Jeritan Seorang Anak - Cerpen Ayah Dan Ibu

JERITAN SEORANG ANAK
Karya Dessy Ratna Puspita

Di Senja itu, saya duduk terdiam menatap indahnya langit. Khayalku mulai datang, terbayang di depan mataku keharmonisan keluarga yang mana salah seorang anak itu ialah aku, kemudian kakakku dan orang bau tanah itu ialah ayah dan ibuku, alangkah bahagianya saya bila sanggup menyerupai itu. Ahh tiba-tiba khayalku pudar, ketika bunyi ibu ku menggelegar di kupingku. “Hey pemalas ….. berdiri kau dari kawasan dudukmu itu, kerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan. Dasar anak tak tau diri!!!” bentaknya dari dalam rumah. Dengan wajah pasi alhasil saya masuk kedalam, kemudian saya kerjakan semua pekerjaan rumah menyerupai mencuci, mengepel, dan lain sebagainya. Setelah 2 jam alhasil semua pekerjaan rumahku selesai, yah walau tanpa pertolongan siapapun termasuk ibuku. Hari minggu memang hari yang ahhh tak bisa ku gambarkan keadaan itu. Rasanya saya menyerupai bukan dari bab dari keluarga ini. Walau senja menyerupai ini pun pekerjaan masih saja menumpuk, padahal pagi saya telah mengerjakannya hingga selesai.

Sungguh, beruntungnya abang ku itu (dengan wajah sendu dan menopang dagu) tak pernah di suruh apapun hanya perlu belajar, duduk, makan dan menikmati semua yang ada. Ahh tak menyerupai aku, yang harus ini harus itu dan terkadang masih saja salah. Kini malampun telah tiba, seusai sholat maghrib bunyi ayah mengiang dikupingku. “Eh Ami, sudah kau siapkan belum makan malam untuk kami ..HAH!!!” itulah kata-kata yang selalu ku dengar darinya. Setelah mendengar itu, alhasil saya bergegas untuk memasak makan malam untukkami semua. Namun, malangnya saya menyerupai biasa saya harus makan sendiri di dapur atau dimanalah biar mereka tak menatapku, lantaran kata mereka saya ini memuakkan.

Jeritan Seorang Anak
Aku tak pernah tau sebenarnya apa salahku pada mereka. Seusai makan malam, saya kembali kekamarku dan lekas mengambil diaryku kemudian kutulis di diary itu.
“Dear Ayah, Ibu dan Kakak kesayanganku”
“Ayah … mengapa kau tak bisa memanggilku dengan lembut menyerupai layaknya ayah lain memanggil anaknya, saya ini juga anakmu ayah. Ibu… mengapa tak sekalipun kau memanjakanku layaknya Ibu manjakan abang dengan segala yang ada??? Dan untuk kakak, mengapa abang tak pernah sekalipun membantuku, membelaku, mengajariku serta menyayangiku. Apakah saya ini hanya anak pungutan hingga tak layak sanggup kasih saying dari kalian semua. Ataukah kehadiranku memang tak pernah di inginkan oleh kalian.”

Setelah menulis itu, saya menangis sejadi-jadinya, sungguh rasanya amat sakit hidup di tengah-tengah keluarga yang tak pernah menyayangiku. Pernah waktu itu saya berfikir ingin sekali lari dari rumah, menemukan keluarga lain yang mungkin akan menyayangiku. Namun, saya terlalu sayang dengan mereka, walau mereka tak menyayangiku. Ahh… cukuplah tangisku ini, saya harus mencar ilmu lantaran esok ialah semester pertamaku dikelas XII ini. Aku selalu bertekad untuk selalu mendapat peringkat kedua, lantaran saya ingin sekali nantinya masuk ke Universitas yang terbaik.
Satu minggu berlalu menandakan berakhirnya ujian semesterku. Ohh sungguh walau di tengah-tengah kesibukan belajarku untuk semester, tetap saja mereka menyuruhku menyerupai hari biasa. Tapi, tak apalah mungkin ini ialah jalanku. Kini waktu semakin mendekat ke ujian nasional, saya tetap mengerjakan apa yang telah menjadi kewajibanku tapi di samping mengerjakannya saya tetap belajar.
(mendekat waktu ujian nasional)

Duh.. sudah tinggal 2 hari lagi nih…. Bila saya izin dengan ayah dan ibu untuk focus pada ujian ku, kira-kira apa ya yang akan terjadi, batinku dalam hati. Hmm alhasil kau memberanikan diri untuk bertanya pada mereka. Aku berjalan dengan langkah ragu menuju beranda rumah kawasan Ayah, Ibu dan kakakku, kemudian saya berkata “Ayah, Ibu (mereka menoleh padaku) aaakk aakkuu”. Belum selesai saya berkata Ayah membentakku “Heh kau ngomong tinggal ngomong saja susah!! Cepetan ngomong muak saya liat muka kamu!!”. Sungguh kata-kata itu sangat menyakiti hatiku. Lalu ku beranikan lagi berkata “ayah, saya hanya ingin meminta sebuah permohonan, saya hanya ingin mencar ilmu full minggu ini jadi saya mungkin tidak akan bekerja maksimal menyerupai biasa ayah. Tolonglah ayah, saya akan mengahadapi ujian nasional ” (dengan nada memohon dan mengiba pada ayah). Sejenak ayah berfikir, dan alhasil ayah berkata “baik untuk kali ini saya ijinkan kau !!hanya untuk ini saja”. “Terimakasih ayah, ayah baik sekali padaku. Tenang ayah saya niscaya akan mendapat nilai terbaik untuk ayah, ibu dan kakak. Aku berjanji pada kalian”. “Ahh… sudah pergi kau cepat-cepat muak saya melihatmu!!” itulah kata-kata ibu yang menyakitkan lagi untuk ku dengar. Tapi, tak apalah saya harus tetap semangat.
Esok ialah hari pertamaku ujian dan saya sangat bersemangat sekali ingin membuktikan pada kedua orang tuaku. Malam sebelum hari pertama ujian nasional, saya menulis dalam diaryku “Dear Ayah. Ayah terimakasih untuk waktu belajarku. Aku sayang ayah… saya sayang ibu dan juga saya sayang kakak. Aku ingin punya keluarga serasi menyerupai dalam khayalku selama ini ayah, ibu .. dapatkah kita menyerupai itu???”.
Hari demi hari ujian nasional telah ku lewati dan mala mini ialah maam terakhir saya mencar ilmu untuk ujian nasional besok. Namun sebelum saya tidur, saya menulis sesuatu dalam diaryku :

Dear Ayah, Ibu dan Kakak …
“Aku sangat sayang kalian, saya tak pernah sedikitpun membenci kalian. Walaupun kalian menyerupai tak pernah menyayangiku, saya selalu tegar ketika ayah dan ibu berkata padaku dengan bergairah sekali bahkan kata-kata yang keluar dari verbal ayah dan ibu ialah kata-kata paling menyakitkan yang yang pernah saya dengar, Tapi tak apalah, itu ialah kata-kata yang selalu menyemangatiku selama ini, lantaran ayah dan ibu juga abang tak pernah sedikitpun menawarkan semangat padaku dan selalu saja menyalahkan saya kalau ada sesuatu yang tak beres atau yang tak kalian suka dariku. Sungguh Ayah, saya ingin sekali di sayangi oleh ayah dan ibu juga kakak… selama in saya sangat iri pada teman-temanku yang selalu mendapat kasih sayang dari orang bau tanah mereka, saya menginginkannya ayah. Ibu … saya ingin kau manjakan menyerupai kakak, saya ingin makan bersama dengan kalian ketika makan. Aku tidak ingin disishkan di dapur, saya tidak ingin dianggap tidak ada dan saya juga tidak ingin tidak terlihat menyerupai bab dari keluarga ini. Ibuku tersayang… terimakasih telah melahirkanku ke dunia ini, tanpamu saya mungkin takkan berada disini, terimakasih juga telah merawatku selagi saya kecil. Ibu…. Nyanyikan saya lagu tidur sekali saja, Ibu hidupku terasa amat hampa tanpa kasih sayangmu… Ibu saya sayang ibu selamanya. Ibu kalau nanti saya belum sempat membuatmu bangga, maafkanlah anakmu ini dan jangan lagi muak untuk mendoakanku. Aku rindu ibu… Ibu….. samakan saya dengan kakak. Ibu………………… ”

Oh tidak saya tertidur semalam, saya harus mandi kini lantaran ini ialah hari terakhirku ujian. Seusai mandi menyerupai biasa, saya akan cepat-cepat berangkat walau waktu memperlihatkan pukul 06.00 pagi. Sebelum berangkat, untunglah saya masiih sempat berpamitan pada ayah dan ibu, dna ternyata hari ini ayah dan ibu tersenyum padaku. Aku merasa senang sekali hari ini. Apakah Tuhan mendengar doaku ya (gumamku dalam hati).
Sesampainya di sebrang sekolah, ketika Ami hendak melangkah. Tiba-tiba.. Gubrakkkkkkkkkkkk sitttttttttt dan terdengar jeritan “aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu”. Teriakan bunyi Ami yang terakhir, lantaran tiba-tiba ada sebuah kendaraan beroda empat meluncur dengan kecepatan tinggi menabraknya hingga tewas.
Salah seorang sobat Ami yang melihat insiden itu eksklusif menghubungi Ibu Ami, dan menyampaikan bahwa Ibu Ami harus cepat tiba kesekolah kini Ibu Amipun resah dan bergumam “dasar anak menyusahkan, ada apa lagi sih dengan anak ini!!”. Beberapa ketika kemudian Ibu Ami tiba ke sekolah, dan mendapati banyak orang mengerumuni sesuatu. Dan tiba-tiba Ibu Ami di sapa seorang anak Sekolah Menengan Atas juga, “Ibunya Ami ya Bu ??”, Ibu Ami berkata “Iya, emang ada apaan sih nelpon-nelpon tadi??”. “Maaf Ibu, Ibu bisa liat di kerumunan orang-orang itu”.

Lalu, Ibu Ami bergegas melihatnya. Ibu Ami terpaku melihat mayat yang tengah di kerumuni ternyata ialah Ami anaknya yang telah berlumur darah, dan tiba-tiba air mata mengalir denga derasnya dari mata Ibu Ami. Ibu Ami berteriak-teriak “ami….. ami ….. berdiri nak, jangan pergi nak, jangan tinggalkan Ibu. Ibu berjanji tak akan lagi bergairah padamu tapi buka matamu nak. Maafkan ibu nak, ibu menyesal”.
Disore hari, Amipun dikuburkan. Ibu, Ayah dan kakaknya menangis tiada henti semenjak kedatangan mayat ami di rumah hingga ami telah di makamkan. Malam hari, Ibu Ami masuk ke kamar Ami yang hanya sanggup di kenang oleh nya. Tiba-tiba Ia menemukan surat yang ditulis Ami pada malam hari sebelum Ami meninggal, Ibu Ami membacanya hingga tiada kuasa lagi membendung kesedihannya. Ia amat menyesal telah menyia-nyiakan Ami, tapi penyesalan hanyalah penyesalan dan tak mungkin untuk di ulang lagi apa yang telah berlalu.

***

PROFIL PENULIS
Nama : Dessy Ratna Puspita
TTL : Tugumas, 11 Januari 1997
Hobi : Menulis, membaca
Alamat facebook :https://www.facebook.com/echie.puspithamoudybaeq?ref=tn_tnmn

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel