Peluh Mata Sang Mentari - Cerpen Persahabatan
Jumat, 28 Februari 2014
PELUH MATA SANG MENTARI
Karya Wika G Wulandari
Didepan jendela persegi empat itu kamu meluapkan segala emosi yang kamu pendam. Tak ada percakapan yang kamu ciptakan antara kamu dan aku. Kau duduk dengan posisi menyerong kearah barat dan mulai mengguncang-guncangkan bahumu. Dalam beberapa menit kemudian tidak ada yang menyadari bahwa luapan air mata telah mewarnai pipimu, bahkan melunturkan bedak baby yang kamu pakai tadi pagi sebelum berangkat kesekolah bersamaku. Diatas binder berukuran besar dengan sampul biru, kamu mainkan pena biru berkepala cokelat diatas kertas putih yang bersih. Coretanmu mengundang begitu banyak pilu yang tersalurkan lewat air mata.
Aku duduk dikursi pelastik hijau didepan pintu ruangan. Menatap tiga pria remaja yang tengah beradu kekuatan dengan bola dilapangan yang tak cukup luas. Cahaya matahari menerobos lewat sela-sela tangga yang berdiri kukuh didepanku. Aku menengadahkan wajah untuk terus bertahan dibawah terpaan matahari. Lipatan tangan diatas perutku sengaja kukendurkan ketika gerombolan abang kelas lewat didepanku. Aku tidak tahu bahwa kamu tengah menangis dibawah atap yang telah reot. Aku bahkan hanya duduk termangu dengan perasaan berkecamuk untuk menantikan matahari karam dan berganti hari esok.
Peluh Mata Sang Mentari |
Laki-laki itu mencolek pundakku dan memberitahuku bahwa kamu menangis. Aku menghampirimu dengan perasaan biasa. Bagiku keadaanmu yang ibarat ini bukanlah sesuatu yang harus kuawali dengan respon kaget disertai perhatian berlebihan. Aku duduk diatas meja yang tergeletak sebagai saksi bisu dihadapanmu. Wajahmu semakin kamu tundukkan. Air mata itu mengalir dan jatuh diatas bindermu, dengan sekali hentakan diatas meja saya meraih bindermu dan mencari goresan pena apa yang menjadikan rasa sakit sampai mata itu berani mengeluarkan peluh.
“Semoga dirimu disana ‘kan baik-baik saja untuk selamanya. Disini saya ‘kan selalu rindukan dirimu, wahai sahabatku.”
Barisan kalimat itu yang saya dapatkan diatas kertas putih yang telah tercoret. Aku tersenyum, jadi ini alasannya. Kau takut hari esok tiba dan membawaku pergi darimu. Aku maklumi saja, sebab kita memang sepasang nyawa yang terus bersama hampir enam bulan terakhir. Tidak heran kalau perpisahan yang akan terjadi besok akan menjadikan rasa sakit yang mendalam. Aku mengusap kepalamu dan melontarkan kata-kata penyemangat. Mungkin dalam hatimu kamu menggerutu bahwa saya bisa dengan mudahnya menyampaikan kalimat itu sebab saya tidak merasakannya. Tapi tahukah kau? Saat kamu pergi saya juga mencicipi hal yang sama. Tapi tidak ada kalimat penyemangat darimu, kamu hentakan roda kopor diatas lantai keramik, mengencangkan jaket hitam ke lekukan tubuhmu, dan melangkah pergi hanya dengan sebuah salam sederhana. Aku jadikan perpisahan waktu itu hanyalah sebuah perpisahan sederhana layaknya kamu berangkat kesekolah sedangkan saya tidak.
“Semoga dirimu disana ‘kan baik-baik saja untuk selamanya. Disini saya ‘kan selalu rindukan dirimu, wahai sahabatku.”
Barisan kalimat itu yang saya dapatkan diatas kertas putih yang telah tercoret. Aku tersenyum, jadi ini alasannya. Kau takut hari esok tiba dan membawaku pergi darimu. Aku maklumi saja, sebab kita memang sepasang nyawa yang terus bersama hampir enam bulan terakhir. Tidak heran kalau perpisahan yang akan terjadi besok akan menjadikan rasa sakit yang mendalam. Aku mengusap kepalamu dan melontarkan kata-kata penyemangat. Mungkin dalam hatimu kamu menggerutu bahwa saya bisa dengan mudahnya menyampaikan kalimat itu sebab saya tidak merasakannya. Tapi tahukah kau? Saat kamu pergi saya juga mencicipi hal yang sama. Tapi tidak ada kalimat penyemangat darimu, kamu hentakan roda kopor diatas lantai keramik, mengencangkan jaket hitam ke lekukan tubuhmu, dan melangkah pergi hanya dengan sebuah salam sederhana. Aku jadikan perpisahan waktu itu hanyalah sebuah perpisahan sederhana layaknya kamu berangkat kesekolah sedangkan saya tidak.
Aku mencoba untuk tetap besar lengan berkuasa disaat hari-hari yang kujalani cuek tanpa kehadiranmu disisiku. Setiap pagi yang menghampiriku saya lewati tanpa suaramu yang biasanya membangunkanku untuk mandi. Ketika kelopak mata kulebarkan didepan ventilasi ganda, yang kudapatkan ialah daerah tidurmu yang masih tertata rapih tanpa ada tubuhmu yang meringkuk diatasnya, walau terdengar asing tapi setiap kali saya melihat daerah tidur itu saya selalu bernganggapan bahwa saya tengah melihatmu terbaring pulas dibawah selimut birumu yang tebal. Itu kulakukan semata-mata supaya saya tidak terlau larut dalam kesedihan waktu itu.
Terkadang saya ingin menyalahan waktu, sebab ia tiba dan membawamu pergi bersamanya. Tapi saya mustahil menyalahkan waktu sebab waktu juga yang membawamu tiba padaku dan membuka mataku bahwa kamu ialah wanita berharga dalam hidupku. Aku terima setiap pemberian yang diberikan oleh waktu, entah itu berupa kepedihan dan kegembiraan. Aku juga ingin kamu menerimanya, tidak menyalahkan waktu ketika esok tiba dan membawaku pergi darimu.
Waktu ialah seonggok bahan yang membawamu mengetahui semua yang tidak kamu ketahui. Saat waktu tiba ia akan menawarkan semua yang telah diagendakan untukmu. Kau mustahil mengelak sebab waktu ialah jelmaan dari takdir. Kau hanya bisa menerimanya dengan dua pilihan, tersenyum dan menangis. Pasrah bukanlah satu-satunya jalan untuk mendapatkan kehadiran waktu, ikutlah skenarionya dan jangan pernah mencoba untuk membantah. Pemberian waktu tidak akan jauh dari kebahagiaan dan kepedihan, kalau waktu memberimu kepedihan lebih dulu maka bertahanlah untuk mendapatkan kebahagiaan. Tapi kalau waktu melemparkan kebahagiaan diawal kalian bertemu maka bersiaplah sebab waktu saya membawamu pada kesedihan.
Aku melontarkan sebuah pertanyaan yang sudah ku ketahui jawabannya, hanya saja saya ingin memastikan. Kau menggeleng sebagai menerangkan bahwa kamu baik-baik saja. Aku tersenyum mendengar balasan itu, sebab begitu banyak kebohongan yang kamu tutupi dibalik barisan kalimat yang gres saja kamu katakana. Aku mendengus mengerti. Sinar matahari tidak berani meneroboskan cahayanya kedalam ruangan yang memuat seluruh kepedihanmu, sampai seseorang masuk dan mengharuskan kamu dan saya untuk segera beralih keruangan yang lain.
***
Didalam ruangan yang gelap itu, kamu menumpahkan bobot tubuhmu diatas dingklik berkayu tebal yang berwarna cokelat kemerah-merahan. Hanya ada kau, saya dan wanita itu. Ditemani setan kesunyian kamu mulai mengeluarkan bunyi tangismu dihadapanku. Dalam hati saya bertanya, separah itukah kamu melepasku pergi? Lama-kelamaan bunyi tangismu makin meninggi. Aku menenangkanmu dengan berkata bahwa kita tidak selamanya akan bersama sebab masa depan belum tentu sepakat akan kebersamaan kita. Namun kamu mulai merintih. Aku berkata lagi, belajarlah untuk hidup tanpa saya supaya ketika waktu memisahkan kita untuk selamanya kamu telah bisa untuk berdiri diatas kakimu dan melepasku pergi.
Kau menggeleng andal sambil mengucapkan, “Susah!” Aku tertawa mendengar responmu. Kau menatapku dengan bola mata yang merah berlapiskan air bening yang terus menerus turun tanpa ada rem yang menahannya. Matamu menyampaikan padaku bahwa kamu begitu sulit untuk membiarkanku pergi meski pada hasilnya saya akan kembali menemanimu disisi.
“Kebersamaan yang kita alami beberapa bulan yang kemudian hanya akan menjadi kenangan paling indah dimasa depan. Biarkanlah semua berjalan sesuai rencana. Jangan terlalu terpengaruh pada desakan waktu yang terus menerus membuatmu terpuruk dan tersungkur. Bertahanlah dan mencobalah untuk tetap hidup meski saya jauh darimu. Kau tahu, dengan kepergianku kamu seharusnya menjadikan momen ini sebagai kesempatan untuk berguru memulai acara tanpa bantuanku. Aku sadar untuk melaksanakan itu semua kamu butuh kekuatan dan ketegaran, tapi saya yakin kamu bisa melakukannya.” Aku berkata sambil meremas kedua tanganku. Semburat kesedihan yang kupancarkan tertangkap oleh sinyalmu, kamu menatapku dengan perasaan bersalah tapi saya menggeleng pelan. Kesedihan ini bukan sebab kesalahanmu. Teruslah menangis kalau dengan cara itu kamu bisa mengumpulkan kekuatanmu.
“Kau tahu? Semua yang pernah kita lalui hanyalah sebuah pengalaman yang biasa saja dimata sang waktu. Tapi teruslah kita untuk mewujudkan lebih banyak kenangan lagi. Kegembiraan yang pernah kita hadirkan begitu ‘murahnya’ kalau dibandingkan dengan sesuatu yang dimiliki waktu.” Kataku padamu.
Kau tersenyum lirih sembari menatap bola mataku. Kita saling menatap sampai desiran nafas pun terdengar. Kau menarik nafas sedalam mungkin dan mengusap satu tetes air mata yang hendak jatuh dari ujung matamu. Hingga sesuatu menyambar pikiranmu dan membuatmu kembali terisak didepanku. Aku kaget melihat reaksimu tapi saya mencoba untuk bersikap biasa. Jilbab hitam yang tergurai sampai menutupi dadamu itu sering kali kamu gunakan untuk mengelap peluh mata.
“Sudahlah. Anggap saja saya masih disini bersamamu. Kepergianku bukanlah sesuatu yang perlu kamu tangisi. Bergembiralah sebab saya akan bertemu keluargaku. Seharusnya rasa senangku bisa mengubah air matamu menjadi senyuman paling indah didunia. Tapi kebahagiaan yang kurasakan tak bisa menular padamu dikarenakan begitu besarnya tembok yang kamu buat untuk menangkis segala macam perangsang senyuman. Aku mengerti usahamu. Satu pinta yang ingin kukatakan padamu, bersikaplah dewasa. Masa perjalananmu masih panjang. Jangan terlalu cepat jatuh dan terpuruk diatas tanah hitam. Aku sayang padamu.”
Kau berlari kearahku. Peluh matamu makin membanjiri kearah dagumu. Aliran itu makin menderas mengiri langkah pendekmu kearahku. “Berdiri!” Pintamu. Aku menggeleng. Aku tahu kamu ingin memelukku. Aku menolak. Pelukan bukanlah solusi utama untuk melepaskan kepergian seseorang. Kau menarik tanganku. Aku menghentakkannya dan kamu terjatuh sampai terjongkok didepanku. Kau menangis sejadi-jadinya. Aku tersenyum melihat peluh matamu yang tak mau diajak berkompromi dengan argumenku.
“Biarkan saya memelukmu.” Ucapmu lirih. Dibawah remang-remang lampu itu kamu memohon padaku. Aku tetap kukuh untuk tidak berpelukan.
“Pelukan ialah suatu cara untuk melepaskan seseorang yang tak akan kembali. Apa kamu mau saya tidak kembali? Peluklah saya hanya dalam mimpimu. Hapus peluh itu dan tersenyumlah sebab saya bahagia.” Kataku pelan sembari melepaskan genggaman tanganmu dibaju batik berwarna hijau tua.
Mungkin saya bukanlah sahabat yang setia bagimu. Karena begitu banyak belakang layar yang kututupi darimu. Tentang Dd R yang sudah usang erat denganku. Tentang perasaanku pada Parlin yang makin prihatin. Tentang kerenggangan hubunganku dengan Ika. Tentang langsung Wandi yang hasilnya bisa membuatku mengerti bahwa ia tidak pantas untukku. Banyak yang kututupi. Kadang saya ingin menyampaikan padamu, tapi melihat begitu banyak beban yang kamu tanggung membuatku mengurungkan niat untuk mengungapkan semua.
Tapi ketahuilah suatu hari nanti semuanya akan kuceritakan padamu
Tentang hari-hariku ketika kamu tak ada. Tentang kebahagiaanku bersamamu. Tentang sakit yang kamu tinggalkan, perihal semuanya.
Dan perihal bintang yang jatuh namun tak kamu lihat bersamaku.
PROFIL PENULIS
Student in Averos Senior High School | Born on December 2nd 1996 in Tidore | writer short story | facebook : wika_gita@yahoo.co.id | e-mail : wikawulandari44@yahoo.com
Student in Averos Senior High School | Born on December 2nd 1996 in Tidore | writer short story | facebook : wika_gita@yahoo.co.id | e-mail : wikawulandari44@yahoo.com