Matahari Jingga - Cerpen Persahabatan

MATAHARI JINGGA
Karya Amira

Hari itu hujan, hujan yg sangat lebat. Aku bersiap pergi ke sekolah. Matahari tertutup awan hitam sehingga pagi itu terlihat menyerupai malam. Aku akan berangkat kesekolah bersama Lisa. Ia sudah menciptakan rencana tadi malam.

Setelah lebih dari 20 menit menunggunya di halte, beliau tidak juga terlihat. Aku memutuskan untuk pergi atau gerbang sekolah tidak akan terbuka lagi untukku. Dalam hati saya bersungut “apa yg terjadi padanya Jika saya bertemu dengannya di sekolah nanti, saya bersumpah akan memukul pundaknya dengan buku.”
Ketika saya akan naik kedalam angkutan umum, saya melihat seorang gadis yg kira-kira usianya 1 tahun lebih renta dariku duduk di halte. Ia mengepal erat kedua tangannya. Ia kedinginan. Aku tak sanggup menangkap menyerupai apa rupanya alasannya ialah disana benar-benar gelap, apalagi saya sudah masuk kedalam angkutan tersebut. Ahh sudahlah. Ia bukan siapa-siapa.

 Matahari tertutup awan hitam sehingga pagi itu terlihat menyerupai malam Matahari Jingga - Cerpen Persahabatan
Matahari Jingga
Bel telah berbunyi 10 menit yg lalu, tapi gerbang belum ditutup. Mungkin sekolah menunjukkan dispernsasi dihari hujan menyerupai ini. Aku hingga dikelas dan kulihat Lisa tengah duduk sambil menikmati novelnya. Ia tak menyadari kedatanganku. Buru-buru ku keluarkan buku geografi yg tebalnya menyerupai kasur kamarku supaya saya sanggup memukulnya.
“aduuuhhh… apaan sii?” Lisa merintih. Ia tidak tau jikalau saya yg memukul pundaknya.
“apa maksudnya biarkan saya sendiri di halte. Menunggu menyerupai orang idiot?” saya berkecak pinggang.
“maafin saya Nad. Tadi saya diantar ayah alasannya ialah hujan. Aku juga lupa kalo saya punya akad pergi bersamamu. Maafin saya ya.” Ia memasang wajah murung dan saya pun memaafkannya.
Pelajaran perama berakhir. Dan hujan pun turun semakin lebat. Aku tak tahan dengan situasi menyerupai ini. Aku mengantuk dan saya rasa semua yg ada dikelas ini pun begitu. Bel istirahat berbunyi. Aku dan Lisa enggan beranjak dari meja. Lisa bahkan tidak mau mengangkat wajahnya dari jaket yg ia gunakan sebagai bantal.
“mana jaket mu Nadinne? Aku pinjam.” Perkataan Lisa tadi membuatku tersadar bahwa sedari tadi jaket yg saya bawa kini hilang. Yaampun kenapa saya begitu bodoh. Melupakan benda yg sangat penting di hari hujan menyerupai ini.
“aku lupa dimana meletakkan nya. Tadi tampaknya waktu saya menunggumu di halte, jaketnya masih saya pegang.”
“mungkin tertinggal di angkutan umum. Atau tertinggal di halte.” Benar juga apa katanya
“yasudahlah. Mungkin benda itu sudah menjadi milik orang lain.
Bel pulang berbunyi. Aku dan Lisa pulang bersamaan.
Keesokan harinya, hujan masih turun alasannya ialah ini memang demam isu hujan. Kali ini saya memang pergi sendiri kesekolah alasannya ialah Lisa masih juga diantar ayahnya.

Aku duduk dihalte menunggu tumpanganku. Ketika saya melihat kearah jalan, muncul seorang gadis yg lembap kuyup. Tangannya memegang sesuatu yg saya kenal. Itu jaketku. Aku melihat kearahnya. Gadis itu, gadis yg semalam saya lihat di halte ini. Kali ini wajahnya terang terlihat dihadapanku. Ia mengulurkan jaket yg di pegangnya.
“ini punyamu?” suaranya serak. Hampir tidak terdengar. Tidak ada mulut apapun yg keluar dari wajahnya. Aku masih belum sanggup menyampaikan apapun. Tangan, tubuh serta kakiku dingin.
“jawab aku. Ini punyamu atau bukan !!!” kali ini ia membentak. Suaranya melengking ketelinga. Aku takut. Sangat takut. Akhirnya saya menganggukkan kepala.
Ia melemparkan jaketku ke tanah. Lalu ia duduk disampingku. Aku bertanya-tanya mau apa anak ini. Sial nya saya tak menemukan satu orangpun disini selain dia. Dan yg lebih sialnya lagi, ia memandangiku terus. Ntah apa yg ia mau dariku.

Aku memberanikan diri untuk berbicara.
“terimakasih” ucapku dengan senyum. Ia tidak membalas. 1 menit kemudian ia berbicara. “dimana kamu bersekolah?”
“aakkuu bersekolah di Sekolah Menengan Atas R.A Kartini.” Ia membisu lagi. Aku melihat tangan nya menggenggam satu sama lain, kemudian sesekali menggosokkan telapak tangannya.
“kau kedinginan. Aku bawa jaket 1 lagi. Kau mau?” Ia membisu lagi, lagi dan lagi. Ia menatapku lagi sambil mengangguk. Aku menunjukkan jaket yg ada di tasku padanya. Akhirnya angkutanku telah datang, tapi rasanya tak ingin ku tinggalkan daerah itu. Melihatnya kedinginan di halte, sungguh saya malas berangkat sekolah.
“hey… siapa namamu?” seruku.
“aku Myra” kemudian ia pergi dalam hujan. Ia masih menggunakan jaketku.

Kali ini saya tiba lebih awal dari Lisa. Teringat dikala pertama saya jumpa anak di halte tadi. Ohh namanya Myra. Nama yg indah didengar. Kelihatannya ia anak baik. Tapi kenapa ia tidak bersekolah? Atau mungkin ia telah selesai? Entahlah. Semoga besok saya berjumpa dengannya lagi.

Bel berbunyi dan sempurna pada dikala itu Lisa datang. Ia terlihat sangat manis dengan jaket coklatnya. Anak itu memang manis menggunakan pakaian apapun. Bahkan baju tidur sekalipun.
“hey Nad. Karena hujan kendaraan beroda empat ayah macet. Semua orang ingin cepat. Tergesa-gesa menyerupai segala sesuatu harus diselesaikan hari ini juga. Kasihan ayah yg harus terlambat ke lapangan alasannya ialah aku.” Wajahnya tak sanggup ku gambarkan. Antara sedih, capek, murka dan lucu.
“duduklah Melisa. Kau terlihat bagus hari ini. Jangan buat penampilanmu jadi bodoh. Guru kita tampaknya tidak hadir. Mau ke kantin?” saya berusaha menenangkannya. Ia tersenyum dan mengangguk.
Aku berharap matahari segera pulang dan berganti bulan. Lalu bulan pun pulang dan berganti matahari lagi. Agar saya sanggup berjumpa Myra. Kalau ia ada disana.


Pelajaran matematika ialah salah satu pelajaran yg paling ampuh untuk membuatku segera tidur, alasannya ialah tidak ada pelajaran lain yg sanggup menciptakan mataku sayu atau tertutup sama sekali kecuali dia. Jam bergerak ke angka 11 dan saya sudah mulai mengantuk. Ku tutup buku matematika-ku kemudian mengambil I-Phone. Aku memutar lagu Christina Perri-A Thousand Years yg ku senangi. Aku pun tertidur.

Alarm itu membangunkanku. Ku singkap tirai jendela, hari masih hujan tetapi hanya sedikit. Tidak separah semalam. Dengan semangat saya bangun, mengambil handuk, menuju kamar mandi, berpakaian, berdandan dan semua itu ku lakukan dalam waktu 20 menit. Sengaja saya mau pergi cepat hari ini supaya sanggup ngobrol dengan Myra lebih lama. Ntah apa yg membuatku tertarik padanya. Mungkin alasannya ialah sifatnya yg misterius. Kaprikornus mulai hari ini saya putuskan untuk bersifat misterius supaya orang tertarik padaku.
“ma Nadine berangkat. Nanti pulangnya agak lama ya ma, alasannya ialah ada ekskul badminton. Assalamualaikum” seruku tanpa mendengar tanggapan dari mama. Aku berlari untuk hingga ke halte yg biasa saya singgahi. Sesampainya disana saya tak menyangka ia duduk di situ dengan jaket yg kuberikan semalam.

Ia menjulurkan tangannya dan memberikanku jaket itu. Aku tersenyum kemudian berseru “tak apa. Simpan saja jaket itu. Aku punya 2 kok. Anggap saja ini ucapan terimakasihku.”
“baiklah jikalau begitu. Aku juga tidak tau apa fungsi dari benda ini.” Jawabnya. Aku tercengang sekali.
“apa? Ini namanya jaket. Kata itu berasal dari bahasa inggris yg artinya ‘sebuah benda yg terbuat dari kain atau kulit bulu yg dipakai untuk melindungi diri dari hujan dan panas’. Kau mengerti?”
“ Apa buruknya hujan. Aku tiap hari bermain hujan. Pergi sesukaku tanpa benda yg kamu beri tadi. Dan hingga kini saya tidak kenapa-kenapa. Bahkan saya pun tak pernah mendengar info di Koran atau radio jikalau ada anak seusiaku mati dikarenakan hujan” jawabnya ketus. Tapi pemikiran nya masuk nalar juga buatku.
“yasudahlah terserah padamu saja. Tapi saya yakin suatu hari nanti kamu membutuhkan benda itu.”
“siapa namamu?” tanyanya. “aku? Aku Nadine. Kau?” Betapa bodohnya pertanyaanku tadi.
“sepertinya saya telah memberitahukan namaku padamu kemarin. Aku Myra. Panggil saja Mey.” Nama orisinil dan nama panggilannya kurang pas. Myra dan Mey. Aku terdiam. “namaku April.” Dan lagi saya mengulang pernyataan yg tadi telah ku buat. Kenapa aku? Kenapa tiba-tiba saya jadi bodoh? Ia melihat kearahku dan mengangkat kedua alisnya. Pertanda ia bingung.
“kenapa tiba-tiba kamu mengganti namamu? Bukankah tadi Nadine?”
“oohh iyaiya. Nama asliku ialah Nadine Aprilia Kirana. Tadi kamu telah menyebutkan namamu Mey. Kaprikornus biar kamu selalu ingat namaku, pangil saja saya April. Kan nama kita berdekatan. Mey dan April. Begitu.” Jelasku. Kelihatannya ia sudah mengerti.
“seperti nama bulan.”
“dimana rumahmu?” kini giliranku bertanya. “kau mau tau dimana rumahku? Ikut saya sepulang kamu sekolah. Aku akan ada disini sekitar pukul 5. Kau mau?”
“tentu. Sekarang saya pergi dulu. Angkutanku telah datang. Sampai bertemu pukul 5.” Seruku bersemangat. Aku tersenyum senang. Tidak kusangka ia sanggup juga ramah padaku.
Bel pulang sekolah berbunyi pukul 2.30 dan saya masih ada ekskul bulu tangkis lagi. Ku selesaikan semua jadwalku dengan cepat. Berharap pukul 5 segera datang.
Pukul 5 sempurna ekskul pun berakhir. Tetapi tiba-tiba abang Pembina menunjukkan arahan pada kami untuk membersihkan lapangan. Ya ampun saya tak mungkin sanggup pulang. Aku meminta izin pada abang Pembina untuk memulangkanku lebih awal dengan alasan membantu mama menciptakan pesta Amir Agha, adikku. Tapi permohonanku ditolak.

Setelah semuanya higienis saya pun segera pulang. Kulirik jam tanganku. Pukul 05.45. saya terlambat 45 menit dari janji. Akhirnya saya hingga ke halte. Tidak ada seorangpun disana. Tiba-tiba saya melihat Mey berlari menghampiriku. “sudah 30 menit saya menunggumu disini tadi.”
“maaf Mey. Tadi saya ada ekskul diseko……”
“sudah cepat kita pergi. Jangan banyak bicara. Nanti kita ketinggalan sesuatu.” Jawabnya sambil menarik erat tanganku. Sanagt sakit rasanya digenggam oleh dia.

Kami berlari hampir 15 menit. Sebuah rekor gres untukku. Mey mengajakku kesebuah daerah di erat gunung yg saya tak tau apa namanya. Lalu kami mendaki lagi beberapa meter hingga kesannya kami hingga ke erat laut. Tepat dibawah kami bahari itu berada. Aku merasa ngeri melihatnya. Apa yg akan dilakukan Mey disini? Aku mulai takut sekarang. Aku memandangi wajahnya heran. Ia masih belum juga melepaskan genggaman nya dari tanganku. Sementara tanganku rasanya perih sekali.
“tenang saja Pril. Aku tak akan menjatuhkan mu kelaut itu. Ayo kita duduk. Percaya padaku,kau tak akan jatuh.” Katanya dan saya menuruti.
“tunggulah sekitar 5 menit lagi. Dan kamu akan melihatnya.” Sambungnya. Aku tak mengerti apa maksud perkataan nya dari tadi. Dimana rumahnya? Aku bahkan tak melihat sebuah rumah pun disini.

Setelah 5 menit menunggu kesannya pemandangan indah pun Nampak. Matahari yg akan pulang ke barat. Langit gelap dan burung-burung pun pulang. Tebak apa warna mataharinya. Warnanya jingga. Kaprikornus ini yg sedang kami tunggu-tunggu dari tadi. Ternyata benar. Sungguh itu sangat indah. Aku memandang wajah Mey. Dan untuk pertama kali nya saya melihat ia tersenyum.
“aku selalu kesini bersama Ayah dulu. Setiap hari hampir gelap, kami mendaki gunung ini. Dan pulang hingga malam hari.” Katanya senang.

Ia kemudian menceritakan semua perihal kejadian keluaranya. Ayahnya meninggal sesudah ia berumur 8 tahun. Aku bertanya alasannya ialah apa ayahnya meninggal tetapi ia sendiri pun tidak tau. Sampai dikala ini ia tidak pernah menemukan kuburan ayahnya. Lalu sesudah ayahnya meninggal, ibu Mey tak sanggup hidup sendiri. Ia bahkan tak mau mengurusi Mey. Suatu malam ibunya pergi dengan sebuah kendaraan beroda empat pick-up punya tetangganya, meninggalkan Mey yg masih kecil. Esokya ia bertanya pada tetangganya kemana ibunya pergi. Mereka bilang “ibumu pergi kesuatu daerah Mey. Jauh di negeri sana. Kalau ia telah renta nanti gres ia akan pulang.” Lalu mereka tertawa. Kemana ibunya? Ia pun tak tau hingga sekarang. Ia pun meninggalkan rumahnya dan tinggal entah dimana.
“aku biasa hidup dimana pun saya mau. Aku akan bekerja pekerjaan apapun. Terkadang kita tak harus punya rumah untuk sanggup bertahan hidup.” Katanya. Kaprikornus inti dari ceritanya ialah ia anak yatim yg ditelantarkan oleh ibunya dan hidup entah dimana.
Sepertinya sudah cukup petualanganku hari ini. Aku pun ingin pulang dan kami pulang bersama-sama.
Hari demi hari kami lalui bersama. Aku pun merasa bahagia mengenal Mey. Ia baik dan jujur. Hanya saja ia tinggal dijalanan dan tidak pernah sekolah. Kalau mama tau ia niscaya akan marah.

Suatu hari saya pernah bertanya pada Mey “kenapa kamu tidak sekolah Mey?”
“siapa yg tidak ingin sekolah? Semua orang mau. Hanya saja kesempatan ku belum datang.”
“kalau kamu tak bersekolah apa cita-citamu? Tanyaku lagi. “aku punya harapan untuk membangun sebuah sekolah” saya terkejut mendengarnya. Bagaimana sanggup seorang yg tidak pernah sekolah sanggup membangun sebuah sekolah. Aku hampir tertawa oleh kebodohannya.
“kenapa kamu tertawa? Aku tau apa yg tengah kamu fikirkan. Aku memang tidak pernah sekolah, tetapi lingkungan lah yg telah mengajarkan ku. Bukankah Gustave Eiffel, perancang menara Eiffel tidak suka berguru secara spesifik dan formal? Dan kamu tau dongeng perihal Thomas Alfa Edison? Ia pernah tinggal kelas 3 kali dan dikeluarkan dari sekolah alasannya ialah ia sangat bodoh. Tapi siapa yg tau 12 tahun kemudian ia telah menerangi dunia dengan inovasi lampunya?” jawabnya ringan dan kali ini saya benar-benar terkejut mendenar jawabannya. Bagaimana sanggup seorang anak yg ijazah SD sajapun ia tidak punya tetapi tau perihal Gustave Eiffel dan Thomas Alfa Edison. Jujur saja, saya sendiri pun tidak tau mengenai itu.
“benar juga apa katamu Mey. Maaf saya telah menghinamu. Aku menyesal.” Kataku sambil menundukkan kepala sedalam-dalamnya.
“tak apa. Aku tau kamu akan berfikir menyerupai itu. Mungkin ini pertemuan kita yg terakhir. Setelah itu saya akan pergi.” Ucapnya. “apa? Kau mau pergi kemana?”
“aku akan pergi mencari ibuku.”
“ibumu? Kau sendiri tak tau ia dimana. Jangan konyol Mey” sergahku. “aku tau. Tapi saya akan tetap mencarinya. Aku tidak punya keluarga lagi disini.”
“kau sanggup anggap saya sebagai saudaramu Mey. Kau boleh tinggal dirumahku kapan pun kamu suka. Tolonglah. Jangan pergi. Pikirmu lezat hidup di Negara orang. Sulit Mey.. sangat sulit. Apalagi gadis menyerupai kau.” Aku hampir menangis menyampaikan kalimat itu. “hah. Sudahlah Aprilia. Aku baik-baik saja disana. Keputusanku sudah bulat. Aku akan mencari ibuku.”

Kami berdua terdiam. Lalu 2 menit keudian ia berbicara lagi
“tenang April. Kau lah teman yg gres ku dapatkan selama 12 tahun ini. Hanya kamu yg mau bermain denganku. Hanya kamu yg saya ajak ketempat ini. Aku berjanji suatu hari nanti kita akan bertemu. Di daerah ini juga. Melihat matahari jingga dan burung-burung pulang. 5 tahun lagi. Yaa.. saya berjanji padamu. 5 tahu lagi saya akan berada disini, menunggumu datang. Tepat pada hari ini. Jam ini dan menit ini. Percayalah.”
Sejak dikala itu saya tak pernah melihatnya lagi. Di halte pada pagi hari. Dan di gunung itu pada sore hari. Ternyata benar, ia telah pergi entah kemana. Aku tak tau hal apa yg harus menghentikan setiap langkahnya. Ia gila dan misterius. Terkadang ia mengajarkan beberapa hal gres padaku. Setiap hari saya menunggunya. Berharap ia pulang. Tetapi tetap saja ia belum ku lihat.
Aku teringat perkataannya ‘5 tahun lagi kita akan berjumpa disini. Pada hari yg ini, pada jam ini dan menit ini. Percayalah.’
Benar Mey. Aku akan menunggumu. Aku ingin melihat menyerupai apa rupamu 5 tahun lagi. Apakah kamu telah membangun sekolahmu. Apakah kamu masih tetap misterius menyerupai dikala ini.
Aku bersabar. Baik saya akan menunggumu 5 tahun lagi di daerah ini. Benar Mey , 5 tahun lagi.

TAMAT

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel