Pecundang Pukul 17:00 - Cerpen Cinta

PECUNDANG PUKUL 17.00
Karya Anissa N.M

Aku paham betul setiap lekuk yang membentuk wajah itu, wajah seorang laki-laki yang tertanam baik dalam hatiku. Seorang yang telah memberiku cintanya yang tak terlupa, tapi juga sebentuk luka mendalam di hatiku. Ketika saya mulai bisa mencintainya, justru ia meninggalkanku. Dalam kesendirian menghadapi derasnya tangis untuk seutas rindu yang tak tersampaikan untuknya. Dalam kesulitanku meletakkan kerinduan ini, dalam kebencianku kala harus mengingatnya dalam tangis dan saya pun sendirian menyimpan cinta yang tak bisa ku tempuh tanpanya di sisiku.

Tapi yang ia lakukan justru pergi dengan mudahnya dari hidupku, tanpa tahu betapa sulitnya saya meghempas setiap kenangan tentangnya hingga kini. Di dikala dimana saya berdiri menatapnya lagi untuk pertama kali sesudah 6 tahun berlalu.

Pecundang Pukul 17:00
Ku lihat dari jauh senyumnya yang selalu kurindukan itu kian menenangkan jiwa, Sedang saya yang jauh dari tatapannya, tengah bertarung untuk melawan tangis rindu dan tangis sakit hati. Aku terlarut tepat dalam kerinduan ini, yang justru menghalangiku untuk mengalihkan mata darinya. Dengan raut wajahnya yang gundah ia menyapaku.
“Lila! Kenapa kau di sini? Ada yang sakit?”
“ Iya temenku, kau sendiri ngapain di rumah sakit? ”
“ Aku.... ehm ! Sama temenku juga sakit. ” jawabnya ragu-ragu.
Sejenak pembicaraan kami terhenti.
Lalu saya berucap “ Aku permisi! Aku harus jemput temenku, hari ini ia mulai rawat jalan. ”

Entah hanya perasaanku atau memang kenyataan tapi saya melihat raut kekecewaan alasannya ialah singkatnya pertemuan kami dari wajahnya, dikala ia menyampaikan menundukkan kepalanya mempersilakanku.
“ Semoga temen kau cepet sembuh ya, Ghes! “ ucapku kemudian menjauh.
“ Ga terbayang kalo kita akan terpisah dalam jarak sejauh ini sesudah 6 tahun. Padahal kita saling berhadapan, bukan? ” ucapnya menarik perhatianku.

Ku hentikan langkahku dan berbalik menatapnya.
“ Tapi terima kasih untuk do`a kau buat temenku.” Ucapnya seraya berlalu
Itu selalu menjadi caranya untuk selalu meninggalkan. Aku benci melihatnya pergi lagi dariku. ku tatap cara ia berlalu sambil menundukkan kepalanya, tanpa memandang ke belakang hingga ia benar-benar hilang dari pandanganku, di balik lorong rumah sakit. Terlintas penyesalan dalam hatiku. Harusnya ada waktu lebih yang ku luangkan untuk pertemuan kami yang pertama sesudah 6 tahun. Aku belum puas menatap sosoknya yang selalu ku tunggu itu.
Satuan waktu makin berlalu menjauh dari hari pertemuanku dengan Aghes, esok hari masih di rumah sakit yang sama saya mengantar adikku untuk investigasi kesehatan. Kini saya memang berharap bertemu dengannya. Berbinar ku dibuatnya dikala melihat sosoknya di lobi. Meski saya tahu itu berarti orang yang dijenguknya tak sekedar temannya, alasannya ialah di jam yang sama, 17:00.

Terbayang sudah di otakku kalau yang ia jenguk ialah seseorang yang lebih dari sekedar teman, hingga ia rela tiba setiap hari kemudian meluangkan waktunya di jam yang sama untuk orang itu. Tapi ia menghampiriku dengan langkah niscaya disertai senyum yang tersungging cantik di wajah tampannya untukku.
“ Ketemu Lila lagi. Emang lagi jodoh yah Lil? ”

Aku tersenyum dengan ucapannya.
“ Kok ga pribadi jenguk temen kamu? ” tanyaku alasannya ialah ia tiba-tiba duduk di sampingku.
“ Emang kau ga pengen ngobrol dulu sama aku? ”
“ Untuk apa? Untuk ngejelasin kemana aja kau pergi selama ini. ” jawabku.

Raut wajahnya kini dihias senyum penyesalan, menyerupai saya telah merusak harinya dengan ucapanku. Hingga ia kembali menata hatinya dan berujar.
“ Kalo itu yang kau minta dariku maka saya akan beri semampu saya menuturkannya, seluas waktu yang ada dan sekuat hati kau yang tegar untuk menerimanya. Meskipun nantinya ini akan jadi hal terakhir yang bisa saya lakukan buat kamu, alasannya ialah mungkin kau akan membenciku lagi, lagi, lagi, dan lagi.” ucapnya sambil tersenyum, kini senyumnya menyerupai tanpa rasa bersalah padaku.
“ Kenapa ga dari dulu? Kenapa harus nunggu sampe saya sesakit hati kini ? ” tanyaku dengan tatapan marah. Karena rasanya semua kerinduan ini mulai meminta keluar secara paksa tapi tak tahu kemana arah untuk keluar. Dan arah yang ku tahu kini hanyalah kemarahanku.
“ Karena ini . . . . (ia menghela nafas panjang) menyakiti hatiku lebih dalam dari yang kau rasa sekarang. ( tangan Aghes yang cuek menggenggam tanganku)

Kamu tahu? Aku keluar dari sekolah dulu bukan alasannya ialah saya benci atau bahkan ingin nyakitin kamu. Tapi justru alasannya ialah saya tahu betapa kerasnya kau berusaha menyayangi saya hingga kau ngelewatin kesempatan untuk sanggup cinta yang udah kau tunggu dari temenku, Fabian. “
“ (ku lepas genggaman tangannya) Alasan kau ga masuk akal, Ghes! ”
“ (kini tatapannya kosong ke depan seakan menertawakan dirinya sendiri)Faktanya Fabian ialah sepupuku. Orangtuanya yang merawatku sejak saya jadi yatim piatu. Tapi semua kebaikan orangtuanya ga bisa buat saya membendung rasa iri ke Fabian, yang selalu dapet apa yang ia mau dengan hanya sedikit usaha. Sedangkan saya hanya jadi yang kedua meski sudah berusaha keras. Ga Cuma wacana hidup dalam keluarga tapi juga wacana kamu. Aku mau berhenti bersaing dalam
ketidakadilan ini dan mulai mempercayakan kau akan kembali padaku kalo saya emang jodohmu. (kembali menatapku)”

Terpikir dalam benakku “ Kamu jahat Ghes! Kamu ga mau terus bersaing alasannya ialah saya ga berarti kan buat kamu? hingga kau berani mempercayakan cinta ku pada takdir. Aku kecewa menyimpan rindu yang salah untuk orang yang tak lagi berhak memilikinya. Aku telah menunggu dalam kebodohan untuk waktu yang lama. ”
“ Ga kebayang seberapa jauh kesalahpahaman yang tercipta antara kita selama ini. Tapi semoga penjelasanku bisa meluruskannya sekarang. Aku berharap kau yang kini ada di hadapanku ialah Lila yang sama dengan yang dulu, yang mau berjuang dari awal untuk mencintaiku lagi. Tapi saya sadar kemungkinan itu tertutup rapat sekarang. ” lanjutnya.
Penjelasanmu membuatku kecewa, tapi air mataku telah di pelupuk mata dan siap untuk terjun bebas dari tempatnya. Aku tak mau terlihat terluka oleh perkataanmu, maka saya berdiri dan mulai menata langkahku kemudian beranjak pergi darinya. Yah kini saya yang meninggalkanmu, Sang Pecundang Pramudya Aghes. Entah kepuasan macam apa yang saya sanggup dari membalas kepergianmu selama 6 tahun dari hidupku, dengan meninggalkanmu di lobi rumah sakit ini. Tapi satu-satunya hal yang saya tahu ialah kalau kau memang pecundang, Ghes!

Adik lelakiku yang mengetahui jejak tangisku mulai curiga, saya terpaksa menceritakan semua padanya. Lalu dengan bijaksana ia mengatakan
“ Ada kalanya setiap laki-laki menemui titik terburuk dalam hidupnya kemudian mengalah pada keadaan. Tapi tak sedikit yang berdiri dan mengejarnya kembali, jadi tak sepenuhnya benar bila Pramudya Aghes ialah seorang pecundang kak! ”
“ Tak sedikit yang berdiri dan mengejarnya kembali, huh? Itu tampaknya masih memberi keinginan cantik padaku untuk Aghes. Tapi sayang saya tak sudi lagi berharap. Aku Cuma mau melanjutkan hidup menyerupai saya ga pernah kenal siapa itu Pramudya Aghes. ” ucapku sinis.
“ Aghes bepikir ia pecundang alasannya ialah ia ga pernah tahu kalo kau juga suka sama ia dan bukan sama sodaranya itu. Tapi kalo kini abang berpikir kayak gini, maka kini kamulah pecundang itu, kak!”

Aku mengerutkan dahi mendengar ucapan adikku itu kemudian menatapnya penuh tanya.
“ Karena pecundang ialah mereka yang berhenti berusaha dikala dihadapkan pada kesulitan, problem dan hal yang tak sesuai keinginan mereka. ” ucap adikku kemudian beranjak.

Serasa ditampar mendengar ucapan adikku, saya pun dengan rendah hati mulai mendapatkan kenyataan bahwa 6 tahun tak menghapus rasa yang ditanam Aghes dengan ketulusannya dihatiku. Apa keadaan yang membelenggunya ialah hal yang harusnya ku pahami sedari dulu. Bukan sengaja ia mensejajarkan diri dengan pecundang tapi sang waktu kala itu memang tak memaksaku untuk berucap bahwa saya menjawab hasratnya dengan getar yang sama. Akibatnya ia pun melenggang pergi dari hidupku dengan derita yang ia bawa sendiri juga.
“ Aghes harus tahu bahwa ialah pemenang hatiku sedari awal, dan ia pun telah berhasil unggul jauh dari seorang Fabian. ” ucapku pada diri sendiri di malam yang indah itu. Bintangpun mengerlipkan sinarnya seolah baiklah akan menolongku untuk berbicara pada Aghes esok hari.
Aku tiba di jam yang sama 17:00 menunggunya di lobi, 30 menit dari awal kedatanganku tak ku lihat kehadiran Aghes. Apa yang terjadi? Apa ia tak menjenguk temannya hari ini? Aku terus menebar pandanganku untuk menemukan sosoknya tapi tak juga terlihat padahal telah 2 jam berlalu.
Entah seberapa besarnya keinginanku untuk menemuinya hingga saya rela menemui satu persatu pasien di lorong dimana dulu ku lihat ia berbelok. Dengan keinginan salah satu di antara mereka ialah sahabat Aghes. Aku menanyai mereka satu persatu hingga tertinggal satu kamar di ujung lorong. Aku menggantungkan keinginan pada kamar itu. Karena dari sekian kamar yang telah ku ketuk pintunya tak ada yang mengenal nama itu.
Saat ku ketuk pintu kamar ujung berkali-kali tetap tak ada balasan dari dalam, saya kemudian permisi masuk sambil terus mencari si pasien. Tapi di dalam kamar itu hanya terlihat ranjang kosong yang sudah rapi, saya merasa terlambat, harusnya saya tiba sepagi mungkin ke sini. Pasien kamar ini yang mungkin sahabat Aghes niscaya sudah pulang.

Aku pun terduduk di sofa yang ada pada kamar itu. Aku hampir frustasi hingga saya lihat sebuah novel Dan Brown, The Da Vinci Code. Aku mulai merintis satu persatu harapanku, kuharap biar pemiliknya akan tiba kembali untuk mengambil novel ini, alasannya ialah ini terperinci bukan novel sembarangan yang akan dengan gampang direlakan untuk hilang tanpa dicari. Belum usai ku tatap novel itu, tiba-tiba dari pintu masuk seorang suster mengantar seorang laki-laki yang tampaknya ku kenal tapi saya belum juga ingat namanya.
“ Semoga novel itu masih ada, sus! ”
“ Tenang! staf kami telah meletakkannya di atas laci kamar anda, anda bisa pribadi mengambilnya di sana. ” ucap suster sambil menunjuk ke arah laci.

Mereka berdua terkejut alasannya ialah di samping laci itu saya tengah berdiri memegang novel yang Fabian maksud, yah itu ialah Fabian. Tak gampang bagiku untuk mengenalinya, ia telah banyak berubah dengan bekas luka di dagunya tapi kurasa tidak dengan rasa cintanya terhadap novel. Dan hal inilah dulu yang membuatku jatuh hati padanya alasannya ialah ia juga pecinta novel sepertiku. Masih dengan keterkejutan yang sama saya hanya menatap Fabian yang karenanya tersenyum.
“ Lila! Ga nyangka saya ketemu kau di sini. Dan kau lagi pegang novelku. ”
“ Baiklah apa yang anda cari telah ditemukan jadi saya permisi. ”
“ Terima kasih banyak suster sudah menyimpannya untuk saya. ”

Usai suster itu pergi perhatian Fabian kembali tertuju padaku.
“ Sampai kapan kau mau berdiri di situ sambil pegang novelku? ”
“ oh... iya maaf Bi! Nih novelnya. Oke pribadi aja yah, sebelumnya siapa yang sakit di sini? ”
“ Di sini? ” ucap Fabian sedikit merasa asing dengan pertanyaanku.
“ Iya di kamar ini, Bi! ”

Berpikir kemudian menjawab “ Aku. ”
“ Kamu? Tapi kata Aghes yang sakit temennya kalo kau kan sepupunya. ”
“ Kamu tau sendiri kan kalo aghes itu suka bilang saya ini temennya ke temen-temen SMA. Tapi kapan kau ketemu Aghes, Lil? ”
“ Yah dua hari terakhir ini. Aku ketemu ia di lobi tapi saya bener-bener ga tau kalo kau yang sakit jadi saya ga jenguk alasannya ialah saya pikir mungkin saya ga kenal sama temennya Aghes---”
“ Stop Lila! Ini ga mungkin. Aghes udah meninggal, hampir satu ahad yang lalu. ” ucapnya menyela kalimatku.
Muncul rasa sedih mendalam di hatiku tapi ada rasa takut untuk mendapatkan kenyataan bahwa saya sedang dipermainkan kenyataan dan mimpi, alasannya ialah mereka tak memberiku batas yang tepat antara keduanya. Belum lagi ada hal yang masih harus ku selesaikan dengannya.

Aku merasa saya tersenyum dalam tangis yang hampir menetes di hadapan Fabian.
“ Tapi Bi! Aku harus bilang ke Aghes kalo ia ga pernah kalah dari kau wacana aku. Aku udah mulai bisa mencintainya sebelum kau tiba dan balas cintaku yang dulu pernah untuk kamu. Dan saya bisa jaga rasa itu hingga kini Bi! jadi inilah balasan dari semua perjuangan keras Aghes untukku dulu. Please Bi ! Aku harus ketemu Aghes. Dia harus tahu kalo ia ga pernah jadi pecundang dan ga perlu lagi nunggu takdir untuk bawa saya kembali padanya alasannya ialah ia sendiri yang bawa saya balik ke dia. “

Fabian terus mencoba menenangkanku.
“ Aku ga Cuma lihat ia dari jauh tapi juga menatap Aghes bahkan tangan cuek Aghes juga menggenggam tanganku. ” sanggahku pada Fabian sambil terisak.
“ Lila! ” Suara Fabian membentakku.
Isak tangisku terhenti mendengarnya “ Kamu harus bisa lepas Aghes! Dia ga ada lagi di antara kita sekarang. Ga di sisi kau atau pun di sisi ku. Aku tahu gimana kau rindu Aghes alasannya ialah Aghes pun tersiksa oleh rasa yang sama. ”
Fabian hanya memelukku dekat dalam tangis. Aku merasa dunia begitu jahat alasannya ialah tak berpihak padaku. Fabian juga tak lebih baik dari dunia, alasannya ialah novelnya juga yang membuatku berharap akan ada setitik arah yang akan menuntunku menuju Aghes. Tapi yang ku temui hanya sebuah kamar di ujung lorong yang mencecarku dengan kenyataan yang menyakitkan.

Malam usai saya bertemu Fabian, terbukalah mataku bahwa Fabian juga tak kalah tersakiti. Ia mengalami kecelakaan dikala bepergian dengan Aghes. Fabian mulai mengurai dongeng kalau ia merasa Aghes yang tak pernah peduli pada novel idaman Fabian. Namun sebelum perjalanan pulang yang na`as itu, Aghes dengan mudahnya membeli Novel The Da Vinci Code untuk Fabian. Kecelakaan motor yang merenggut Aghes dari kami juga menggoreskan rasa bersalah yang mendalam bagi Fabian.

Pramudya Aghes kembali mencatatkan diri untuk kedua kalinya dalam meninggalkanku. Dipastikan pula inilah catatannya yang terakhir dalam lembar hidupku, catatan yang tak menyisakan bagiku sebuah kesempatan. Untuk membuatnya tahu ia bukan pecundang. (Ku harap)sekarang ia telah bahagia, takdir benar-benar bisa dipercaya dikarenakan telah membawaku kembali padanya, meskipun saya kembali untuk kemudian ia tinggalkan selamanya.

Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel