Mahabarata Episode 2: Dewabrata, Putra Santanu Dan Gangga

 Aku terpesona oleh kecantikanmu dan jatuh cinta padamu Mahabarata Episode 2: Dewabrata, Putra Santanu dan Gangga
StarPlus.in
Sebelumnya...
“Wahai Dewiku, maukah engkau menjadi istriku? Aku tidak peduli siapa pun engkau. Aku terpesona oleh kecantikanmu dan jatuh cinta padamu. Siapakah engkau dan dari manakah asalmu?” kata Raja Santanu kepada seorang gadis jelita yang berdiri di hadapannya. Sesungguhnya gadis itu yaitu Dewi Gangga, bidadari kahyangan yang turun ke bumi dalam wujud manusia. Parasnya yang cantik, lekuk tubuhnya yang indah, dan tindak-tanduknya yang halus menciptakan Raja Santanu terpikat dan berdiri gairah asmaranya.
Sang Raja berjanji akan mempersembahkan seluruh cinta, kekayaan, dan kerajaannya —bahkan seluruh hidupnya— kepada gadis jelita itu.
Tanpa curiga atas pertanyaan Raja Santanu, gadis itu menjawab, “Wahai Raja perkasa, hamba bersedia menjadi istri Paduka asalkan Paduka berjanji memenuhi syarat- syarat hamba.”
“Apakah itu?” tanya Raja Santanu tak sabar.
“Pertama, jikalau hamba sudah menjadi istri Paduka, tak seorang pun, tidak juga Paduka, boleh bertanya siapa sebenarnya hamba dan dari mana asal-usul hamba. Kedua, apa pun yang hamba lakukan —baik atau buruk, benar atau salah, masuk akal atau ganjil— Paduka dilarang menghalang-halangi. Ketiga, Tuanku dilarang murka kepada hamba — dengan alasan apa pun. Keempat, Padu- ka dilarang menyampaikan sesuatu yang menciptakan pera- saan hamba tidak enak.
“Begitu Tuanku melanggar syarat-syarat itu —walau hanya satu— hamba akan meninggalkan Tuanku ketika itu juga. Apakah Tuanku baiklah dan bersedia berjanji untuk tidak melanggarnya?”
Tanpa berpikir panjang, Raja Santanu yang sedang dimabuk asmara pribadi bersumpah akan memenuhi semua syarat yang dikatakan si gadis jelita.
Demikianlah, tanpa mengenal siapa namanya dan tanpa mengetahui dari mana asal-usulnya, Raja Santanu mem- persunting gadis jelita yang ditemukannya di tepi Sungai Gangga. Dibawanya gadis itu ke istana dan dinobatkannya menjadi permaisurinya.
Hari demi hari berlalu. Raja Santanu semakin mengasihi permaisurinya yang jelita, lebih-lebih lantaran selain cantik, permaisurinya itu sangat berbakti kepadanya dan halus tutur katanya. Kebahagiaan Sang Raja semakin lengkap ketika tahu permaisurinya mengandung.
Sembilan bulan mereka lewatkan dengan penuh bahagia. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat dan tibalah saatnya Dewi Gangga melahirkan. Sang Dewi pamit kepada suaminya, menyampaikan bahwa ia akan pergi menyendiri dan melahirkan di tepi Sungai Gangga. Dia tak mau ditemani siapa pun, tidak juga sang Raja.
Maka pergilah Dewi Gangga seorang diri. Sampai di tepi sungai, ia mencari tempat yang teduh dan terlindung untuk melahirkan. Bayi yang dilahirkannya pribadi dibuangnya ke sungai. Setelah membersihkan diri, sang Dewi kembali ke istana dengan wajah berseri-seri, seolah- olah tak terjadi apa-apa.
Raja Santanu menyambutnya dengan penuh harap. Hatinya senang akan menyambut sang bayi, buah kasih- nya dengan permaisuri yang dicintainya. Tetapi, betapa kecewanya Raja melihat Dewi Gangga tiba tanpa sang bayi. Perasaan Baginda campur aduk. Heran, melihat istri- nya kembali tanpa sang bayi. Cemas, memikirkan nasib sang bayi. Murka, lantaran permaisurinya tampak damai
dan tidak merasa bersalah. Raja merasa berdosa, lantaran tak kuasa berbuat apa pun kecuali membisu seribu bahasa. Tak berani bertanya. Tak berani melanggar sumpah yang telah diucapkannya.
Raja Santanu, yang terlanjur mengasihi dan terpesona oleh kecantikan permaisurinya, tak berani bertanya sepatah kata pun. Disambutnya sang Dewi dengan mesra, seperti tak terjadi apa-apa. Mereka melanjutkan kehidupan ibarat biasa.
Hari berganti ahad dan ahad berganti bulan. Dewi Gangga kembali hamil dan ketika tiba saatnya melahirkan, sekali lagi ia mohon diri hendak menyepi di tepi Sungai Gangga. Syarat yang diajukannya tetap sama: tak seorang pun boleh mengikutinya.
Hal yang sama terulang. Sang Dewi kembali ke istana tanpa menggendong bayi. Sang Raja, dengan perasaan ter- tekan, menyambut istrinya seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Demikianlah, insiden itu berulang hingga tujuh kali. Tetapi, pada kehamilan yang kedelapan, Raja Santanu tak kuasa menahan diri lagi. Sudah usang ia bertanya-tanya dalam hati, siapa dan dari mana asal wanita kejam yang menjadi istrinya itu. Di mana semua anak yang telah dilahirkannya? Sungguh kejam ibu yang menelantarkan bayi-bayinya.
Diam-diam Raja membuntuti istrinya ke tepi Sungai Gangga. Alangkah terkejutnya Baginda melihat sang Dewi mengangkat bayi yang gres dilahirkannya dan siap mence- burkannya ke dalam sungai. Tanpa berpikir panjang dan lupa akan sumpahnya, Baginda berteriak lantang, “Henti- kan! Ini pembunuhan kejam! Rupanya kamu tega membu- nuh bayi-bayimu yang tidak berdosa!” Sambil berteriak demikian, Raja mencengkeram tangan Dewi Gangga, mena- hannya semoga tidak melakukan perbuatan terkutuk itu.
“Wahai, Raja yang Agung! Kau telah melanggar janjimu padaku lantaran hati dan perasaanmu telah tertambat pada bayi ini. Itu artinya, engkau tidak menginginkan saya lagi. Baiklah, saya tidak akan membunuh bayi ini! Tetapi
sebelum saya pergi dan sebelum engkau menyimpulkan sesuatu ihwal aku, dengarkanlah ceritaku ini.
Aku yaitu bidadari yang dipaksa memainkan lakon sedih ini lantaran sumpah Resi Wasistha. Sesungguhnya saya ini Batari Gangga yang dipuja para yang kuasa dan manusia. Resi Wasistha telah menimpakan kutuk-pastu kepada delapan wasu yang akan terpaksa lahir ke bumi ini. Para wasu itu kemudian memohon semoga saya bersedia menjadi ibu mereka. Dengan perkenanmu, Raja Santanu, saya melahirkan mereka ke dunia, sebagai anak-anakmu. Sebagai balas kecerdikan lantaran sudah menolong mereka, kelak engkau akan mencapai tempat yang mulia tinggi di alam baka.
Sekarang, saya akan membawa bayi ini dan mengasuh- nya hingga ia cukup besar dan tiba waktunya untuk kuserahkan kembali kepadamu. Anak ini akan menjadi lambang dan kenangan atas cinta kita berdua.”
Setelah berkata demikian, Batari Gangga menghilang bersama bayinya. Kelak, bayi itu dikenal dengan nama Bhisma dan menjadi kesatria sakti yang termasyhur.
***
Terkisahlah bagaimana asal mulanya hingga para wasu itu mendapatkan kutuk-pastu dari Resi Wasistha.
Pada suatu hari, kedelapan wasu itu berjalan-jalan di pegunungan bersama istri-istri mereka. Di pegunungan itu terdapat pertapaan Resi Wasistha. Mereka masuk ke pertapaan itu, tetapi sang Resi tidak ada. Di pelatarannya, seorang wasu melihat Nandini, sapi kepunyaan sang Resi, sedang makan rumput. Nandini tampak indah, sehat dan menawan.
Istri-istri para wasu itu terpesona oleh keelokan Nandini. Salah seorang dari mereka meminta suaminya menangkap sapi itu.
Suaminya berkata, “Apa gunanya sapi itu bagi kita para Dewa? Nandini yaitu kepunyaan Resi Wasistha yang menguasai kawasan ini. Karena kesaktian sang Resi, susunya akan menciptakan orang yang meminumnya hidup abadi. Tapi, apa gunanya bagi kita lantaran sebagai yang kuasa kita sudah ditakdirkan hidup abadi? Janganlah kita serakah. Biarkan sapi itu damai merumput. Lagi pula, kalau celaka kita sanggup kena kutuk-pastu dan murka Resi Wasistha — hanya lantaran menuruti hasrat dan kesenang- an belaka.”
Tetapi istrinya tak mengindahkan hal itu. Ia berkata, “Aku punya sobat yang sangat kukasihi. Dia insan biasa. Aku ingin menawarkan susu Nandini kepadanya semoga ia sanggup hidup abadi. Demi dialah saya memintamu menangkap Nandini. Sebelum Resi Wasistha kembali ke pertapaan ini, kita sudah pergi jauh dari sini sambil membawa sapi itu. Lakukanlah demi keinginanku, lantaran permintaanku ini sangat berharga bagiku.”
Akhirnya, suaminya menurut. Kedelapan wasu itu gotong royong menangkap Nandini dan anaknya, kemudian melarikannya jauh-jauh.
Ketika Resi Wasistha kembali ke pertapaan, Nandini dan anaknya tak dilihatnya. Sapi kesayangannya itu hilang bersama seekor anaknya. Sapi yang selama ini memberi- nya hidup dan tak sanggup dipisahkan kegunaannya dalam upacara persembahan setiap hari.
Berkat kekuatan yoganya, sang Resi mengetahui apa yang telah terjadi. Alangkah murkanya dia. Dengan lan- tang ia mengucapkan kutuk-pastu, mengutuk para wasu. Karena kutukan itu, para wasu akan terlahir ke dunia dan hidup sebagai insan yang menderita. Itulah eksekusi bagi mereka yang telah merampas satu-satunya harta berharga miliknya.
Ketika para wasu tahu bahwa mereka kena kutuk- pastu, mereka sangat menyesal. Tapi... penyesalan selalu tiba terlambat. Segera mereka kembali ke pertapaan Resi Wasistha, mengembalikan Nandini dan anaknya, kemudian bersimpuh di depan sang Resi, memohon ampun atas dosa mereka.
Resi Wasistha berkata, “Kutuk-pastu telah terucapkan dan akan berlaku pada waktunya. Wasu yang melarikan sapiku akan hidup usang di dunia dalam kemewahan dan kesenangan duniawi, tetapi wasu-wasu lain akan terlepas dari kutuk ini segera sehabis dilahirkan sebagai manusia. Aku tak sanggup menarik kutukanku, tetapi saya sanggup melu- nakkannya.”
Kemudian Resi Wasistha bersemadi. Diatur napasnya, ditenangkan pikirannya, dan diredakan amarahnya. Sesungguhnya, seorang resi yang sedang ber-tapabrata memang sanggup memperoleh kesaktian untuk mengutuk- pastu. Tetapi, setiap kali ia memakai kesaktiannya untuk melontarkan kutuk-pastu, derajat kesucian yang telah berhasil dicapainya akan berkurang.
Para wasu merasa lega lantaran ada kemungkinan kutukan itu akan dilunakkan. Kemudian pergilah mereka menghadap Dewi Gangga dan memohon, “Kami tiba memujamu, Batari. Kami mohon, sudilah kiranya Batari menjadi ibu kami. Kami mohon semoga Batari bersedia turun ke mayapada dan menikah dengan seorang raja. Kelak, satu per satu dari kami akan terlahir lewat rahim Paduka. Dan, segera sehabis kami lahir, buanglah kami ke dalam sungai semoga kami terbebas dari kutuk-pastu.”
Dewi Gangga mengabulkan permohonan mereka. Ia turun ke bumi, di tepi Sungai Gangga. Di sana ia bertemu dengan Raja Santanu yang kemudian menyuntingnya menjadi permaisurinya.
***
Kembali ke kisah Dewi Gangga yang meninggalkan Raja Santanu. Sang Dewi menghilang bersama bayinya yang kedelapan dan tidak pernah muncul kembali. Sejak itu, sang Raja meninggalkan kesenangan duniawi dan memerintah kerajaannya dengan lebih bijaksana serta didasari semangat kerokhanian.
Pada suatu hari, Raja Santanu berjalan-jalan di tepi Sungai Gangga. Ia melamun, mengenangkan saat-saat per- temuannya dengan Dewi Gangga. Sungguh kenangan yang sangat indah namun meninggalkan kepedihan di hati. Kemudian ia melihat seorang anak pria yang dikeli- lingi aura kemegahan dan keagungan dari Dewendra, raja dari segala yang kuasa dan batara, anak kecil yang sedang tum- buh menjadi remaja. Anak itu sedang bermain panah. Berkali-kali ia melepas anak panah-anak panah dari busurnya, mengarahkannya ke seberang Sungai Gangga. Tak terlihat siapa-siapa di dekatnya. Begitu pula di seberang sungai. Raja Santanu takjub dan terharu melihat ketampanan dan ketangkasan anak itu. Raja mendekati anak itu, ingin bertanya padanya. Tetapi... tiba-tiba ia melihat Dewi Gangga muncul di hadapannya.
Dewi Gangga berkata dengan lemah lembut, “Wahai, Paduka Raja, inilah anak kita yang kedelapan. Dia kuna- mai Dewabrata dan kuasuh hingga mahir berolah senjata, menguasai ilmu perang dan mempunyai kesaktian yang setara dengan kesaktian Parasurama. Ia telah mempelajari Weda dan falsafah Wedanta dari Resi Wasistha. Kecuali itu, ia juga menguasai kesenian, kebudayaan dan ilmu mistik San- jiwini yang dikuasai Sukra. Sambutlah anak ini. Terimalah dan asuhlah dalam istanamu. Kelak ia akan menjadi kesatria besar, hebat siasat perang dan senapati agung.”
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel