Mahabarata Episode 1: Cinta Dushmanta Bersemi Di Hutan

 Pada suatu hari Raja Dushmanta yang ganteng dan gagah perkasa pergi berburu bersama balate Mahabarata Episode 1: Cinta Dushmanta Bersemi di Hutan
Pada suatu hari Raja Dushmanta yang ganteng dan gagah perkasa pergi berburu bersama balatentaranya yang berpengaruh dan bersenjata lengkap. Setelah berjalan bebe- rapa lama, tibalah mereka di hutan lebat dengan pohonnya yang besar-besar. Tanah di hutan itu berbatu-batu, seba- tang air pun tak tampak di sana. Macan, singa, gajah, banteng, rino dan hewan buas lainnya berkeliaran. Raja Dushmanta dan balatentaranya memburu gajah.
Raja memerintahkan balatentaranya untuk mengumpulkan hasil buruan yang sudah mati. Tetapi, gajah-gajah yang terluka dan belum mati mengamuk menyerang balatentara Raja.
Korban berjatuhan. Ada prajurit yang mati dililit belalai, ditusuk gading, atau diinjak-injak gajah. Mereka yang selamat terus memburu binatang-binatang itu hingga mereka lari cerai-berai masuk ke hutan yang lebih lebat. Setelah puas berburu, Raja Dushmanta dan bala- tentaranya meneruskan Perjalanan. Mereka menyeberangi padang rumput yang tandus dan sangat luas. Hamparan rumput terbentang hingga ke kaki langit. Setelah menempuh perjalanan beberapa hari, mereka hingga di tepi hutan lain. Penduduk desa di tepi hutan itu berkata, di hutan itu ada pertapaan Resi Kanwa, seorang keturunan Kasyapa yang termasyhur. Raja Dushmanta tetapkan untuk berhenti berburu dan mengunjungi Resi Kanwa. Ia menyuruh balatentaranya menunggu, sementara ia masuk ke dalam hutan diiringkan beberapa pengiring. Ia berjalan menembus pepohonan yang tidak terlalu lebat, hingga ke tepian sungai kecil yang jernih airnya. Di tepi sungai itulah terletak pertapaan Resi Kanwa. Pertapaan itu tampak higienis dan asri. Bunga-bunga aneka warna mekar harum semerbak menyemarakkan pelatarannya.
Di luar pertapaan, hingga jauh ke dalam hutan, tampak majemuk pohon yang dahannya sarat dengan buah-buah ranum yang menerbitkan liur. Suasana di situ sungguh teduh dan tenang. Sampai di gerbang pertapaan, Raja memerintahkan semua pengiringnya menunggu. Sendirian ia masuk ke halaman pertapaan. Di sana ia tidak menemukan siapa- siapa, kecuali seorang gadis anggun yang mengenakan pakaian pertapa. Setelah memberikan penghormatan selamat datang, gadis anggun itu bertanya, “Nama hamba Syakuntala. Apa yang sanggup hamba lakukan untuk Tuanku? Hamba menanti sabda Paduka.” Raja
Dushmanta menjawab, “Aku terpesona oleh kecan- tikanmu, wahai putri jelita. Di manakah Resi Kanwa yang termasyhur itu?” Syakuntala menjawab, “Bapa hamba sedang pergi memetik buah-buahan. Kalau Tuanku sudi menunggu sebentar, Tuanku bisa menemuinya sesudah dia kembali nanti.” Sambil memandangi wajah ayu Syakuntala, Raja Dush- manta bertanya, “Siapakah bekerjsama engkau putri jelita? Putri siapakah engkau dan mengapa engkau tinggal di hutan ini? Wahai, putri jelita, hatiku telah tercuri olehmu pada pandangan pertama.” Syakuntala menjawab sambil tersenyum, “Oh, Tuanku, hamba ialah anak Resi Kanwa.” Mendengar balasan itu, Raja Dushmanta tercengang dan bertanya lagi, “Resi yang sangat dihormati di jagad ini telah mengumbar nafsu birahinya? Jika orang biasa berniat melaksanakan dharma, bisa saja dia lalai. Tetapi, seorang resi yang suci telah bersumpah tidak akan membiarkan gejolak nafsu menjerumuskannya. Wahai putri cantik, bagaimana mungkin Tuan ini anak Resi Kanwa? Maafkan saya lantaran ragu. Jawablah dan hapuslah keraguanku ini.” Syakuntala berkata, “Baiklah, akan hamba ceritakan asal-usul hamba sebagaimana yang Bapa Resi ceritakan kepada seorang pertapa pengembara yang tiba meng- hadap dan bertanya perihal diri hamba. Begini ceritanya... ‘Adalah seorang laki-laki sakti bernama
Wiswamitra yang tidak puas akan kesaktiannya. Untuk menciptakan dirinya semakin sakti, dia terus-menerus bertapa dengan khu- syuk. Begitu berpengaruh tapanya, hingga Batara Indra ketakutan. Batara Indra tahu, jikalau tapa Wiswamitra berhasil, laki-laki itu akan bisa menggulingkannya dari takhtanya di Indraloka atau kahyangan. Untuk menggagalkan tapa Wismamitra, Batara Indra memanggil Dewi Menaka dan diperintahkannya bidadari itu untuk menggodanya. ‘Dewi Menaka berkata, “Paduka Batara, Wiswamitra ialah seorang suci yang sangat sakti dan berkuasa. Ia juga sangat praktis marah. Kekuatan, ketekunan dan dendam jiwanya yang teramat keras sudah menciptakan Paduka Batara khawatir. Apalagi hamba, hamba takut menghadapinya.
Dialah yang menciptakan Wasistha menderita kesedihan yang mendalam lantaran melihat anak-anaknya mati sebelum dewasa. Dia dilahirkan sebagai kesatria, tetapi lantaran kebajikan dharma-nya dan kesaktiannya yang mendalam dia menjadi brahmana.... Dia bisa mengkremasi tiga dunia, neraka, bumi, dan kahyangan dengan kesaktiannya, ia juga bisa menciptakan gempa bumi. Karena kesaktiannya itu, ya Paduka Batara, bantu- lah hamba waktu hamba menarik hati dia. Hamba mohon supaya Maruta, sang Dewa Angin mengembangkan wewangian dari pohon-pohon hutan. Waktu hamba bermain-main di dekatnya nanti, hamba mohon Dewa
Angin menerbangkan pakaian hamba dan Manamatha sang Dewa Cinta sebaiknya juga membantu hamba.” ‘Setelah berkata demikian, pergilah Dewi Menaka ke kawasan Wiswamitra bertapa. Sesampainya di depan pertapa sakti itu, ia memberi salam hormat. Kemudian, mulailah dia merayu. Ketika itu berhembuslah angin kencang, melambaikan ujung bawah pakaiannya hingga betisnya yang indah tampak sekilas. Tapi, angin bertiup semakin kencang dan hasilnya menerbangkan pakaiannya. Tanpa busana, Dewi Menaka akal-akalan aib dan hendak mengejar pakaiannya. Tak kuasa mengalihkan pandangan- nya, Wiswamitra terpesona oleh keindahan payudara Dewi Menaka. Ia tergoda, tak bisa melanjutkan tapanya. Gagal. Wiswamitra menghentikan tapanya, menentukan sang Dewi, dan mereka hidup bersama. ‘Beberapa waktu kemudian, Dewi
Menaka mengandung. Ketika tiba saatnya melahirkan, ia pergi ke tepi Sungai Malini di lembah Gunung Himalaya yang indah. Di sana ia melahirkan seorang bayi perempuan. Bayi itu ditinggalkan- nya di tepi sungai kemudian ia terbang kembali ke kahyangan. ‘Bayi itu dipungut dan diangkat anak oleh Resi Kanwa. Karena ketika ditemukan dilindungi oleh burung-burung syakuntala, maka bayi itu diberi nama Syakuntala dan anak itu menganggap Resi Kanwa sebagai ayahnya.’ “Itulah kisah yang pernah hamba dengar dari Resi Kanwa,
Paduka Raja,” kata Syakuntala mengakhiri ceritanya. Mendengar kisah itu, Raja Dushmanta berkata, “Meni- kahlah denganku, wahai Syakuntala yang jelita. Seluruh kerajaanku akan menjadi milikmu. Maukah kamu menikah denganku kini juga dengan upacara gandharwa? Upacara gandharwa ialah yang paling utama dalam keadaan mirip ini.” Syakuntala menjawab, “Oh, Tuanku Raja, tunggulah hingga Bapa Resi datang. Mintalah ijin lebih dulu pada beliau. Hamba yakin, Bapa Resi niscaya merestui kita.” Dushmanta berkata lagi, “Wahai putri nan jelita dan sempurna, saya ingin engkau menjadi pendampingku. Menurut aturan penciptaan, seseorang ialah sobat bagi dirinya sendiri dan lantaran itu ia bertanggung jawab atas dirinya sendiri; dia sendirilah yang menentukan segala sesuatu perihal dirinya sendiri. Menurut aturan itu, engkau sanggup merestui dirimu sendiri. Dan ketahuilah, di jagad ini ada delapan macam perkawinan. Manu, sang insan pertama, merumuskan delapan jenis perkawinan, lengkap dengan urutan upacaranya. Cara gandharwa ialah yang paling sesuai dengan sifat kesatria. Janganlah engkau takut, jangan pula merasa bimbang dan ragu. Wahai putri tercantik, hatiku penuh cinta kepadamu, semoga engkau pun demikian.
Kabulkanlah permintaanku dan kita menikah kini juga.” Mendengar itu Syakuntala berkata, “Bila itu memang cara yang dibenarkan oleh agama, dan bila sesungguhnya hamba berhak tetapkan untuk diri hamba sendiri, dengarkanlah wahai laki-laki utama keturunan bangsa Puru, ada syarat-syarat yang harus Paduka penuhi! Berjanjilah bahwa apa pun yang hamba pinta akan Paduka kabulkan. Anak laki-laki yang akan hamba lahirkan hendaknya kelak menjadi andal waris kerajaan Paduka. Itulah syarat hamba! Wahai Raja Dusmanta, jikalau Tuanku mendapatkan syarat ini, hamba bersedia menikah kini juga.” Tanpa mempertimbangkan syarat-syarat yang diajukan Syakuntala, Raja Dushmanta menjawab, “Baiklah, akan
kupenuhi semua permintaanmu! Aku bahkan bermaksud memboyongmu ke istana sesudah kita menikah. Sebagai permaisuriku, sepantasnyalah engkau tinggal di istanaku.” Kemudian, Dushmanta dan Syakuntala menikah secara gandharwa. Mereka bergandengan tangan mengelilingi api suci sambil mengucapkan mantra-mantra. Maka sahlah kekerabatan mereka sebagai suami-istri. Dalam keasyikan memadu kasih, Dushmanta berulang- ulang berjanji kepada Syakuntala bahwa ia akan mengirim seorang utusan untuk menjemputnya.
Utusan itu akan dikawal sepasukan prajurit kehormatan. Digambarkannya bagaimana Syakuntala akan masuk ke kota diiringkan utusannya dan pasukan kehormatan serta dielu-elukan oleh rakyatnya. Setelah mengumbar kesepakatan dan puas berasyik masyuk, Raja Dushmanta kembali ke kota raja. Dalam perjalanan ke istana ia berpikir-pikir, “Apa kata Resi Kanwa yang suci dan agung itu jikalau mengetahui semua ini?” Tak usang sesudah Raja Dushmanta pergi, Resi Kanwa tiba di pertapaannya. Syakuntala yang merasa aib dan bersalah tidak menyongsongnya, mirip biasanya. Tanpa ada yang memberi tahu dan lantaran kesaktiannya, resi agung itu mengerti apa yang telah terjadi. Dengan kekuatan mata hatinya, Resi Kanwa meman- dang putri angkatnya. Kemudian, dengan perasaan senang dan lega ia berkata kepada Syakuntala, “Anakku sayang, apa yang telah kaulakukan secara belakang layar dan sem- bunyi-sembunyi tanpa menunggu restuku? Aku tahu, engkau sudah menikah dengan seorang lelaki. Tak usah kamu cemas, ijab kabul itu takkan menghancurkan kebaji- kanmu. Sesungguhnya, upacara perkawinan gandharwa antara seorang perempuan yang bersedia dengan seorang laki- laki yang mencintainya ialah salah satu upacara terbaik di antara cara-cara kesatria.
Dushmanta seorang lelaki yang baik dan berbudi tinggi. Engkau, anakku Syakuntala, telah mendapatkan dia sebagai suamimu. Anak laki-laki yang akan kaulahirkan, akan menjadi cowok yang berpengaruh dan ternama di seluruh dunia. Ia akan menguasai lautan dan dikaruniai kesaktian yang tak terkalahkan. Dia akan menjadi raja diraja dan punya berlaksa-laksa balatentara perkasa.” Syakuntala bersimpuh di depan ayah angkatnya dan membasuh kaki sang Resi. Kemudian, sambil menata buah-buahan yang dipetik sang Resi, Syakuntala berkata, “Hamba mohon, Bapa Resi berkenan merestui Dushmanta yang telah hamba terima sebagai suami.
Hamba juga mohonkan restu untuk rakyat dan kerajaannya.” Resi Kanwa menjawab, “Demi kau, anakku sayang, saya akan merestui Dushmanta. Tetapi untukmu sendiri, pinta- lah hadiah yang kauinginkan.” Syakuntala ingin supaya keturunannya dengan Raja Dushmanta kekal hingga ke tamat jaman. Karena itu, ia memohon hadiah restu dari Resi Kanwa supaya raja-raja Paurawa, yaitu raja-raja keturunan wangsa Puru tidak akan pernah kehilangan kerajaannya dan senantiasa ternama di seluruh dunia. Ketika tiba waktunya,
Syakuntala melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Waktu berumur tiga tahun, anak itu sudah kelihatan tampan, agung, perwira, tangkas dan terampil serta pintar dalam aneka macam ilmu pengetahuan. Hari demi hari berlalu, kesaktian anak itu semakin bertambah dan konkret terlihat. Dengan praktis ia menak- lukkan binatang-binatang buas yang berkeliaran di sekitar pertapaan. Para resi pertapa di hutan itu menyebut dia dengan nama Sarwadamana, artinya ‘sang penakluk semua’. Demikianlah, tiga tahun berlalu ... Jangankan mengirim utusan untuk menjemput, mengirim pesan atau kabar pun Raja Dushmanta tidak pernah. Apakah Dushmanta sudah melupakan Syakuntala? Pada suatu hari Resi Kanwa memanggil Syankuntala, menyuruhnya supaya menghadap sang Raja. Resi itu berpen- sanggup bahwa sudah tiba waktunya untuk mengantarkan
Sarwadamana menghadap ayahnya. Katanya, “Anakku, perempuan yang sudah menikah tak boleh terus-menerus tinggal di rumah orangtuanya lantaran ia takkan sanggup menjalankan kewajibannya terhadap suaminya dan kebaji- kannya akan rusak.” Setelah mohon diri dan mendapat restu Resi Kanwa, berangkatlah Syakuntala dan Sarwadamana diiringkan beberapa resi sebagai pengawal. Berhari-hari mereka berja- lan menembus hutan, menyusuri sungai, dan menyebe- rangi padang rumput luas sebelum hasilnya tiba di gerbang istana Hastinapura. Dengan hati berdebar-debar, Syakuntala dan anaknya memasuki gerbang istana dan minta dibawa menghadap sang Raja. Setelah mengucapkan salam hormat sepatut- nya, ia berkata kepada Raja, “Inilah hamba Tuanku, Syakuntala, istri Paduka dari pertapaan Resi Kanwa. Lihatlah, wahai Paduka, anak yang ganteng ini. Dia ialah putra Paduka yang selama ini hamba asuh di pertapaan. Wahai Raja termulia di dunia, penuhilah kesepakatan Paduka dan nobatkanlah dia menjadi putra mahkota. Ingatkah Paduka akan kesepakatan yang Tuan ucapkan waktu kita menjalankan upacara perkawinan gandharwa di pertapaan Resi Kanwa dahulu?” Mendengar perkataan Syakuntala, Raja Dushmanta ingat semua yang telah terjadi. Tetapi, ia malu. Di hadapan para perwira dan menteri kerajaan, ia aib mengakui perkawinannya dengan gadis pertapa yang tak terperinci asal keturunannya. Untuk menutupi rasa malunya, ia berkata dengan marah, “Berani benar engkau bicara mirip itu! Aku tak kenal kau! Aku tak pernah bertemu kau! Siapakah engkau, hai perempuan jahanam yang menyamar menjadi pertapa suci? Aku tidak punya kekerabatan apa pun denganmu, baik lantaran dharma, kama maupun artha.*
Enyahlah engkau dari sini dan jangan pernah kembali!” Mendengar kata-kata Raja, Syakuntala sangat kaget, bagai disambar halilintar. Sekonyong-konyong kesedihan menghunjam hatinya, membuatnya terpana, tegak bangun bagai tonggak, tak sadarkan diri.
Tetapi... kemudian matanya memerah, merah saga bagai besi terbakar. Bibirnya bergetar menahan perasaannya. Dengan sorot mata tajam ia memandang sang Raja, seakan hendak membakarnya hidup-hidup dengan api kemarahannya. Namun, lantaran terbiasa hidup sebagai pertapa, Syakuntala berhasil memusatkan pikiran sucinya dan menahan kemarahannya yang makin memuncak serta kepedihan hatinya yang mirip disayat-sayat. Syakuntala pun berkata sambil memandang Raja dengan tajam, “Dengarlah, wahai Tuanku. Hanya orang rendah kecerdikan yang dengan praktis berdusta dan ingkar *
Ketiga bentuk kekerabatan yang dimaksud ialah kekerabatan tugas- kewajiban hidup, kekerabatan seksual dan kekerabatan kekayaan harta- benda. janji. Hamba yakin, dalam hati Paduka niscaya mengakui kebenaran kata-kata hamba. Tetapi, mengapa Paduka menentukan berdusta, berkata tak pernah mengenal hamba, tak pernah menikahi hamba? Hati nurani ialah saksi atas kebenaran dan kepalsuan.” Syakuntala membisu sejenak. Kemudian melanjutkan dengan tegas dan penuh amarah. Raja tak lagi disapanya dengan sebutan Paduka atau Tuanku. “Jika engkau menyampaikan yang sebenarnya, takkan turun derajatmu. Orang yang mengingkari kenyataan diri- nya berarti mencuri atau merampok dirinya sendiri. Kaupikir, kamu sanggup menyampaikan tidak tahu atas perbu- atanmu sendiri. Tidakkah kamu tahu bahwa Yang Maha Purba, Yang Maha Tahu bersemayam di hatimu? Ia menge- tahui dosamu, dan kamu telah berbuat dosa di hadapanNya. Seorang pendosa mungkin berpikir bahwa tak seorang pun tahu akan dosanya, tetapi sesungguhnya segala perbua- tannya dilihat oleh Dia yang bersemayam di hati setiap manusia. Orang yang menghina dirinya sendiri dengan berdusta, tidak akan direstui olehNya, bahkan jiwanya sendiri pun tidak akan merestui. “Aku ialah istri yang mengabdi pada suami. Dengan kemauanku sendiri saya tiba kemari untuk menemui kau, suamiku. Itu benar. Tetapi janganlah lantaran alasan itu saya kauperlakukan hina. Aku ialah istrimu, istri raja, dan karenanya berhak mendapat perlakuan yang terhor- mat. Apakah engkau tidak bersedia menerimaku lantaran saya tiba atas kemauanku sendiri? Di hadapan begitu banyak orang, di istanamu yang megah mulia, mengapa kauperlakukan saya mirip perempuan biasa?
Bukankah engkau yang memintaku menjadi permaisurimu? Lupakah engkau? Tidakkah engkau mendengar kata-kataku? “Wahai Raja Dushmanta, jikalau engkau menolak apa yang kupinta, waspadalah ... kepalamu akan pecah menjadi seribu, seketika ini juga!” Karena Raja Dushmanta tetap diam, tak menanggapi, bahkan membuang muka, Syakuntala melanjutkan kata- katanya. “Seorang suami yang merasuk ke dalam tubuh istrinya akan keluar dalam wujud anak. Begitulah yang selayaknya terjadi. Karena itu seorang istri disebut jaya, yang berarti ‘dari mana seseorang dilahirkan’. Sebutan itu berasal dari para andal kitab suci. Anak yang terlahir secara demikian akan menyelamatkan jiwa nenek-moyangnya dari api nera- ka dan lantaran itu disebut putra oleh Sang Pencipta. Kare- na melalui anaknya seseorang akan bisa menaklukkan tiga dunia.
Melalui anaknya pula seseorang akan sanggup menikmati kedamaian abadi. Dan bersama anak-cucu dan cicitnya, seseorang akan menikmati kebahagiaan kekal. “Istri yang sejati pintar mengatur rumah tangga. Istri yang sejati mengabdikan seluruh jiwanya kepada suami- nya. Ia bagaikan belahan jiwa suaminya dan menjadi sobat utama di antara semua sobat suaminya. Istri ada- lah dasar agama, keberuntungan, dan hasrat-keinginan. Istri ialah akar kelepasan untuk mencapai moksha, kebahagiaan hidup abadi. Ia yang memiliki istri sanggup melaksanakan hidup berkeluarga dan memiliki sobat di waktu suka dan duka. Istri berperan sebagai ayah dalam upacara keagamaan, sebagai ibu di kala sakit dan duka. Bagi seorang pengembara, istri ialah penghibur di kala gundah. Ia yang memiliki istri dipercaya oleh semua orang.
Karena itu, istri ialah harta paling berharga yang bisa dimiliki seorang lelaki. Ketika suami meninggalkan dunia ini dan menghadap Batara Yama, istri yang setia akan mengikutinya ke dunia sana. Istri yang lebih dulu meninggal akan menanti suaminya di dunia sana, tetapi jikalau suami mendahuluinya, istri yang bijaksana akan sege- ra menyusulnya ke dunia sana. “Atas dasar semua itulah, wahai Raja Dushmanta, seorang lelaki menikahi seorang perempuan. Seorang suami menikmati keakraban seorang istri baik di dunia ini maupun di dunia sana. Telah dikatakan oleh para cerdik bijaksana bahwa seorang suami pada hakikatnya terlahir sebagai anak lelaki istrinya. Karena itu, istri yang melahirkan anak laki-laki haruslah dianggap sebagai ibu sendiri oleh suaminya. Memandang wajah putranya, seorang lelaki mirip bangun di depan beling dan menatap wajahnya sendiri. Ia akan merasa senang menyerupai orang suci yang mencapai surga. Laki-laki yang muram lantaran sedih hatinya atau sakit badannya akan merasa segar kembali di samping istrinya, bagai orang yang kegerahan mendapat air sejuk untuk membersihkan badan. Tidak seorang laki-laki pun, bagaimanapun marahnya dia, dibenarkan melaksanakan sesuatu yang tidak menyenangkan istrinya. Istri menyerupai tanah suci kawasan suaminya dilahir- kan. Bahkan tuhan pun tidak sanggup mencipta makhluk tanpa wanita. Adakah kebahagiaan yang lebih besar daripada kebahagiaan seorang ayah waktu anaknya lari ke dalam pelukannya? “Karena itu, wahai Raja Mulia, mengapa engkau bersi- kap tidak peduli pada anakmu yang tiba menghadap ayahnya? Lihatlah, anakmu memandangmu, penuh harap dan ingin disambut oleh pelukan ayahnya. Seekor semut saja bisa memindahkan telurnya tanpa merusaknya, mengapa engkau tidak bisa mendapatkan anak ini? Hatimu hirau taacuh membeku.
Kauingkari anakmu, darah dagingmu sendiri! Coba resapkan, sentuhan lembut seorang perempuan atau segarnya air yang sejuk jernih tak sebanding dengan kebahagiaan yang akan kaurasakan ketika kausambut dia dalam pelukanmu. “Biarlah anak ini menyentuh dan memelukmu. Di dunia ini, tak ada yang lebih nikmat daripada pelukan anak kandung kita. Wahai Pahlawan Perkasa Penakluk Musuh, akulah yang melahirkan anak ini! Wahai Raja, anak inilah yang akan bisa mengenyahkan segala kesusahanmu. “Raja bangsa Puru yang mulia, anak ini akan melang- sungkan upacara aswamedha dengan korban seratus kuda! Sesungguhnya, orang yang bepergian jauh dari rumahnya akan menggendong anak orang lain. Dengan mencium kepala anak itu mereka mencicipi kebahagiaan yang besar.
Engkau, wahai Raja, pastilah tahu bahwa para pendeta mengucapkan doa dari kitab suci Weda waktu mentahbiskan seorang anak. Doa itu adalah: kamu dilahirkan dari badanku kamu tumbuh dari hati nuraniku kamu ialah diriku sendiri dalam wujud bayi hiduplah seratus tahun lagi hidupku tergantung padamu juga kelangsungan bangsaku wahai anakku, justru kepadaNya wahai anakku, justru karenaNya hiduplah kamu penuh senang hingga seratus tahun usia “Sadarlah wahai Raja, ia lahir dari badanmu. Ia ialah belahan dirimu! Lihatlah anakmu ini, maka engkau laksana melihat bayang-bayangmu di air telaga bening. Ibarat api pemujaan yang dinyalakan di rumah, demikian pula anak ini berasal dari dirimu, menjadi pelita hidupmu. Walaupun tunggal, engkau telah membagi dirimu. “Waktu kamu berburu, mengejar-ngejar hewan di dalam hutan, saya engkau dekati.
Wahai Raja, waktu itu saya masih gadis di pertapaan bapaku, Resi Kanwa. Kau tanya asal-usulku dan kujawab saya putri Dewi Menaka, bidadari yang diperintahkan Batara Indra untuk turun dari kah- yangan dan menarik hati Wiswamitra, seorang pertapa maha- sakti. Bersama bidadari-bidadari Urwashi, Purwachitti, Sahajanya, Wiswachi, dan Gritachi, Dewi Menaka berhasil menggagalkan tapa Wiswamitra. Pertapa itu tak kuasa menahan nafsunya melihat kecantikan Menaka. Mereka memadu cinta. Sayang, Wiswamitra meninggalkan Menaka yang sedang mengandung. Ketika tiba waktunya, Menaka melahirkan saya di lembah Gunung Himalaya.
Karena tidak mendapat kasih sayang suami, ia kembali ke kahyangan, meninggalkan anaknya. “Dosa apakah yang pernah kulakukan dalam kehidu- panku sebelum ini, hingga waktu masih bayi saya dibuang oleh orangtuaku? Dan kini ... engkau membuangku, mengingkariku! Kalau kamu tak sudi menerimaku, saya akan kembali ke pertapaan Bapaku. Tetapi, tidak pantas engkau membuang anakmu sendiri!” Setelah mendengar semua itu, Raja Dushmanta ber- kata, “Hai Syakuntala, saya tak ingat pernah punya anak laki-laki denganmu. Banyak bicaramu, tapi tak ada artinya sedikit pun. Bicara dusta, itu yang engkau bisa! Siapa yang akan percaya pada ceritamu? Karena kehilangan kasih sayang, Dewi Menaka yang jalang membuang bayinya di lembah Gunung Himalaya. Ayahmu, Wiswamitra, brahma- na hidung belang yang gagal tapanya lantaran terpengaruhi juga kehilangan kasih sayang. Aku tahu, Dewi Menaka ialah bidadari utama dan ayahmu ialah resi paling agung.
Mengingat engkau anak mereka, mengapa engkau bicara mirip perempuan jalang? Kata-katamu tidak pantas didengar. Tidak malukah engkau menceritakan asal-usul- mu yang penuh dosa? Pergilah, hai perempuan jalang yang menyamar sebagai pertapa suci. Di mana ayahmu, Resi Wiswamitra yang masyhur? Di mana ibumu, Dewi Menaka bidadari yang utama? Mengapa orang sehina engkau menyamar sebagai pertapa suci? Aku tidak kenal engkau! Enyahlah, pergilah ke mana engkau suka!” Syakuntala menjawab, “Wahai Raja, engkau bisa melihat kesalahan orang lain walau hanya sekecil butir pasir, tetapi engkau tak bisa melihat keburukanmu yang sebesar gajah. Dewi Menaka ialah bidadari utama yang tinggal di kahyangan. Karena itu, hai Dushmanta, kelahiranku sesungguhnya lebih mulia daripada kelahiran- mu. Kau berjalan menginjak tanah di bumi, sedangkan saya mengembara di langit biru! Lihatlah perbedaan di antara kita, saksikanlah kekuatanku nanti. Aku bisa mengunjungi kahyangan kawasan tinggal Dewa Indra, Kuwera, Yama, Baruna, dan dewa-dewa lain, kapan saja. Sungguh saya tidak berdusta. “Orang yang jelek rupa selalu menganggap dirinya lebih ganteng dari orang lain, hingga ia melihat wajahnya sendiri di kaca.
Ketika itu barulah ia sadar akan perbedaan wajahnya dengan wajah orang lain. Dia yang selalu bicara jahat berhati busuk, menyerupai babi yang selalu mencari kubangan lumpur walaupun berada di tengah taman bunga. “Demikianlah, dia yang jahat selalu mencari-cari keburukan dalam kata-kata orang lain, namun orang yang higienis hatinya selalu menyimak kata-kata orang lain dan menyaringnya; yang baik dan benar diterima, yang salah dan dusta dilupakan. Ibarat belibis yang selalu sanggup memisahkan susu dari air*, orang jujur senang menghor- mati orang yang lebih bau tanah dan tidak suka membicarakan keburukan orang lain. Sebaliknya, orang jahat senang memfitnah dan mencari-cari kesalahan orang lain. Yang jahat selalu berkata jelek perihal yang jujur, tetapi yang jujur tidak pernah menyakiti yang jahat walaupun ia sendiri disakiti. “Seorang laki-laki yang punya anak laki-laki —yang meru- pakan bayangannya sendiri— tidak akan pernah mencapai dunia yang diidam-idamkannya bila ia tak mau mengakui anaknya. Dewa-dewa akan menghancurkan kebahagiaan dan kejayaannya. Nenek moyang kita mengajarkan bahwa anak laki-laki ialah penerus kehidupan keluarga dan bangsanya.
Karena itu, upacara yang dilaksanakannya ialah upacara terbaik dari segala jenis upacara keagama- an dan tidak seorang pun boleh melupakan putranya. “Menurut Manu ada 5 macam anak laki-laki:
1) yang diciptakan bersama istri sendiri,
2) yang diperoleh dari santunan orang lain,
3) yang dibeli menurut pertimbangan tertentu,
4) yang diasuh dengan kasih sayang, dan
5) yang diperoleh dari wanita-wanita yang tidak dikawini. Anak laki-laki memperkuat agama dan apa yang diperolehnya akan memperbesar kegembiraan * lantaran belibis yang anggun dan putih higienis ialah perlambang kebajikan ayahnya.
Karena itu, wahai Raja perkasa, tidak perlu eng- kamu membuang anakmu sendiri. “Wahai Raja penguasa dunia, pujalah kebenaran, keba- jikan dan dirimu sendiri dengan memuja anakmu. Tidak pantas engkau mempertahankan kebohonganmu.
Kebena- ran lebih penting daripada seratus upacara korban suci. Tidak ada yang lebih tinggi dari kebenaran. Wahai Raja, kebenaran ialah Dia Yang Maha Benar. Kebenaran ialah sumpah tertinggi! Oleh alasannya itu, jangan langgar sumpahmu. Biarlah kebenaran bersatu dengan engkau. Kalau engkau menghiraukan kata-kataku ini, dengan kemauan sendiri saya akan pergi dari sini. Sesungguhnya saya tahu bahwa persahabatan denganmu lebih baik dihindari. Tetapi, hai Dushmanta, kelak sesudah engkau tiada, anakku ini yang akan menguasai dunia yang dikelilingi empat samudra dan dihormati oleh raja-raja dari segala penjuru.” Setelah mengucapkan kata-kata keras, Syakuntala meninggalkan Dushmanta. Begitu Syakuntala hilang dari pandangan, terdengarlah bunyi dari langit meskipun tak ada sosok yang terlihat. Dushmanta, dikelilingi para pendeta istana dan para menteri, mendengar bunyi itu berkata. “Seorang ibu menyerupai kulit dari daging. Anak laki-laki berasal dan merupakan gambaran ayahnya.
Karena itu, wahai Dushmanta, sayangilah putramu dan janganlah menghina Syakuntala. Wahai Raja mulia, anak yang berasal dari benihmu akan menyelamatkanmu dari kekuasaan Batara Yama dengan upacara-upacara keagamaan. Engkau ialah asal-mula anak ini. Syakuntala tidak berdusta. Ingatlah, suami yang membagi dirinya menjadi dua, terlahir kembali melalui istrinya dalam wujud anak laki-laki. “Wahai Dushmanta, pujalah dan sayangilah anakmu, buah rahim Syakuntala. Kau akan tertimpa malapetaka besar jikalau menyia-nyiakan dia. Anak yang berjiwa agung itu akan dikenal dengan nama Bharata, artinya yang dipuja’!” Kemudian bunyi dari kahyangan itu lenyap. Setelah mendengar kata-kata itu, Raja merasa sangat gembira. Ia berkata kepada semua orang yang ada di hada- pannya, “Kalian dengar sabda dari langit tadi? Sebenarnya saya telah mengakui anak ini sebagai anakku sendiri. Tetapi, jikalau kupungut dia dan kuturuti kata-kata Syaku- ntala begitu saja, rakyatku niscaya curiga dan anakku dianggap anak haram.” Akhirnya Raja memerintahkan supaya dilakukan upacara khusus, yaitu upacara yang dipersembahkan seorang ayah untuk anaknya. Dengan upacara yang lain, Syakuntala diterima sebagai permaisuri. Anak itu diberi nama Bharata dan dinobatkan menjadi putra mahkota. Kelak di kemu- dian hari, keturunan Bharata menjadi bangsa yang besar. ***
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel