungan garis keluarga dan keturunan kita hingga beratus-ratus tahun kelak. Itulah yang membuatku gelisah dan berduka.”
Raja Santanu berusaha keras untuk menyembunyikan isi hatinya yang sebetulnya lantaran ia aib pada putra- nya. Dewabrata yang bijaksana dan setia kepada ayahnya menyadari hal itu. Ia tidak mau mendesak semoga ayahnya mengungkapkan hal-hal yang dirahasiakannya dan menye- babkannya berlaku menyerupai itu, selalu murung dan gelisah.
Dewabrata kemudian bertanya kepada sais kereta ayahnya. Barulah ia tahu bahwa belum usang ini ayahnya berkenalan dengan seorang gadis manis penangkap ikan di tepi Sungai Yamuna, bahwa ayahnya kemudian meminang gadis itu, dan bahwa ayahnya tak sanggup memenuhi syarat-syarat yang diajukan ayah si gadis.
Mendengar itu, Dewabrata tetapkan untuk mene- mui kepala kampung nelayan itu dan meminang putrinya atas nama ayahnya.
Kepala kampung nelayan itu berpegang teguh pada pendiriannya, “Wahai sang Putra Mahkota, sebetulnya anak hamba pantas menjadi permaisuri ayahanda Paduka. Karena itu, sungguh masuk akal jikalau kelak anaknya dinobatkan menjadi raja, menggantikan ayahanda Paduka. Apakah Tuanku sependapat dengan hamba?
“Hamba tahu, Paduka telah dinobatkan menjadi yuwa- raja dan dengan sendirinya kelak akan menggantikan beliau. Demi anak hamba, jangan hingga hal itu terjadi.”
Kata Dewabrata, “Baiklah. Ingat baik-baik kata-kataku ini: Jika anakmu melahirkan seorang anak lelaki, anak itu kelak akan dinobatkan menjadi raja. Aku rela turun takhta demi keinginan ayahanda Raja Santanu untuk melanjut- kan keturunannya.”
Mendengar kata-kata Dewabrata, nelayan itu bersujud, “Wahai Putra Mahkota yang paling bijaksana di antara semua keturunan Bharata, apa yang Tuan lakukan sungguh berani dan belum pernah dilakukan orang sebelumnya. Tuanku seorang satria besar. Silakan Tuanku membawa anak hamba untuk dipersembahkan kepada ayahanda Paduka.
“Hamba yakin, Tuanku niscaya akan memenuhi janji. Tetapi, apa yang sanggup hamba pakai sebagai pegangan yang menguatkan keinginan hamba? Bagaimana putra- putra yang lahir sebagai keturunan Tuanku akan rela menyerahkan hak-hak mereka sebagai andal waris kerajaan?
Putra-putra Tuanku niscaya akan menjadi pahlawan- satria besar menyerupai Tuanku sendiri. Tuanku niscaya sulit menjelaskannya kepada mereka. Pasti sulit menghalangi keinginan mereka untuk kembali mempunyai kerajaan — entah dengan kekerasan atau secara baik-baik. Inilah keraguan hati hamba yang selalu menciptakan hamba cemas.”
Mendengar pertanyaan yang sangat sulit dijawab itu, Dewabrata dengan penuh niat suci tetapkan untuk melepaskan diri dari segala sesuatu yang bersifat duniawi, demi ayahnya.
Kemudian ia bersumpah di hadapan ayah si gadis penangkap ikan, “Aku berjanji tidak akan kawin. Dengan demikian, saya takkan pernah punya anak. Seluruh hidup- ku akan kupersembahkan untuk berbakti pada rakyat dan kerajaan dan untuk kesucian.”
Ketika Dewabrata mengucapkan sumpah sucinya, berguguranlah kembang-kembang harum suci menaburi kepalanya, sementara di angkasa bergema bunyi merdu,
“Bhisma... bhisma... bhisma....”
Kata bhisma menyatakan bahwa seseorang telah meng- ucapkan sumpah yang berat dan suci dan berjanji akan benar-benar melaksanakannya. Dewabrata memenuhi syarat-syarat itu.
Sejak itu, Dewabrata melepas gelar yuwaraja dan tidak lagi berkedudukan sebagai putra mahkota. Kemudian dia digelari dengan nama Bhisma, sebagai penghormatan akan kesetiaannya kepada ayahnya dan keteguhan hatinya yang suci.
Demikianlah, Dewabrata putra Dewi Gangga membo- yong Satyawati ke Hastinapura untuk diserahkan kepada ayahnya, Baginda Raja Santanu.
Dari perkawinannya dengan Satyawati, Raja Santanu mempunyai dua putra, Chitranggada dan Wichitrawirya. Chitranggada meninggal lebih dulu daripada adiknya, tanpa meninggalkan seorang putra pun; sedangkan Wichi- trawirya mempunyai dua putra, yaitu Dritarastra dan Pandu dari dua permaisurinya, Ambika dan Ambalika.
Dritarastra berputra seratus orang; mereka dikenal sebagai Kaurawa. Pandu berputra lima orang, mereka termasyhur sebagai Pandawa. Adapun Bhisma, sebagai kakek-paman dan sesepuh anak-cucu Raja Santanu, hidup hingga usia tua, disegani dan dihormati oleh seluruh sanak keluarganya. Kelak Bhisma meninggal sebagai senapati dalam perang besar Bharatayuda di padang Kurukshetra.
Bersambung...
Dengan hati senang Raja Santanu menyambut putra- nya dan membawanya ke istana. Anak yang dikelilingi aura keagungan dan menawarkan watak-watak kesatria sejati itu dinobatkannya menjadi putra mahkota. Dewa- brata diangkat sebagai yuwaraja atau putra mahkota yang bertugas mendampingi Raja dalam memerintah. Dia pula yang akan mewarisi kerajaan ayahnya, kelak sehabis ayahnya mengundurkan diri dengan bijaksana.
Empat tahun berlalu. Pada suatu hari, Raja Santanu berjalan-jalan di tepi Sungai Yamuna. Tiba-tiba angin berhembus dan terciumlah olehnya keharuman yang memenuhi udara. Raja mencari sumber keharuman yang suci itu dan melihat seorang gadis manis jelita, secantik bidadari kahyangan, duduk termenung di tepi sungai.
Sejak Dewi Gangga meninggalkannya, Raja Santanu selalu berusaha menahan hasrat dan hawa nafsunya dan berusaha hidup dengan sepenuhnya mengutamakan kebajikan. Tetapi, kecantikan wajah dan keharuman badan gadis itu membuatnya lupa akan tapabrata-nya. Hatinya bergejolak, dilanda cinta asmara yang meluap-luap. Raja Santanu meminang gadis itu semoga mau menjadi permaisu- rinya.
“Wahai gadis jelita, siapakah namamu dan dari mana asalmu? Aku terpesona oleh kecantikanmu. Maukah eng- kamu kupersunting menjadi istriku?” kata sang Raja.
Berkatalah sang juwita, “Daulat Tuanku, nama hamba Satyawati. Hamba seorang penangkap ikan. Ayah hamba kepala kampung nelayan di sini. Hamba persilakan Paduka membicarakan undangan itu dengan ayah hamba. Semo- ga dia menyetujuinya.”
Satyawati mengantarkan sang Raja ke rumah orangtua- nya di kampung nelayan yang agak jauh dari tempatnya mencari ikan. Sampai di rumah, sang Raja dipersilakan untuk mengutarakan niatnya.
Kata Raja Santanu, “Wahai Bapak nelayan, saya temukan putrimu yang jelita ini di tepi sungai sedang mencari ikan. Aku sangat terpesona oleh kecantikan dan tutur katanya yang lembut. Aku ingin mempersunting dia menjadi istriku dan memboyongnya ke istanaku.”
Ayah gadis itu orang yang cerdik. Ia menyembah Raja Santanu dan berkata, “Daulat Tuanku. Memang sudah waktunya anak hamba menikah dengan seorang lelaki, menyerupai gadis-gadis lain. Paduka Tuanku ialah raja yang mulia dan berkedudukan jauh di atas dia. Hamba tidak keberatan jikalau anak hamba Paduka persunting. Tetapi, sebelum Satyawati hamba serahkan, Paduka harus berjanji.”
Kata Raja Santanu, “Apa pun syarat yang kauajukan, saya akan memenuhinya.”
Kepala kampung nelayan itu memohon, “Jika anak hamba melahirkan seorang bayi lelaki, Paduka harus menobatkannya menjadi putra mahkota dan kelak sehabis Paduka mengundurkan diri, Paduka harus mewariskan kerajaan ini kepadanya.”
Meskipun tergila-gila pada anak gadis kepala kampung nelayan itu, namun Raja Santanu tak sanggup menyanggupi persyaratan itu. Ia sadar, jikalau dia memenuhi semua syarat yang diajukan ayah si gadis, berarti ia harus menyingkir- kan Dewabrata yang sudah dinobatkannya menjadi yuwa- raja dan berhak atas takhta kerajaannya kelak. Terlalu besar yang harus ia pertaruhkan untuk mempersunting Satyawati. Sungguh tidak pantas dan memalukan, jikalau ia menuruti kata hatinya. Setelah bergulat dengan perasaannya, Raja Santanu kembali ke istananya di Hastinapura. Perasaannya campur aduk, sedih lantaran mungkin harus menyingkirkan Dewabrata, senang lantaran sedang jatuh cinta. Tetapi, sang Raja menyimpan rahasianya rapat- rapat. Tak seorang pun diberi tahu akan hal itu. Raja lebih banyak mengurung diri di ruang peraduannya dan melamun. Tugas-tugas kerajaan lebih banyak dilakukan oleh Dewabrata.
Mengetahui hal itu, suatu hari Dewabrata bertanya kepada ayahnya, “Ayahanda mempunyai segala sesuatu yang mungkin diinginkan oleh seorang manusia. Tetapi mengapa Ayahanda kelihatan begitu murung? Apa sebab- nya Ayahanda berduka demikian rupa? Wajah Paduka seolah-olah menyimpan diam-diam dan menanggung beban berat.”
Jawab Baginda, “Anakku sayang, apa yang kaukatakan itu benar. Sesungguhnya Ayahanda sedang tersiksa oleh perasaan sedih dan cemas. Engkau putraku satu-satunya. Engkau selalu sibuk mengurus kerajaan dan melatih para prajurit semoga mahir berperang. Hidup di dunia ini tidak niscaya dan tidak kekal. Perang dan hening silih berganti tiada henti. Jika kamu mati tanpa punya anak, maka garis keturunan kita akan putus, habis.
“Sudah tentu seorang anak —apalagi anak tunggal— sama berharganya dengan seratus anak. Para tua-tua arif yang mahir akan makna kitab-kitab suci berkata, ‘Di mayapada atau di dunia ini, punya anak hanya seorang sama dengan tidak punya anak sama sekali’. Sungguh sayang jikalau kelangsungan hidup keluarga dan keturunan kita hanya bergantung pada seorang saja. Sebenarnya, Ayahanda memikirkan kelangsungan garis keluarga dan keturunan kita hingga beratus-ratus tahun kelak. Itulah yang membuatku gelisah dan berduka.”
Raja Santanu berusaha keras untuk menyembunyikan isi hatinya yang sebetulnya lantaran ia aib pada putra- nya. Dewabrata yang bijaksana dan setia kepada ayahnya menyadari hal itu. Ia tidak mau mendesak semoga ayahnya mengungkapkan hal-hal yang dirahasiakannya dan menye- babkannya berlaku menyerupai itu, selalu murung dan gelisah.
Dewabrata kemudian bertanya kepada sais kereta ayahnya. Barulah ia tahu bahwa belum usang ini ayahnya berkenalan dengan seorang gadis manis penangkap ikan di tepi Sungai Yamuna, bahwa ayahnya kemudian meminang gadis itu, dan bahwa ayahnya tak sanggup memenuhi syarat-syarat yang diajukan ayah si gadis.
Mendengar itu, Dewabrata tetapkan untuk mene- mui kepala kampung nelayan itu dan meminang putrinya atas nama ayahnya.
Kepala kampung nelayan itu berpegang teguh pada pendiriannya, “Wahai sang Putra Mahkota, sebetulnya anak hamba pantas menjadi permaisuri ayahanda Paduka. Karena itu, sungguh masuk akal jikalau kelak anaknya dinobatkan menjadi raja, menggantikan ayahanda Paduka. Apakah Tuanku sependapat dengan hamba?
“Hamba tahu, Paduka telah dinobatkan menjadi yuwa- raja dan dengan sendirinya kelak akan menggantikan beliau. Demi anak hamba, jangan hingga hal itu terjadi.”
Kata Dewabrata, “Baiklah. Ingat baik-baik kata-kataku ini: Jika anakmu melahirkan seorang anak lelaki, anak itu kelak akan dinobatkan menjadi raja. Aku rela turun takhta demi keinginan ayahanda Raja Santanu untuk melanjut- kan keturunannya.”
Mendengar kata-kata Dewabrata, nelayan itu bersujud, “Wahai Putra Mahkota yang paling bijaksana di antara semua keturunan Bharata, apa yang Tuan lakukan sungguh berani dan belum pernah dilakukan orang sebelumnya. Tuanku seorang satria besar. Silakan Tuanku membawa anak hamba untuk dipersembahkan kepada ayahanda Paduka.
“Hamba yakin, Tuanku niscaya akan memenuhi janji. Tetapi, apa yang sanggup hamba pakai sebagai pegangan yang menguatkan keinginan hamba? Bagaimana putra- putra yang lahir sebagai keturunan Tuanku akan rela menyerahkan hak-hak mereka sebagai andal waris kerajaan?
Putra-putra Tuanku niscaya akan menjadi pahlawan- satria besar menyerupai Tuanku sendiri. Tuanku niscaya sulit menjelaskannya kepada mereka. Pasti sulit menghalangi keinginan mereka untuk kembali mempunyai kerajaan — entah dengan kekerasan atau secara baik-baik. Inilah keraguan hati hamba yang selalu menciptakan hamba cemas.”
Mendengar pertanyaan yang sangat sulit dijawab itu, Dewabrata dengan penuh niat suci tetapkan untuk melepaskan diri dari segala sesuatu yang bersifat duniawi, demi ayahnya.
Kemudian ia bersumpah di hadapan ayah si gadis penangkap ikan, “Aku berjanji tidak akan kawin. Dengan demikian, saya takkan pernah punya anak. Seluruh hidup- ku akan kupersembahkan untuk berbakti pada rakyat dan kerajaan dan untuk kesucian.”
Ketika Dewabrata mengucapkan sumpah sucinya, berguguranlah kembang-kembang harum suci menaburi kepalanya, sementara di angkasa bergema bunyi merdu,
“Bhisma... bhisma... bhisma....”
Kata bhisma menyatakan bahwa seseorang telah meng- ucapkan sumpah yang berat dan suci dan berjanji akan benar-benar melaksanakannya. Dewabrata memenuhi syarat-syarat itu.
Sejak itu, Dewabrata melepas gelar yuwaraja dan tidak lagi berkedudukan sebagai putra mahkota. Kemudian dia digelari dengan nama Bhisma, sebagai penghormatan akan kesetiaannya kepada ayahnya dan keteguhan hatinya yang suci.
Demikianlah, Dewabrata putra Dewi Gangga membo- yong Satyawati ke Hastinapura untuk diserahkan kepada ayahnya, Baginda Raja Santanu.
Dari perkawinannya dengan Satyawati, Raja Santanu mempunyai dua putra, Chitranggada dan Wichitrawirya. Chitranggada meninggal lebih dulu daripada adiknya, tanpa meninggalkan seorang putra pun; sedangkan Wichi- trawirya mempunyai dua putra, yaitu Dritarastra dan Pandu dari dua permaisurinya, Ambika dan Ambalika.
Dritarastra berputra seratus orang; mereka dikenal sebagai Kaurawa. Pandu berputra lima orang, mereka termasyhur sebagai Pandawa. Adapun Bhisma, sebagai kakek-paman dan sesepuh anak-cucu Raja Santanu, hidup hingga usia tua, disegani dan dihormati oleh seluruh sanak keluarganya. Kelak Bhisma meninggal sebagai senapati dalam perang besar Bharatayuda di padang Kurukshetra.
Bersambung...